Anda di halaman 1dari 4

Novel Remaja

TAK SEMUA LELAKI BUAYA

PEMBUKAAN

Matahari kota jakarta siang itu terasa menyengat. Namun semua itu tak membuat para
penghuni ibu kota negeri tercinta ini malas untuk keluar rumah. Kesibukan tetap saja
mewarnai kota metropolitan ini. Bahkan jalan-jalan pun tetap padat dan malah macet karena
banyak kendaraan bermotor yang memenuhinya.

Seorang wanita muda tampak berjalan terseok-seok sambil menjinjing koper berisi
pakaian. Kembali dia bingung, apa yang musti dilakukan? Sejenak dia berhenti di pinggir
jalan memandang mobil yang berlalu-lalang. Alangkah sibuk dan ramainya. Seperti apa yang
pernah dibaca di surat-surat kabar. Gedung-gedung indah pencakar langit. Tapi alangkah
terbuangnya hidupnya diantara kesemuanya itu. Dan terkucil membawa setumpuk nasib yang
tidak berketentuan.

Kemudian wanita itu meneruskan langkahnya lagi. Kerongkongannya diserang


dahaga. Sedang keringat kian membasahi mukanya yang pucat. Matahari yang terik
menyengat-nyengat kulitnya. Matanya agak berkunang-kunang lantaran semalaman di kereta
api dia tak dapat tidur. Jadi sekarang dimana mau istirahat melepaskan lelah?

Wanita muda itu melihat di seberang jalan ada rumah makan. Barangkali disana bisa
melepaskan lelahnya samabil minum dan makan. Makan? Oh, selera makannya sudah hilang.
Rasanya kenyang dengan kenyataan yang dialaminya. Lalu dia melangkah dengan bayangan
wajah perempuan itu. Menyeberang jalan sambil melamun.

Beberapa orang melihatnya berteriak. Wanita itu jadi sadar dan menoleh. Sebuah
mobil nyaris menabraknya, kalau saja si pengemudi tidak segera membanting stir sambil
menginjak rem. Tapi koper wanita itu terpental diseremper bemper mobil. Beberapa orang
segera mengerumbungi wanita muda itu dan menuntunya kembali ke pinggir. Sedangkan
pengemudi mobil itu bergegas turun. Mobil-mobil lainnya yang ada di belakang berhenti
berderet.

“Nona tidak apa-apa?” tanya penemudi itu.

Dengan wajah masih tampak pucat, wanita muda itu mengeleng. Keringat dingin
membasahi wajahnya.

“Mana koper saya?” tanyanya dengan wajah menunjukan kebingungan.

“Ini...,ini kopernya,” seorang lelaki menyerahkan koper itu.

“Terima kasih,” sahut wanita itu gemetar.

Suara klakson mobil saling bersahutan. Bising sekali. Penemudi yang hampair
menyerempet wanita itu baru sadar kalu mobilnya masih berhenti di tengah jalan.
Menghalangi mobil-mobil lainnya. Maka dia buru-buru meminggirkan mobilnya. Sehingga
mobil lainnya pun kembali meluncur seperti biasa. Lelaki muda pengemudi mobil itu pun
kembali menghampiri si wanita. “Namaku Pandu,” kata pemuda itu memperkenalkan
namanya dengan nada sopan dan ramah.

Orang-orang yang tadi mengerubungi satu persatu mulai pergi. Sehingga tinggal
mereka berduadi pinggir jalan itu. Dan Pandu mengamati Kania. Dia mulai menduga kalau
gadis itu, baru datang ke jakarta.

“Nona mau kemana?”

Wanita muda itu mengelengkan kepala.

Sebenarnya itu bukan suatu keinginan untuk berbuat begitu. Tapi dia masih diliputi
kebingungan. Dia masih tak tahu,apayang harus diperbuatnya.

Pandu mengerjitkan dahinya, heran.

“Mencari famili?”

“Ya...ya,” sahutnya gugup.

“Mau saya antar?”

Gadis cantik itu menoleh. Memandang lelaki yang berdiri disampingnya. Lelaki itu
setelah diamati sangat tampan. Pakaiannya necis. Pasti salah satu karyawan kantor. Lantas
dia menimbang-nimbang tawaran itu. Lebih baik memerangi nasib sendiri daripada minta
bantuan orang lain yang belum dikenalnya. Sebab di jakarta ini sering terjadi penipuan. Pura-
puranya menawarkan jasa kebaikan, tapi punya maksud jahat. Wanita muda itu menjadi
ngeri.

Ia menggelengkan kepala sembari melangkah pergi.

Pandu jadi termangu memandangi ayunan langkah gadis itu. Memandangi rambutnya
yang terurai diterpa angin. Dan gadis tak mau menoleh sesaatpun. Dia terus melangkah
semakin jauh meninggalkan Pandu. Dia tidak tahu apa yang dilakukan lelaki itu. Tak perduli.
Dia tekun menyusuri jalan, membawa nasibnya yang tak berketentuan.

***
1
Sejak pulang dari jakarta dengan membawa kegagalan dan luka hatiyang teramat
dalam, hari-hari yang berempedu dilalui oleh Kania. Gadis yang berbadan dua itu menjadi
pemurung sepanjang hari. Jarang sekali memperlihatkan senyumnya yang semanis dulu.
Jarang seceria waktu lalu. Dia pun jadi menjauhi teman-teman pergaulan yang terdekat
sekalipun.

Aku harus menggugurkan bayi ini. Aku tidak ingin membuat malu nama baik
keluargaku. Itulah tekad Kania, karena sudah tak punya harapan lagi untuk minta
perlindungan siapapun. Jangankan minta perlindungan, memberi tahu keadaannya yang hamil
saja sudah memalukan. Lantas bagaimana caranya dia bisa menggugurkan bayinya itu?

Setiap, hari dia termenung memikirkan nasibnya. Nasib yang tidak berketentuan
lantaran hamil diluar pernikahan. Lelaki yang diharapkan ternyata ingkar dari tanggung
jawabnya. Sementara ayah dan ibunya tidak mau lagi mengurusnya. Sedih sekali nasib yang
dia alami.Tapi semua itu memang kesalahannya. Penyesalan itu datangnya memang selalu
terlambat.

Ya, sekarang Kania menyesal. Tidak sedikit pengorbanan Kania terhadap Gunawan.
Rumah pemberian ayahnya sudah terjual. Belum lagi uang ayahnya yang dipakai untuk
keperluan Gunawan untuk membeli buku-buku. Membiayai lelaki itu dalam banyak hal.
Sampai mendapat titel, kemudian uang sogokan supaya bisa diterima bekerja dikantor, di
jakarta. Tapi sekarang, balasan yang diterima dari lelaki itu terlampau kejam. Agaknya inilah
ironisnya kehidupan seorang gadis desa. Orang tuanya kaya. Terkenal sebagai pengusaha
tembakau dan cengkeh. Punya perkebunan luas. Tapi nasibnya Cuma dijadikan batu loncatan
oleh Gunawan untuk meraih cita-citanya. Kania yang lugu dan polos telah menjadi korban
janji palsu. Kania yang belum tahu kemunafikan Cuma percaya rayuan gombal Gunawan.
Nyatanya semuanya itu menjadikan nasib gadis desa ini tak berketentuan. Hilang semua
kepercayaan pada diri sendiri.

Di sore yang murung, semurung wajah Kania, dia sudah punya tekad untuk
menggugurkan bayi itu. Maka tanpa pikir panjang lagi, dia pergi ke dokter.

“Sakit apa, Dik?”tanya dokter itu.

“Saya...” ucapan Kania terhenti. Kerongkongannya bagai tersekat.

“Kenapa?”

Kania menundukkan muka. Malu bersitatap dengan dokter itu.

“Saya hamil,” suaranya lirih. “Jadi mau periksa kehamilan? Sudah berapa bulan
terlambat menstruasinya?”

“Empat bulan.”
Dokter itu bangkit dan menganjurkan Kania untuk berbaring di atas tempat tidur. Tapi
Kania menggelengkan kepala dengan wajah gelisah. Dokter itu jadi heran.

“Ada apa?”

“Saya... Saya ingin menggugurkan janin dalam perut saya, Dok,” kata Kania dengan
suara terbata.

Dokter terperanjat mendengar permintaan Kania.

“Dimana suamimu?”

Kania menggelengkan kepala. Kedua matanya sudah merembes air mata.

“Jadi kamu hamil sebelum menikah?”

Kania mengangguk sembari terisak.

“Saya tidak mau melakukan itu. Menggugurkan bayi dalam kandungan adalah
perbuatan keji dan berdosa.”

“Tapi dokter tolonglah saya. Saya malu dan takut diketahui orang tua.” Pinta Kania
memohon belas kasihan.

“Saya tetap tidak mau menolong.”

“Dokter saya mohon belas kasihan. Tolonglah saya,” isak tangis Kania makin
berkepanjangan.

Dokter itu merasa iba. Lantas dipegangnya bahu Kania lembut.

Anda mungkin juga menyukai