Anda di halaman 1dari 183

Triple A (True Beauty)

Blurb

Kecantikan dari lahir tak selalu berkepanjangan hingga remaja. Kecantikan mata dunia. Tak
cantik artinya tak dihargai. Pem-bully pun gencar menghancurkan mental, bahkan saudara
sendiri pun tak gentar ikut membantai.

“Ambisiku menjadi cantik. Hingga bisa bernapas lega tanpa masker yang menutupi wajah
jelek ini. Ini bukan sekedar keinginan, tetapi juga tentang perjuangan.”

Apa pun Nadira lakukan demi ambisinya. Namun, apa pun juga akan dilakukan oleh orang
yang dengki padanya. Rahasia masa lalu juga masa sekarang menghambat ambisinya
terlebih ia harus terikat kisah rumit antara tiga lelaki.

Apakah dia berhasil? Siapa tiga lelaki itu?

Kata Pengantar

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Bismillah puji syukur kepada Allah, berkat


rahmat serta karunia-Nya, saya dapat menulis Novel ketiga saya.

Terima kasih kepada keluarga dan sahabat dunia maya yang menyemangati saya untuk terus
berkarya di usia yang masih remaja ini. Terima kasih kembali pada sahabat dunia Maya yang
bersedia meng-kritik dan saran karya saya.

Novel ini saya torehkan untuk mencurahkan sebagian inspirasi. Mohon maaf sebesar-
besarnya jika terjadi kesalahan kata dalam ke penulisan. Selebihnya saya berharap kalian
menikmati novel ini.
Isi Cerita

(Prolog)

“Sibuk mencari uang, bahkan Mama dan Papa tak sempat mengantarkanku di hari pertama
masuk jenjang menengah pertama. Untung aku masih mempunyai kakak.” Nadira
tersenyum sembari melirik kakaknya yang lebih tinggi lima cm darinya.

Mereka berjalan beriringan menelusuri lorong sekolah SMPN Palawija, Bandung. Lorong
yang semakin ramai kala kedua orang itu lewat, mereka lebih tepatnya memandang Nadira
terkagum.

“Ini Nadira, ya? Selebgram itu?”

Suasana berubah canggung ketika kedatangan beberapa orang gadis yang langsung
melemparkan pertanyaan, pun membuat langkah Nadira dan kakaknya---Ersya Saputri
terhenti.

“Wah, kulitnya putih, ya. Wajahnya merona kayak orang Korea. Iri aku.”

“Wah bibirnya juga merah banget.”

“Wah, Ersya, gak sangka dirimu yang kayak gini punya adik secantik ini.”

Kebisingan pun terjadi kala mulut-mulut saling melempar pujian yang disambut dengan
lengkungan sabit dari bibir Nadiralia Atmaja, gadis berambut lurus itu. Kedua gadis yang
berada di tengah-tengah saling pandang sejenak.

“Makasih semua. Kita semua cantik, kok,” ucap Nadira dengan senyuman lebar disambut
sorak kegirangan.

Gadis itu mengedipkan sebelah mata dengan bulu mata lentiknya, lalu ikut tertawa
kegirangan. Dia tak sadar ada Ersya yang menatapnya dengan senyuman miring.

“Eh, Ersya ini adik kamu, ya? Beda banget sama kamu, kulitmu karamel banget, mata sipit,
hidung pesek,” cela seorang gadis yang sejenak mencipta keheningan, lalu menggemakan
gelak tawa.
Ersya tersenyum mendengar gelak tawa yang perlahan mereda. Beralih pandang pada
Nadira yang tampak gamam. Dia berdesis kala dibanding-bandingkan lagi dengan adiknya.
Dunia seakan berpihak pada gadis cantik, membuatnya selalu dihina dan diinjak-injak,
bahkan orang-orang terang-terangan membuka kekurangannya.

“Inilah dunia, bila kau cantik kau akan dihargai dan dihujani pujian, tetapi bila kau jelek kau
takkan dihargai dan akan terus dicaci maki,” lirihnya pelan yang dapat terdengar di telinga
gadis di sampingnya.

‘Seberat itukah menjadimu, Kak? Apa ini salah aku yang terlahir cantik,’ batin Nadira.

“Maaf. Ini bukan adik aku, aku Cuma mau nganterin dia ke kelas tujuh. Kan, dia murid baru,”
terang Ersya Saputri yang jelas suatu kebohongan. Sudah bersiap membuka suara, sebuah
tangan mencekal tangan Nadira yang membuatnya menutup rapat mulutnya.

“Kalau begitu.” Gadis bernama Febriana Safira menarik tangan Nadira. “Nadira ikut kita, ya.
Biarin Ersya kakak kelas delapan yang jelek ini sendirian.”

Gadis berusia tiga belas tahun itu tak bisa berbuat apa-apa. Ia dirangkul kiri dan kanan.
Mengikuti langkah para gadis. Ia menoleh melirik sang kakak yang tersenyum dengan
tangan kanan melambai dan tangan kiri memegang liontin berwarna ungu.

“Kenapa kita tak sama-sama cantik atau sama-sama jelek? Aku ingin kau merasakan apa
yang aku rasakan menjadi cantik dan aku pun ingin merasakan apa yang kau rasakan.” Mata
lebar gadis itu beralih pada kalung liontin yang melingkar di lehernya.
1. Lari

“Cantik itu relatif. Kita cantik di mata orang yang tepat. Jangan sedih bila dibully, jadikan
bully-an sebagai tunjangan untuk berjuang!”

***

“Nadira kabur!

Setelah mendengar seruan tersebut. Tiga orang gadis dan dua orang lelaki yang ada di
restoran langsung berlari mengejar gadis yang mulai menjauh. Mengejar gadis yang
berpakaian serba hitam membuat mereka kesulitan, terlebih lari gadis itu sangat cepat.

“Nadira jangan lari!”

Sang empu pemilik nama yang tengah berlari sembari menggaruk wajah dan lengannya
secara bergantian itu melirik cemas ke belakang. Hari ini kembali dirinya dijahili lagi dengan
awal-awal diajak berbaikan, tetapi akhirnya ....

“Kenapa kita tak sama-sama cantik atau sama-sama jelek? Aku ingin kau merasakan apa
yang aku rasakan menjadi cantik dan aku pun ingin merasakan apa yang kau rasakan.”

Ucapan tersebut terngiang di pikiran Nadiralia Atmaja. “Aku menyesal telah mengatakan hal
itu.”

Dia mengerahkan seluruh tenaga hanya untuk bebas dari kejaran. Mengikuti naluri
melangkah ke sana ke mari. Kepalanya sesekali menoleh ke belakang memastikan orang-
orang itu tertinggal jauh. Meski sesak napas menyerang gadis tinggi itu terus berlari.

“Argh! Gatal banget!” gerutunya sembari menggaruk wajahnya. “Bagaimana wajahku akan
cantik kembali, bila alergiku terus datang? Besok aku akan kembali berjerawat lagi.”

Pukul 17.24, detik demi detik dia lalui dengan buruan napas, hingga akhirnya langkah
terhenti ketika menyadari ia masuk ke sebuah Drugstore Skincare.

Gadis yang mengenakan celana pensil juga jaket safari berwarna hitam menoleh ke
belakang. Tak ada satu pun orang yang mengejarnya lagi. Akhirnya bisa mengatur napas
dengan lega. Sejenak gadis itu terpana, hingga akhirnya rasa mual dan jantung berdebar-
debar menyerang membuat ia tak dapat menikmati indahnya berbagai skincare yang
menggoda mata.

Nadira memegang kedua lututnya sembari terus mengatur napas.

“Penulis besar kita Bunda Erwina Winsih telah meninggal dunia dua hari yang lalu
dikarenakan infeksi di wajah disebabkan menggunakan skincare abal-abal. Bijaklah
menggunakan skincare!”

Ruangan yang besar juga ramai mendadak hening setelah mendengar berita itu tak
terkecuali Nadira, ia bergeming menatap lekat TV yang menempel di dinding.

Orang-orang saling berbisik. Ada pula yang membuka HP untuk mencari artikel tentang
berita tersebut. Gadis yang kembali berdiri tegak itu tersenyum getir.

“Bunda Wina. Ini gak mungkin.” Hatinya remuk kala idolanya meninggal dunia. Idola yang
kerap kali memberikan kata-kata motivasi. Karena kata motivasi dari Bunda Wina Nadira
bertahan melalui bully-an yang menyerangnya karena memiliki wajah yang jelek. Karena
penulis itu pun ia bisa menciptakan novel.

“Cantik itu relatif. Kita cantik di mata orang yang tepat. Jangan sedih bila dibully, jadikan
bully-an sebagai tunjangan untuk berjuang!”

Nadira menggeleng pelan setelah mengingat quotes tersebut. Dirinya telah berjuang
mengumpulkan uang jajan untuk membeli skincare di tempat ini, tetapi orang yang
memberinya kekuatan dahulu, kini memberinya ketakutan.

“Gak mungkin. Kenapa? Kenapa harus karena skincare? Bunda membuatku takut untuk
mencoba skincare,” lirihnya sembari memegang dada yang sesak. Mata hanzel gadis itu
berembun, mencoba menahan agar buliran bening tak mengalir.

“Jangan beli skincare di sini!”

Seketika orang-orang melihat ke asal suara yang tepat berada di samping Nadira. Pemilik
suara yang memegang kantong plastik hitam itu mengedarkan pandangan menatap penuh
keyakinan.
“Jangan beli skincare di sini!” Lelaki berbadan tinggi dan mengenakan masker tersebut
berteriak.

“Jangan beli skincare di sini!” teriaknya. “Apa kalian mau jadi seperti Bunda Wina? Apa
kalian mau?!”

Tampak jelas mata lelaki itu memerah. Nadira kebingungan melirik lelaki yang mengenakan
pakaiannya serba hitam di sampingnya yang terus berteriak memastikan para pengunjung.
Lelaki tersebut mengerjap, ia mengepalkan tangannya kala mendapati reaksi kebingungan
dari para pengunjung.

“Setelah tahu bahwa Bunda Wina meninggal gara-gara skincare apa kalian mau menjadi
korban selanjutnya? Di sini! Di sini! Anak laki-laki Bunda Wina membeli skincare abal-abal
tersebut!” Penuh penekanan lelaki tinggi itu berucap. Namun, kembali mendapatkan reaksi
yang tak mengenakan. Ia malah menjadi buah bibir.

“Kalian bodoh!” cetusnya.

“Mbak, ini pacarnya, ya? Lebih baik dibawa pulang, mengganggu pengunjung!”

Seketika Nadira menggeleng cepat mendengar pertanyaan satpam. Ia melirik lelaki di


sampingnya. “Oh Tuhan,” lirihnya seraya membuang napas gusar.

“Bawa pulang aja, Mbak!”

“Bawa pulang!”

Teriak para pengunjung membuat Nadira tertekan. Ia menggigit bibirnya. “Apa karena
wajahku terlalu jelek, hingga mereka mengira aku pacar lelaki stres ini?”

Nadira berkacak pinggang, ia menatap lelaki yang juga menatapnya dengan tatapan tajam.
Kedua mata yang saling bertemu itu saling menyiratkan kemarahan.

*8**

“Buka masker lo!”

“Buka!”

Seruan demi seruan keluar dari mulut dua orang lelaki yang mencegat seorang gadis.
Tertekan dan dirundung rasa cemas itulah yang dirasakan gadis bermasker tersebut.
“Gak!” tegas gadis beralis tebal itu sembari mengedarkan pandangan mencari bantuan.
Namun, nihil tak ada satu pun orang yang lewat di jalanan tempatnya berada.

“Bisakah kami melihat wajahmu, Adiralia? Eh Nadira.” Tak putus asa lelaki berbadan kekar
mencoba meluluhkan hati gadis di depannya.

Dengan geram Nadira bertanya, “Bolehkah aku melihat wajah kalian terlebih dahulu?”

Bukannya menolak, dua lelaki itu saling pandang, lalu menggemakan tawa sembari
membuka masker. Tampaklah wajah tampan keduanya yang berbanding terbalik dengan
hati mereka.

“Dewa, Raja?”

“Lo pikir dengan pindah ke Jakarta lo lepas dari kita? Lo tau betapa lelah kita ngejar lo dua
bulan lalu?” tanya Dewa Arganta.

“Apa kalian juga tau betapa aku lelah menyembuhkan wajah gara-gara alergi bakso udang
yang kalian beri? Kalian yang sengaja menjebakku dengan alasan mengajakku ke restoran
untuk saling minta maaf!” Nadira balik bertanya. Ia menatap tajam dua lelaki di depannya.
Tatapan seakan menghipnotis itu tak mampu di tatap balik oleh lawan bicaranya.

Sifat dinginnya melebur setelah berhadapan dengan dua lelaki bermulut keji. Ia mengira
ketika pindah ke Jakarta meski karena pekerjaan ayahnya ia akan terbebaskan dari para
pem-bully, tetapi nyatanya TIDAK! Sudah dua bulan dirinya meninggalkan kota dengan
seribu kenangan tersebut juga meninggal para orang yang menghancurkan mentalnya.

“Wajahmu sudah jelek untuk apa disembuhkan lagi!” ejek Raja Arganta.

Kakak beradik tersebut menyeringai. Nadira tersenyum di balik masker. Jelek! Jelek! Ia
sudah sering mendengar ejekan itu yang membuatnya muak. Muak, ya, muak, tetapi masih
menyakitkan dan menyesakkan dada.

“Kenapa kalian ada di sini?!” Penuh penegasan gadis itu bertanya.

Raja memegang pundak Nadira sembari berucap, “Kita liburan ke Jakarta gara-gara diskor,
padahal masuk ajaran baru kelas 11 dan gak sengaja liat live streaming-an FB lo dan
ternyata ketemu di sini.”
“Jangan, jangan ....” Raja menggantungkan ucapannya.

Nadira langsung menepis pegangan pundak tersebut. “Jangan pegang-pegang!”

Raja memeluk dirinya sendiri sembari memasang wajah sok imut. “Lo masih sama gak suka
dipegang. Aku jijik, Mas. Aku jijik!”

Kembali dua lelaki itu tertawa dengan lelucon yang entah di mana letak kelucuannya bagi
gadis yang telah bersiap untuk lari.

Seketika gadis berkucir kuda itu berlari. Bukan karena takut pada berandalan itu, tetapi ia
tak mau membuang waktu dengan orang-orang yang tak memiliki hati. Gadis itu berlari
menuju halte bus sekolah.

“Nadira, lo ada hubungan apa dengan Ersya?! Kenapa pas lo pindah Ersya ikut pindah?!”
tanya Dewa, berteriak membuat gadis yang tengah berlari itu menelan ludah berat dan
melihat kalung liontinnya.

“Kakakku,” ucap Nadira pelan.

***
Part 2 Tatapan Familier

“Mengapa masa lalu selalu terkenang meski ujung-ujungnya akan menyakitkan?”

**

Banyak tatapan mata melihat ke arah seorang gadis bermasker. Karena dilanda gugup
membuat Nadiralia Atmaja melangkah lebih cepat sembari menunduk.

“Ekhem!”

“Uhuk!”

Dia disambut dengan suara berat dari para lelaki. Dirinya seakan deja vu. Masa-masa lima
tahun silam seperti terulang kembali. Hari ini adalah hari pertama dirinya bersekolah di SMA
Palung Mariana, Jakarta, juga pertama kalinya ia menginjak sekolah di Jakarta setelah
sepuluh tahun bersekolah di kawasan Bandung.

“Mengapa masa lalu selalu terkenang meski ujung-ujungnya akan menyakitkan?” batin gadis
yang taat mengenakan masker tersebut. Sepanjang jalan menuju ke kelasnya gadis itu terus
mengatur napas. Jantungnya seakan berpacu kala setiap dirinya melintas ia dilirik dan
menjadi buah bibir secara mendadak.

Nadira memasuki sebuah kelas bercat putih bersih dengan dua puluh meja yang tertata rapi.
Ada beberapa meja yang sudah ada pemiliknya, ditandai dengan tas yang diletakkan di atas
meja tersebut.

Nadira menuju bangku kosong dan meletakkan tas berwarna hitamnya

“Eh, Adira, ya?” tanya seorang gadis berkulit sawo matang pada Nadira yang baru saja
duduk.

Nadira mendongak memandang gadis yang mengetahui nama panggilanya juga memandang
dua orang perempuan di belakang gadis itu.

“Ya?” Nadira balik bertanya.

“Kenalin aku Astarla panggil aja Starla,” ucap gadis berlesung pipi sembari tersenyum lebar.

“Aku Delia, panggil aja Dede,” sambung gadis bermaik hitam.


“Dan, aku Reva pacarnya Boy,” lanjut Reva.

Setelah memperhatikan tiga gadis tersebut. Nadira mengangguk. Baru kali ini dirinya
disambut begitu ramah, bahkan dirinya yang terasa kurang ramah. Karena begitu lama
dirinya tanpa teman, ia bahkan lupa cara mengobrol dengan hangat pada seseorang.

‘Aku hanya bisa hangat di dunia maya,’ batinnya.

“Nama kamu Adiralia? Sesuai nama instagram kamu, kan?” tanya Starla. Nadira menaut
alisnya mendengar pertanyaan itu. Baru saja hendak membuka suara, tiba-tiba Starla
mendahului.

“Jangan bilang dalam hati kamu bertanya aku tau darimana kalau kamu Adira meskipun
kamu pake masker. Kamu gak inget? Kan, pagi tadi kamu live streaming,” terang Starla.

“Oh. Panggil aku Nadira itu nama asliku,” terang Nadira teramat datar.

“Oke! Aku panggil kamu Nanad, ya. BTW mereka berdua anak kelas sebelah, mwehehe.
Mereka mau nyari Rosalinda si amoy, eh ketemu ama Adira si selebgram. Uwu banget tau!
Ternyata kamu sekolah di sini. Di tambah kita juga ketemu ama Kak Ersya, cantik banget
dia,” puji Starla dengan wajah girang menambah senyum manisnya yang semakin membuat
siapa saja meleleh. Dua temannya pun mengangguk senang. Gadis itu terus menyerocos,
bahkan tak membiarkan gadis yang menggaruk kepalanya yang tak gatal itu untuk membuka
suara.

“Andai kalian tahu,” batin Nadira.

“Stal, kamu bicara aja, ya, sama dia. Kita berdua mau keluar,” ucap Reva dengan tatapan
tajam ke arah Nadira. Nadira yang ditatap tajam pun seakan tahu apa yang ada di hati gadis
itu. Sejak awal ia sudah melihat kepalsuan dari senyuman gadis bernama Reva tersebut.
Entahlah ini hanya dugaannya atau memang kenyataan.

Mereka pun langsung ke luar kelas tanpa dapat sepatah kata pun dari Starla. Gadis
berlesung itu berlari kecil mengejar teman-temannya, diikuti Nadira yang berjalan
pelan.Gadis itu hanya memastikan bahwa Starla tak dikucilkan gara-gara berbicara panjang
dengannya. Namun, ia malah kehilangan jejak para gadis itu.
Gadis itu mengedarkan pandangan ke penjuru sekolah yang terlihat indah, dihiasi oleh para
gadis cantik juga lelaki tampan, menambah kesan yang menawan. Nadira mengedarkan
pandangan, sekilas ia melihat lelaki berbadan tinggi yang berjalan cepat dengan sebuah
buku menutupi wajahnya memasuki kelas. Gadis yang memakai liontin berwarna ungu itu
pun menghela napas. Ia memalingkan pandangan ke arah lain, tak beberapa lama dari sudut
matanya ia melihat lelaki tadi keluar dengan setengah berlari.

Karena lelah hanya berdiri mematung gadis beralis tebal itu pun masuk seorang diri ke
dalam kelas. Tiba-tiba sebuah kertas yang sudah diremuk mengenai kepalanya. Ketika
dibuka ada tulisan, bertuliskan, ‘ Lewat matamu aku mengerti arti cinta, I Love You’. Nadira
yang membaca itu bergidik geli seakan hendak muntah.

“Hanya ada dua orang di sini. Gadis yang duduk di pojokan, juga ....” Nadira melihat ke arah
papan tulis. Gadis berwajah oval tersebut tertegun ketika menatap lelaki yang berdiri sambil
bersandar di papan tulis, dengan tangan masuk ke saku celana.

Deg!

Sorot mata tajam miliknya menatap ke arah Nadira yang juga menatapnya dengan tatapan
tak asing. Tak ada debaran di hati Nadira sama halnya dengan lelaki tersebut. Mereka hanya
dirundung rasa tak asing. Di balik itu ada seseorang yang menatap mereka dengan tatapan
tajam di balik jendela.

“Dia?” lirih lelaki itu nyaris tak terdengar.

“Aku seperti mengenal tatapan ini, tapi di mana?” batin Nadira sembari menundukkan
kepala. Gadis itu menghela napas lalu mengangkat kepalanya.

Deg!

Nadira tertegun ketika melihat dua lelaki dengan tubuh tinggi ada di depannya, itu lelaki
yang tadi di papan tulis dan .... Dia mengangkat alis tebalnya sebagai isyarat bertanya.

“Gu--.” Mereka berucap bersamaan. “Gu--.” Lagi, dan lagi mereka berucap bersamaan.
Mereka pun menghela napas, sedangkan Nadira melirik mereka secara bergantian.

“Gue duluan!” tegas lelaki yang sama sekali belum Nadira kenal dan lihat. “Lo, Adira?”
tanyanya.
Nadira pun mengangguk.

“Gak kenal maka tak sayang. Kalau dah kenal nanti menghilang. Kenalin Gue temennya
Alexander Alfahri. Kalau gue Alvino. Dia nyuruh gue jagain lo dari orang yang pengen
gangguin lo,” jelas Alvin sembari mengulurkan tangan yang hanya ditatap oleh gadis di
depannya.

Alex---lelaki yang Nadira kagumi secara diam-diam dan lelaki yang ingin sekali ia temui.
Namun, apa ini? Ia malah menyuruh temannya. Padahal gadis yang tengah bergeming
tersebut sangat berharap bisa bertemu dengan Alex karena mereka hanya kenal lewat sosial
media tanpa saling bertatap muka dan berkirim foto.

[Aku yang rambut diiket satu, pake masker warna hitam, agak tinggi, dan pake kalung liontin
warna ungu. Ingat di kelas XI MIPA!]

Nadira teringat pesan yang ia telah kirimkan tadi pagi pada Alex. Mungkin Alvin tanya-tanya
ke orang-orang dan mencari ciri-ciri yang ia tuliskan di pesan itu hingga menemukannya.

“Adira ....” Lamunan seketika buyar kala tangan Alvin melambai-lambai tepat di depan
wajahnya. Lantas Nadira beralih menatap lelaki yang melempar kertas remukan tadi,
sedangkan Alvin dia malah menatap liontin berwarna ungu milik Nadira seraya berucap
lirih,”Dia. Oh, iyakah?”

“Em. Tentang kertas tadi ....” Lelaki bernama Azka Alfahri dapat diketahui dari name tag-nya
itu menggantungkan ucapannya karena mendapat tatapan tajam dari lelaki di sampingnya.

“Apa ka—u su—ka dengan tulisan di kertas itu? Apa kau berniat membalasnya.” Ragu
teramat ragu Azka bertanya. Dari sorot mata yang tak berani menatap lawan bicaranya
menjelaskan semuanya. Nadira menggeleng. “Oh, iya, Alvin bilang sama Alex makasih atas
perhatiannya.” Setelah mengucapkan kata itu dan melirik sebentar ke arah Azka, Nadira pun
pergi meninggalkan mereka seraya meremuk kembali kertas tadi dan melemparkannya ke
dinding.

“Lo nyaris ngehancurin semuanya. Ingat! Dia bisa menghancurkan hubungan kalian.” Alvin
berbisik pada Azka yang mematung. “Gue jelek gue bangga!” Tiba-tiba sebuah teriakan
mengagetkannya. Hal itu mengingatkan diri pada masa lalu di mana ia bersekolah di SMPN
Palawija Bandung.
Part 3 Masa Mendebarkan

Lima tahun yang lalu

“Eh! Kakak jelek, kamu salah meja, itu mejaku!” tegas seorang gadis dengan rambut digerai
ketika melihat Ersya hendak meletakkan tas adiknya ke sebuah meja. Suara Febriana seakan
memekakkan telinga Ersya, gadis berkulit karamel itu berdesis.

“Oalah,” ucap Ersya. “Lah, mana aku tau ini mejanya,” lirihnya sambil menatap tajam ke
arah gadis yang berdiri di depan papan tulis.

Melihat Ersya bergeming, lantas gadis berwajah lonjong itu melempar botol minuman yang
ia ambil di tasnya ke arah gadis berambut ikal tersebut. Untung Ersya cepat mengelak. Ersya
tak tinggal diam. Seketika Ia mengambil botol tadi dan melemparkan ke arah tuannya.

Puk!

Akhirnya senjata makan tuan.

“Huwa ....” Febriana Safira gadis nakal itu mengelus kepalanya dengan tatapan tajam ke
arah Ersya. Dia banyak sekali mencari masalah dengan Ersya yang terus mencoba bersabar.
Namun, jika hampir melukai fisik gadis itu jelas takkan bersabar.

“Udah jelek kasar lagi!” ejeknya.

“Gue jelek gue bangga! Percuma cantik kalau hati burik!”

“Ada apa, nih?” Mendadak Nadira datang. Ia melirik kakak dan temannya secara bergantian.
Kedua gadis itu sejenak terdiam saling pandang dengan tatapan menantang.

“Nad, liat, tuh gadis jelek gangguin aku. Dah gitu belagu lagi, kamu aja yang cantik gak kayak
dia!” gerutu Fira sembari memasang wajah cemberut. Dia mendekapkan tangannya, lalu
mendecak kesal.

“Kamu gak boleh bilang gitu, lagi pula dia ka---“

“Hei! Gadis cantik ini tasmu, tadi kamu minta tolong aku nganterin ini, ‘kan?” potong Ersya
sembari mencengkeram tangan Nadira yang kaget. Gadis berkulit putih itu tertegun, ia
meneken ludahnya susah. Perlahan melirik sang kakak yang mendekatkan bibir ke
telinganya.
“ ... “

“Selagi orang gak tau kalau aku ini kakakmu, jangan bilang ke teman-temanmu kalau aku
kakakmu,” bisik Ersya. Mata Nadira membulat sempurna. Setelah Ersya menjauhi bibir dari
telinganya. Ia tersenyum kikuk sembari merampas tas.

“Makasih.”

“Oh maksud kamu tadi. Aku gak boleh ngomong dia jelek dan belagu karena dia babu
kamu?” terka Fira cengengesan. Nadira dan Ersya saling tatap, lalu pandangan mereka
beralih pada kalung liontin berwarna ungu yang melingkar dileher. Cepat-cepat keduanya
menyembunyikan liontin tersebut.

“Apa pun yang terjadi, jangan tanggalkan liontin ini!” Ucapan itu terngiang-ngiang di benak
keduanya.

Ersya selalu tekanan batin karena dibuly dan dibanding-bandingkan dengan adiknya di
lingkungan rumah. Hal itu membuat ia ingin merahasiakan bahwa Nadira itu adiknya.
Biarlah ia dibanding-bandingkan dengan orang lain daripada dengan adiknya.

Setelah mengingat hal itu Nadira terduduk lesu. Dada terasa sesak. Gadis itu memejamkan
matanya dengan deru napas yang tak teratur. Tiba-tiba dua tangan memegang kedua
pundaknya secara bersamaan. Pegangan tersebut terasa seperti ribuan semut yang
merayap di tubuh, lantas gadis itu berdiri sembari menelan ludahnya berat.

Gadis itu mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras karena geram. Hari ini tiga kali
dirinya dipegang. Ia merasa seperti murahan. Ada perasaan marah juga sedih di hatinya.
Pertanyaan dari dua lelaki yang mulai berdiri tersebut tak ia gubris.

Alvin berdiri disusul oleh Azka. “Apa ada yang salah?” tanya Alvin. Nadira tak menjawab lagi
ia sibuk memperhatikan kedua lelaki di depannya yang memiliki banyak kesamaan.

Pertama, tinggi mereka sama. Kedua, tatapan mata. Ketiga, suara. Mereka mengingatkan
Nadira akan seseorang di masa lalu yang membawanya ke masalah. Nadira menggeleng
menandakan tidak.
Lelaki berambut kecokelatan itu merangkul lelaki di sampingnya yang terdiam. “Nama dia
Azka Alfahri. Kang buaya! Jadi, jauhin dia,” terang Alvin dilengkapi senyum miringnya juga
alis yang terangkat sebelah.

Lelaki itu membuat Nadira terkejut dengan segala perkataannya. Namun, sepertinya dia
akan lebih terkejut ketika melihat wajah asli gadis yang sedang di depannya ini. Nadira
mengangguk pelan. Ia menghela napas. Terlalu banyak masa lalu yang muncul di pikirannya
setelah memasuki sekolah barunya. Bayang-bayang tersebut seakan terus mengikuti pikiran.
Ia pun harus menanggung beban pikiran mencerna semua kata-kata Alvin.

“Tunggu, gue kayaknya pernah ngeliat kalung liontin ini. Tapi di mana, ya? Katanya kalau
berpasangan make barang itu pasti ada hubungan, entah sepasang kekasih, teman, atau ...
kakak adik.”

Ucapan Alvin berhasil membuat jantung Nadira berdegup kencang. Ekspresi lelaki itu yang
susah ditebak, membuat Nadira bertanya-tanya, apakah dia benar-benar lupa, atau ... pura-
pura lupa? Azka melirik tajam ke arah lelaki berhidung mancung di sampingnya yang terus
menatap Nadira tanpa teralihkan.

“Dan katanya, jika menyembunyikan wajah ada dua kemungkinan, satu karena wajah terlalu
cantik dan tak mau jadi sorot perhatian dan dua karena wajah jelek.” Karena Nadira tak
membuka suara terlalu lama menurut Alvin, akhirnya ia kembali mengeluarkan kata-kata
yang keluar tanpa dipikirkan.

Deg!

Jantung gadis yang masih mematung itu semakin berpacu. Dengan manik cokelat legamnya
ia menatap tajam Alvin tanpa sepatah kata mampu membuat lelaki itu berhenti
menatapnya.

“Sial! Natap kayak mau ngebunuh orang.”

“Woi! Itu Kak Ersya jalan-jalan di koridor bawah.”

Teriakan itu seketika mengalihkan perhatian ketiganya ke luar kelas. Derap-derap langkah
yang mulai mendekat membuat Nadira cemas.
“Tidak untuk saat ini, Kak. Please jangan datang ke sini,” batin Nadira cemas. Tak lama ia
menghela napas kala menyadari segerombolan orang itu masuk ke kelas sebelah.

“Jika ketahuan aku kakakmu. Maka, fotomu yang jelek tanpa efek itu akan aku sebar. Ingat!”
Ucapan ini terngiang-ngiang di benaknya. Lantas, ia menuju ke mejanya. Tanpa
memedulikan Kedua lekaki yang menatap lekat punggungnya.

“Tenang. Jangan dipikirin.” Tak ingin berpikir panjang. Gadis itu memilih membaca novel
karya diri sendiri yang berjudul Misteri Gadis di Balik Topeng. Suatu kebanggan yang
memuaskan. Meski novel ini tak terkenal dan tak banyak laku, ia tetap menyayanginya.

Tak jadi membaca novel Nadira membuka IG dan banyak sekali DM. Andai mereka tau
fotonya di sana hanya efek semata pasti mereka kecewa. Apalagi kini di SMA mereka telah
mengenal dan tahu wajah Nadira lewat IG tanpa melihat wajah asli. Karena itu mereka
memanggil ‘Adira’ sesuai nama IG ‘Adira_Lia17’.

Dengan manik cokelatnya ia melirik DM ada pesan dari Alex.

[Gimana? Ketemu Alvin?]

[Hm,] balasnya.

[Suka?]

Nadira berdesis. “Apa yang aku kagumi dari orang seperti dia, sih? Suka? Suka apanya lelaki
itu menyerang batinku.”

Malas berbalas pesan dengan Alex terlebih dahulu, hati Nadira terlanjur kecewa karena
berharap lelaki itu akan menemuinya. Siapa suruh berharap? Dasar!

“Aih. Berharap menjadi cantik kembali saja susah, ini berharap lelaki yang aku kagumi
menemuiku pun susah.”

[Aku mampir ke kelasmu, ya? Siap-siap melihat bidadari.]

Kembali lagi Nadira berdesis membaca DM dari Ersya, lalu memalingkan wajahnya. Gadis itu
terkejut kala mendapati kedua lelaki itu masih dia di tempat dengan mata yang tak berhenti
menatapnya.
“Kalau aku gak pakai masker apa kalian akan menatapku seperti itu juga?” batin Nadira
sembari berdiri dan menghampiri kedua lelaki itu. “Jika Alvin tak pergi ia akan jelas
memerhatikan liontin kami,” ucapnya dalam hati.

“Kenapa kalian tak pergi?” tanyanya.

“Akhirnya lo membuka suara lagi. Kenapa? Gak boleh? Lagian ini mantan kelas gue. Suka-
suka gue dong mau masuk atau kagak. Gak ada urusan ama lo,” jawab Alvin panjang kali
lebar dilengkapi wajah yang membuat siapa saja kesal terlebih Nadira ia berulang kali
menghela napas gusar.

“OMG, cantik banget.”

“Aaa. Jadikan aku adikmu.”

“Jadikan aku pacarmu.”

Suasana di depan kelas Nadira seketika riuh ketika Ersya mulai hendak memasuki kelas
keberadaan Nadira. Azka yang sedari tadi hanya menjadi nyamuk mengepal tangannya erat.

“Alvin, pergi!”

“Gue bakalan pergi kalau udah ngeliat wajah lo dulu.”

“Hah?”

***
Part 4 Ditolong lelaki Buaya

Menjadi gadis yang bijak harus dimanfaatkan di saat keadaan setegang ini Nadira harus
memutar otak.

“Kalau kamu gak mau pergi, biar aku yang pergi!”

Gadis itu berpikir ada kemungkinan kecil Alvin akan mengejarnya, meski ia tak begitu yakin
ia berlari keluar. Ia baru menyadari untuk apa lelaki itu mengejarnya? Dia tak begitu
istimewa

Percuma kembali lagi, dia sudah cukup jauh dari kelasnya gadis itu pun duduk di anak
tangga. Menopang dagunya dengan kedua tangan. Terlalu banyak rahasia yang harus
berusaha ia tutupi. Terlalu banyak masa lalu yang membuatnya trauma. Hidupnya seakan
penuh beban.

“Salah satu melupakan beban yang bermanfaat adalah dengan bekerja. Mungkin di sini ada
lowongan pekerjaan paruh waktu. Selain bisa mengalihkan perhatian dari beban pikiran juga
bisa menghasilkan duit yang bisa buat beli skincare.”

Setelah mengucapkan kata itu Nadira mengangguk pelan. Sekarang dirinya hanya berfokus
pada diri sendiri, tak peduli bisikan-bisikan yang mengatainya, serta pandangan-pandangan
sinis.

Nadira lebih nyaman berbicara, berpikir, dan tertawa sendiri. “Yang bisa dipercaya di dunia
ini hanya diri sendiri. Maka, cintai diri sendiri dan hargai diri sendiri. Jika bukan diri sendiri
siapa lagi?”

***

“Aneh. Kenapa dia begitu panik?” batin Alvin sembari menatap lekat punggung Azka yang
berlari keluar bersamaan pula Ersya dan teman-temannya memasuki kelas ini. Alvin
memandang lekat Ersya yang membuat gadis itu salah tingkah. Gadis itu mengira Alvin
begitu tertarik padanya kala lelaki itu mulai mendekat.

Sontak teriakan menggema.

“Wah! Kalian cocok banget!” teriak salah satu gadis berhasil membuat Ersya malu-malu.
“Kenal Nadira, gak?” tanya Alvin. Mendapat pertanyaan yang tak diharapkannya Ersya
menggigit bibirnya geram.

“Gak kenal,” jawabnya berkilah disambut senyuman oleh Alvin.

***

Tak beberapa lama kesendiriannya diisi oleh dua orang gadis yang duduk di sampingnya.
Gadis dingin itu berpikir itu adalah Alvin, tapi ternyata Starla dan ....

“Nanad?” panggil Starla. Nadira tak menyahut ia menatap lama gadis di samping Starla, jiwa
Insecure-nya bangkit ada perasaan iri ketika melihat gadis itu. “Ini Rosa, si amoy yang aku
bilang,” terang Starla yang membuyarkan tatapan Nadira. Rosa menyenggol lengan gadis itu
pelan. Nadira mengangguk paham.

“Untuk kenal lebih lanjut. Kita bisa hangout nanti. Mau ikut, gak?” ajak Starla lagi.

Dalam pikiran Nadira jangankan untuk berjalan bersama untuk mengobrol pun ia merasa tak
nyaman.

“Hangout?”

Baru saja yakin tak akan mengingat masa lalu. Kata-kata itu membangkitkan kenangan,
bukan kenangan indah melainkan kenangan pahit.

Setahun yang lalu ....

Suara tertawa menggelikan bergema ke penjuru ruangan. Suara itu berasal dari gadis cantik
dengan kulit putih dan bibir merah merona yang tengah duduk di atas meja.

“Ih, gelay, deh!” cecar Erysa, lalu terbahak-bahak. Gadis itu dikelilingi dengan dua orang
temannya yang wajah tak kalah cantik dan menarik.

“Dia asik dengan dunianya sendiri,” ucap Nadira lesu sembari memegang wajah yang terasa
kasar. “Aku iri, wajah mereka begitu mulus,” keluhnya, kemudian melepaskan kacamata.

“Eh, jelek, mau lo pake kacamata kek gak pake kek, tetep aja lo jelek?! Ups!” Gadis yang
bernama Gelecia Saputri itu tampak senang setelah mengucapkan kata-kata yang begitu
menancap ke hati Nadira. Teman-temannya pun ikut terbahak terkecuali satu orang. Gadis
jelek sekarang adalah Nadira. Gadis yang dulunya dipuji-puji dan diagung-agungkan oleh
banyak orang. Namun, nyatanya saat masuk hendak memasuki SMA perlahan kecantikan
wajah luntur, pembuly-an terhadapnya pun tak bisa dielakkan. Tak menghiraukan, ia
mengambil ponsel yang berada di bawah meja, dinyalakan dan langsung saja membuka
aplikasi berwarna merah muda.

“Tapi, kalo ditambah efek ig, cantik,” pujinya. Baginya memuji diri sendiri itu bagus, bisa
menyehatkan pikiran, mental, juga hati. Dia masih bisa bertahan karena dirinya baru
merasakan bully-an dan dicampakkan selama dua minggu. Dirinya yakin perlahan semua
akan berlalu.

“Eh, hari ini kita hangout kuy,” ajak seorang gadis tak lain Vanessa Angela.

“Hangout? Ikut dong,” pinta Nadira spontan. Sontak saja ia langsung dilirik sinis oleh ketiga
wanita tersebut.

“Emang, lu cantik? Kalau gak cantik gak bisa gabung sama kami, loh,” cecar Gelecia.

“Ya, ya, Gelecia, lu jangan gitu, dong ... Nadira mau ikut kita? Mau? Mau?” tanya Vanessa
sembari menaik turunkan alisnya.

“Gak usah ikut, deh. Nanti nama geng kita kecoreng karena ada cewek jelek yang masuk ke
geng kita!” Gadis yang tadi terdiam membuka suara.

Mendengar ucapan itu mata Nadira berkaca-kaca. Ia menatap tak percaya pada orang yang
berbicara tersebut. Dada amat sesak, perkataan itu sangat menyakitkan. “Kakak ... sampai
kapan kamu gak ngakuin aku sebagai adik kamu? Sampai kapan kamu kek gini?” Batin amat
merintih.

Perubahan wajah dari Ersya begitu membuat diri Nadira terpuruk. Pasalnya mereka tak
sama-sama cantik, tetapi kecantikan layaknya tertukar. Bukan kecantikan saja. Namun, juga
nasib. Perubahan wajah Ersya juga mengubah semua sikapnya. Kini, seorang Kakak yang
teramat ia sayangi menjadi sangat menyeramkan.

“Mau gak?” Seketika bayangan pun buyar. Refleks gadis yang tersadarkan dari lamunannya
itu menggeleng. Ia tak berniat keluar dari kesendiriannya dan bahkan tak berniat memiliki
teman.

“Lah, kenapa?” tanya gadis periang tersebut.


“Udah, jangan dipaksa.” Rosa berbisik yang membuat Starla langsung mengangguk dan
mengalihkan pertanyaan. “Aih. Kamu, kok, pake masker? Nutupin cantik kamu gitu? Padahal
jelas-jelas di IG cantik paripurna.”

“Kalau aku cantik untuk apa juga nutupin pakai masker! Lebih baik pamer! Karena jeleklah
aku menutupi wajah ini,” batin Nadira sembari menghela napas. Kesal!

“Gak, kok. Aku Cuma agak flu gitu. Jadi, takut nular,” jawabnya.

Tanpa mereka sadari seorang lelaki mendengar pembicaraan mereka.

***

Hari ini kelas dimulai. Setelah semalam hanya memberi pengumuman dan peraturan juga
beradaptasi. Hari ini kelas dimulai juga perkenalan.

“Hai. Anak-anak perkenalkan saya, Bu Mela yang menjadi wali kelas kalian. Anggap saya
sebagai teman kalian agar tidak ada canggung di antara kita. Namun, tidak boleh kurang
hajar, ya, meski berteman,” sapa Bu Mela. “Mari perkenakan diri kalian!” lanjutnya.

Akhirnya perkenalan dimulai sesuai absen. “Absen pertama, Azka Alfahri. Maju ke depan
perkenalkan diri.” Azka? Nadira tak menyangka bahwa dia satu kelas dengan lelaki buaya
tersebut. Lelaki yang disebutkan nama itu pun berjalan ke depan.

“Huwaa. Ganteng!”

Langsung saja setelah Azka berada di depan dengan gayanya yang sok cool, telinga Nadira
diserang dengan suara teriakan siswi di kelas. Gadis itu seakan hendak menutup telinganya.

“Huwaa. Mas kulin. Gamtengnya!”

“Huwaa!”

“Sudah, anak-anak tenang!” tegas wanita berhijab tersebut yang berhasil membuat seisi
kelas diam.

“Perkenalkan, saya Azka Alfahri,” ucap Azka.


“Dia murid yang tinggal kelas, loh. Jadi, jangan liat dari tampangnya saja, ya,” sambung Buk
Mela. Hal itu seketika membuat Azka menatap sinis ke arah wanita yang memakai kacamata
tersebut.

“Tinggal kelas? Aneh, tapi nyata. Dari tampangnya aku merasa dia lelaki yang pintar dan tak
seperti yang dikatakan oleh Alvin,” ucap Nadira pelan.

“Ternyata salah. Dari sini aku belajar, Buk, jangan menilai lelaki dari tampangnya, tapi
menilailah laki-laki dari isi dompetnya. Eh!” Teriak seorang gadis berhasil membuat seisi
kelas tertawa.

Tatapan Azka berubah datar bersamaan dengan meredanya tawa, wajahnya seakan tersirat
sesuatu. Lelaki berbadan tinggi itu memiliki daya tarik yang tinggi, lihat saja seisi kelas
sampai di luar kelas histeris menatapnya.

“Nadiralia Atmaja!” panggil Bu Mela. Seketika mengejutkan Nadira.

Dia pun maju. Seluruh mata memandangnya lekat. Dia sedikit tertekan, dadanya terasa
terpacu dan mulai sakit.

“Kambuh, lagi,” batinnya sembari berusaha mengatur napas yang tak beraturan.

“Maaf, ya, ini semalam Ibu kurang fokus, Ibu kira nama kamu Adiralia Atmaja, eh ternyata
ada N-nya. Makanya kamu ke urutan ke dua absen.”

Nadira pun mengangguk paham. Sungguh membingungkan. Dengan menghela napas


panjang akhirnya ia membuka suara. “Hai.” Melambai tangan sejenak. “Perkenalkan aku
Nadiralia Atmaja, asal Bandung.”

“Dah, gitu aja?” tanya wanita berkacamata di sampingnya disambut anggukan oleh gadis
yang berdiri mematung.

“Oh, iya. Nadira, buka dong maskernya biar temen-temen liat wajahmu!” suruh Bu Mela.
Mendengar suruhan itu, tentu saja membuat Nadira terpelengak.

“Buka!”

“Buka!”
Sorak-sorai membuat tertekan. Ia tak sanggup harus menampakkan wajahnya. Ia tak mau
masa-masa itu terulang lagi. Sorakan tersebut seakan menyudutkan dirinya. Pandangan di
depan Nadira seakan berubah di pikirannya menjadi kejadian di masa lalunya.

Saat itu di kelas X MIPA.

“Oke. Semua dah kumpul. Mari mainkan yel-yel kita, terlebih dahulu!” Teriak seorang lelaki
yang berada di depan bersama segerombolan teman-temannya.

“1... 2 ... 3 ...!”

“Na, Na, Na, Nadira jelek. Wajahnya beruntusan .... Giginya kuning matanya lebar itulah
Na-di-ra jelek!”

“Na, Na, Na, Nadira jelek! Na, Na, Nadira jelek!”

Yel-yel tersebut diikuti dengan joget yang serempak dan tangan menunjuk-nunjuk ke arah
gadis yang duduk di pojok kiri. Mereka tukang buly, sekarang semakin menjadi-jadi
mematahkan mental seseorang. Kalimat tersebut terus berputar-putar di telinga. Seakan
yel-yel itu menampar kenyataan.

“Jelek?” batin Nadira sembari mengedarkan pandangan. Ia baru sadar ada seorang gadis
yang tidak ikut mengejek dirinya yang malang ini. Gadis tersebut memilih duduk dan
bermain HP. “Setidaknya, ada Fira di kelas ini yang tak mengejekku.”

Setelah membayangkan hal itu Nadira memejamkan mata sejenak, lalu mengedarkan
pandangan, hanya satu yang tidak menyorakinya. Lelaki itu terdiam dan terus menatapnya
tajam. Dia sama seperti gadis yang dulu tak ikut mengejek Nadira. Namun, nyatanya ....
Huh! Nadira seakan tak ingin mempercayai dan berharap pada seseorang. Dari gadis itu ia
belajar, jangan berharap berlebihan itu menyakitkan.

Pak!

“Berhenti!”

Suara hentakan meja diikuti dengan bentakan tersebut berhasil membuat seisi kelas kaget
dan langsung bungkam.
Azka yang kini berdiri pun menjadi pusat perhatian. “Dia sakit, Buk. Lebih baik jangan
dibuka, nanti nular,” ucapnya datar sedatar jalanan. Setelah itu dia kembali duduk.

Bu Mela melirik Nadira sejenak, lalu menghela napas panjang. “Ya, udah. Silahkan duduk!”

Gadis yang tengah menuju mejanya itu menghela napas lega. Azka yang melihat Nadira
terlihat lega. Teringat ucapan para gadis semalam pada Nadira yang sempat ia dengar dan
perhatikan.

“Aih. Kamu, kok, pake masker? Nutupin cantik kamu gitu? Padahal jelas-jelas di IG cantik
paripurna,” tanya seorang gadis berkulit sawo matang. Pertanyaan yang menuju pada
Nadira membuatnya sedikit tertarik untuk mendengarkan.

“Gak, kok. Aku Cuma agak flu gitu. Jadi, takut nular,” jawab Nadira. Seakan Nadira
menjawab pertanyaannya Azka manggut-manggut.

Setelah mengingat itu Azka berusaha bersikap senetral mungkin. Ada manfaatnya dia
mengikuti gadis itu semalam. Nadira yang duduk di samping Azka melirik pada lelaki itu, ia
memiliki pandangan lain pada lelaki yang duduk menempel di dinding tersebut. Setelah
mengingat tentang kertas semalam, Nadira memalingkan wajahnya. Meski ia merasa ada
sisi baik dari lelaki itu, tetapi kesan pertama saat berjumpa jelas-jelas berbeda.

**
Part 5 Beban dan Beban

[Nadira sampai ketemu.]

Pesan dari Alex membuat Nadira mengangkat alisnya. Dirinya tak paham apa yang dimaksud
oleh lelaki itu. Seketika menambah beban pikiran.

[Eh.]

Setelah membalas pesan singkat dari Alex yang tak kalah singkat, gadis yang berada di bus
memasukkan HP ke dalam tas yang berada di atas pahanya, lalu melempar pandangan ke
luar.

“Aku harus kerja! Kerja! Kerja! Buat beli skincare itu. Aku gak kuat kalau harus sembunyi di
balik masker ini,” ucap Nadira penuh penekanan. “Tapi, mana ada yang mau nerima aku
kerja. Argh,” gerutunya.

“Satu paket harganya hampir 1 juta. Pakainya harus teratur. Kalau aku habisnya dua bulan,
berarti dua bulan sekali harus beli. Argh!” Nadira semakin kalut, ia menggaruk kepala yang
tak gatal membuat rambut berantakan. Para penumpang meliriknya sinis. Mengira bahwa
gadis itu setres atau sedang putus cinta.

“Cantik emang butuh modal,” ucapnya. “Anehnya, cowok kemaren bisa-bisanya ngasi
skincare itu. Orang kaya banget kayaknya dia.”

Tampak seorang lelaki dengan pakaian serba hitam memasuki bus. Lelaki itu celingak-
celinguk mencari tempat yang pas untuk ia duduki.Perlahan lelaki berkacamata tersebut
melirik ke arah Nadira yang sempat-sempatnya menanggalkan lensa kontak dengan rambut
yang amat berantakan.

Setelah gadis itu selesai menanggalkan kontak lensa, lelaki itu pun menghampiri dan duduk
di samping gadis yang tengah mengambil kacamatanya tersebut.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya lelaki bertopi tersebut, sembari menghadap ke depan.
“Bukan urusanmu,” ketus gadis itu sembari memasangkan kacamatanya.

“Maskermu kotor, aku punya masker yang baru saja aku beli, apa kamu mau?” tanya lelaki
tersebut yang berhasil membuat gadis di sampingnya mengernyitkan dahi.

Nadira menghela napas. Ia memandang lekaki yang juga memandangnya tersebut. Gadis itu
menggigit bibir. Kemudian beralih pandang pada tas yang berada di atas pahanya. Nadira
menggelengkan kepala. Seakan tahu apa maksud dari gadis di sampingnya, lelaki itu pun
kembali memasukkan masker ke saku celananya seraya berdesis.

“Gak ada yang merhatiin aku, kan?” tanya Nadira dalam hati sembari mengeluarkan masker
dalam tasnya.

Nadira pun melepas masker berwarna hitam miliknya, lalu memakai masker kain berwarna
cokelat. Pikirannya hanyut mengingat Azka yang menolongnya tadi. Ia bahkan tak sempat
berterima kasih.

Lelaki bermanik hitam legam tersebut melepas kacamata dan diam-diam memperhatikan
Nadira. Dia sontak terkejut kala Nadira menatapnya balik dengan tatapan yang membuat
jantung seakan berhenti berdetak.

“Dek, jaga jarak duduk di belakang,” ucap sopir bus. Hal itu membuat lelaki yang berada di
samping Nadira beralih duduk di belakang.

***

Plak!

Sebuah tamparan langsung mendarat ke pipi gadis yang baru saja melepaskan maskernya.
Seketika pipi gadis itu memerah legam dilengkapi kesakitan yang mendalam. Nadira
menatap orang yang menamparnya sembari memegang pipi kanannya. Mata dengan bulu
mata lentik tersebut langsung berkaca-kaca, melihat orang di hadapan yang berkacak
pinggang.

“Ada apa?” tanya Nadira dengan suara serak. Ia mengedarkan pandangan sekeliling ruang
tamu.

“Aish. Lo tau, nggak? Bisa-bisanya cowok yang gue suka pada pandangan pertama nanyain
lo.” Ersya menghela napas sembari menyela rambut dengan jari-jarinya. Nadira
mendekapkan tangannya.

“Alvin?” tanya Nadira pelan, nyaris tak terdengar.

“Heish! Lo tau? Gue liat lo tadi kayak orang cantik aja, sok jual mahal lagi! Udah mata rabun
muka jelek lagi! Gak pantes lo jadi adek gue!” caci Ersya. Seketika hal itu membuat dada
Nadira sesak. Amarahnya memuncak ketika mendengar perkataan itu.

Tak mau membalas Nadira pun pergi. Namun, gadis di belakangnya malah menendang
kakinya, alhasil ia tersungkur. Gadis berkacamata tersebut meringis kesakitan, kala menahan
sakit teramat di kakinya. Gadis yang berdiri tersebut hendak mendekati Nadira yang
tersungkur, tetapi kakinya tidak sengaja menendang lemari kecil, hingga membuat lemari
tersebut tumbang dan mengenai kaki Nadira. Gadis dengan kaki ditimpa lemari tersebut
meringis, kesakitannya seakan bertambah dua kali lipat.

“Is, ribet mang ribet. Lo itu seharusnya cepet bangun, kan, kena,” cecar Ersya dengan raut
wajah kesal. Tak sedikit pun tampak ada perasaan bersalah.

Nadira teramat letih menggerakkan kakinya, akhirnya ia memilih bergeming dengan


memejamkan mata. Semakin ia bergerak semakin kesakitan menimpanya.

**🙃

“Woi! Bangun!”

“Woi!”

Teriakan diikuti tangan menggoyangkan tubuh seorang gadis yang terbaring di kasurnya itu
bergema ke seluruh ruangan bernuansa cerah. Gadis yang digoyangkan tubuhnya tersebut,
perlahan membuka mata. Kabur-kabur pandangan hingga akhirnya menajam. Nadira
terkejut kala melihat kakaknya dan keberadaannya sekarang.
“Siapa yang bawa aku ke sini?” tanya Nadira sembari berselonjor.

“Mama, lah. Ya, kali aku,” jawab Ersya sembari mendekapkan tangannya. “Lagian lemah kali
lo, masa kena gitu aja pingsan.”

“Aku letih nahan sakit, tau! Lagian kamu gak nolong ngangkatin benda itu! Kalau kamu
nolong gak mungkin aku kek gini!” Suara Nadira naik beberapa oktaf.

Mata Ersya membola dengan dahi berkerut. “Ih, kok, lo nyalahin gue, sih!”

“Ya, memang kenyataan.”

“Bilang aja lo lemah!”

“Iya, aku lemah.”

“Nah, gitulah. Tunggu gue ngambil makanan lo. Ini suruhan Mama kalau enggak nanti ....”
ucap Ersya terputus. “Kalau enggak nanti Mama gak mau beliin aku skincare,” sambungnya
dalam hati, lalu tersenyum miring. Kemudian berjalan ke luar.

Setelah beberapa menit menunggu akhirnya Ersya datang dengan nampan yang di atasnya
piring berisi mie juga segelas air putih. Gadis itu meletakkan nampan di atas nakas, lalu
mengambil mangkuk berisi mie dan memberikannya pada Nadira. “Makan-makan!”Gadis
yang masih berselonjor itu langsung mengambil, lalu memakan mie goreng tersebut.

“Enak, tapi kayak ada yang beda, ya,” ucap Nadira, lalu melirik kakaknya yang mengangkat
bahu. Setelah memakan beberapa suap, gadis itu kembali meletakkan mangkuk ke nakas.

“Kok, gatal, ya?” Gadis itu menggaruk-garuk lengannya, juga wajahnya.

“Kak, ini dicampur udang? Atau kaldu udang?” tanya Nadira sembari terus menggaruk asal.

“Mana aku tau. Kan, yang buat Mama. Ih.”

“Beneran? Kak, aku alergi udang gak mungkin Mama sengaja masukinnya.” Seketika Nadira
panik. Wajahnya memerah dengan gatal yang semakin menjadi-jadi. Bukan hanya rasa gatal
yang akan menimpa dirinya saat ini. Ia akan menerima kenyataan wajah kembali berjerawat
setelah lama ia berharap jerawat kecil akan hilang.
“Mungkin Mama lupa kali. Kan, Mama gak begitu peduli ama kamu lebih tepatnya sangat-
sangat tidak peduli,” ucap Ersya sembari keluar.

Seraya menggaruk wajahnya. Gadis itu tersenyum. Meski perkataan Ersa tadi menyakitkan,
tetapi itu kenyataan. Setelah beberapa menit Nadira perlahan memperhatikan wajahnya di
cermin. Gadis itu cemberut dengan mata yang berkaca-kaca.

“Kan, jadi lebih parah,” lirih Nadira sembari memegang wajah yang memerah dan mulai
tampak benih-benih jerawat.

“Gak bisa cantik kalau kayak gini,” duganya, lalu menghela napas. Ia memutar bola mata
malas. Melihat kamarnya yang cerah bertolak belakang dengan hatinya sekarang.

Kakinya yang sakit menambah beban pikirannya tentang hari esok. Ia terus berselonjor di
kasur tak mampu ‘tuk bangkit. Nadira mengucap sumpah serapah tanpa henti, lagi dan lagi
ia menggaruk kepalanya frustrasi.

**
Part 6 Jatuh ditimpa Tangga

Seorang lelaki menatap bangku kosong di sampingnya, tanda-tanda kedatangan dari pemilik
bangku tersebut sama sekali tak ada.Azka kembali menoleh ke ambang pintu, di mana siswa
mulai masuk, di antara mereka tampak Alex dan Alvin yang mengedarkan pandangan.

“Di sini?” tanya Alex sembari melirik Alvin yang masih mengedarkan pandangan ke penjuru
kelas.

“Lo belum ketemu dia, kan? Ini suprise buat lo. Jadi, sabar dulu.” Alvin balik bertanya dan
beralih melirik lelaki di sampingnya yang menggunakan masker demi tak dikejar para gadis
dan tak dikenali.

Alex menghela napas, menatap intens manik temannya tersebut. “Gue udah ketemu dia.”
Mendengar pernyataan itu lelaki berjaket kulit tersebut menggeleng tak percaya. “Di
mana?” tanyanya memastikan.

“Di bus.

“Lo liat wajah dia? Kalau liat cantik, gak?”

“Cantik.”

Alex tersenyum setelah mengatakan hal itu. Dirinya teringat tatapan dari Nadira yang
seakan menghipnotisnya itu. Dia tersenyum. Alvin malas bertanya lagi meski rasa
penasarannya membuncah tinggi.

‘Padahal jelas-jelas dia lari pas gue mau liat wajah dia,’ batin lelaki itu, lalu mengajak Alex
menuju seorang lelaki yang menatap mereka dari tadi. Azka tersenyum kecut kala
menyadarkan lelaki yang menggunakan masker dan lelaki berjaket berwarna cokelat hendak
menghampirinya.

“Nadira belum masuk?” tanya Alvin setelah mendekat.

“Belum.”
Mata Alvin membulat sempurna. Mereka bertiga saling pandangan. Kemudian, diakhiri
dengan desisan dari Alex.

“Udah, nanya ‘kan?” tanya Azka.

Alvin hanya menjawab dengan dehaman, lalu ia berjalan hendak keluar diikuti Alex. Langkah
kedua lelaki itu berhenti seketika ketika berpas-pasan dengan Ersya tepat di ambang pintu.

“Lo tau, kan di mana Nadira?” tanya Alvin mendadak membuat jantung Ersya langsung
berpacu. Gadis itu menelan ludahnya berat.

‘Dia tau, kah?’ batinnya dengan mata yang terbelalak. Berapa detik kemudian gadis
bersoflen tersebut berusaha bersikap senetral mungkin, dirinya tak boleh panik. “Nadira aja
aku gak kenal , gimana mau tau dia di mana.” Ersya membekap tangannya dengan bola
mata yang memutar malas.

Di dalam kelas Azka mengedarkan pandangan. Matanya terpaku ketika melihat seorang
gadis yang tengah memakai bedak padat. Sekujur tubuhnya bergetar. Tawa dari gadis yang
memakai bedak tersebut mengingatkannya pada ibunya.

“Salah aku. Itu salah aku.”

Kepalanya terasa berat. Jantung berdetak hebat, darah memompa cepat. Seketika tubuh tak
mampu dikendalikan, Azka memalingkan wajahnya cepat, lalu berlari ke luar kelas.

Bruk!

Azka terhuyung sejenak. Matanya terbelalak menyadari orang yang ditabraknya Alex dan
Alvin. Namun, ia berusaha tak acuh dan kembali berlari.

***

Nadira menyikap gorden, lalu membuka jendela. Matanya memerah. Keadaan kakinya mulai
membaik meski ia harus memutuskan tak sekolah selama tiga hari. Tadi pagi baru saja
hendak memulai hari seperti semalam, dia ditimpa rasa sakit di kakinya yang teramat,
membuatnya harus istirahat penuh.
“Kayaknya hari ini harus beli obat ama itu, deh. Kaki juga bisa jalan,” gumam Nadira, ia
perlahan mendekat ke arah nakas yang berada di samping kasurnya, lalu mengambil
celengan ayamnya.

“Maafkan aku.

Prank!

“Nadira kenapa kamu gak sekolah selama tiga hari? Kakak kamu bilang ke Mama,” tanya
Maryana yang tiba-tiba datang-datang.

Wanita itu melirik serpihan tabung ayam milik Gadis yang tertegun tersebut. Sedetik
kemudian Nadira berdecak, tangannya mengepal geram kala mendapati tatajam tajam dari
Maryana yang.

“Ma, apa semuanya Mama tau dari Kakak tentang aku? Mama bahkan gak tau aku ke
sekolah atau tidak,” tanya Nadira berusaha tangguh. Entah kenapa setiap berlawanan bicara
dengan ibunya matanya tak berhenti berkaca-kaca.

‘Bahkan Mama gak tau aku makan atau enggak. Aku makan pun harus tertatih-tatih ke
dapur untung dapur dekat dengan kamarku. Aku bahkan makan lauk sisa kalian,’ sambung
Nadira dalam hati. Dia tak mampu mengatakan yang sebenarnya, seakan ucapan itu
tercekat di tenggorokan.

“Kamu ini, memang Mama punya waktu buat ngurusin kamu, ha?! Untung ada Ersya yang
mantau kamu,” balas wanita berusia kepala empat itu sembari berkacak pinggang. “Kamu
denger, ya. Kamu besok harus sekolah. Kamu harus dapat juara satu. Ingat! Kalau kamu gak
dapat juara kamu tau apa yang akan dilakukan Papa kamu?”

Nadira terpaku. Matanya mulai memerah. Dadanya seakan memanas. Dia seperti hanya ada
di dunia ini, tetapi tak pernah dilihat.

“Satu lagi, kamu jangan ngabisin uang jajan demi beli skincare, gak guna!”

Gadis itu semakin tertekan kala jari telunjuk ibunya menunjuk tepat di wajahnya. Gadis itu
mengadah agar air mata tak luruh, dia tak mau dilihat lemah oleh ibunya.

‘Ya, aku paham dunia ini tak pernah berpihak padaku.’


Wanita paruh baya itu keluar dan membanting pintu. Nadira terduduk lesu. Air mata yang ia
tahan menetes seketika membasahi pipi. Dia menggigit bibirnya, dadanya teramat sesak.
‘Kenapa aku selalu dikucilkan? Kenapa? Aku terus berjuang sendiri. Setidaknya jika tak
peduli jangan lontarkan kata-kata yang menyakitkan. Kalian tidak tahu seberat apa hal yang
bagi kalian sepele bagiku.”

**

Setelah dari Apotek untuk membeli obat alerginya. Nadira pergi menuju mall. Hanya uang
merah lima lembar yang gadis itu pegang di tangan kanannya saat ini. Gadis yang
mengenakan hoodie, celana pensil, dan masker serba berwarna hitam itu memutar badan
melihat kemewahan mall tersebut. Kepala yang ditutupi oleh penutup kepala hoodie itu
menggeleng pelan.

“Beli gak, ya?” batinnya bertanya. Banyak pertimbangan yang harus ia putuskan saat ini
juga. Hatinya masih tak yakin untuk membeli skincare semenjak kejadian dua bulan yang
lalu, di mana idolanya meninggal dunia disebabkan skincare

Nadira mengambil ponsel yang berada di saku celananya. Lalu membuka aplikasi berwarna
biru.

[Penulis kita Bunda Wina meninggal akibat infeksi di wajahnya yang disebabkan oleh
skincare abal-abal.]

“Berita ini naik lagi?” tanya Nadira. Pasalnya sudah dua bulan persoalan berita ini. Namun,
tak kunjung padam.

Gadis itu pun berjalan hendak menuju tangga eskalator sambil melirik HP dan yang ia
temukan banyak sekali artikel tentang skincare abal-abal. Hal itu membuat dirinya ragu
untuk membeli skincare.
Lagi dan lagi dia melihat komenan di artikel persoalan Bu Wina.

[Wah bisa gitu, ya!]

[Kasihan anak-anaknya.]

[Merek apa, sih, skincare-nya?]

[Duh!]

[Itu bukan hanya sekedar krim abal-abal, ada orang dalam di baliknya.]

Satu komenan dari akun bernama ‘Triple_A_203’ menarik perhatiannya. Ia pun hanya
tersenyum miris. Baru saja hendak melangkah lagi, kaki Nadira tiba-tiba kaku.

Dia terduduk di lantai HP dan uang terlepas di tangannya. Perlahan gadis itu menggapai HP-
nya.

Tiba-tiba seseorang melempar tas berwarna hitam ke gadis yang terduduk tersebut, lalu
mengambil uang yang bersepah di lantai.

“Uangku!” teriak Nadira berusaha menggapai. Namun, tak kuasa kakinya benar-benar sakit.
Mendadak empat orang lelaki berbadan kekar menghampiri Nadira sembari berucap. “Nah,
ini pencurinya!”

“Aku bukan pencuri!” tegas Nadira tanpa menoleh ke belakang. Ia sudah menyadari
kejadian apa yang menimpanya ini. Sudah jatuh ditimpa tangga.

Keempat lelaki itu tak mendengar penjelasan Nadira. Mereka langsung menendang
punggung gadis tersebut tanpa ampun. Bahkan memijak kaki Nadira.

Suasana mall yang sepi, membuat tak ada yang bisa menolong gadis malang ini.

Nadira memanfaatkan waktu untuk mengetik sesuatu di ponselnya hingga akhirnya ia


terbaring lunglai. Keempat pria tadi semakin menginjaknya, salah satu pria tersebut bahkan
memukul wajah Nadira membuat gadis itu pingsan seketika.

“Eh! Kenapa kalian menginjaknya,” teriak wanita paruh baya berpakaian modis yang
menghampiri keempat pria itu. Sontak keempat pria itu menghentikan perlakuan kejamnya.

“Dia perempuan. Astaga!”

“Dia perempuan? Kami tidak tau Nyonya, tapi dia yang mencuri tas Nyonya,” jawab salah
satu dari pria itu dengan kepala setengah menunduk.

Mata wanita paruh baya tersebut beralih pandang pada ponsel Nadira yang berada di lantai
dengan keadaan masih menyala. Perlahan wanita itu mencondongkan tubuhnya dan
mengambil ponsel tersebut dan kembali berdiri tegak.
“Aku bukan pencuri, tolong percaya aku. Aku ke sini untuk berbelanja, tapi kakiku sakit
membuatku terjatuh. Tiba-tiba seseorang melemparku tas hitam itu. Bahkan, uang lima
ratus ribu yang aku tabung selama berbulan-bulan diambilnya. Jika kau tak percaya lihatlah
catatanku lainnya.”

Setelah membaca hal tersebut. Wanita itu pun melihat catatan Nadira yang lainnya.

“23 Juli 14.00

Hari ini aku ke mall untuk membeli itu dengan uang lima ratus ribu. Hm. Kakiku agak sakit,
tapi gapapa. Mwehehe.”

Setelah membaca itu. Wanita tersebut menghela napas. Ia percaya pada Nadira yang
tergeletak. “Ini pukul sebelum aku dicopet,” ucapnya.

“Angkat dia! Dan bawa masuk ke mobil!” perintah wanita tersebut.

“Nyonya, jalan untuk ke rumah sakit macet dan untuk ke rumah pun begitu,” ucap pria yang
menyetir.

“Putar balik ke rumah A’a!” perintah wanita itu lagi sembari memandang Nadira yang
terbaring di pahanya.

***
Seorang lelaki bermain di depan komputer. Dia mencari-cari artikel tentang kematian Bu
Wina, lalu mengomentari dengan kata yang sama.

Triple_A_203

[Itu bukan hanya sekedar krim abal-abal, ada orang dalam di baliknya.]

Komen Alvin dengan akun bernama Triple_A_203. Dia menghela napas, lalu menyandarkan
diri pada sandaran kursi.
Part 7 Nadira sayang Nadira Malang

Terdengar lenguhan dari sebuah kamar tempat keberadaan Nadira yang berada di pangkuan
wanita berbusana biru tua. Gadis yang terbaring dengan wajah memar itu menoleh ke
kanan-kiri.

Ia membuka mata memandang lurus. Berulang kali mengedipkan mata, berharap


penglihatan gandanya hilang. Seketika pandangan menajam, meski kepala terasa berat gadis
itu segera mengubah posisinya menjadi duduk sembari memegang kepalanya.

“Kamu jangan banyak bergerak,” pesan wanita paruh baya tersebut yang berhasil membuat
Nadira kaget. Gadis mandiri itu segera berdiri, tetapi kembali terhentak di kasur karena
tubuhnya yang seakan remuk tak mampu berdiri kembali.

Dia terdiam sembari mengedarkan pandangan. Memandang kamar yang begitu besar, dua
kali lipat dari besar kamarnya. Kemudian, melirik wanita yang duduk di sampingnya.

“Ini di mana? Kamu siapa?” tanyanya sembari memegang tengkuk.

“Maafkan anak buah saya. Ini semua salah saya. Saya akan membalasnya. Perkenalkan saya
Clemira Al Fahri, panggin Tante Cle, aja, ya.” Bukannya menjawab wanita bernama Clemira
itu malah memohon maaf dan memperkenalkan dirinya.
Nadira termenung. ‘Tak ada jalan lagi. Aku tak bisa pergi. Tubuhku seakan remuk,’ batinnya
setelah itu menghela napas gusar.

“Wa—jahmu,” gagap Clemira seraya hendak memegang wajah Nadira.

“Kenapa jelek?” tanya Nadira tak senang disambut dengan gelengan kepala dari wanita
berambut pendek tersebut. “Ini di mana?”

“Ini di rumah anak tiri saya. Dia lagi les matematika sepertinya. Kamu menginaplah dulu di
sini.”

Mendengar jawaban tersebut Nadira mencebik. Dia tak mungkin bisa begitu percaya pada
orang di sampingnya ini. Bagaimana jika dirinya dijual?

“Oke. Mana HP aku? Masker aku?”

Clemira memberi ponsel gadis tersebut yang berada di atas nakas bersama masker. Ia
tersenyum kecil.

‘Awas aja macam-macam, bakalan aku telepon polisi,’ batin Nadira lagi. “Tante ini cantik
banget, aku jadi makin insecure.”

“Uang kamu tadi dicopet, kan? Ini saya ganti.” Clemira mengambil sejumlah uang yang
berada di dompetnya lalu menyodorkan ke arah gadis yang masih berpikir tersebut.
Nadira tersenyum miring. “Ga usah. Aku gak suka bergantung.”

Mendengar tolakan halus dari Nadira, Clemira tersenyum dan kembali memasukkan
uangnya ke tempat semula. “Oke. Tante pergi dulu, kamu bisa beristirahat,” pamitnya,
setelah mendapat anggukan dari Nadira, ia pun pergi meninggalkan ruangan tersebut.

Nadira bersandar pada sandaran kasur, kembali dirinya menggaruk kepala gusar sembari
mengerang dan mengucap sumpah serapah. Kemudian, gadis yang frustrasi itu
menenggelamkan dirinya di dalam selimut.

Di luar ruangan Clemira berpas-pasan dengan seorang lelaki yang mengenakam jaket
berwarna hitam juga celana kain abu-abu . Wanita paruh baya tersebut bergeming
memandang lekat manik wajah anak tirinya.

“A—zka,” ucapnya gelapan.

“Kenapa ada di sini? Udah aku bilang aku gak suka liat wajah Tante!” tegas Azka dengan
tatapan nyalangnya.

Meski sakit hati karena terus-menerus dipanggil ‘Tante’ oleh anak tirinya sendiri, wanita itu
tetap bersikap lemah lembut.

“Maafin Mama, tapi tadi ada anak yang dipukul ama anak buah Mama karena salah sangka.
Karena macet di bawa ke sini,” jawab Clemira sembari menunduk.
Azka menggertakkan giginya. Malas sekali ia mendengar suara dari wanita di depannya ini.
“Cewek cowok?” tanyanya.

“Cewek.”

Lelaki itu terkejut sejenak, lalu menghela napas sembari menyela rambut berwarna hitam
legamnya dengan jari-jari tangan. Lantas ia meninggalkan wanita yang menatapnya sendu
menuju ke kamarnya yang tepat berada di samping kamar tempat keberadaan Nadira.

‘Aku salah pilih kamar ini. Masa bersebelahan,’ batin Clemira, lalu melirik empat anak
buahnya yang berdiri dari tadi.

“Kalian harus bertanggung-jawab pijitin anak itu!”

Setelah mendengar perkataan bos-nya keempat pria berbadan kekar itu mengekori Clemira
yang menuju kamar Nadira kembali.

“Mau apa kalian?” tanya Nadira yang berselonjor.

“Mereka mau pijitin kaki kamu. Jangan khawatir mereka ini tukang pijit handal, loh,” jawab
Clemira.

***
“Azka kamu udah makan malam?” tanya Clemira pada Azka yang duduk di sofa, sedangkan
dirinya berada di dapur yang tak jauh dari keberadaan Azka.

Azka enggan menjawab dengan sepatah kata. Dia hanya fokus pada buku bacaannya.

“Kapan Tante pulang?” tanya Azka mengalihkan pertanyaan.

“Nunggu anak buah Mama selesai mijitin cewek itu.”

“Kayaknya udah deh,” sarkas Azka yang menyadari bahwa keempat lelaki tadi sudah keluar
dari kamar Nadira.

“Kalau begitu, nanti kamu anterin makanan ini ke cewek itu, yah. Dia gak bisa jalan kakinya
sakit, besok pagi Mama kembali,” balas Clemira, lalu cepat-cepat melepas celemeknya dan
meletakkan di atas meja. Kemudian berlari ke luar rumah tanpa ada persetujuan dari Azka.

“Ma, aku gak pulang hari ini. A—ku nginep rumah temen,” ujar Nadira dengan tangan yang
menempelkan ponsel di daun telinganya.

“Terserah kamu, deh, tapi Mama gak nanggung kalau kamu dimarah abis-abisan ama Papa
kamu.” Setelah mengucapkan hal itu orang di balik telepon tersebut langsung memutuskan
sambungan teleponnya.

Nadira menghela napas. Pandangan mata buram kala buliran bening menampung di
matanya. Gadis itu menyeka air matanya. Ia tak mau menangis dan menangis. Sudah cukup,
ia membuang air mata demi menangisi orang yang tak peduli padanya.
“Asam lambungku naik.” Gadis itu meletakkan ponselnya di atas nakas, lalu memegang
perutnya. Tiba-tiba ketukkan pintu mengagetkan.

“Ma—suk,” balasnya. Pintu terbuka menampakkan seorang lelaki berbadan tinggi


berkisaran 170 Cm. Seketika Nadira menutupi setengah wajahnya dengan selimut setelah
menyadari siapa lelaki itu.

‘A—zka?’ batinnya.

Pandangan lelaki yang memegang nampan berisi makanan juga minuman itu penuh
menyelidik. Dia perlahan mendekat ke arah Nadira, lalu meletakkan nampan di atas nakas.

Sejenak menatap Nadira lekat. Membuat jantung gadis itu berdegup kencang. Nyawanya
seakan di ujung tanduk. Mata Azka memicing, ia membuka mulutnya seperti hendak
berbicara membuat Nadira menunggu.

Namun, lelaki itu kembali mengatup rapat mulut bersamaan dengan Nadira yang
mengembuskan napas kasar.

Kemudian, pergi tanpa mengucapkan sepatah kata dan meninggalkan gadis dengan rambut
tergerai sedada itu.

“Argh!” teriak Nadira kesal hingga terdengar oleh Azka yang baru saja hendak memegang
kenop pintu kamarnya.
“Gadis gila!” umpatnya, lalu membuka pintu.

Nadira memandang jam dinding yang menunjukkan pukul 05.45. Gadis dengan rambut
berantakan tersebut mengucek matanya, lalu menyibak selimut.

Gadis itu mencoba menggerakan kakinya. Mata Nadira terbelalak. “Gak sakit lagi,” lirihnya
pelan, lantas berdiri.

Setelah mencuci wajah di kamar mandi dan mengelapnya Nadira memakai masker, lalu ke
luar dari kamar mandi sembari menutup kepalanya dengan penutup hoodie, segera
mengambil ponselnya yang berada di atas nakas, lantas keluar.

Nadira memutar badannya. Gadis itu tercengang melihat rumah megah tersebut.

“A--,” gagap Nadira ketika menabrak tubuh kekar. Dia mendongak, mata keduanya saling
bertatapan. Ada rasa familier di hati lelaki yang mengenakan piama tersebut.

“Na—dira,” celetuk Azka sontak Nadira berbalik badan membelakangi lelaki itu.

“Bu—kan. Aku harus pulang. Bisa buka pintunya?” jawab Nadira langsung mengalihkan
pembicaraan.

“Gaje!”
Part 8 Pertama Kali Bagimu dan Pertama Kali Bagiku

Nadira mondar-mandir di depan pintu rumahnya. Gadis itu menggaruk kepalanya. Dia
dilanda rasa bingung. Bingung cara membuka pintu di hadapan.

Gadis yang berulang kali menghela napas tersebut menoleh ke belakang. Ia merasa ada
seseorang yang memandangnya. “Gak mungkin Azka ngikutin aku, kan? Lagian, aku minta
turunin separuh jalan.”

Nadira berhenti mondar-mandir. Ia tersenyum miring sembari mendekat ke arah pot bunga
yang berderet rapi. Kemudian gadis itu mengeruk tanah tersebut dan akhirnya ia
mendapatkan sebuah benda berbahan besi.

“Untung Kakak buat kunci duplikat, biar kalau dia balik malam gak ketahuan,” batin Nadira,
lantas membuka pintu dan masuk. Dia celingak-celinguk, setelah itu segera berjalan dengan
berjinjit menuju kamarnya.

“Ersya, nih. Mama udah siapin roti buat kamu.” Wanita paruh baya yang berada di meja
makan menyodorkan piring berisi roti pada gadis di depannya.
“Heish, Nadira Mama lupa rotinya abis. Kamu sarapan di sekolah aja, ya,” papar Maryana.
Meski sakit Nadira tetap tersenyum dan mengangguk pelan, gadis itu melirik kakaknya yang
tersenyum smirk.

“Ma, Papa mana?” tanya gadis itu.

“Gak pulang,” jawab Maryana lalu menyantap rotinya.

Suara dering telepon yang berada di atas meja mengagetkan seorang gadis yang termangu
di mejanya. Nadira berdesis, setelah itu mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan
benda pipih itu di daun telinganya.

“Di mana, lo?!” Baru saja menjawab ia sudah disambut dengan suara penuh amarah yang
menusuk telinganya.

“Di kelas,” jawab Nadira.

“Balik sekolah nanti jangan naik bus sekolah! Ikut gue pake mobil,” tegas orang di telepon
sana yang tak lain Ersya.

Telinga yang menempel dengan telepon seakan memanas. “Hm.” Dengan segera Nadira
memutuskan sambungan dan meletakkan kembali benda pipih itu ke tempatnya semula
dengan kesal. ‘Malam semalam papa gak pulang. Huh, untung, deh, gak dimarahin.’
Tiba-tiba pikiran gadis itu terjatuh pada Azka yang belum menampakkan diri. Nadira
mengetuk meja dengan jari telunjuknya sembari menatap lekat ke arah pintu.

Tampaklah seorang lelaki yang memasuki kelas tersebut. Seketika Nadira berdiri, lantas
berjalan menghampiri Azka.

“Azka?” panggil Nadira dengan nada bertanya. Sang empu pemilik nama pun berhenti tepat
di depannya.

“Makasih soal ta ... kemarin,” ucap Nadira gelagapan, setelah itu mengembuskan napasnya.

“Sama-sama,” balas lelaki berkulit kuning langsat itu.

Setelah mendapat balasan gadis bermasker cokelat itu hendak meninggalkan Azka menuju
ke luar kelas. Namun, tangan kiri kekar milik Azka menahannya, lantas tangan kiri lelaki itu
menanggalkan ikatan rambut Nadira membuat rambut lurus gadis itu terurai.

“Damage-nya, ‘kan maen,” ucap Alvin yang berada di ambang pintu.

“Kamu!” Dengan sekuat tenaga Nadira menepis tangan tersebut. “Jangan pegang-pegang!”
ketusnya. Kemudian berlari keluar, Alvin yang memanggilnya pun tak ia gubris, bahkan tak
dilirknya sama sekali.

“Nanad akhirnya kamu kembali!” teriak Starla dan sama tak digubris seperti Alvin.
“Kenapa aku jelek? Kenapa?!” Teriakan bergema ke penjuru kamar mandi. Sangat
menyedihkan. Gadis yang melihat wajahnya sendiri di cermin seakan takut dan dirundung
kesedihan.

Berulang kali Nadira mengatur napas karena rasanya sesak sangat sesak mengingat masa
lalu yang begitu mengerikan.

Gadis yang tidak lagi memakai masker itu memperhatikan wajahnya. Wajah yang hampir
dipenuhi dengan jerawat dan beruntusan.

“Pokoknya pengen skincare yang dikasi cowok itu!”

Gadis itu pun teringat saat seorang lelaki memberinya skincare tiba-tiba dua bulan yang lalu.

“Keluar! Mbak, bilangin pacaranya, Mbak jangan buat masalah di sini!” tegas seorang
satpam.

Nadira tak peduli lagi. Mood-nya hancur sehancur-hancurnya gara-gara lelaki yang sekarang
berada di sampingnya.

Nadira melangkah hendak meninggalkan lelaki yang dikira pacarnya, mendadak tangan
ditarik oleh lelaki itu, sehingga gadis berhodie tersebut terhuyung. Untung saja sebuah
tangan kekar menangkapnya.
Mata saling bersitatap. Ada debaran yang datang tiba-tiba. Namun, hal itu berakhir ketika
Nadira melepas pandangan dan kembali berdiri tegak. Lelaki yang mengenakan hoodie,
masker, dan celana lenjing serta kepala yang ditutupi oleh penutup kepala hoodie-nya itu
menatapnya.

“Jangan ke sini,” ucap lelaki yang mengenakan pakaian serba hitam tersebut, tetapi
ditanggapi gelengan oleh Nadira.

“Jangan ke sini dan jangan membeli skincare bermerek C**a.”

“Stop!” tegas Nadira. Namun, tiba-tiba lelaki itu memberi sebuah kantong plastik berwarna
hitam. Ia pun terkejut, lantas lelaki itu berlari meninggalkannya.

“Skincare?”

“Ngapain, lo di situ?!” teriak seseorang di luar ruangan yang membuyarkan bayangan dan
spontan membuat Nadira memakai masker kembali.

Ia pun ke luar kamar mandi dan celingak-celinguk memastikan apakah ada orang yang
melihatnya tadi.

“Udah, gue bilang jangan deket-deket dia!” Suara itu terdengar samar-samar saat Nadira
mulai keluar.

Di dalam sana tampak dua lelaki yang saling bersitatap. Lelaki yang satunya hanya terdiam
dengan ekspresi datar, sedangkan lawan bicaranya penuh dengan amarah.
“Gue minta lo lakuin hal kemarin pagi, lo pikir buat apa? Itu buat dia benci ama lo dan gak
deket ama lo. Lo tau, ‘kan? Kakak lo gak suka kalau cewek yang dekat denganya dekat ama
lo?!”

Hanya tatapan datar yang bisa Azka lemparkan pada Alvin. Tak sedikit pun ada niat untuk
membuka suara. Baginya semakin ia bersuara, lelaki berhidung mancung ini akan terus
mengonggong-gong.

“Ingat lo pembunuh!?” ucap Alvin pelan dengan tatapan menghunus. “Dan, lo gak pantas
dapetin cewek. Jika gadis itu tau lo pembunuh mungkin dia akan takut dan menjauh,”
lanjutnya. Alvin mendekapkan tangannya. “Ingat! Segera menjauh sebelum dibawa arus
perasaan!”

“Karena sebuah rasa bersalah, aku rela mengalah,” balas lelaki itu dengan suara beratnya.

Lelaki itu teringat kejadian kemarin yang di mana telah diatur oleh Alex dan Alvin.

Azka melempar pandangan ke ambang pintu, tampak seorang lelaki yang menutupi
wajahnya menggunakan buku mendekat ke arahnya.

Lelaki itu mendekat, lalu memberikan kertas yang sudah diremuk dari sakunya ke Azka.

“Azka, lempar ini ke gadis pake masker hitam, berliontin ungu, dan rambut dikucir jika ia
masuk ke sini, setelah gue keluar!” titah Alvin pada Azka yang tengah bersandar di papan
tulis. Dia pun mengangguk dan mengambil remukan kertas tersebut dan semakin
meremukkannya. Apapun akibatnya, lelaki bertubuh tinggi tersebut akan menurut jika yang
menyuruhnya Alvin dan Alex.

“Aw!” Sebuah suara membuyarkan bayangan Azka dan seketika mengalihkan perhatian
Alvin. Mereka berdua keluar dan mendapati Nadira yang terjatuh dan seorang lelaki yang
hendak menolong Nadira.

Alvin mendekap tangannya. “Alex.” Lelaki itu tertawa sejenak. “Wah, gak disangka kalian
ketemu di sini.”

Nadira melirik lelaki di sampingnya. Mata gadis itu terbelalak. ‘Alex?’ batinnya. Mendadak
jantung berdebar hebat kala lelaki itu berusaha membantu Nadira berdiri.

“A—ku bisa jalan, kok,” jelas Nadira lalu berusaha berdiri sendiri. Namun, ia kembali
terjatuh untung ada Alex yang menahannya.

Seketika ketiga lelaki itu panik dan hendak menahan Nadira agar tak terjatuh, tetapi sudah
didahului oleh Alex. Nadira hanya bisa pasrah. Entah kenapa kakinya selalu sakit tiba-tiba.

“Gue bantu ke UKS, aja, ya,” tawar Alex yang ditanggapi anggukan oleh Nadira. Lelaki itu
pun membantu Nadira untuk berjalan, diikuti Alvin dan Azka di belakangnya.

Mendadak histeris ketika mereka mulai berjalan di koridor. Para siswa yang melewati
koridor itu langsung tercengang. Mendapat pandangan yang tak mampu dijelaskan dari
orang-orang membuat Nadira menunduk.
“Siapa, sih, cewek itu? Beruntung banget. Bisa-bisanya tiga lelaki yang paling hits diembat
ama dia,” ujar seorang siswi.

“Sumpah gue iri!”

“Aaa! Beruntung banget itu cewek.”

“Secantik apa, sih, dia?”

“Kalian tau, kan, Alex jarang banget ke luar kelas, sekalinya keluar malah sama cewek. Potek
hatiku.”

Berbagai mulut membicarakan Nadira dan Alex. Mereka berpas-pasan dengan Ersya, tetapi
sama sekali tak mereka hiraukan membuat gadis itu kesal.

Para siswi berkerumun di depan pintu UKS. Bahkan ada yang sampai mengintip di balik
jendela. Nadira yang duduk di kursi menyelipkan rambutnya. Gadis itu memegang lututnya
sembari bersandar di sandaran kursi. Dirinya tak menghiraukan pertanyaan yang
Dilemparkan oleh tiga lelaki yang sekarang terduduk di kasur.

Nadira menatap para gadis yang hanya mampu melihat dari luar, mereka enggan
menerobos masuk karena perintah dari Alex.

Akhirnya Nadira sadar bahwa lelaki yang duduk di kasur di hapit Alvin dan Azka itu memiliki
pengaruh yang teramat besar. Tak seharusnya ia ditolong oleh Alex. Banyak pemikiran buruk
yang menyerang pikirannya.
“Kenapa kalian gak keluar?” tanya Nadira sembari menoleh ke arah Alex. Matanya menatap
tajam ketiga lelaki itu. Mereka terdiam, sembari menggaruk tengkuk.

“Woi! Lu tau gak si Alex itu baru kali ini bantuin cewek dan baru kali ini keluar setelah dua
bulan lalu! Dan seenaknya lo mau ngusir dia!” berang seorang siswi tiba-tiba. Hal itu
seketika membuat Nadira kesal, ia mengepal tangannya.

“Aku juga pertama kali dipegang kayak tadi. Itu memalukan,” ucap Nadira yang mampu
terdengar di telinga ketiga lelaki itu. Lelaki yang menolong Nadira itu menatap gadis yang
tertunduk itu lama. Lalu menyunggingkan sedikit senyuman.

“Astaga! Dia senyum dong,” teriak siswi histeris.

Gadis yang masih mengenakan masker itu mengulum senyumnya, ia tak menghiraukan
teriakan dari luar. Mata berkaca-kaca. Sentuhan tadi masih terasa jelas membuat Nadira
cemas. Mendadak dadanya sakit seperti banyak jarum yang menusuk dadanya, dengan
sesak napas yang ikut menyerang.

Nadira memegang dadanya sembari terus mengatur napas. Melihat keadaan Nadira, Alex,
Azka, dan Alvin berdiri serentak dan langsung mendekat ke arah gadis yang kesakitan itu.

“Kamu gak pa-pa?” tanya ketiganya serempak. Nadira hanya menggeleng sembari terus
menahan sakitnya.
“Ciwi-ciwi cantik, kalian pergi dulu, ya. Kalau mau liat Alex lagi kalian harus pergi,” papar
Alvin sembari berjalan ke depan pintu. Perlahan-lahan meski ragu para siswi itu pun pergi
seraya bercakap-cakap.

“Nanad kamu kenapa?”

Baru saja Alvin menghela napas lega tiba-tiba suara yang bersamaan dengan pemiliknya
menerobos masuk ke UKS membuat Alvin terkejut.

Starla dan Rosa mendekat ke Arah Nadira. “Kalian keluar, deh! Gak baik kayak gini!” titah
Starla sembari mendekat ke arah Nadira dan membuat Azka dan Alex mundur beberapa
langkah.

“Ya, gak bisalah, wong kita yang nolongin dia!” sungut Alvin.

Gadis yang berhasil menahan sakit itu menghela napas. Dia mengerjap. “Pergi!” titahnya.
Tak terpikirkan oleh gadis berambut hitam tergerai itu untuk berterima kasih ia sudah kalut
dalam emosi dan frustrasi.

Alex menepuk pundak Alvin pelan sebagai isyarat untuk menurut saja. Dengan terpaksa
Alvin pun menurut dan ikut keluar bersama Alex, sedangkan Azka sudah keluar terlebih
dahulu.

Ketika menyadari Alvin yang mengintip seketika ditatap tajam oleh gadis yang keadaan
hatinya memburuk itu, seketika lelaki di balik jendela itu salah tingkah, lantas pergi.
Kemudian, gadis bermanik cokelat itu melirik gadis yang memegang kotak makan dan Starla.
Dia hendak sendiri. Ingin sekali dirinya membuka suara dan menyampaikan isi hatinya.
Namun, melihat wajah Starla dan Rosa yang benar-benar mengkhawatirkannya, membuat
gadis itu harus terdiam. Dia tak bisa terus menyia-nyiakan kebaikan seseorang meskipun dia
tak yakin kebaikan itu tulus atau sekadar pura-pura semata.

“Nanad, kamu gerah, kan? Mau aku iket gak rambutnya?” tanya Starla sembari mengambil
ikat rambut di nakas, lalu mengambil sisir yang berada di laci.

Nadira terbelalak. Ia menyadari bahwa ikat rambutnya tadi jelas-jelas hilang entah ke mana
gara-gara ditarik oleh Azka, tetapi malah ada di sini. “Lah, kok?”

“Tadi Azka yang ngeletakin ikat rambut itu, kalau sisir itu biasanya cewek-cewek suka masuk
ke sini buat dandan,” papar gadis berkulit putih.

Tanpa mendapat persetujuan dari Nadira gadis berlesung pipi itu membelakangi Nadira dan
menyisir rambut lembut tersebut dengan sepenuh hati.

Gadis yang tak mampu berkata-kata itu pun hanya terdiam. Dia seakan merasa kehangatan
yang tak mampu dijelaskan. Bahkan, mendengar obrolan Rosa dan Starla dan sesekali
tertawa kecil menggoyahkan hatinya.

“Kamu bawa bekal?” tanya Starla pada gadis berkulit putih yang meletakkan kotak
makanannya ke atas nakas.
“Ah, iya. Tadi pagi aku gak sempet sarapan gara-gara rotinya abis, tapi Mama aku usahain
beli karena takut terlambat jadi Mama aku yang udah beli roti ini bilangnya dibawa ke
sekolah aja,” ucap Rosa.

“Mama aku kemarin gitu juga.”

Gadis bernama Rosalinda tersebut membuat Nadira iri dan seakan hendak mengatakan
‘jangan bercerita tentang keluarga karena itu membuatnya iri’, tetapi itu bukan hak Nadira.

“Apa aku mencoba menerima mereka?”


Part 9 Terjebak Lagi

Alex menatap layar gawainya. Foto gadis di galerinya itu terus ia pandangi. Ia tersenyum
kecil kala mengingat tatapan tajam Nadira. Mata itu seakan tak mampu ia lupakan, suara itu
seakan menjadi lagu kala dirinya kesepian. Dia mengerti perasaannya sekarang, tapi tak
mampu dijelaskan apalagi diungkapkan.

Hari ini pertama kali baginya menolong seseorang selain keluarganya. Menolong orang yang
begitu jutek dan dingin. Dirinya seakan hendak membuat gadis itu cerewet seperti gadis
yang lain karena jika dirinya dingin lalu gadis itu pun dingin, maka mereka akan membeku.

Lelaki itu melirik Alvin lelaki yang banyak bicara. Jika dipikir-pikir lelaki itu mampu membuat
Nadira tersenyum. Namun, hal itu membuat Alex takut. Mungkin saja Alvin nantinya
memiliki rasa terhadap Nadira. “Dasar!”

“Lex, gue gak yakin Nadira bisa suka ama kita kalau dia tau semua perbuatan kita terhadap
Azka,” ujar Alvin dengan mata yang terus memandang ke depan melihat jalan. Alex
memicingkan matanya mendengar ujaran Alvin.

“Kita?” tanya Alex. Alhasil membuat Alvin menggigit bibirnya. Lelaki itu mengucapkan
sumpah serapah dalam hatinya.
“Maksud gue ama lo.” “Lex, kayaknya Azka punya rasa ama itu cewek!” Lantas Alvin
mengalihkan pembicaraan, ia tak mampu menoleh pada lelaki berjaket kulit yang terus
menatap penuh selidik.

“Secepat itu?” tanya Alex. Ia memperhatikan Alvin yang mengangkat bahu menandakan
tidak tahu. “Kalau lo ada rasa juga?”

Pertanyaan itu membuat lelaki yang sedang menyengir putih itu salah tingkah sembari
mengernyitkan dahi.

“Heleh, lo kalik yang suka dia.”

Tidak ingin dituntut pertanyaan Alvin langsung menyerang balik Alex. Lelaki yang mematikan
ponsel dan meletakkan di saku jaket itu berdua berdesis pelan sembari menggeleng pelan.

“Gue emang suka,” jawab Alex santai, seketika membuat lidah Alvin kelu. Dia sudah tahu
dari awal, tetapi mendengar ini lagi entah kenapa hatinya tiba-tiba sakit.

Alvin mencoba tersenyum. “Apa gara-gara dia cantik?”

“Bukan. Lo kira gue cowok mandang fisikkah?”

“Ya, barangkali.”

“Turunin gue di taman nanti, gue mau ketemu ama Mama.”


Banyak makanan yang tampak menggoda di atas meja, meresahkan hati seorang gadis yang
duduk di kursi bersama kakaknya di restoran. Nadira mengedarkan pandangan memastikan
tak ada satu orang pun yang memperhatikannya. Setelah yakin gadis itu pun membuka
masker.

“Hari ini gue traktir,” kata Ersya.

Nadira terpelengak tak percaya. Perut yang berbunyi tak mampu berbohong bahwa dirinya
tak kelaparan. Gadis itu tak mampu menolak makanan pedas, asam, berminyak dan
berlemak membuat Nadira menelan ludahnya susah. Dia tertegun. Bakso seakan menggoda,
opor ayam seakan berkokok minta dimakan begitupun ayam krispi. Gadis itu berpikir kapan
lagi dia bisa makan gratis? Namun, semua ini tentu punya maksud tersembunyi.

Nadira tak menghiraukan kecurigaannya, ia pun langsung menyantap makanan tersebut. Dia
terlena akan keenakan yang sementara tersebut.

Ersya tak jadi menyantap makanan di depannya. ‘Huh, lo pikir gue bakalan diem aja liat lo
mepet-mepet ama tiga lelaki keren itu? Liat aja kalau gue udah berhasil ngancurin wajah lo
sehancur-hancurnya gue bakalan tunjukin ke dunia wajah lo yang sebenarnya dan gue tau
makanan ini bisa buat wajah gak sehat,’ batinnya sembari tersenyum licik

Setelah menghabiskan bakso yang teramat pedas. Tiba-tiba Nadira memegang perutnya.
Perut seakan disengat oleh banyak serangga sangat sakit. Keringat bercucuran dari pelipis
gadis itu.
“Udah tau berpenyakitan, tapi sok-sokan makan makanan ini,” kekeh Ersya sembari berdiri.
Ia menahan Nadira yang hendak berdiri dengan cara menekan bahu gadis tersebut.

Nadira mendongak. “Kak. Perut aku sakit,” ringisnya sembari terus memegang perut.
Kembali penyesalan melanda Nadira kala dirinya tak menanggapi perasaan buruknya tadi.
Bila ia menghiraukan pikirannya tadi mungkin dirinya takkan terjebak.

Ersya berdecak. “Gue gak peduli.”

Cepat-cepat gadis itu meminum air putih, lalu memakai maskernya. Ada perasaan yang tak
enak menghantui pikiran. Kejadian dua bulan yang lalu terulang kembali, bedanya kemarin
ia dijebak dengan makanan udang membuat dirinya gatal-gatal, tetapi sekarang dengan
makanan pedas yang membuat perutnya sakit.

“Wah, seru juga. Ersya kamu emang pinter. Ini anak kejebak dua kali, dong.” Tiba-tiba
terdengar suara seorang lelaki. Gadis yang berusaha menahan kesakitan itu menoleh ke asal
suara. Tampak dua lelaki yang saling merangkul. Mereka mendekat ke arah Ersya. Dua lelaki
bernama Dewa dan Raja itu memasang muka kasihan.

“Nasib, lo gini amat, deh. Masa lo percaya aja ama Ersya yang jelas bukan siapa-siapa lo,”
decak Dewa, sedangkan Raja berusaha membuka ponselnya yang mendadak eror tanpa
sebab.

Kedua gadis itu saling pandang. Bibir Nadira seakan hendak mengungkapkan kebenaran
siapa orang yang berada di belakangnya ini, tetapi gadis itu berusaha menahan.
“HP gue eror. Ais,” gerutu lelaki itu sembari menekan-nekan layar pipih tersebut. Seketika
Dewa merampas benda pipih berkamera tiga tersebut berharap jika dirinya yang menekan
benda itu akan kembali seperti semula. Akhirnya ponsel tersebut beralih tangan pada Ersya.

Nadira yang melihat itu semakin memiliki perasaan buruk. Bagaimanapun ia harus pergi dari
tempat ini. Ketiga orang itu berkutat dengan ponsel Raja, suasana lengah, lantas Nadira pun
kabur.

Meski perutnya semakin sakit kala harus berlari, ia tetap bertahan.

“Kabur lagi! Sial!” geram Dewa. “Gara-gara lo ni, Ja!” hardiknya lalu mendorong Raja.

Ersya berkacak pinggang seraya terus menghela napas. Ia mengucapkan sumpah serapah,
rencananya kembali gagal. Ketiga orang itu saling tatap, lalu menyunggingkan senyuman
smirk. Entah rencana apalagi yang akan mereka kerahkan untuk mengancam Nadira.

“Dok, selain sering sakit perut, mual, jantung saya juga tiba-tiba berdebar, bahkan hingga
menyebabkan sesak napas,” lontar Nadira yang duduk di brankar sembari memegang
perutnya.

“Kamu sepertinya terkena Gerd Anxiety. Kaum milenial sering mengalami ini.”

Anxiety merupakan kecemasan yang muncul akibat respons alami tubuh saat dihadapkan
dengan suatu masalah. Kaum milenial adalah golongan orang yang berisiko tinggi
mengalami anxiety, meski tak menutup kemungkinan untuk dialami oleh siapa saja.
Salah satu hal yang menyebabkan kaum milenial lebih rentan mengalami anxiety adalah
kesulitan, khawatir, galau, dan bingung untuk menentukan langkah dalam menentukan
masa depan. Kondisi ini sering disebut sebagai quarter life crisis.

“Seseorang yang mengalami GERD anxiety mulanya akan mengalami kecemasan terlebih
dahulu. Dari kecemasan itu, munculah komplikasi lain seperti GERD,” jelas Dokter Sara.

“Jadi, GERD anxiety adalah asam lambung yang naik akibat seseorang sedang mengalami
kecemasan. Pada dasarnya, masalah psikologis seperti stres dan cemas adalah faktor risiko
GERD itu sendiri,” sambungnya.

Nadira menggigit bibirnya. Jantungnya kembali berdebar dan sesak napas kembali muncur
ditambah perutnya semakin sakit.

“Kamu berbaringlah dulu, nanti saya tuliskan resep obat dan larangan makanan apa saja
yang gak boleh kamu makan.”

***#
Part 10 Kebenaran

Hari yang mendung selaras dengan hati Nadira sekarang. Gadis yang duduk di bangku taman
itu tak dapat menikmati indahnya bunga yang berwarna-warni. Keadaan taman tak selaras
dengan keadaan hatinya.

Mendadak hujan mengguyur deras. Orang-orang segera mencari tempat berteduh, adapula
yang memakai payung yang mereka bawa. Namun, tidak dengan Nadira, gadis itu
menggeraikan rambut sembari menunduk membiarkan rambut lurus itu basah keseluruhan.

Di saat inilah yang ia tunggu-tunggu, dapat berteriak dan menangis meluapkan isi hatinya
yang menderu dengan suara derasnya hujan.

“Kenapa aku sedih? Kenapa?! Aku gak tau kenapa aku sedih!” Nadira mendongak, seketika
masker kainnya basah. Gadis yang kembali tertunduk itu kebingungan dengan hatinya
sekarang yang tiba-tiba sedih.

“Aku sedih gara-gara penyakit? Kan, gak mungkin. Aku kuat, kok, nahan sakit ini.”

Nadira menggaruk asal kepalanya frustrasi. Tiba-tiba sebuah payung berwarna hitam hadir
menutupi kepala. Membuat gadis itu menghentikan hal yang ia lakukan.

Gadis berwajah pucat itu mendongak. Sepasang mata saling bersitatap. Jantung Nadira yang
hanya berdebar-debar karena penyakitnya, kini berdebar-debar karena menatap seorang
lelaki.
“Alex?” Lantas Nadira kembali menunduk.

“Gak takut sakit?” tanya lelaki yang memegang payung tersebut.

“Gak.”

Mendengar jawaban Nadira, Alex perlahan duduk di samping Nadira. Hal itu membuat
Nadira menoleh dan menggeser tempat duduknya. Lelaki itu tiba-tiba melempar payungnya
membuat dirinya seketika ikut diguyur hujan. Kembali Nadira terkejut.

“A--. Kamu bodoh?” tanya Nadira yang tiba-tiba kesal.

“Kalau gue bodoh, lu apa?” Alex kembali bertanya.

“Aku udah biasa.” Gadis yang mulai merasakan dirasuk dingin itu memeluk dirinya sendiri. Ia
berusaha menghentikan gertakan giginya.

“Gue juga,” balas lelaki itu. “Dasar!” Alex membuka jaket kulitnya lalu memakaikannya pada
Nadira. “Jaket ini tahan air.”

Nadira seakan merasakan kehangatan hati yang tak mampu ia jelaskan. Ia membeku
sembari terus menggenggam tangannya. Alex menatap gadis itu lama.
“Nad, kenapa lo beda ama yang di IG?” tanya lelaki itu ambigu. Nadira kebingungan apa
yang beda, wajahnya atau sikapnya? Gadis itu berdecak sudah pasti sikap. Ia sudah yakin
Alex tak pernah melihat wajahnya karena mereka baru bertemu hari ini. Namun, keyakinan
Nadira jelas-jelas salah.

“Maksudnya?” tanya Nadira.

“Sikap. Lo gak banyak bicara kayak cewek-cewek lainnya.”

“Diam itu emas,” ucap Nadira semakin mengeratkan genggaman di tangannya. Seketika Alex
memegang tangan gadis itu yang membuat Nadira spontan mendorong lelaki itu hingga
terjengkang sembari berteriak, “Jangan pegang-pegang!”

“Alex kamu kenapa?” Terdengar suara wanita paruh baya, sontak membuat Nadira berdiri
dan menoleh ke asal suara.

Tampak seorang wanita paruh baya berjalan mendekati Alex yang mencoba bangun. Gaya
wanita itu sangat modis, lengkap dengan hiasan make-up di wajah yang tak luntur walaupun
terkena percikan air hujan.

“Alex, gak pa-pa, Ma,” jawab Alex sembari menghadap ibunya.

Hujan mengguyur lebih deras. Nadira semakin kedinginan, ia pun merasa bersalah setelah
melihat kaos berwarna biru muda Alex yang basah dan kotor.
Gadis yang menunduk itu mensejajarkan tempat dengan lelaki yang memeluk dirinya sendiri
itu. Ia menegakkan kepala, sedetik kemudian mata dilengkapi bulu mata lentik itu
terbelalak.

“Tante ini, kan?”

“Anak ini, kan?”

Mereka saling berucap. Baru saja hendak mengatakan sesuatu, tiba-tiba sakit kepala
menyerang Nadira, membuat gadis itu sempoyongan.

Lelaki dengan bibir pucat yang melihat Nadira itu langsung waspada. Hingga akhirnya gadis
yang diserang pusing itu pingsan dan jatuh di pelukan Alex membuat Clemira seketika panik
dan mendekat ke arah mereka.

“Maaf, ini bukan kemauan gw,” lirih Alex sembari menggendong gadis itu susah payah.

“Duh, maskernya basah ini. Dilepas aja, ya?” tanya Clemira sembari memerhatikan gadis
dengan kepala di atas pahanya itu.

“Jangan, Ma!” tegas Alex yang berada di samping supir.

Lelaki itu perlahan mengenal diri Nadira yang tertutup dan pendiam tersebut. Lagipula ia tak
mau bila Nadira mengetahui kebenaran bahwa dirinya pernah melihat wajah gadis itu. Ia
takut.
Pemilik tubuh yang terbaring menggigil di dalam mobil itu membuka matanya dengan
kepala yang masih terasa berat. Gadis yang diselimuti beberapa jaket itu terkejut kala
menyadari dirinya yang berada di mobil.

Dia pun mengubah posisi menjadi duduk, lalu memastikan bahwa dirinya masih memakai
masker. Dia pun menghela napas setelah mengetahui dirinya masih mengenakan masker.

Alex gelagapan ia terus menggenggam tangannya, seraya mulut yang komat-kamit.

“Siapa yang bawa aku ke mobil ini?” tanya Nadira spontan sembari mengerkapkan matanya.

“Oh, itu A---“

“Amma,” potong Alex cengegesan sembari memberi kode yang tak dipahami oleh ibunya.
Setelah mencerna akhirnya Clemira memahaminya.

“Ya, Tante yang gendong kamu,” jawab Clemira cengegesan membuat Nadira yang
bersyukur tak dipegang lelaki dan Alex yang bersyukur tak ketahuan menghela napas
serentak.

“Makasih, Tan. Maaf ngeberatin,” ucap Nadira.

Karena gugup dan kelelahan lelaki berambut basah itu tertidur dan akhirnya tak ikut campur
dalam pembicaraan dua orang di belakangnya.
Nadira yang tak bisa merancang kata-kata memutuskan mengeluarkan apa yang ada
dipikirannya. “Tante udah banyak bantu aku, aku gak bisa Cuma ngomong makasih aja, aku
pengen balas budi, apa yang bisa aku lakuin?”

Clemira melirik Alex yang tertidur. “Sebelum jawab, Tante mau nanya dulu, kamu dekat
dengan Azka, Alex, Alvin?”

“Gak terlalu, sih.”

“Yang harus kamu lakuin, tolong satukan mereka seperti dulu kembali.”

“Apa?”

“Mereka dulu sahabat dekat, tetapi hancur gara-gara salah paham.”

Nadira yang baru tahu kebenaran tiga lelaki itu pun langsung tertarik. Namun, dirinya masih
bertanya kenapa dirinya tertarik.

“Berarti aku harus mengakhiri kesalahpahaman ini. Mereka salah paham apa?”

“Alex menduga bahwa ibunya Azka meninggal gara-gara skincare yang diberi Azka yang
menyebabkan infeksi di wajahnya dan depresi, tetapi Tante belum yakin atas itu.”
Tampak keraguan di wajah Clemira saat mengatakan itu. Nadira seperti deja vu dengan
kata-kata ‘meninggal gara-gara skincare,’ setelah diingat-ingat, akhirnya gadis itu pun
mengetahuinya.

“Ibunya Azka itu Bunda Wina?”

“Ya.”

Kebenaran kembali terbuka. Nadira berdesis kala mengetahui banyaknya misteri yang
disembunyikan oleh Azka.

“Aku janji bakal ngungkapin ini semua.”

Mendengar ucapan Nadira dilengkapi wajah yang teramat meyakinkan membuat hati
Clemira bergetar hebat. Nadira melirik ke luar jendela.

“Pak, berhenti di sini!” titahnya. Mobil tepat berhenti di depan supermarket. Tanpa sepatah
kata Nadira pun turun.

“Eh, aku tadi berjanji, ya?” Nadira terpaku. Ia menoleh pada mobil yang mulai berjalan
kembali. Pakaian yang lembab membuat gadis itu tak nyaman.

Cuaca yang mulai cerah menghangatkan hati Nadira meski pikirannya melayang-layang
tentang ucapan Clemira juga janjinya. Nadira selalu menepati janji, baginya janji adalah
hutang dan jika hutang tak dibayar, maka akan menghancurkan sesuatu.
Perlahan Nadira menuju ke minimarket. Dirinya berniat untuk membeli masker. Mata gadis
itu tertarik pada selembar kertas yang menempel di kaca minimarket.

“Ada lowongan kerja paruh waktu?”

Gadis itu pun segera masuk dan penuh niat untuk melamar kerja bukan untuk membeli
masker. Azka yang berbelanja langsung menutupi wajah kala melihat Nadira.---
Part 11 Bodyguard Nyata

Nadira berjalan dengan langkah gemulai sembari menunduk. Gadis dengan tinggi 165 itu
melirik ke atas yang terlihat ramai di mana keberadaan kakaknya juga Alex.

Gadis itu memberanikan diri ke luar kelas, tetapi tak tahu ke mana arah tujuannya. Dia
hanya berjalan sembari mengingat kejadian semalam.

“Kakak ke mana semalam, ya?”

Lagi dan lagi ia kalut dalam pertanyaan yang berkaitan dengan Alex juga kakaknya. Melihat
Nadira yang terlihat lesu, Alvin yang berada tak jauh dari Nadira pun berniat untuk
menghampiri.

“Nadira!” Seruan itu sontak mengangetkan Nadira juga membuat Alvin menghentikan
langkah ketika melihat Starla dan an Rosa mendekat ke arah Nadira. Lelaki itu pun
menggaruk tengkuknya.

“Ais,” desisnya, lalu memutar arah menjauh dari keberadaan gadis tersebut.
“Nad. Tau nggak?” tanya Starla pada Nadira.

“Nggak,” jawab Nadira singkat.

“Di atas sana, Kak Ersya berantem ama cowok,” kata Rosa.

Hal yang gadis itu katakan berhasil membuat Nadira terpelengak. Seketika gadis itu berlari
menuju keberadaan kakaknya. Lantas Rosa dan Starla mengejar gadis itu.

Ketika telah menginjak lantai atas, seketika berpasang-pasang mata melirik Nadira yang
berlari. Tatapan bermacam ragam. Tak mampu ‘tuk disiratkan.

Nadira berlari sekencengnya kala melihat tangan kelar hendak mendarat ke pipi kakaknya.

“Stop!”

Seketika tangan terhenti ketika mendengar sebuah suara. Sang empu yang berteriak
tersebut semakin mendekat. Ia menghela napas ketika melihat dua lelaki yang berkacak
pinggang.

Seketika teman-teman Ersya membawa gadis itu kembali ke kelas.

“Wah, banyak banget virus, ya!” ujar lelaki itu sembari menatap Nadira. Gadis itu sudah
tahu bahwa itu sindiran baginya.
Gadis itu tetap fokus pada lelaki bermanik hitam legam yang menatapnya. Dada Nadira
amat sakit, seakan ditusuk-tusuk, penyakitnya kambuh dalam keadaan seperti ini.

“Gadis jagoan buka, dong, maskernya,” pinta lelaki itu dengan senyuman menggoda.

“Gak,” ujar Nadira mencoba sedatar mungkin.

“Bukalah.” Masih dengan suara lembut.

“Gak.”

“Buka, dong.” Lelaki itu terlihat mulai emosi.

“Gak.”

“Bukak!” Suaranya naik beberapa oktaf dengan tatapan tajam.

“Gak!”

“Mau cara kekerasan atau buka sekarang!”

“Gak, dua-duanya!”
“Bebal banget, sih, jadi cewek! Secantik apa muka lo, kayak bidadari, kah? Sampe-sampe
gak mau dilihat.”

Lelaki yang tak Nadira kenali ini semakin menjadi-jadi. Bila gadis itu membuka sekarang
entah apa yang akan terjadi ke depannya. Hidupnya akan penuh dengan bully-an lagi, lalu ia
harus bertahan selama tiga tahun lagi?

Membayangkan itu saja rasanya sesak, apalagi benar-benar terjadi. Ia menunduk lesu. Tiba-
tiba sebuah tangan melepaskan maskernya tanpa aba-aba. Panik, gak? Panik, gak? Paniklah,
masa enggak!

Secepat mungkin ia menutupi wajah menggunakan tangan, sedangkan masker telah terjatuh
ke lantai. Jantung semakin berdebar hebat.

“Aneh, banget sumpah si Nadira,” ucap Reva pelan.

“Hu’um aneh. Segitunya dia,” balas Delia.

Tanpa Nadira sadari teman-temannya pun membicarakan dirinya.

“Wah, segitunya, ya.”

“Hampir aja keliatan.”


Samar-samar ia mendengar perkataan itu. Lelaki bertindik yang melepaskan masker Nadira
itu memicingkan matanya.

Nadira mengedarkan pandangan tampak seorang lelaki tinggi yang melewatinya. Azka.
Gadis itu berharap Azka menghentikan langkah untuk menolongnya. Namun, lelaki itu
malah berlalu begitu saja.

“Ngapain kalian?!”

Sebuah suara yang berasal dari belakang seketika mengalihkan perhatian semua orang.
Kesempatan inilah yang Nadira gunakan untuk mengambil masker dan langsung
memakainya. Akhirnya ia bisa menghela napas lega.

“Wah! Mau jadi preman?! Yakin? Baru juga masuk ke geng kita udah berani kayak gini,”
ucap seorang lelaki yang telah berhadapan pada lelaki bebal itu.

Dengan tangan yang dimasukkan ke saku dan senyuman miring Alvin berhasil membuat para
siswi yang ada di sekitar histeris.

“Huh, Alvin bodyguard yang nyata,” lirihnya.

“Kita Cuma bercanda aja, kok, Vin. Jangan serius gitu.” Setelah mendengar pernyataan dari
lelaki itu Alvin menoleh ke arah Nadira yang tengah mengatur napasnya.

“Bercandaannya lucu, nggak?” tanya Alvin. Gadis itu seketika menggeleng. Tentu saja itu
tidak, bercanda itu membuat orang tertawa bukan malah tertekan.
“Lucu, nggak?!” teriak Alvin, bertanya. Seketika para siswi menjawab. “Nggak!”

“Denger mereka? Lain kali kalau mau bercanda biar lucu belajar dulu sama, ya,” saran Alvin.
Sudut matanya melirik Nadira yang tampak masih syok.

“Ikut gue.” Alvin menarik tangan Nadira membuat gadis bermata lebar itu tersentak. Gadis
itu pun langsung mengikutinya. Sekilas Nadira memandangi orang yang telah ia anggap
teman tersebut. Mereka tampak menunduk kecuali Rosa.

“Gue bakalan lindungin lo, ingat!” tegas Alvin.

“Bisa-bisanya ke atas. Lo itu adik kelas, paham?! Tempatnya di sini bukan di sana!” Tangan
kekar milik Alvin menunjuk ke atas, lalu ke bawah. Tatapannya menghunus ke arah gadis
yang menatap seksama dirinya.

“Hm.” Deham Nadira tak terlalu memedulikan. Alvin menghela napas. “Jangan dingin, Nad.
Ingat janji.”

“Masker lo kotor kayaknya, gue beliin yang baru, ya,” ucap Alvin. Kemudian hendak pergi.
Namun, berhasil ditahan oleh Nadira.

“Tunggu,” ucap Nadira. Lelaki itu pun mendelik sembari berbalik badan.
“Pertama harus coba deketin Alvin karena dia yang di tengah-tengah lelaki itu,” batin Nadira
sembari mengambil sesuatu di saku seragamnya. Tampaklah dua gelang berwarna hitam.
Kemudian ia memberikan satu gelang berwarna hitam itu pada lelaki berambut sedikit
kecokelatan yang tampak kebingungan.

“Hadiah karena nolongin aku.”

Alvin terkekeh. Kemudian, ia memasangkan gelang itu, begitu pun Nadira. Mereka tampak
serasi mengenakan gelang tersebut.

“Lo juga?”

“Ya,”

‘Couple dong.’ Alvin menatap Nadira yang mengembuskan napas berat. “Ikhlas, gak, nih?”

“Ya.”

“Gak peduli ikhlas atau kagak yang penting dah dikasi. Kalau lo ngambil lagi buruk siku!
Nadira, lo kenapa bantuin Ersya? Biarin aja wajahnya ditampar. Gue muak liat wajah dia.”

Nadira bergeming kala mendapat pertanyaan itu. Ia diam seribu bahasa dan perlahan
menyembunyikan liontinnya. Alvin mengangguk pelan.

“Alvin boleh nanya?” tanya Nadira ragu.


“Apa?”

“Bunda Wina ibunya Azka, bener? Ibunya Azka bener-bener meninggal gara-gara skincare
atau hal lain? Kenapa persahabatan kalian bertiga hancur?” tanya Nadira. Mata berkaca-
kaca itu menatap mata Alvin yang memerah. Lelaki itu mengembuskan napas mendengar
deretan pertanyaan dari Nadira. Mulut lekaki tertutup rapat seakan tak ingin menjawab.

“Jawab!” tegas Nadira dengan suara seraknya. Mendadak ia emosional tanpa sebab.

“Ya, Bunda Wina ibunya Azka. D—ia meninggal ... ga—ra-ga—ra s—kincare,” jawab Alvin
terbata-bata.

Gadis itu mengadah, ia malas bertanya lagi. Sebenarnya dirinya tak mau ikut campur, tetapi
ia terjebak akan janjinya sendiri.

“Lo tau ini semua dari siapa?”

Mendengar pertanyaan Alvin, Nadira pula yang menutup rapat mulutnya. Gadis itu
bungkam tak mampu berkata-kata.

***

Alvin menatap lama langit-langit kelasnya. Lelaki itu terbayang akan pertanyaan Nadira,
meski ada satu pertanyaan yang tak ia jawab, ia merasa gelisah dan resah.
Kelas mulai sepi, hanya tinggal Alvin dan Alex. Dia berdiri kasar, lalu menyandangkan tas
berwarna hitam miliknya, membuat Alex yang sedang memainkan ponsel melirik padanya
sejenak. Alex pun ikut berdiri dan menyandangkan tas.

Kedua lelaki itu ke luar kelas. Langkah mereka terhenti kala berpas-pasan dengan Ersya yang
hendak menuju ke kelasnya. Gadis itu terpaku sembari menunduk sejenak, sedangkan Alvin
terus memperhatikan kalung liontin yang dipakai oleh gadis itu.

Lelaki itu mengambil ponselnya dan membuka kamera untuk memfotokan Ersya. Gadis yang
menyadari ia difoto pun kaget. Alex hanya bisa menyaksikan, ia juga tak tahu alasan lelaki
itu.

“Hei! Lo kenapa ambil foto gue tiba-tiba?! Suka ama gue?” tanya gadis berambut ikal
tersebut. Namun, tak Alvin gubris. Mereka melanjutkan langkah hingga sampai ke parkiran.

“Lex, kamu balik duluan, aja,” saran Alvin.

“Oke, gue balik dulu.” Lelaki itu langsung menaiki mobilnya, melirik penuh selidik sejenak
pada Alvin yang duduk di motor, lalu segera pergi, sedangkan Alvin ia menunggu Ersya.

Setelah melihat gadis itu mulai mendekat ia pun segera memasang helm. Lelaki itu pun
mengikuti mobil Ersya yang mulai berjalan.
Alvin menghentikan motornya tak jauh dari rumah Nadira. Lelaki itu pun berjalan kaki
menuju ke rumah Nadira. Rumah besar berwarna putih dan bertingkat dua tersebut terus ia
pandangi.

Keberadaannya sekarang agak jauh dari halaman rumah Nadira. Sehingga tak satu pun yang
melihatnya. Lelaki itu mengambil ponsel kala melihat Ersya dan Nadira berpas-pasan.

“Kak, Kakak kenapa, sih, suka banget ngejebak aku? Aku salah apa?” tanya Nadira.

“Lo banyak salah ama gue. Dan hal itu gak seberapa ama sakitnya hati gue.”

Alvin merekam semua percakapan dari kedua gadis itu.


Part 12 Jangan Percaya Laki-laki

“Kakak kamu bilang kamu kemarin gak pulang ke rumah. Ke mana kamu?!” tanya seorang
pria paruh baya pada anaknya yang sedang menunduk. Gadis yang baru hendak sarapan
menunjukkan senyumannya meski mata berkaca-kaca.

“Jawab! Malah senyum?!” gertak pria yang berkacak pinggang itu. Wanita dan anak
gadisnya hanya menonton Nadira yang dimarahi sembari menyantap makanan.

“Jangan berharap dan jangan percaya,” lirih Nadira.

Yana berulang kali berdecak. “Kenapa kamu mengadu?”

“Aku kemarim ngadunya, tapi dimarahin hari ini. Argh! Kenapa aku merasa bersalah?” lontar
Ersya.

“A—ku.” Nadira tak mampu menjawab pertanyaan ayahnya tadi. Ia merasa tertekan.
Jantungnya berdebar hebat membuatnya semakin tertekan.

Dia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Mengatakan ia pergi ke mall, kakinya sakit
ia terjatuh, dituduh mencopet, lalu digebukin dan akhirnya dibawa ke rumah seseorang dan
dirawat di sana. Jika mendengar mungkin ayahnya akan mengira itu hanya mengada-ngada
atau sekadar alasan saja.
“Jawab?! Kamu mau jadi kayak Mama kamu, ya? Mau jadi ja**ang?!” Helmi seketika
menampar pipi Nadira. Seketika pipi gadis itu memerah legam dilengkapi rasa sakit yang
meradang.

Maryana yang mendengar dirinya ikut dibawa-bawa teramat geram. Ia seakan hendak
memukul bahu bidang pria itu, sedangkan Ersya hanya menatap dan berulang kali menghela
napas.

“Mas, kamu juga gak pulang kemarin. Kamu juga ke mana?” sela Yana.

“Diam!” Helmi tak menjawab, membuat Yana berdecak dan pergi masuk ke kamarnya
dengan kesal, sedangkan suaminya kembali menginterogasi anaknya.

“Aku ke rumah temen, Pa buat tugas, tapi ketiduran dan takut juga kalau pulang malam,”
kilah Nadira.

“Kamu dengar, ya, kamu harus rajin-rajin belajar jangan kelayapan mulu. Papa pengan kamu
dapat juara satu. Awas saja kalau enggak!” tegas pria itu, lalu mendorong Nadira membuat
gadis itu terjengkang.

Seorang lelaki celingak-celinguk. Ia melihat ke dalam kelas memastikan tidak ada seorang
pun selain gadis yang duduk di tengah-tengah tersebut.

Lelaki yang mengenakan masker juga topi tersebut perlahan memasuki kelas itu dengan
tangan yang dimasukkan di saku depan jaketnya.
Mata terus waspada, melangkah pasti. Nadira yang sedang menulis mendengar derap
langkah pun langsung menegakkan kepala dan meletakkan penanya. Mereka berdua saling
tertegun saat sepasang mata saling bertemu.

“Siapa?” tanya Nadira kala lelaki itu mendekat. Lelaki itu tak menjawab. Ia duduk di samping
Nadira membuat gadis yang kebingungan itu menggeser duduknya.

Lelaki yang mengenakan topi itu menanggalkan topinya, lalu merapikan rambut hitam legam
tersebut.

“Alex.” Nadira yang memperhatikan seketika membuka suara, lantas lelaki itu menatap
Nadira.

“Apa? Lo kenal?” tanya Alex refleks. Dijawab dengan anggukan.

“Kok bisa?” tanya Alex lagi. Pasalnya ketika ia memakai masker tak satupun yang
mengenalinya. Namun, Nadira .... Gadis yang kebingungan dengan sikap Alex pun
menjawab, “Ya, bisa.”

“Kenapa pake masker?” tanya Nadira tiba-tiba.

“Baru kali ini lo nanya gini, kenapa penasaran?”


“Enggak.” Nadira langsung memalingkan wajahmu. Ia memegang kepala. “Astarla, Rosa
saran macam apa ini? Makanya aku gak suka.”

Nadira teringat pembicaraannya dengan Rosa dan Starla di UKS saat kakinya sakit.

“Kalian keren,” ucap Nadira yang disisir oleh Starla.

“Kerenan kamu,” papar Starla, sembari mengikat rambut Nadira. “Selesai.”

Setelah mengikat rambut gadis yang menunduk itu. Astarla duduk di kasur begitu pun Rosa.
Gadis bermata sipit dan berkulit putih itu menatap Nadira lama.

“Kalian keren karena bisa bergaul. Kalian keren karena bisa ngomong isi hati kalian. Kalian
keren karena bisa punya temen.” Gadis itu menghela napas.

“Tak selamanya kami mengatakan isi hati yang sebenarnya, terkadang isi hati yang tak berat
begitu ringan kami bicarakan, tetapi sebaliknya. Kamu gak bisa liat orang dari luar aja. Kamu
gak sendirian,” balas Rosa.

“Aku pengen bisa bergaul kayak kalian,” pinta Nadira seraya menatap penuh permohonan
pada kedua temannya.

“Aku kasi tips. Pertama kalau pas bicara terus kamu penasaran jangan dipendem tanya aja,
nanti bakal berlanjut terus,” saran Starla.
“Lagi?”

“Itu dulu, nanti aku bilang.”

Setelah mengingat hal itu Nadira menghela napas. Ia kembali menoleh ke Alex. Mendadak
gadis itu membeku, kala sepasang matanya bertemu dengan mata Alex yang sedari tadi
menatapnya. Jarak wajah mereka hanya beberapa sentimeter, hingga detak jantung pun
saling terdengar.

“Lo natap gue,” ucap lelaki yang tak memakai masker tersebut seraya tersenyum dan
memakaikan topinya pada Nadira. Hal itu langsung membuat Nadira melepaskan kontak
matanya dan memalingkan wajah.

Jantung gadis yang salah tingkah itu berdegup kencang. Sehingga terus berusaha
mengontrolnya.

“Gue pake masker gara-gara gak mau dilihat orang dan gak dikenali.” Alex menjawab
pertanyaan Nadira tadi.

Seketika Nadira senang. “Sama kayak aku.” Setelahnya gadis itu menggeleng. “Beda. Dia
nutupin gara-gara ganteng dan aku nutupin gara-gara jelek.”

“Oh. Boleh nanya lagi?”

“Silahkan.”
“Kenapa kamu sama A---“ Ucapan Nadira terpotong kala dering ponsel yang berada di atas
meja mengusiknya. Gadis itu mengambil ponsel dan membukanya. Ada pesan dari Alvin.

[Temuin gue di belakang sekolah. Rahasia lo ada di tangan gue.]

Setelah mendapat pesan itu. Nadira tak berpikir panjang. Ia langsung berlari ke luar kelas
meninggalkan Alex yang penuh sejuta penasaran atas pertanyaannya tadi.

Gadis itu terus berlari membuat ikat rambutnya terjatuh dan menggeraikan rambutnya
tanpa ia sadari. Pikirannya kalut.

Langkah gadis itu terhenti ketika mendengar sebuah teriakan di suatu kelas. Ia pun
mengintip. Tampak gadis tinggi yang sedang merengek di depan seorang lelaki.

“Kita beda Rosa. Kita beda! Agama kita beda. Kita beda,” tegas lelaki itu. Berkali-kali
menegaskan kata ‘beda’.

Nadira mematung memandang sepasang kekasih yang sedang berselisih tersebut. Gadis itu
bahkan lupa dengan Alvin yang sedang menunggunya.

“Kalau kamu tau kita beda kenapa kamu ngasih harapan cinta kalau kayak gini?” tanya Rosa
dengan mata yang memerah.
Sepasang mata mereka saling bertemu, saling menyiratkan keamarahan lewat mata yang
memerah. Meski Rosa berusaha untuk tegar, tetapi lelaki itu semakin melontarkan kata-kata
kenyataan yang menyakitkan.

Lelaki itu menggaruk tengkuk. “Rosa. Terima aja oke,” ungkapnya sembari memegang bahu
gadis yang berusaha tak menangis itu.

“Nggak! Aku nggak bisa! Aku gak mau putus,” tekad gadis itu sembari menepis kedua tangan
yang memegang bahunya. Ia menatap tajam lelaki itu. “Kenapa setelah aku jatuh cinta
terlalu dalam ama kamu, kenapa setelah aku terus mimpiin kamu, kenapa setelah aku
menghayal untuk memiliki kamu seutuhnya kamu ngucapin putus gitu aja. Kenapa!”

Kelas yang sepi itu bergema karena suara gadis dengan mata berembun tersebut.

“Kita putus. Maaf.” Setelah mengucapkan kata-kata lelaki itu pergi seraya menghela napas.

“Riki!” teriak Rosa. Ia luruh di lantai. Tangisnya pecah kala mengingat masa-masa indah satu
tahun yang lalu dan berakhir meninggalkan luka.

Lantas Nadira menghampiri gadis yang tersimpuh tersebut. Ia memeluknya penuh


kehangatan.

“Nadira?” lontar Rosa sembari menegakkan kepalanya. Gadis itu mengangguk, segera Rosa
menenggelamkan wajahnya di pelukan gadis itu.
“Kenapa? Kenapa lelaki di dunia ini suka ninggalin pas lagi sayang-sayangnya? Kenapa?!”
tanya gadis itu. “Nad, kamu jangan percaya ama lelaki. Lelaki itu pembohong!”

Nadira mengangguk paham. Ia mengusap rambut gadis itu. Starla perlahan menghampiri
kedua temannya. Ia ikut memeluk. Seakan satu yang tersakiti semua merasa.

“Kelas sepi, ya, pada ke kantin semua.”


Part 13 Triple A?

“Alvin!” teriak Nadira ketika sampai di belakang sekolah. Napasnya terengah-engah karena
berlari. Gadis itu memutar badan, mengedarkan pandangan mencari keberadaan lelaki yang
mengirimnya pesan tadi.

Gadis itu berkacak pinggang, lalu berdesis. “Telat.”

“Hei,” panggil seseorang dari belakang, sontak Nadira membalikkan badannya. Gadis itu
tertegun. Ia tak mampu berkata-kata kala melihat seorang lelaki yang menatapnya dengan
wajah datar.

Sepasang mata yang saling bertemu menyimpan isyarat yang berbeda. Nadira kebingungan
sebab yang datang bukan Alvin, tetapi Azka.

“Aku yang ngirim pesan ke kamu pake HP Alvin,” ucap Azka, lalu mendekat. ‘Topi itu, kan?’

Masa itu ....

“Ma, pilihin, dong topi yang bagus buat kita. Buat tanda persahabatan gitu,” pinta Azka yang
bersama dengan ibu juga kedua temannya. Mereka berada di pasar obral tempat yang
penuh dengan keramaian.

“Nah, ini bagus.” Wanita paruh baya itu memakaikan topi polos pada Azka, lalu Alex,
kemudian Alvin. Mereka saling tersenyum.
“Ya! Ini persahabatan kita!” ucap mereka serentak sembari melambungkan topi tersebut
layaknya pasca selesai sarjana.

Lelaki itu berdecak kala mengingat masa itu. Topi yang dipakai Nadira adalah topi Alex yang
sama dengannya juga Alvin. Topi tanda persahabatan mereka.

“Rahasia apa yang kamu bilang?” tanya Nadira spontan.

“Liontin ungu. Masker,” kekeh Azka. Dia mengucapkan hal itu refleks karena tertarik pada
benda tersebut.

‘Jangan-jangan?’ Nadira terdiam. “Kamu tau? Aku mohon jangan bilang siapa-siapa. Aku
bakalan turutin apa pun yang kamu mau.”

Gadis itu panik kala mengingat liontin ungu yang sama dengan kakaknya. Hanya satu kalimat
tersebut membuat Nadira bergetar hebat, bahkan tak memberi Azka membuka suara.

“Apa mau kamu?”

“Oke. Nanti aku kabarin.”

Lantas Azka langsung pergi. Ia mengacak rambutnya kesal. Menoleh sejenak pada Nadira
yang bergeming dengan tangan mengepal. Tatapan tajam gadis itu membuat jantung Azka
berdebar.
“Rahasia apa yang kamu tau tentang Nadira?” tanya Azka dengan tatapan menyelidik pada
Alvin.

Lelaki yang mengenakan kaos berwarna hitam itu memegang bahu Azka. Dia tersenyum
miring seraya menepuk bahu lelaki yang terdiam tersebut.

Kedua lelaki yang tengah berada di pinggir jalan itu saling bertatapan. Mereka berdua
melepas kontak mata dan Alvin melepas pegangan di bahu Azka beralih mendekap
tangannya.

“Gak ada urusan ama lo,” balas Alvin. Dia melirik ke minimarket tempat Alex berbelanja.

“Ada sangkut pautnya dengan liontin, ‘kan?” tanya Azka lagi. Lantas membuat mereka saling
bertatapan lagi.

Di tempat yang sama, tetapi jalan yang berbeda Nadira berjalan lunglai dengan setengah
menunduk. Seraya membawa tas selempang. Gadis itu bermain dengan tali tasnya.

Dia mengelus pipinya. Tamparan pagi tadi masih terasa jelas. Kemudian, gadis itu memukul
kepalanya kala teringat akan rahasia yang dipegang oleh Azka.

Bruk!
“Ma—af!” ucap Nadira kala ia menabrak seorang lelaki. Hal itu menarik perhatian Azka dan
Alvin. Mereka memperhatikan Nadira yang memungut barang lelaki yang ditabraknya dan
memasukan ke dalam plastik.

Lelaki yang ditabrak tersebut hanya bergeming. Nadira baru sadar bahwa dirinya sudah
berada tepat di depan minimarket tempatnya bekerja. Setelah memberi plastik tersebut
pada pemiliknya, sekilas lelaki itu memperhatikan gelang gadis yang hendak masuk itu.

Azka berlari hendak menuju minimarket, tetapi dirinya malah ditarik oleh Alvin. “Eh, mau ke
mana?”

Lelaki itu seketika menepis tangan dan menatap tajam Alvin, ia berdecak kala lelaki itu terus
menahannya, terlebih Alvin sekarang sudah menyadari bahwa Nadira berkerja di sana.

“Lex! Sini!” teriak Alvin sembari melambai. Lelaki yang dipanggil itu segera menuju
temannya.

“Lo tau? Nadira kerja di sini,” lontar Alvin. Kala Alex telah mendekat, Azka segera pergi. Alvin
tak menahan lelaki itu karena melihat arah tujuannya bukan ke minimarket.

“Yang tadi nabrak gue?” tanya Alex.

“Yoi.”

Mereka berdua pun pergi, seraya sekilas melirik ke minimarket. Keduanya saling tersenyum
smirk, mempunyai pikiran yang sama.
Alex melirik gelang yang melingkar di pergelangan Alvin. Benar-benar mirip dengan gelang
yang dipakai oleh Nadira, membuat lelaki itu menatap penuh curiga pada lelaki yang sedang
bersenandung tersebut.

Di dalam sana Nadira yang sudah berganti baju pun mulai berkerja. Dia mulai bekerja dari
pukul 15.00 sampai dengan 21.30 malam.

“Kamu gak capek pulang sekolah langsung kerja?” tanya seorang gadis yang berkerja di sif
pagi hingga sore yang masih menata barang-barang.

“Gak,” jawab Nadira yang ikut membantu Alena. Gadis itu tak percaya karena terus
mendengar beberapa kali Nadira menghela napas.

“Hm. Ada pelanggan, tuh, kamu balik ke kasir lagi,” suruh Alena.

Nadira pun bergegas kembali ke kasir. Ia menyambut para pembeli, lalu mengecek suhu
mereka setelah itu mempersilakan mereka untuk berbelanja.

Gadis itu duduk, menanti para pembeli tadi kembali untuk membayar.

Perhatiannya teralihkan pada seorang lelaki yang celingak-celinguk sembari memegang


kantong plastik berwarna hitam. Lelaki itu mendekat ke arah Nadira, membuat gadis itu
seketika berdiri.
“Nadira, ya?” tanyanya. Nadira mengangguk.

“Ini untuk kamu,” ucap lelaki itu seraya memberi kantong plastik tersebut. Tanpa sepatah
kata dari Nadira lelaki itu pergi sambil berlari kecil.

Lantas, Nadira membuka kantong plastik tersebut dan melihatnya. Ia terbelalak, seakan de
javu dengan benda yang ada di dalamnya.

“Skincare ini?”

Ya, skincare yang ingin sekali ia beli, tetapi tak memiliki uang yang cukup. Skincare yang
cocok dengan wajahnya dan mampu mengubah wajahnya.

Antara senang dan kebingungan tak mampu disiratkan. Mata gadis itu teralih pada surat
yang menyelip di skincare tersebut, ia pun mengambil dan membacanya.

“Perkenalan pertamamu terhadapku mungkin bagimu aku orang setres yang berteriak kala
itu dan tiba-tiba memberimu benda ini yang siapa sangka engkau butuhkan. Kita kembali
bertemu dan pandanganmu tentangku tetaplah sama.

Aku ingin mengubah pandanganmu tentangku. Aku juga ingin kita saling mengubah hidup
yang penuh beban, yang tak mampu kita ceritakan pada orang-orang.

Tertanda

Triple A. “
Setelah membaca itu Nadira tersenyum. Gadis dengan rambut diikat satu itu terkejut ketika
seseorang menyentuh pundaknya.

“Mbak, mau bayar,” ucap seorang wanita.

“Oh, iya.”

Alena memperhatikan Nadira yang sibuk menghitung. Ia mengambil buku yang ia selipkan di
sela barang-barang. Novel bersampul biru tersebut sering ia baca kala tidak ada pelanggan
dan kebosanan.

Setelah pembeli telah pergi. Gadis itu menghampiri Nadira dan memberi Novel tersebut.

“Ini novel yang aku baca kalau lagi bosan. Jaga baik-baik, ya. Nanti kalau baca diletakkin aja
di sela-sela barang di sana. Buku ini udah langka soalnya dilarang diedarkan lagi ama para
penulisnya,” ujar Alena.

“Makasih,” ucap Nadira. Alena pun pulang.

Gadis memperhatikan novel yang berjudul ‘Beauty’ dan ditulis oleh ‘Triple A’. Nadira
teringat akan nama ‘Triple A’. Dia sudah berulang kali melihat nama tersebut. Di sosial
media, di surat tadi, juga di novel ini.
Seketika Nadira langsung membuka novel tersebut ke halaman paling belakang di mana
letaknya biodata para penulis.

“Azka, Alvin, Alex. Jadi, mereka Triple A? Berarti salah satu dari mereka pernah liat wajah
aku dan salah satu dari mereka yang ngirimin ini?”

***#B4PerLovRinz

#31Mei

Judul: Triple A

Nama Penulis: Fitrah Imalia

Jumlah kata: 1200

Isi :

Nadira termenung. Ia sudah banyak berbuat salah pada ketiga lelaki itu. Mula mengumpat
Azka dalam hati, marah-marah pada Alvin pun menolak Alex hingga terjengkang.

Gadis itu kini terjebak dalam rasa bersalah. Banyak sekali kebaikan yang ketiga lelaki itu
berikan, tetapi tak satu pun yang dapat ia balas. Azka, Alvin, dan Alex mereka selalu ada kala
Nadira membutuhkan.

“Argh!” erang gadis yang duduk di kursi kasir tersebut sembari mengaruk rambutnya asal.
“Tenang aja, aku bakalan ngelakuin semuanya.”
Gadis dengan rambut berantakan itu melirik jam dinding yang tepat berada di atas pintu
masuk. Beberapa menit lagi dia harus pulang, tetapi penggantinya tak kunjung datang.

Mata Nadira yang kuyu mendadak melotot kala kedatangan pembeli yang tak ia sangka.
Gadis itu berdiri lantas terpaku ketika tiga orang gadis pun dua orang lelaki mendekat ke
arahnya.

Raja berdesis. “Wah. Ketemu di sini,” ucap lelaki itu.

“Siapa? Siapa dia?” tanya Gelecia, gadis dengan rambut pendek sebahu.

Mereka adalah Raja, Dewa, Gelecia, Vannesa, dan Fira. Nadira hanya menunduk ketika
orang-orang itu memicingkan mata melihatnya.

Setelah itu mereka menggemakan tawa. Gadis yang mengenakan pakaian berwarna merah
pekat tersebut tertekan.

“Gak nyangka dia makin susah aja hidupnya,” gelak Vanessa sambil menepuk pundak Fira
yang menunduk. Nadira melirik gadis yang tepat berada di hadapannya. Gadis yang dulu
sempat menjadi sahabat, tetapi berubah menjadi pengkhianat.

Gadis yang tak tahan dengan hinaan keluar dari mulut orang-orang di depannya
mengepalkan tangan geram. “Kalian mau belanja atau apa?!” tanya gadis itu memberanikan
diri.
“Lo jangan kasar sama kita, ya. Video lo yang garuk-garuk kayak monyet di restoran tanpa
masker itu ada di tangan kita. Kalau kita sebar. Cih, lo di Jakarta ama di Bandung sama aja.
Sama-sama di bully,” ancam Vanessa sembari mendekapkan tangannya, sedangkan Gelecia
merangkul Fira.

Dada Nadira seakan memanas. Rahangnya mengeras. Gadis itu menatap tajam orang yang
baru saja berhenti berbicara. Ingin sekali ia berteriak, tetapi tak kuasa. Orang-orang itu
memiliki kelemahannya, sedangkan dirinya tak memiliki apa-apa.

“Ups! Jangan natap kayak gitu. Takut,” ledek gadis yang ditatap tersebut, setelah itu ia
memasang wajah sok imut.

“Ingat dia?” Gelecia menunjuk Fira. “Dia juru kamera kita.”

Nadira berdecak memandang Fira yang menunduk seperti ketakutan. Gadis itu seakan tahu
apa yang dirasakan gadis yang terus menurut tersebut.

“Udah. Cukup! Mau belanja kagak, nih, buat nongkrong?” tanya Dewa.

“Oh, iya. Yuk, cari cemilan dulu,” balas Vanessa.

Setelah itu mereka meninggalkan Nadira untuk mencari camilan yang mereka inginkan.
Nadira terduduk lesu, berulang kali ia mengembuskan napas.

Para pem-bully itu kembali datang untuk membayar, setelah itu mereka pergi.
“Video tadi ada, kan, Fira? Yang dia makan di restoran itu kayak orang kelaparan. Ada, kan?”
tanya Dewa.

“A—da, kok.”

“Azka,” panggil Nadira pada Azka yang duduk di sampingnya. Kedua orang itu layaknya
sepasang kekasih yang sedang berpacaran sembunyi-sembunyi karena mereka harus
mengobrol di belakang sekolah yang teramat sepi.

Mereka duduk di atas dedaunan kering. Tak saling mengobrol karena kalut dalam pikiran
masing-masing, tetapi akhirnya Nadira yang membuka suara.

“Soal kemauanku kemarin kamu beneran mau bantu?” tanya Azka sembari memainkan
dedaunan kering.

“Hm,” deham Nadira.

“Aku punya trauma. Bisa bantu menyelesaikan hal itu?”

Nadira menoleh memandang wajah samping lelaki yang muram tersebut. “Trauma apa?”

“Aku gak bisa bilang sekarang.”


Pupil keduanya saling bertemu. Sepasang mata itu sama sekali tak berkedip memandang
sepasang mata yang sendu.

Jarak wajah yang hanya beberapa sentimeter membuat jantung keduanya berdebar.
Mereka gelagapan kala telah tersadar dari kalutnya pandangan.

“Aku pernah lihat wajah kamu,” papar Azka teramat santai. Namun, hal itu membuat Nadira
terbelalak seketika. Gadis itu mengubah posisi menjadi duduk berhadapan dengan lelaki
berseragam itu.

Gadis dengan rambut diikat satu khasnya itu menghela napas. “Di mana?” tanyanya
penasaran.

“Di toilet.”

Lelaki itu pun menceritakan bagaimana dirinya bisa melihat wajah Nadira yang kedua kali
setelah kejadian di drugstore skincare beberapa bulan lalu.

Saat itu dirinya teramat merasa bersalah. Lelaki itu menggenggam erat ikat rambut yang
ditariknya dari rambut Nadira yang telah pergi entah ke mana.

Azka memandang ke depan tampak Alvin yang mengepalkan tangan.

“Ikut gue ke kamar mandi!” teriak lelaki itu, lalu berjalan. Azka pun mengekori.
“Pokoknya pengen skincare yang dikasi cowok itu!”

Langkah Azka terhenti kala mendengar teriakan yang berasal dari WC perempuan. Lelaki itu
berani mengintip karena di dalam sana sebelum memasuki toilet yang sesungguhnya ada
wastafel.

Azka terbelalak ketika melihat Nadira yang melamun. Ia pun akhirnya yakin bahwa gadis
yang melamun tersebut adalah orang yang ia temui di drugstore skincare dua bulan lalu.

“Ngapain, lo di situ?!” tanya Alvin penuh penegasan. Dia menarik lelaki itu untuk menuju ke
WC sebelah.

Setelah bercerita akhirnya Nadira tahu bahwa Azka pernah melihat wajahnya. Namun, gadis
itu tak tahu bahwa Azka yang memberinya skincare.

Nadira menunduk lesu. Ia menggaruk kepalanya Frustrasi seraya terus menghela napas
gusar.

“Rambutmu berantakan astaga!” tekan Azka. Dia berdecak sebal saat gadis yang memeluk
lututnya sendiri itu tak berhenti meracau. “Nadira,” panggil Azka berusaha menenangkan.
Dia layaknya berbicara dengan anak kecil yang menjauh.

“Apa?” tanya Nadira mengangkat kepalanya. “Mau bilang aku jelek?”


Belum sempat menjawab gadis itu kembali bertanya. Azka kembali berdecak ingin sekali ia
memegang pundak gadis yang kembali tertunduk itu dan menggoyangkannya agar sadar.
Namun, itu tak berlaku pada Nadira alih-alih gadis itu mengamuk.

“Nadira aku gak bakalan bilang ke siapa-siapa asalkan kamu bantu aku.”

“Hm.”

“Kalau kamu lelah dengan semuanya, beristirahatlah hari ini dan besok kembali berjuanglah
lagi.”

Mendengar ucapan Azka mendadak Nadira menjadi tentang. Gadis itu tersenyum tipis,
lantas berdiri sembari membersihkan rok-nya, lalu ia mengembuskan napas kasar. Lelaki
yang mendongak tersebut tersenyum dan ikut bangkit, lalu membersihkan celana yang
banyak menempel dedaunan.

“Bersikaplah dingin. Karena itu bagus,” ungkap Azka, lalu pergi. Nadira berdecak
memandang kagum punggung lelaki yang mulai menjauh itu. Dia masih tak yakin kalau lelaki
itu buaya.

“Jadi, pas gue capek nungguin Nadira dan balik ke kelas lo ke sani dan ngaku-ngaku yang
ngirim pesan itu lo?!”

Lelaki berseragam tersebut berteriak penuh amarah. Dia menarik kerah baju lelaki di
depannya, menatap penuh kebencian.
Azka kembali lagi ke belakang sekolah karena ditarik oleh Alvin. Keduanya saling adu mulut
sama sekali tak mau mengalah.

“Ya,” jawab Azka sembari melepaskan cengkeraman di kerah bajunya. Lelaki itu merapikan
dasi karena merasa tercekik. Dia tak ingin menjelaskan apa-apa pada Alvin, toh lelaki itu
akan terus tersulut emosi tanpa henti.

“Tapi aku memang punya rahasia Nadira. Sama aja,” terang Azka.

Alvin tersenyum meremehkan. “Rahasia yang gue pegang tentang Nadira lebih besar.”

“Terserah.” Azka berbalik badan, perlahan berjalan dengan kedua tangan di dalam saku.
Namun, lelaki itu lantas ditarik oleh Alvin dan dihujam dengan pukulan yang mengenai
wajah tampannya.

Azka mundur beberapa langkah. Ia mengusap wajahnya yang mulai lebam. Lantas lelaki itu
kembali membalas memukul pipi kanan Alvin, lalu menendang lelaki itu hingga terjengkang.

Alvin beringsut. “Lo udah berani, ya. Pembunuh!”

Mendengar kata ‘pembunuh’ membuat napas Azka memburu. Segera ia meninggalkan Alvin
yang terduduk di tanah.

***#
Part 15 Salah Orang

“Sekali putaran ... setengah putaran ... bersihkan sel kulit mati dan kotoran, tar putar di
wajah bilas. Multivitamin.”

Seorang gadis berucap layaknya seperti iklan di televisi sembari melakukan apa yang ia
ucapkan. Sambil memejamkan mata gadis itu memijat perlahan wajah yang penuh dengan
buih-buih tersebut.

Nadira begitu girang. Ia terus bersenandung.

“Alvin, Alex, atau Azka? Intinya mereka baik.”

Setelah itu Nadira membilas wajahnya dengan air dari wastafel. Setelahnya gadis itu
mengelap wajahnya. Dia memandang wajahnya bahagia di pantulan cermin.

Gadis itu ke luar dari kamar mandi menuju meja rias. Skincare bermerek Gengirl itu tertata
rapi di atas mejanya.

“Very happy.”

Nadira berjalan gontai menuju ke minimarket tempat ia bekerja. Gadis itu bosan sehingga
memutuskan menghitung langkahnya saja.
Sambil berjalan gadis itu merentangkan tangan. Menghirup udara di balik masker.
Kemudian, kembali berjalan dengan santai.

Gadis yang mengenakan celana lenjing tersebut terngiang-ngiang akan ucapan, senyuman
dan tatapan Azka. Ucapan yang memberi semangat, senyuman yang menghangatkan juga
tatapan yang menusuk jiwa.

Langkah gadis itu terhenti kala melihat postur tubuh seorang lelaki yang begitu mirip
dengan Alvin yang bertemu dengan seorang pria.

Gadis itu memicingkan mata, kabur. Sudah lama sekali ia tak memakai kacamata dan asyik
memakai lensa kontak sehingga membuat minus di matanya bertambah.

“Pak, kalau jalan liat-liat untuk ketabrak saya, kalau ketabrak kendaraan gimana?” pesan
Alvin.

“Eh iya maaf.” Pria itu mengangguk, lalu berbalik badan berjalan menuju ke arah Nadira
yang mematung. Perlahan pria itu melintasi Nadira.

“Itu, kan?” Lantas mata gadis itu mengikuti ke mana arahnya pria tersebut berjalan. “Hah?”

Akhirnya Nadira menyadari bahwa lelaki itu ialah orang yang membawanya skincare dari
Triple A. Gadis itu kembali menoleh ke depan. Dia tertegun kala mendapati Alvin sudah
berdiri di hadapannya.

“Kamu?” Sangat pelan Nadira berucap sembari menunjuk wajah Alvin. Lelaki itu mencebik.
“Apa?”

“Kamu.” Nadira perlahan berjalan diikuti oleh Alvin yang penasaran. Lelaki itu terus menanti
ucapan selanjutnya dari Nadira, tetapi gadis itu tak kunjung bersuara.

“Kamu yang ngasi aku skincare itu, kah?” tanya Nadira. Alvin mengerutkan kening bingung.
Pasalnya jangankan memberikan gadis skincare membeli skincare pun ia tak pernah.

Lelaki yang mengenakan kaos berwarna merah pekat itu menggigit kukunya, sedangkan
Nadira menanti jawaban. Alvin masih berpikir dia harus menjawab ‘iya’ atau ‘tidak’.

“Vin.”

“Ah, iya, iya.” Karena kaget lelaki itu spontan berucap. Hal yang tak disengaja itu membuat
Nadira tersenyum. Melihat mata lebar gadis itu menyipit Alvin menyadari pertama kalinya
Nadira tersenyum saat bersamanya.

“Lo senyum?” tanya Alvin.

“Enggak. Oh, aku bakalan ganti semuanya nanti kalau udah gajian.” Nadira menghela napas.
“Aku gak suka berhutang itu merepotkan.”

Nadira menghela napas. Dia terlalu banyak menolak kebaikan orang-orang. Padahal jelas-
jelas ia tak bisa sendiri.
“Kalian gak kembali ke Bandung?” tanya Ersya pada teman-temannya yang sedang
menyantap makanan Mereka sedang berada di restoran, saling bersenda gurau setelah
beberapa bulan berpisah.

Vanessa meminum seteguk Jus stroberinya. “Kayaknya sebulan, deh, Sya. Kita juga discor.
Jadi, percuma balik lagi.”

Raja, Dewa, dan Gelecia mengangguk setuju mendengar jawaban Vanessa.

“Lagian, kita ke sini mau balas dendam ama Nadira. Dia udah ngelaporin kita ke guru BK,
terus buat kita lari-larian juga. Sama satu lagi kita bakalan bantuin lo dapatin si siapa itu ...
Alvin.”

Mendengar ucapan Gelecia kembali mereka mengangguk. Kecuali Fira, gadis itu harus
terpaksa mengikuti para pem-bully tersebut. Bertingkah layaknya berandalan di luar, tetapi
di dalam hatinya ....

“Eh itu siapa? Kok, nyebut-nyebut Alvin, sih?” tanya Rosa pada Starla. Kedua gadis itu duduk
tepat di belakang meja para pem-bully tersebut.

“Yang cowok itu Dewa ama Raja kalau yang cewek gak tau,” jawab Starla, lalu menyeruput
teh obengnya.

“Lah, kamu kenal?”


Mendengar pertanyaan Rosa seketika gadis dengan rambut ikal itu tersedak.

“Ta—di, aku denger mereka nyebut nama mereka,” jawab gadis yang berusaha bersifat
senetral mungkin.

“Ngomong-ngomong gue mau nanya ama kalian. Apa yang paling kalian takutin di dunia
ini?” tanya Ersya.

“Kalau gue, gue jadi jelek terus gue gak punya uang,” jawab Gelecia.

“Gue sama kayak Cia,” sahut Vanessa.

“Kalau kita berdua takut kartu ATM kita diblokir, intinya takut miskin. Gue takut ama ortu
gue jugak.”

Rosa terkekeh mendengar jawaban Raja. Mereka hanya memikirkan duniawi, bahkan
mereka tak ada takut rasa kehilangan orang tua. Mereka hanya memikirkan uang dan uang.

“Sya lo harus tau, si cewek sok cantik yang lo bilang itu kerja di minimarket,” ungkap
Gelecia.

“Hah? Iyakah?” tanya Ersya penasaran.

Mereka saling mengobrol, terkecuali Fira dan Dewa. Mereka hanya melamun sesekali
mengangguk dan terus begitu.
Nadira menghela napas kala kerjanya telah selesai. Gadis itu meregangkan otot-otot yang
kaku. Angin berembus kencang, menusuk ke tulang gadis yang mengenakan baju kaos
berlengan pendek.

Baru saja hendak berjalan. Gadis dengan rambut berantakan tersebut menghentikan
langkahnya saat motor dan mobil berhenti tepat di depan minimarket, juga seorang lelaki
yang berjalan kaki ikut berhenti.

Pengendara motor ninja berwarna hitam tersebut melepaskan helm-nya, pengendara mobil
menurunkan kaca mobilnya, sedangkan lelaki yang berjalan kaki membuka penutup hoodie
yang menutupi kepalanya.

Mereka saling menampakkan wajah. Melirik pada Nadira yang seakan menjadi pusat utama.
Gadis berwajah oval tersebut mengembuskan napas berat. Dia seperti pajangan yang terus
ditatap tanpa berkedip oleh Alvin, lelaki yang mengendarai motor, Azka lelaki yang berjalan
kaki, juga Alex lelaki yang berada di dalam mobil.

“Udah tutup?”tanya Alex dan Alvin serempak. Mereka berdua saling lirik, lalu mengumpat
dalam hati. Gadis yang memakai sandal tersebut melirik Azka yang bergeming, lalu melirik
Alvin dan Alex.

“Udah tutup,” jawabnya, lantas ia berjalan diikuti Azka.

“Ikut!”
Kedua lelaki itu segera turun dari kendaraan masing-masing dan mengejar Nadira. Akhirnya
mereka bisa mensejajarkan langkah.

Nadira berdecak sebal. Memandang lelaki yang tinggi darinya. Gadis berhidung mancung itu
ingat sesuatu sehingga membuatnya menanggalkan tas selempangnya.

Nadira membuka tas tersebut ia mengeluarkan topi berwarna hitam di dalam sana.

Tum!

“Astaga!”

Seketik tas tersebut jatuh dan isi di dalamnya berhamburan di jalan. Mereka pun
menghentikan langkah dan memungut botol minuman, ponsel, juga obat-obatan.

“Obat apa ini?” tanya Alvin sembari memperhatikan obat tersebut, lantas obat itu langsung
dirampas oleh Nadira. Buru-buru gadis itu memasukkan obat-obatnya ke dalam tas.

“Kamu sakit?” tanya Alex.

“Gak,” jawab Nadira.

“Itu obat penenang sama asam lambung?” tanya Alvin. Seketika ia diperhatikan oleh ketiga
orang itu, membuat dirinya langsung terdiam.
“Sejak kapan lo tau tentang obat-obatan?” tanya Alex dengan tatapan menginterogasi.

“Cuma nebak.” Dengan cepat Alvin menjawab. Alex memicingkan mata curiga.

“Kamu sakit, Nad?” tanya Azka yang dari tadi terdiam, pertanyaan itu membuat Nadira
mengangkat alis, menoleh pada Azka yang berada di kanannya.

“Gak, kok,” jawab Nadira dengan suara gemetaran. Dia kembali memandang ke depan
sembari menarik napas dalam dan mengembuskannya kasar.

Nadira terus berbohong padahal jelas-jelas itu obat yang ia konsumsi tiga hari sekali karena
penyakit Gerd Anxiety-nya.

“Oh, iya. Ini topi kamu.” Gadis itu menyodorkan topi berwarna hitam pada Alex, lelaki itu
pun mengambilnya, lantas memakaikan ke kepala Nadira yang langsung berdebar. Hal itu
membuat Alvin mengumpat dalam hati, sedangkan Azka hanya tersenyum getir.

“Kalian mau ke mana?” tanya Nadira. Dia takut jika ketiga lelaki itu mengikutinya pulang dan
berpaspasan dengan kakaknya.

“Mau antar kamu pulang,” jawab Alvin spontan. Seketika Nadira menanggalkan topi yang
dipakaikan oleh Alex, dan memakaikannya ke kepala pemiliknya, lalu mempercepat langkah.

“Aku gak mau diantar. Jadi, kalian balik aja. Kalau ngikutin aku ....” Gadis itu
menggantungkan ucapannya. Dia melirik ke belakang. “Jangan ngikutin aku,” tegasnya,
membuat ketiga lelaki itu menghentikan langkah, sedangkan dirinya berjalan lebih cepat.
Part 16 Semua Orang tak Saling Mengerti

“Ke mana aja kamu, malam-malam baru pulang?!”

Baru saja hendak masuk ke rumahnya, Nadira disambut oleh orangtuanya yang menatapnya
tajam. Gadis itu perlahan menutup pintu dari dalam.

Dia menggigit bibir, tak mampu melangkah lagi. Bahkan, mata yang selalu menatap orang
dengan tatapan intimidasi tersebut tak mampu untuk menatap orang di depannya.

“Jawab, Na. Kamu ke mana?!” gertak pria tersebut.

“Kamu punya mulut, ‘kan? Jawab!” sambung Maryana memperkeruh keadaan.

“Aku---“

“Dasar! Ja***g!” umpat Helmi, lantas melayangkan tamparannya pada Nadira. Lagi dan lagi
Nadira harus merasakan panas yang menjalar di pipi kirinya.

‘Kenapa bertanya jika tak memberi peluang untuk berbicara?’ tanya gadis itu dalam hati
sembari mengusap pipi yang merah legam. Maryana sama sekali tak menengahi keadaan.
Dia juga ikut terbawa emosi karena Nadira baginya sangat sulit diatur.

Gadis yang terus mengelus pipinya itu tak lagi membuka suara. Ingin sekali dirinya
melontarkan isi hati, tetapi sangat sulit sekali.
“Pergi belajar! Papa gak mau kamu nanti gak bisa juara satu. Apa nanti kata saudara-saudara
kamu?” titah Helmi.

Begitulah Helmi, marah-marah, menampar, lalu menyuruh Nadira belajar. Tak ada
kelembutan di hatinya, dia hanya takut menahan malu jika anak yang dulu dia bangga-
banggakan waktu kecil tak berprestasi lagi.

“Mama liat banyak skincare di meja rias kamu. Kamu beli?” tanya Maryana. Kali ini wanita
itu pula yang hendak menginterogasi anaknya.

“Aku dikasi,” jawab Nadira yang telah berhenti mengelus pipinya.

“Dikasi? Hayo dikasi sama siapa?!” tanya Ersya yang tiba-tiba ke luar dari kamarnya.

Helmi yang amarah mulai mereda kembali terpancing. Dia menatap gadis dengan wajah
memerah sebelah yang mengangkat kepala tersebut.

“Dikasi siapa?!” tanya Helmi, lantas memegang kedua pundak Nadira. Tubuh Nadira
bergetar hebat pasalnya ia teramat geli jika dipegang oleh pria.

“Dikasi temen!” Nadira menepis tangan kekar milik ayahnya.

Plak!
“Kurang hajar!”

Entah apa yang dipikiran ayahnya ini. Sangat ringan sekali memainkan tangan. Kini, pipi
kanannya pula yang memerah.

Nadira tersenyum. Matanya memerah, berkali-kali ia mengedipkan mata mengharap embun


yang menampung di pelupuk matanya tak mengalir.

“Apa gunanya bedak-bedak itu? Kalau gak cantik gak buat masa depan kamu suram! Yang
buat masa depanmu suram itu kalau kamu bodoh!” hardik Helmi sok benar. Maryana dan
Ersya hanya menonton. Ersya yang mendengar itu ikut merasakan sesak karena jelas-jelas
perkataan ayahnya itu salah.

Lantas Nadira pergi, ia tak sanggup lagi terus terdiam dan akhirnya ditampar. Air mata yang
dari tadi ia tahan langsung menetes membasahi pipinya.

“Nadira untuk apa kamu mau jadi cantik?! Ngabisin duit! Lebih baik kamu belajar?!” teriak
Helmi.

Nadira tertawa kecil dengan mata yang memerah. Seakan dirinya menertawakan diri sendiri
juga orang yang berada jauh di belakangnya.

‘Terkadang keluarga sendiri lebih kejam.’

Nadira memasuki kamarnya. Gadis itu meringkuk di balik pintu. Ia menangis tanpa suara.
Hal itu menyesakkan dada. Batinnya seakan tertekan dan tersiksa.
Sakit yang menjalar di tubuhnya semakin menambah kesakitan. Gadis itu menepuk dadanya
yang terasa panas.

***

“Astaga beneran putus? Udah gue bilang, kan, meski dah setahun putus juga. Pasti.”
Seorang lelaki terkekeh setelah mengatakan hal itu. Gadis berambut ikal di sampingnya
mencebik.

“Aku pinter akting, kan, Vin? Waktu satu tahun itu emang lama, tapi Riki banyak main ama
temen-temennya. Sebenarnya aku dah dari lama minta putus, tapi gak jadi terus.” Gadis itu
tak lain Rosa. Dia berbicara dengan Alvin di mejanya.

“Lo, ya, kalau di depan orang-orang sok polos kalau di depan gue udah kayak setan,” balas
Alvin.

Gadis berambut ikal itu terkekeh pun Alvin. Keadaan kelas yang ramai tak begitu memusat
pada kedua orang itu sehingga mereka leluasa untuk berbicara.

Rosa memegang tangan Alvin yang ada di atas meja. “Ya, kamu tau, kan? Aku kalau ama
orang yang aku suka, aku gak mau bermuka dua. Biar dia nerima aku apa adanya.”

“Mulai, lo tau, kan, kita beda gak bakalan bersatu.” Lelaki itu mengacak-acak rambut Rosa.
Gadis itu merengek kala rambutnya berantakan.
“Eh, tumben kamu pake gelang?” tanya Rosa yang melihat gelang berwarna hitam melingkar
di pergelangan Alvin.

“Ini gelang couple,” jawab Alvin.

“Couple ama siapa hayo?” Rosa terus bertanya.

“Kepo.”

Mendengar jawaban Alvin. Rosa berdecak sebal. Gadis itu mengambil ponsel milik Astarla
yang dititipkan padanya, lalu membuka aplikasi kamera dan memfoto pergelangan tangan
Alvin yang terdapat gelang.

“Ngapain, sih?” tanya Astarla yang tiba-tiba datang. Dia merampas HP-nya dan melihat
gambar yang baru saja diambil oleh Rosa.

“Alvin jarang pake gelang. Jadi, aku foto, nanti kirimin, ya,” papar Rosa.

Ketika gadis dengan rambut diikat satu masuk cepat-cepat Alvin berdiri dan pergi lewat
pintu di belakangnya, sedangkan Rosa gadis itu memperhatikan Nadira yang mulai duduk di
mejanya.

Gadis berkulit sawo matang menghampiri gadis yang membuka buku pelajaran. Baru saja
hendak menyapa, tetapi terhenti ketika ia melihat gelang yang dipakai di tangan kiri Nadira.
Gadis itu pun ikut memfotokan pergelangan tangan Nadira yang terdapat gelang. Dia pun
kembali ke mejanya, lalu memperhatikan gambar-gambar yang ia foto tadi.

“Mereka pake gelang couple?”

Azka, lelaki yang menjadi ketua kelas itu membagikan selembar kertas HVS pada murid-
murid. Setelahnya ia kembali duduk di meja yang tepat berada di samping Nadira.

“Zaman sekarang anak muda sering mentalnya down. Memang muda tetapi pikiran kalian
harus dewasa. Di lembar ini kalian isi, apa hal yang buat kalian trauma atau yang kalian
takutkan dan tidak ingin terulang lagi. Waktu lima menit,” terang Bu Mela wali kelas
sekaligus guru Bahasa Indonesia.

Setelah mendengar hal yang disampaikan oleh Bu Mela. Murid-murid langsung fokus
menulis.

Sebenarnya bagi Nadira ia ingin menutupi rasa traumanya, begitu pun Azka. Mereka tak
ingin mengungkapkan isi hati, tetapi mereka terpaksa menceritakan lewat secarik kertas ini.

Hitungan menit terus berlalu.

‘Aku trauma mempercayai orang lain dengan sepenuh hati. Aku trauma mendengar tentang
bully-an. Aku takut masa-masa dibully dan ditindasku terulang lagi. Itu sangat menyakitkan!’
Tulis Nadira di kertasnya.
‘Aku trauma melihat wanita memakai skincare entah itu bedak atau apapun. Aku takut
kehilangan orang yang aku sayang karena diri aku sendiri. Aku juga takut kejadian sama
terulang lagi pada orang-orang lain. Itu sangat menyakitkan!’ tulis Azka pada kertasnya.

Nadira dan Azka bersamaan selesai menulis, tinggal membuat nama. Mereka mengacak-
acak meja mencari sesuatu sehingga membuat lembaran kertas tadi terjatuh.

Lantas Nadira dan Azka mencondongkan badan mengambil kertas mereka.

Tuk!

Kedua kepala tersebut saling terhantuk. Sehingga mereka melepas kertas masing-masing
dan mengelus kepala. Sepasang pupil mereka saling bertemu.

“Azka, Nadira!” panggil Bu Mela mengagetkan keduanya. Cepat-cepat Azka dan Nadira
mengambil lembaran kertas yang jatuh tadi, lalu kembali duduk dengan rapi.

Nadira dan Azka yang hendak membaca ulang tulisan pun terbelalak. Kala isi yang mereka
baca jelas-jelas berbeda. Keduanya saling pandang dan baru menyadari bahwa kertas
mereka tertukar.

Cepat-cepat keduanya menukar kembali kertas mereka. Namun, nasi telah menjadi bubur
mereka telah tahu trauma dari masing-masing yang sebelumnya selalu disembunyikan.

***
“Jadi, kamu ngaku-ngaku kalau kamu yang ngirim Nadira skincare?” tanya Azka datar.
Berusaha menahan emosinya. Lelaki itu mengedarkan pandangan ke sekitar lorong,
memastikan tak ada Nadira di sana.

“Iya. Jangan marah, ya. Lo juga gitu, kan? Jadi, impas!”

Setelah mengucapkan hal itu Alvin pergi. Dia tersenyum miring, melirik lelaki yang mengepal
penuh amarah.#B4PerLovRinz
Part 17 Topeng

“Hari ini kita bakal kumpul-kumpul lagi gak berhamburan kayak kemarin karena Alex udah
mulai membaik.” Seorang lelaki yang dikelilingi lima orang temannya berterika dan diakhiri
dengan sorakan dari teman-temannya. Alex yang duduk di mejanya menggeleng pelan
dengan senyuman menghiasi wajahnya.

Lelaki yang sangat sulit ditemui dan jarang sekali ke luar kelas semenjak dua bulan lalu itu
melihat Alvin di depannya yang tampak bersemangat. Dia tak tahu apa yang
membangkitkan semangat lelaki itu.

“Gilak, sih. Bergabungnya kita kembali kayak perayaan gue putus,” sela Riki. Teman-
temannya menepuk pundak lelaki itu, menegarkan.

“Kita kekurangan satu orang,” papar seorang lelaki bernama Dilan. Seketika semuanya
terdiam kala teringat seseorang itu adalah Azka.

Mereka berteman sebelumnya terdiri dari delapan orang. Azka, Alvin, Alex, Andara
Tunawisma, Raffi Dirgantara, Dilan Purnomo Saputra, Rikional Saputra, Glen Anggara Frole.

Mereka awalnya adalah pem-bully, tetapi Azka dan Alex berhasil membuat mereka berubah.
Namun, kini mereka tinggal tujuh orang karena Alvin, Alex dan Azka memiliki hubungan
yang kurang baik, sehingga Azka tak bergabung lagi bersama mereka, terlebih lagi lelaki itu
tak naik kelas.

“Udah, udah! Intinya kali ini kalian bisa ngebantu orang rame-rame, kalau kalian ngebantu
orang sendiri-sendiri takutnya kalian malah bonyok. Hapus bully-an dari sekolah ini!” tegas
Alvin. Dia mengepal tangannya erat dia ingin sekali membasmi pem-bully di dunia ini. Lelaki
itu teringat hal yang membuatnya ingin menghancurkan para pem-bully. Pagi tadi ....

“Eh, Buk. Maaf,” ucap Alvin kala menubruk Bu Mela yang baru ke luar kelas. Lembaran-
lembaran kertas yang dipegang wanita itu terjatuh membuat Alvin ikut memungut kertas
tersebut.

Ketika menemukan kertas terakhir milik Nadira lelaki itu berdiri dan membaca semuanya,
setelah itu memberikan pada Bu Mela.

“Makasih, ya,” ucap Wanita itu, lalu pergi.

Alvin melirik Nadira yang berada di kelas di balik jendela. Lelaki itu menghela napas panjang.
“Jadi, semua sikap lo ini gara-gara trauma dibully?” lirihnya.

Setelah mengingat hal itu Alvin menghela napas dan melirik pada Alex yang tak tahu apa-
apa tentang trauma Nadira. Dia menyembunyikan semuanya lagi.

“Nadira kita mau bicara ama lo,” ujar Reva yang bersama dengan Delia. Kedua gadis yang
saling mendekapkan tangan tersebut saling pandang.

Nadira memicingkan matanya. Pasalnya sudah lama sekali mereka tak bertemu, bahkan
pertemuan pertama mereka berakhir tak mengenakan.

“Bicara aja,” balas Nadira. Kedua gadis itu celingak-celinguk, lalu memandang ke arah
Nadira.
“Lo harus hati-hati jangan terlalu percaya dengan sikap lugu dan polos seseorang karena dia
akan menghancurkan lo.” Setelah mengatakan itu Delia menarik tangan Reva untuk pergi,
bersamaan pula dengan Rosa dan Astarla yang memasuki kelas itu.

“Ngapain Re, De?” tanya Starla, tetapi tak digubris kedua gadis itu melintas tanpa sepatah
kata, sedangkan Nadira dia mencerna kata-kata Delia tadi, lalu beralih pandang pada Rosa
dan Starla.

Gadis itu berdiri, lantas berlari hendak mengejar Delia dan Reva. Dia ingin kedua gadis itu
memperjelas kata-kata mereka.

“Mau ke mana?” tanya Starla dan tak digubris.

Nadira memelankan langkah kala melihat seorang gadis yang menjambak rambut gadis yang
tak mau melawan. Gadis berkacamata itu hanya menahan sakit dengan terus meringis. Kaki
Nadira bergetar, seolah dirinya merasakan apa yang dirasa oleh gadis itu. Bayang-bayang
masa lalu yang pernah ia alami mengisi kepalanya.

“Lo bisa gak, sih, nurutin apa kata kita?” tanya gadis yang menjambak tersebut, semakin
menarik rambut gadis di depannya dengan kuat.

“Lo itu lemah dalam segi apapun. Jadi, jangan sok buat ngelawan kita!”

“Lo itu jelek jadi sadar diri!”


Nadira mengepal tangannya kuat ketika mendengar hinaan yang ke luar dari mulut tiga
orang gadis dan seorang lelaki di dalam sana.

Dengan penuh keberanian Nadira masuk ke kelas tersebut dan menarik tangan gadis yang
menjambak itu dan berucap, “Lepasin!” Seketika keempat orang itu memandangnya sinis.
Mereka mengumpat pelan.

“Siapa, lo?! Berani-beraninya?!” tegas gadis bernama Mauren tersebut sembari mendorong
Nadira membuat gadis itu hampir hilang keseimbangan.

Nadira tak menjawab, ia memandang gadis yang juga memandangnya dengan tatapan
kosong. Gadis dengan rambut berantakan itu menggeleng pelan dengan mulut yang
memberi isyarat ‘jangan’, Nadira mengangkat kedua alisnya, lalu beralih pandang pada
empat orang yang di hadapan.

Keempat orang itu membuat Nadira mundur beberapa langkah, hingga akhirnya terhenti
karena tertahan oleh dinding.

“Sok jagok banget, cewek bermasker ini,” caci satu-satunya lelaki di sini.

Gadis bernama Moriz Leila Ardini yang dibantu oleh Nadira pun pergi untuk meminta tolong.
Jika dia yang melawan, maka mereka berdua akan saling tersakiti.

“Apa itu menyenangkan?” tanya Nadira. Matanya menatap tajam mata lelaki yang juga
menatapnya. Dada gadis itu seketika terasa panas. Jantungnya berdebar-debar hingga ia
kesulitan untuk bernapas.
“Sangat menyenangkan,” jawab Mauren membuat ketiga temannya mengangguk setuju.

“Hei. Jadi penasaran ama muka akak jago ini.” Lelaki itu makin mendekat ke Nadira yang tak
bisa mundur lagi.

Ketiga gadis tadi mundur, sedangkan lelaki itu semakin mendekat pada Nadira. Lelaki
bernama Dika tersebut perlahan hendak membuka masker gadis yang memejamkan mata
tersebut. Samar-samar ia mendengar derap langkah yang mulai mendekat.

“Dasar kunyuk!” Suara itu bersamaan dengan tinju yang mendarat di pipi Dika, membuat
lelaki itu terjengkang. Tinju itu berasal dari Alvin, lelaki berseragam yang sedang dilanda
amarah. Dia bersama kelima temannya juga Moriz.

“Pergi atau gue pukul!” ancam Alvin, seketika Dika berdiri tertatih dan dibantu oleh ketiga
temannya, keempat orang itu pun pergi. Alvin menoleh ke kanan pada Nadira yang
terduduk dan bersandar di dinding. Bahu gadis itu naik turun menandakan dirinya mengatur
napas.

Alvin mengepal tangannya. Rahangnya mengeras. Entah kenapa melihat gadis itu yang
seperti tertekan, hatinya ikut sakit. Lelaki itu tak ingin meracaui Nadira, dia pun pergi diikuti
teman-temannya.

“Kamu gak pa-pa?” tanya Moriz sembari mendekat pada Nadira yang terduduk di lantai
berdebu.
“Aku gak pa-pa, kok.” Meski sedikit tertekan gadis itu berusaha menahannya. Dia berulang
kali menarik napas dan menghembuskannya pelan, mencoba mengontrol penyakit yang
bergejolak. Moriz berusaha menatap mata gadis yang memandang ke bawah.

“Lihatlah kamu memakai topeng,” terang gadis berambut lurus yang berantakan tersebut.

“Topeng?” tanya Nadira.

“Ya, kamu memakai topeng tanpa orang menyadarinya, tapi aku tahu karena aku pun
begitu. Kita terus mengatakan tidak apa-apa seolah-olah tidak terjadi sesuatu, seolah-olah
dunia ini menyenangkan. Namun, nyatanya kita benar-benar kesakitan dan terluka dari
dalam.”

Nadira terkekeh mendengar jawaban Moriz dia memandang gadis yang tersenyum palsu
tersebut. Dia sadar di dunia ini dia tak sendiri. Lantas kenapa dia harus mengeluh? Akhirnya
Nadira bertemu dengan seseorang yang sama dengan dirinya, memahami juga merasakan
hal yang sama.

Part 18
Seorang gadis yang mengenakan sepatu sekolah berwarna hitam itu berjalan gontai. Angin
yang berembus kencang membuat rambutnya melayang-layang. Dia memicingkan mata
memandang lurus ke depan.

Dia memasuki sebuah taman penuh bunga-bunga yang berwarna-warni, serta pepohonan
yang daunnya dipotong menyerupai berbagai bentuk. Taman tersebut tampak sepi, wajar,
pasalnya ini masih siang hari, biasanya orang-orang pergi di waktu sore.

Dia menarik napas di balik masker kain berwarna hitamnya. Gadis yang masih mengenakan
seragam sekolah tersebut menghembuskan napas pelan, lalu kembali berjalan.

Nadira duduk di bangku taman yang teduh sebab bayang-bayang dari pohon, di situlah
tempat dia dan Alex duduk sewaktu hujan. Nadira menanggalkan tas dan meletakkan di
sampingnya. Tiba-tiba maskernya lepas, masker tersebut jatuh tepat di depan kaki
seseorang.

Nadira yang melihat ke bawah pun langsung hendak mengambil masker tersebut. Namun,
nahas tangannya diinjak oleh pemilik kaki tersebut.

Gadis yang meringis itu mendongak. Nadira terbelalak ketika melihat Vanessa yang
tersenyum lebar bersamaan memijak tangannya dengan kuat membuat gadis itu kesakitan.

“Guys sini!” teriak gadis itu tak lain Vanessa. Seketika teman-temannya pun
menghampirinya, sedangkan Nadira gadis itu berusaha menarik tangannya.

Raja dan Dewa mengacak-acak rambut Nadira, sedangkan Gelecia mengambil tas gadis itu.
Fira pula gadis itu menjadi juru kamera atau lebih tepatnya merekam semua itu.
Nadira berhasil menarik tangannya. Gadis itu segera berdiri sembari meniup tangan
kanannya yang memerah.

“Wah, tasnya murahan sekali.” Gelecia memperhatikan tas gadis itu. Lantas Nadira hendak
mengambil tasnya. Namun, tas tersebut langsung Gelecia lempar ke tangan Dewa.

Kini, Nadira berusaha mengambil masker pada Dewa yang lebih tinggi darinya. Ia meloncat-
loncat mencoba menggapai tas tersebut. “Wajah lo makin jelek aja, ya!” celetuk Dewa, lalu
melempar tas ke tangan Vanessa.

Mereka bertiga saling mengoper, sedangkan Raja, lelaki itu melirik pada Fira yang juga
menatapnya. Dewa ia perlahan mendekat pada Nadira. Lelaki itu mengetuk jari telunjuknya
di kening Nadira, lalu mendorong gadis itu hingga terjengkang.

“Nadira jelek. Jelek! Jelek! Besok ada suprise buat lo, jadi hari ini jangan terlalu sedih dulu,
ya,” kata lelaki itu sembari menoyor gadis yang terduduk tersebut.

Kedua gadis tadi mengacak-acak rambut gadis yang terduduk tersebut. Sangat berantakan.
Nadira hanya bisa terpaku. Dia ingin melawan, tetapi dirinya hanya sendiri.

Vanessa membuka tas milik Nadira, lalu menunggangkan semua isi tas tersebut. Buku-buku
dan alat tulis gadis itu bersepah. Namun, yang menarik perhatian orang-orang itu ialah, dua
botol obat.
Ya, itu obat penenang Nadira juga obat Gerd Anxiety yang ia pindahkan ke dalam botol-
botol obat, agar lebih mudah untuk diambil. Nadira menatap nanar buku-bukunya yang
berantakan. Ia merangkak mendekat ke arah buku-bukunya

Vanessa mengambil kedua botol obat, lalu memperhatikannya dengan seksama. Orang-
orang itu pun ikut memperhatikan botol obat tersebut, terkecuali Fira. Ia mem-videokan
Nadira yang terduduk lesu dan tertekan.

“Lo sakit?” tanya Raja. Namun, tak dijawab oleh gadis yang mengemasi buku-bukunya
tersebut.

“Dunia ini emang gak adil, ya, bagi lo. Dunia aja seakan-akan gak nerima lo, apalagi orang
lain,” cecar Gelecia, sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada.

“Kembaliin obat aku!” pinta Nadira.

“Kalau mau. Lo diem di sini biar kita foto!” titah Vanessa, sembari memberikan kode pada
Fira.

Gadis itu mengerjapkan matanya. Dia menarik napas gusar, seolah-olah mencoba pasrah.
Akhirnya ia mengangguk. Fira yang sedari tadi duduk langsung memfotokan gadis itu.

“Senyum, dong!” titah Dewa. Gadis itu tersenyum pasrah, matanya yang hampa tak dapat
berbohong tentang keadaanya sekarang.

“Minta obat aku!” pintar gadis berambut lurus itu lagi.


“Nih!” Vanessa melempar botol tersebut ke rerumputan di sekitaran pohon besar yang agak
jauh dari keberadaan mereka. Nadira melirik Vanessa sebentar, lalu berlari menuju ke arah
obatnya yang terlempar. Para pem-bully itu tertawa senang, terkecuali Raja dan Fira. Lantas
mereka pergi dari taman tersebut.

“Rencana kita berhasil,” ucap Gelecia senang.

Nadira mengedarkan pandangan, mencari-cari botol obatnya. Setelah berhasil mendapatkan


obatnya ia menghela napas. Gadis itu meraba lehernya karena merasa sesuatu hilang.

“Liontinku mana?” tanyanya panik. Gadis itu meraba-raba pada rerumputan. Nadira
mencari-cari di rerumputan, tetapi nihil benda berwarna ungu tersebut tak ia jumpai.

“Apa di sana?” tanyanya, lalu memutar badan. Dia mundur beberapa langkah, kala
mendapati tubuh kekar tepat di depannya. Lelaki yang memakai masker juga kepala yang
ditutup penutup hoodie itu menarik Nadira ke belakang pohon besar. Mereka berdua
berjongkok.

“Hei! Lepaskan!” bentak Nadira, sontak lelaki itu melepaskan genggamannya. Nadira melirik
lelaki yang perlahan membuka masker tersebut.

“Azka?” celetuknya.

“Diam dan Jangan bergerak,” ucap Azka melirik ke belakang sebentar.


Nadira berdesis lalu memanyunkan bibirnya sebal. Ia tak tahu apa yang terjadi, sehingga
dirinya harus bersembunyi di balik pohon bersama lelaki yang datang tiba-tiba ini.

“Jangan manyun-manyun,” sarkas Azka. Nadira mengangkat alis, setelah itu meraba-raba
wajahnya, seketika ia terbelalak kala teringat dirinya tak memakai masker.

Gadis tersebut menunduk, lalu mengacak-acak rambut yang sudah berantakan tersebut.
Azka menghela napas sembari menggeleng.

“Keren, gilak. Di sini foto-fotonya?” tanya Alvin yang duduk di bangku Nadira tadi bersama
dengan Alex yang memegang kamera. Lelaki itu memotret pemandangan di sekitarnya
sejenak.

‘Suara Alvin?’ batin Nadira yang menghentikan aksi mengacak-acak rambut. Ia menegakkan
kepala, melirik pada Azka yang dari tadi melihathya.

Dia memalingkan wajah. ‘Bisa-bisanya natap orang jelek.’ Gadis yang pipinya merah
tersebut berusaha menetralkan ekspresi wajahnya agar terlihat datar. Ia menghembuskan
napas pelan.

Nadira menoleh ke arah Azka.”Tas aku?”

Lelaki itu lantas mengangkat tas yang dari tadi ia sembunyikan di belakangnya. Nadira
langsung merampas tasnya dan menghela napas. Namun, hatinya masih tak tenang. Ia
kembali meraba-raba lehernya.
“Liontin?” lirih gadis itu panik.

Azka menelan ludah berat.”Tadi, aku ambil, tapi kayaknya kejatuhan.”

Nadira menghela napas gusar. Ekspresi putus asanya membuat Azka tak mampu berkata-
kata. Gadis itu kembali menunduk dan mengacak-acak rambut kuncir kudanya yang longgar.

“Lagian, kenapa, sih, harus di taman? Lo juga dari tadi motret mulu,” tanya Alvin yang
menghentikan aktivitas memotret Alex.

“Buat latihan fotografer buat acara fashionshow yang akan mendatang. Lo jadi model dulu,
ya,” jawab Alex. Lelaki yang memakai seragam sekolah itu memicingkan mata ketika melihat
benda berbahan kain berwarna hitam tampak kotor yang berada tak jauh di depannya.

Dia berdesis. “Kalau jumpa masker keinget dia,” papar lelaki itu pelan.

Alvin mengedarkan pandangan. Dia berjalan mendekati rerumputan tempat Nadira


mengambil botol obat tadi. Manik cokelat lelaki itu tertuju pada benda berwarna ungu.

Alvin langsung mengambil benda yang baginya tak asing tersebut. Ia memperhatikan
dengan seksama kalung liontin berwarna ungu yang di pegangnya.

‘Nadira tadi ada di sini?’ batinnya. Kemudian mengalihkan pandangan pada pohon besar.
Lelaki itu perlahan mendekati pohon besar tersebut. Mendengar derap-derap langkah yang
mendekat ke arah mereka Azka dan Nadira saling pandang.
“Vin, mau sini!” teriak Alex yang membuat Alvin menghentikan langkah, lantas memutar
badan.

“Ya, gue ke sana!” Lelaki itu berlari. Nadira dan Azka menghela napas lega.

“Kita gak bisa sembunyi terus. Kita harus pergi,” tegas Azka pelan.

“Caranya?”

Lelaki itu memutar otak mencari ide untuk pergi dari tempat tersebut. Nadira pun sama.
Gadis itu berdecak sebal gara-gara idenya buntu, sedangkan Azka ia menenggelamkan
senyumnya.

“Gak bawa masker lebih?” tanya lelaki itu.

“Gak,” jawab Nadira.

“Yaudah.” Lelaki itu melepaskan ikatan rambut Nadira, lantas semakin mengacak-acak
rambut yang sudah berantakan tersebut, membuat Nadira kesal.

“Hei!” cecar gadis itu. Namun, tak digubris.

Azka berdecak dan menghentikan aksi menyebalkannya. “Itu rambutmu di kedepankan.


Nutup muka keseluruhan.”
Nadira yang paham pun langsung menyelimuti wajah dengan rambut panjangnya, lantas
menegakkan kepala tepat di wajah Azka. Lelaki itu kaget sejenak.

“Jadi gini ....” Azka berbisik. Nadira pun mengangguk setuju. Mereka berdua berdiri dan
keluar dari persembunyian. Azka menutupi wajahnya dengan tas Nadira.

Mereka berjalan dan dilihat oleh Alex dan Alvin. Mereka seakan membuat perhatian Alex
dan Alvin teralihkan.

“Jangan ngambek gitu, dong,” ujar Azka dengan suara yang ia buat-buat. Nadira yang
mendengar tersebut rada geli. Namun, ini adalah akting semata ia harus profesional.

Nadira berusaha mengatur suara agar tak mirip dengan suara aslinya. “Kejar aku dulu.”
Gadis itu langsung berlari.

Azka langsung mengejar.”Hei!”

“Alay banget gilak!” ketus Alvin dengan mata yang mengikuti ke mana kedua orang itu
berlari, sedangkan Alex ia memotret kedua orang itu dengan kameranya.#B4per_LovRinz
Part 19

“Makasih dah bantuin aku,” ucap Nadira. Ia merapikan rambutnya yang berantakan. Gadis
itu ingin menyimpulkan rambut. Namun, sayang ikat rambutnya entah ke mana.

Gadis itu melirik Azka, lalu beralih pada pergelangan lelaki itu. Ia menggeleng kala melihat
ikat rambutnya dijadikan gelang oleh Azka.
“Gelangmu bagus,” puji Nadira. Azka mengangkat alisnya sejenak, lalu mengangkat tangan.
Setelah menyadari, ia langsung menanggalkan ikatan rambut yang tadi ia jadikan gelang.
Kemudian, memberikan pada Nadira.

Segera Nadira mengambil dan menyimpul rambutnya. Kedua orang itu duduk di bawah
pepohonan teduh. Nadira yang selalu menghirup udara di balik masker, kini menghirup
tanpa ada halangan. Setelahnya gadis itu melindungi wajahnya dengan tas.

“Maaf tentang kejadian pagi tadi,” ucap Azka sembari memandang ke depan di mana
kendaraan berlalu-lalang.

“Aku juga,” balas Nadira. Sama halnya dengan Azka ia juga tak memandang lawan
bicaranya. “Aku punya janji bbuatngilangin rasa trauma kamu. Bisa kamu ceritakan?”

Azka melirik Nadira. Lelaki yang mengenakan hoodie itu menarik napas panjang. Ia tak bisa
menyembunyikan ini lagi, sekilas tentang traumanya telah diketahui oleh gadis itu lewat
selembar kertas.

Lelaki itu menarik napas panjang sebelum memulai ceritanya, lalu mengembuskan pelan.
“Tiga bulan lalu ... aku ngasi Mama hadiah skincare. Ada juga bedak padat.” Azka berhenti
sejenak. “Mama seneng banget make bedak padat itu.” Wajahnya tiba-tiba semringah,
meski mata yang memerah tak mampu mengelabui perasaannya. Wajah mendadak murah.
“Namun, ke esokan harinya wajah Mama mendadak rusak dan dia koma selama dua hari
dan akhirnya ... meninggal.”
Azka menggigit bibirnya. Lelaki itu mengadah berusaha tegar, lalu menunduk lesu. Nadira
memandang iba lekaki tertunduk di sampingnya.

“Kamu gak naik kelas gara-gara ...?” Nadira kembali bertanya.

“Setelah Mama aku meninggal. Aku nyalahin diri sendiri karena Mama make skincare dari
aku. Sama halnya dengan Alex karena itu persahabatan kami hancur. Aku nggak keluar
rumah semenjak Mama meninggal dan terus-terusan mengurung diri. Karena itu aku tinggal
kelas.”

Setelah mendengar penjelasan Azka, Nadira mengangguk pelan. Dia sudah curiga sejak
awal, karena lelaki yang sering sekali membaca buku, bahkan tidak pernah berkelahi
tersebut bisa-bisanya tinggal kelas.

“Kayaknya bukan cuman gara-gara skincare, deh,” simpul Nadira seketika membuat Azka
menoleh padanya dengan wajah penasaran.

“Maksdunya?”

“Entahlah.”

Selagi ingin berbicara dan memperbaiki mood-nya Nadira akan mengeluarkan unek-unek
yang tak sempat ia tanyakan, ralat, memang sengaja tak ia tanyakan.

“Tentang remukan kertas itu?” Nadira bertanya maksud dari kertas bertuliskan kata-kata
menggelikan yang dilempar Azka pada hari pertamanya.
“Soal itu ....” Azka tak melanjutkan kata-kata. Ia tak tahu harus menjawab apa.

“Gak usah bahas.” Nadira berdiri, lalu berjalan ke pinggiran jalan, diikuti Azka..Gadis itu
melambaikan lengan ketika melihat angkot yang mulai mendekat. Angkot tersebut berhenti
di hadapan Nadira. Lantas gadis itu langsung masuk dan diikuti Azka.

Setelah mereka duduk. Angkot pun kembali berjalan.

“Kok kamu ikut?” tanya Nadira.

“Mau pulang,” jawab Azka.

‘Bukannya rumahnya gak ke arah sini, ya?’ batin gadis itu.

“Dek, pacarnya ganteng, ya,” seru seorang mbak-mbak, membuat Azka dan Nadira salah
tingkah. Mereka berdua tak menjawab dan sibuk dalam pikiran masing-masing, sedangkan
orang-orang dalam angkot yang kebanyakan wanita tersebut berbisik dan sesekali melirik ke
arah Azka.

‘Dulu, kita juga pernah diduga pacaran,’ batin Azka.

‘Dua bulan lalu diduga pacaran ama lelaki setres, sekarang diduga pacaran ama lelaki ....’
batin Nadira.
Seorang gadis mengendap-endap memasuki kamar bercat hitam yanh luas dilengkapi meja
rias beserta cermin, nakas, juga kasur berwarna biru tua. Pemilik kamar itu teramat
menyukai warna gelap. Bahkan, pakaian pun hanya beberapa berwarna terang. Pemilik
kamar tersebut pun suka memakai hoodie juga kaos polos dan tidak suka memakai pakaian
ketat karena menyesakkan.

Gadis yang memakai baju tidur berwarna merah muda juga tetersebut menuju ke meja rias.
Sejenak Ersya memandang wajahnya yang putih bersih di pantulan cermin.

Kemudian, ia beralih pandang pada skincare Nadira yang tertata rapi. Gadis itu tersenyum
simpul, lantas menukar skincare Nadira dengan skincare di dalam kantong plastik.

Merek dan tempatnya peris sama. Namun, kualitasnya jelas berbeda. Setelah menukar
skincare tersebut. Ersya keluar dan kembali ke kamarnya.

Setelah mendapat gaji yang agak lumayan Nadira terus berpikir, untuk apa uang ini ia
gunakan? Gadis yang memegang amplop tersebut masuk ke kamar dan berjalan menuju
nakas, lalu memasukkan amplop ke dalam laci, lalu melempar tas selempangnya ke kasur.

Gadis yang mengenakan kaos polosan juga celana kain hingga ke mata kaki itu duduk di
kasurnya. “Aku gak tau gimana lagi ini. Aku bener-bener putus asa. Mereka selalu
mengejarku ke mana pun aku pergi. Kapan pem-bully ini pergi?” Gadis itu merebahkan
dirinya.

Memikirkan tentang kejadian pagi dan siang tadi membuat kepalanya pusing tujuh keliling.
Dia berusaha menjauh dari para pem-bully itu, tetapi seolah-olah dunia mempertemukan.
“Aku capek. Aku capek. Aku gak kuat.” Nadira memukul-mukul kasurnya. Ia menatap langit-
langit kamarnya yang seolah-olah tampak wajah, Gelecia, Vanessa, Dewa, Raja, dan Ersya
yang menertawakannya.

Pandangan tadi seketika buyar ketika Nadira teringat Azka yang mengetahui seberapa
lemahnya ddi, padahal gadis itu tak ingin t seorang pun tahu tentang masalahnya, tetapi
Azka dengan sejenak mengetahui semuanya.

Tak ingin mengingat masalah yang begitu membuat hati gundah. Nadira mengambil tas
sandang berwarna cokelat dan membuka, lalu mengambil ponselnya. Gadis itu membuka
aplikasi berwarna oranye.

Pukul 22.30 gadis itu masih terjaga dengan lampu kamar yang masih menyala. Nadira
marathon membaca cerita berjudul ‘Ibu’ di sebuah platform kepenulisan. Dia terbawa
hanyut dengan cerita tersebut.

[Ceritanya bagus.] Komen Nadira.

**

Alex termenung menatap layar laptopnya. Ia menguap kala merasakan kantuk yang
menyerang. Sebuah notifikasi yang berasal dari aplikasi berwarna oranye mengagetkan
lelaki yang memakai pakaian tidur tersebut.

[Ceritanya bagus.]
Seketika mata yang terserang kantuk tersebut kembali segar kala mendapat komenan dari
akun bernama ‘Adiralia-Atmaja48’. Lelaki itu langsung membalas komenan tersebut.
Padahal ia sangat jarang membalas komenan readers di ceritanya.

[Makasih dah mampir.] Lelaki itu membalas lewat akunnya yang bernama ‘Al_203’.

**

Nadira mengelap wajahnya dengan handuk. Gadis yang baru sesudah mandi itu berjalan
menuju meja rias. Gadis itu duduk dan memandang wajahnya di pantulan cermin dengan
sesaksama.

Jerawat batu kembali tumbuh di hidung mancungnya, beruntusan di pipi kiri, kanan, juga
dahi, flek-flek hitam di mana-mana. Gadis itu tahu kenapa ia terus-menerus berjerawat,
selain karena menjaga kulit ia juga sering setres.

“Apa di pikiran Azka, ya, pas ngeliat wajah aku kayak gini.” Gadis dengan rambut bersimpul
tersebut. Mengambil cream malamnya, lalu mengaplikasikan sedikit ke lehernya.”Oh, iya.
Uang itu buat bayar utang skincare. Kali ini aku gak ingin berhutang dengan mereka lagi.”

Nadira menatap seksama kembali pantulannya di cermin. Seperti ada yang hilang. Gadis itu
melihat lehernya. Ya, liontin. Setelah mengingat liontin berwarna ungunya hilang pikiran
yang tadinya mulai aman kembali terusik.

“Astaga liontin aku.” Gadis itu langsung berdiri dan mondar-mandir tanpa henti. Setelah
mengingat bahwa kalungnya hilang di taman ia menghempaskan diri ke kasur. Dia ingin
memikirkan liontinnya esok hari. Karena hari ini sudah cukup melelahkan juga memusingkan
baginya. Panas yang menjalar di wajah tak ia hiraukan, ia langsung terlelap.
***

Azka berbaring di kasurnya. Kamar yang hanya diterangi lampu tidur itu teramat senyap,
hanya suara jangkrik yang mengisi sunyi. Lelaki dengan tangan lengan di atas dahi tersebut
menatap langit-langit kamarnya.

Pikirannya menerawang jauh. Dia berdecak kala mengingat tulisan Nadira yang dibacanya
juga kejadian siang tadi. Setelahnya lelaki yang mengenakan kaos berwarna putih tersebut
menghela napas.

“Dia juga banyak beban. Lalu aku meminta bantuannya? Cih, aku sudah gila!” umpat Azka
dengan suara beratnya.

“Kami hanya bertemu di kelas, bahkan jarang sekali bertegur sapa. Namun, kami
mempunyai masalah yang selaras.”

***

“Ini leherku kenapa?” tanya Nadira yang melihat dirinya di pantulan cermin. Dia baru saja
bangun tidur dan merasakan gatal di leher sehingga memilih bercermin. Namun, yang ia
lihat adalah sebagian lehernya seperti terbakar tepat di tempat ia mengaplikasikan skincare
semalam.

“Ya, ampun untung Cuma kecil.” Gadis itu masih bersyukur. Dia melirik skincare yang
diduganya diberi oleh Alvin. “Pasti gara-gara ini!”
***#

Part 20

Baru saja memasuki gerbang sekolah, siswa-siswi memandang Nadira dengan tatapan yang
tak dapat dijelaskan. Mereka saling berbisik-bisik, bahkan ada yang tak segan berbicara
terang-terangan.

“Seberapa cantik, sih, dia?”

“Sok polos!”
“Ais itu lehernya jangan-jangan kena?”

Mereka saling membicarakan Nadira pelan, hanya sedikit yang terdengar di telinga gadis
yang memegang lehernya tersebut.

Gadis itu tak tahu ada masalah apa dan apa yang terjadi. Dia merasa seolah-olah dia
menjadi pusat utama di mana pun ia melangkah tatapan tetap menuju padanya.

Memasuki lorong ‘tuk menuju ke kelasnya Nadira terus menunduk. Dia heran para siswa
yang berada di kelas, bahkan rela melihatnya lewat jendela, tetapi mereka tidak hanya
melihat. Namun, juga melemparkan gadis itu dengan kertas yang sudah diremuk.

Nadira terus menunduk. Jantungnya berdebar-debar kala mendengar sorakan yang menuju
padanya. Ia menelan ludah berat.

“Selamat, ya. Kita iri tau!” ucap seorang gadis membuat Nadira menautkan alisnya. Gadis itu
pun berlari ingin cepat menuju ke kelasnya. Setelah sampai di ambang pintu, seisi kelas
langsung menoleh padanya.

Nadira tertegun perlahan ia melangkah menuju ke meja, meletakkan tas sembari duduk.
Astarla yang juga berada di kelas mendekat ke arah Nadira.

“Nanad coba cek GC Palung Mariana khusus siswa di Telegram,” ungkap Astarla membuat
Nadira langsung membuka ponsel dan membuka GC di Telegram.

Setelah meng-scrol panjang akhirnya Nadira menemukan namanya juga beberapa foto.
[Alvin dan Nadira berpacaran. Mereka memakai gelang couple, berjalan bersama, bahkan
Alvin memukul orang demi menyelamatkan gadis itu. Menurut kalian secantik apa gadis di
balik masker itu? Padahal dia itu pekerja paruh waktu yang teramat lusuh]

Pesan itu dilengkapi foto Nadira yang memakai gelang yang sama dengan Alvin, juga gelang
Alvin, adapun foto Nadira dan Alvin yang berada di depan supermarket, Alvin yang memukul
Dika demi Nadira, juga Nadira yang berkerja di supermarket. Satu foto yang menarik
perhatian Nadira, fotonya di supermarket yang dipegang oleh seseorang pria dan saling
bertatapan.

Gadis itu baru ingat, ia memang pernah digoda, tetapi ia langsung marah-marah. Dia pun
dipegang tak sampai semenit. Bahkan tatapannya saat itu bukan tatapan menggoda
melainkan tatapan kemarahan.

Ada satu lagi foto. Foto di mana gadis itu diantar oleh Alvin, Azka, dan Alex saat baru pulang
dari kerja. Wajah ketiga lelaki itu diblur.

Nadira semakin tertekan kala membaca semua hujatannya di dalam grub tersebut. Terlebih
tatapan intimidasi seisi kelas.

“Gue gak nyangka, sih, gue kira cewek pendiam kayak lo gini itu polos, tapi ternyata
enggak,” cecar salah satu dari lelaki yang duduk di pojokan. Mereka semua menoleh ke arah
Nadira dengan tatapan kecewa.

“Nanad. Gimana, nih?” tanya Astarla. “Aku keluar dulu, ya. Kamu hati-hati di sini,” ucap
gadis itu, lalu melenggang pergi.
Nadira menunduk lesu, gadis itu memejamkan matanya, lalu kembali membuka mata. Gadis
itu mengacak-acak rambutnya frustrasi membuat seisi kelas langsung mengarahkan kamera
padanya.

“Hei! Berhenti memvideo!” tegas seorang lelaki berseragam lengkap yang baru saja datang.
Membuat Nadira menghentikan aksi gilanya juga membuat siswa-siswi yang memvideo
tersebut ada yang mematikan HP juga keluar dari aplikasi kamera.

Azka, lelaki yang bertegas tadi berjalan menuju mejanya, lalu meletakkan tas. Ia
memandang iba pada Nadira yang sama sekali tak menoleh padanya. Gadis itu terus
memandang ke depan dengan tatapan kosong.

‘Apa ini suprise dari kalian Dewa, Raja, Fira, Gelecia, Vanessa, Kakak?’ batin Nadira. Ia
mengerjapkan mata yang berembun tersebut, membuat buliran bening seketika mengalir.

Azka yang melihat gadis itu menangis mengepal tangannya erat. Dia membuka tas dan
mengambil hoodie berwarna hitamnya. Kemudian menyodorkan pada Nadira membuat
gadis itu langsung menoleh.

“Pakai ini, temuin Alvin,” kata lelaki itu. Nadira mengadah sejenak, lalu mengambil hoodie
tersebut.

“Makasih, ya.”
Setelahnya Nadira langsung memakai hoodie tersebut, lalu menanggalkan ikat rambut
membiarkan rambut lurus tersebut tergerai. Baju yang berlapis-lapis membuatnya sedikit
kegerahan, terlebih lagi rambut yang tak diikat.

Nadira menoleh pada Azka. “Di mana Alvin?”

“Di belakang sekolah,” jawab Azka.

Nadira langsung memakai penutup hoodie dan mengambil tas. Kemudian langsung berlari
keluar. Teman-teman sekelasnya hanya memandang kaget dan berdecak heran.

Nadira terus berlari sembari memegang penutup hoodie agar tidak terbuka. Gadis itu
memang mejadi sorot perhatian karena berlari, tetapi ia tak dikenali.

“Lo pacaran ama Nadira?” Sesampainya di sana Nadira disambut dengan suara berat. Gadis
itu melirik kedua orang yang saling berhadapan. Dia mundur beberapa langkah agar dirinya
tak dilihat karena terhalang oleh dinding.

Gadis itu mengintip.

“Gilak, ya, lo? Gue gak mungkin pacaran ama dia!” tegas Alvin.

“Gue gak percaya dari awal gue yakin banget kalau lo itu suka ama Nadira. “ Alex tetap
kekeh dengan pendiriannya. Mendengar namanya disebut-sebut hati Nadira mencelos
seketika.
“Lo mau nikung gue dari belakang?” tanya Alex.

“Emang kalian pernah jadian?” Alvin balik bertanya.

Alex kehabisan kata-kata. Ia memicingkan matanya menatap orang di depan penuh selidik.
“Apa Jangan-jangan pas ngerencanain nyuruh Azka ngelempar remukan kertas yang isi
tulisannya alay ke Nadira supaya Nadira ilfeel sama Azka itu Cuma cara lo sendiri buat
deketin Nadira?”

Mendengar penuturan itu Nadira menelan ludahnya berat. Ia tak menyangka kedua lelaki
itu benar-benar sejahat itu pada Azka sama seperti kakanya.

Alvin memegang pundak Alex. “Pas kita nukarin kertas ujian Azka ama punya lo yang sengaja
lo salah-salahin supaya Azka gak naik kelas lo pikir itu juga karena Nadira? Ya, kali, kenal aja
enggak.”

Nadira mengepal tangannya. Gadis itu langsung berlari pergi. Perasaannya teramat kecewa.
Memang tak pantas baginya untuk mempercayai orang-orang yang penuh dengan sejuta
kebohongan juga sejuta kebencian.

Azka sama dengannya dikhianat dan disakiti oleh keluarga sendiri. Meskipun gadis itu tahu
Azka dan Alex hanyalah saudara tiri. Dada Nadira memanas, jantung berdebar hebat.
Sembari berjalan cepat untuk keluar dari sekolah itu Nadira menahan sakitnya juga sesak
napas yang membuatnya terengah-engah.
Nadira berjalan gontai. Ia memegang perut dan tenggorokannya. Asam lambungnya naik ke
kerongkongan membuat tenggorokan gadis itu sakit.

Penyakit Gerd-nya benar-benar menyiksa. Gerd sendiri adalah kondisi yang terjadi ketika
otot di ujung esofagus (sfingter) terlalu kendor atau tidak menutup dengan benar. Hal
tersebut menyebabkan asam yang berasal dari lambungdapat naik, bahkan sampai ke
esofagus yang mengakibatkan sakit tenggorokan.

Nadira tak berniat kembali ke rumahnya. Gadis itu sangat lelah. Sekujur tubuhnya dilanda
rasa sakit. Sembari berjalan ia harus menahan itu semuanya. Gadis yang memakai hoodie
milik Azka tersebut terhuyung-huyung ketika berjalan di lampu merah.

Matanya seketika buram, hingga akhirnya gelap bersamaan dengan dirinya yang tumbang

Part 21 Nadira Hilang

“Lah, bisa-bisanya leher dia yang kena, kenapa gak wajah aja, sih?” Ersya berdecak sebal
ketika mengetahui bahwa wajah adiknya tidak hancur. Meskipun sebal, tetapi gadis itu juga
teramat senang melihat dunia Nadira yang tenang kembali terguncang.

Gadis yang duduk di meja pojokan tersebut mengambil HP di dalam tasnya, lalu menelepon
seseorang. Sembari menunggu panggilan dijawab, gadis berambut ikal tersebut
mengedarkan pandangan ke penjuru kelas memastikan hanya dia seorang yang ada di
tempat bernuansa putih abu-abu tersebut.

“Di mana dia sekarang?” tanya gadis itu setelah panggilannya dijawab.
“Dia tadi ke belakang sekolah mau nemuin Alvin, tapi gak balik-balik sampe sekarang ...
coba lihat WA-mu gue ada ngirimin video.” Suara yang diberi efek itu membuat siapa saja
tak mengenali pemilik suara tersebut.

Ersya berdesis. Dia langsung memutuskan sambungan telepon dan membuka aplikasi
berwarna hijau, tampak pesan dari kontak yang bernama ‘Mata-mata’.

Dia membuka pesan yang terdapat video tersebut. Kemudian memutarnya. Gadis itu
terkekeh ketika melihat di video Nadira yang sedang mengacak-acak rambut frustrasi.

Kelas XI MIPA yang ramai kembali heboh kala Alvin memasuki kelas itu. Lelaki yang bersama
Alex tersebut mengedarkan pandangan mencari gadis bermasker nan dingin. Namun, nihil,
gadis itu tidak ada sama sekali, bahkan tasnya pun tak ada.

Azka yang dari tadi cemas, lantas berdiri ketika Alvin dan Alex datang.

“Di mana Nadira?!” tanya Alvin dengan napas memburu. Azka memandang lelaki itu
kebingungan, pasalnya Nadira tadi pergi untuk menghampiri lelaki yang berkacak pinggang
tersebut, lantas jika Nadira tidak bertemu dengan Alvin ke mana dia?

“Bukannya tadi Nadira mau nemuin kamu di belakang sekolah?” sahut Rosa membuat Alvin
mengangkat alisnya.

“Lo tau dari mana?” tanya lelaki itu.


Rosa cengengesan.”Tadi gue sempet denger.”

Azka menghembus napas gusar. Ia mengusal rambutnya. “Ke mana dia?” lirihnya.

Alvin teramat kesal, ia menendang meja yang menghasilkan suara cukup keras juga sontak
mengagetkan seisi kelas juga luar kelas.

“Gue dan Nadira gak berpacaran! Dan Nadira gak seperti yang kalian pikirkan. Jadi, kalau
gue dengar kalian ngomong macam-macam tentang Nadira, habis kalian!” tegas lelaki itu.
Alex hanya bisa menghela napas gusar dan memegang kepalanya.

“Dasar!” ketusnya.

Ting! Ting!

Baru saja hendak keluar kelas, langkah Azka terhenti ketika mendengar bel masuk. Lelaki itu
kembali ke mejanya dan saling berpas-pasan dengan Alex dan Alvin. Mereka saling pandang
sejenak dan diakhiri dengan kekehan dari Alex.

‘Gue bukannya ngebantu dia, malah ngebuat dia ke pojok kayak gini. Gue harus gimana?’
Alvin membatin cemas sembari berlari menuju ke kelasnya.

Di kelas Azka tetap fokus dengan tujuannya ke sekolah, ya, untuk belajar. Meski pikirannya
terjatuh pada Nadira, cepat-cepat ia membuangnya.
“Azka Al Fahri,” panggil Bu Susi meng-absen. Lelaki itu mengangkat tangan, lalu
menurunkannya.

“Adiralia Atmaja, eh, Nadiralia Atmaja?” panggil Bu Susi lagi. Namun, tak kunjung ada
jawaban. Wanita yang menjadi guru IPA tersebut mengedarkan pandangan dan terhenti
pada bangku kosong di samping Azka. “Ini Nadira ke mana, ya, ada yang tau?”

Seisi kelas kompak menggeleng. Mereka bahkan tak mengabarkan bahwa Nadira tadi
sempat ke sekolah, tetapi kembali pergi. Bu Susi mengangguk sejenak. Kemudian kembali
meng-absen. Setelahnya wanita itu berdiri.

“Sekolah kita sangat tidak mematuhi protokol kesehatan, meski virus ini mulai berkurang,
tetapi kita harus menjaga protokol tiga M. Jadi, jika kalian ingin tetap sekolah tatap muka
kalian harus memakai masker dan patuhi protokol kesehatan mulai besok, bila tidak kita
akan kembali belajar online. Sayangnya murid yang paling mematuhi protokol kesehatan
tidak masuk hari ini, padahal Ibuk pengen denger alasan dia terus memakai masker,” kata
Bu Susi, murid yang ia maksud adalah Nadira. Seisi kelas saling pandang. Kemudian
memandang ke bangku kosong milik Nadira.

“Ke mana, sih, Nadira? Jam segini gak pulang-pulang. Telepon juga gak dijawab!” gerutu
Yana sembari mondar-mandir di depan pintu masuk utama.

Pasalnya ia takut dimarahi oleh Helmi. Bila Helmi tahu anak gadisnya itu belum pulang yang
dimarahi adalah dia. Pria itu bukan peduli terhadap anaknya, tetapi demi menjaga nama
baik keluarga.
Maryana melirim jam di ponselnya, pukul 22.45. Dia menghela napas gusar. Kemarin Nadira
menelpon jika tidak pulang. Namun, kali ini sama sekali tidak.

Pintu tiba-tiba terbuka menghentikan aksi mondar-mandir wanita yang memakai piama
tersebut. Tampak seorang lelaki yang memakai kemeja berwarna biru muda juga celana kain
berwarna hitam.

Lelaki itu masuk dan menutup pintu dari dalam. Dia memandang heran wanita di depannya.

“Kamu kenapa di sini?” tanya Pria yang memegang jasnya tersebut.

“Nungguin kamu,” jawab wanita itu.

“Oh.” Pria itu lantas pergi diikuti Maryana.

***

Alvin menatap liontin yang dipegangnya. Dia hanya fokus ke liontin itu, bahkan suara ibunya
yang memanggil sama sekali tak ia dengar. Lelaki yang duduk di meja makan itu merasa
bersalah pada pemilik liontin berwarna ungu tersebut.

Setelah kejadian kemarin Nadira tak pergi ke sekolah. Di tambah hari ini sudah tiga hari
gadis itu tak bersekolah mengingat itu Alvin menggenggam erat liontin tersebut.
“Alvin. Kamu kenapa, sih?” tanya wanita paruh baya sembari duduk. Namun, sama sekali tak
Alvin jawab. Wanita tersebut melambai tepat di depan wajah Alvin, membuat pikiran lelaki
itu langsung buyar.

“Kamu kenapa?”

“Ma, ada cewek yang kena masalah gara-gara aku. Aku harus gimana?” tanya lelaki itu.
Wanita bernama Anna tersebut menggenggam tangan anaknya yang berada di atas meja.

“Minta maaf, gih, dan selesaiin masalah yang kamu buat itu,” saran Anna.

“Dia gak masuk sekolah, gimana caranya Alvin minta maaf?”

“Ke rumahnya.”

**

Berulang kali seorang wanita berusaha menelepon anaknya. Namun, nomor tersebut tetap
tidak aktif. Wanita itu terduduk di sofa. Memperhatikan suaminya yang berdiri sembari
berkacak pinggang.

“Sudah tiga hari dia gak pulang. Dia ke mana?” tanya Helmi pelan, tetapi terdengar
menakutkan di telinga Maryana. Entah kenapa hati wanita yang duduk di samping Ersya itu
cemas. Ia tak pernah merasakan hal ini.

“Ke mana Nadira?!” tanya pria yang memakai piama tersebut. Ia terduduk dan menunduk
lesu. Hari ini dia pria itu tidak ke kantor karena baru saja hendak mandi ia mendapat kabar
dari istrinya bahwa Nadira tak pulang ke rumah.

“Kenapa gak bilang dari awal?!” tanya pria itu lagi. Dia dirundung rasa cemas. Gadis yang
memakai seragam sekolah tersebut hanya termangu. Dia juga tidak tahu keberadaan
adiknya.
Tok! Tok!

Suara ketukan pintu mengagetkan ketiga orang itu. Mereka lantas menuju ke arah suara.
Mungkin saja itu Nadira, hal itu yang ada di pikiran mereka. Namun, kala pintu dibuka bukan
seorang perempuan melainkan seorang lelaki.

Melihat lelaki yang ia kenal, lantas Ersya bersembunyi di belakang tubuh ayahnya yang
kekar, untung saja Alvin tak melirik padanya dan lebih fokus pada sang ibu.

“Nadiranya ada?” tanya Alvin. Maryana menoleh sejenak pada suaminya, lalu kembali
menghadap ke Alvin sembari menghela napas. Tak jauh dari keberadaan Alvin ada Azka yang
juga hendak ke rumah Nadira. Namun, ia telah didahului oleh Alvin.

‘Dunia ini memang berat atau kita yang lemah?’ batin Azka sembari memperhatikan
punggung Alvin.

“Nadira gak ada. Dia gak pulang selama tiga hari,” jawab Maryana sontak membuat Alvin
terkejut. Lelaki itu mengerjap. Dia menghela napas gusar.

Lelaki itu mengadah. Di mana Nadira sekarang? Apa kabar dia? Pertanyaan itu berkecamuk
di otak kecilnya.

“Saya pamit.” Alvin tak ingin bertanya lagi. Dia ingin sekali berteriak dan mengumpat
dirinya sendiri karena hilangnya Nadira. Sekarang ia merasakan apa yang dirasakan oleh
Azka dulu. Ya, merasa bersalah.

***
Part 22 Rencana

“Nadira hilang?!” Alex menggebrak meja sembari berdiri kala mendengar penuturan dari
lelaki yang sedang duduk di depannya. Mereka yang sedang berkumpul di kantin, lantas
menjadi sorotan.

“Ini semua salah, lo!” tuding Alex membuat Alvin berdiri. Ke lima teman mereka, Andara,
Raffi, Dilan, Riki, dan Glen lantas ikut berdiri.

“Gue tahu ini salah gue, tapi sekarang bukan waktunya marah-marah. Sekarang waktunya
pikiran cara buat nyari Nadira!” tegas Alvin.

Teman-temannya pun ikut menyabari keduanya agar tak tersulut emosi. Alvin dan Alex
berdecak sebal dan kembali duduk, teman-teman mereka pun sama. Keduanya saling
pandang sejenak.
Pikiran mereka tentu saja tentang Nadira. Tentang di mana gadis itu sekarang? Apa
kabarnya? Keduanya pun sama-sama menghela napas. Mereka tak bisa berpikir sama sekali.

Ersya mengamati orang-orang itu sembari meminum jusnya. Setiap kali orang itu menoleh
padanya gadis itu cepat-cepat memalingkan wajah.

“Gini aja. Buat brosur Nadira hilang, fotonya ambil di IG aja,” saran Dilan. Lantas langsung
diangguki. Tak sampai di situ saja mereka pun mengatur rencana untuk mencari gadis itu
agar lebih cepat.

‘Kalian gak bakalan nemuin Nadira kalau pakai foto di IG. Wajah asli gadis itu jelas-jelas
berbeda dengan yang di IG.’ Ersya membatin dan kembali meminum jusnya.

***

“Nadira hilang?” tanya Rosa panik. Gadis itu langsung berdiri dan mendekat ke arah Alvin
yang berada di ambang pintu. Gadis tinggi tersebut menghela napas.

Alvin ikut menghembuskan napas berat sembari mengelus tengkuk.”Lo tau nggak musuh-
musuh Nadira? Mana tau, kan, mereka yang nyulik Nadira.”

Rosa mondar-mandir. Dia berpikir keras setelah mendapat sebuah jawaban ia berhenti
mondar-mandir dan menghadap ke Alvin sepenuhnya.
Azka membuka bukunya juga pena bersiap untuk menulis. Telinganya awas mendengar
pembicaraan kedua orang yang berada di ambang pintu.

“Kemarin, kan, kalau gak salah di resto aku sama Starla ketemu ama Ersya dan geng-
gengnya. Mereka ngebicarain kamu ama Nadira, bahkan ada kata ‘balas dendam’. Kalau gak
salah nama cowoknya Dewa ama Raja. Kalau ceweknya aku lupa,” kata Rosa sembari
mengingat-ingat.

Setelah mendengar hal tersebut Alvin menggigit bibirnya, sedangkan Azka, lelaki itu menulis
nama yang disebutkan oleh Rosa, juga nama Ersya.

“Mereka, mah, bergaya, tapi pake duit ortu. Ditanya ketakutan apa, malah takut miskin,”
cetus Rosa kesal. Kembali lagi Azka mencatat apa yang keluar dari mulut gadis itu.

Alvin menepuk pundak Rosa. “Makasih, ya,” ucapnya lalu berlari pergi. Azka pun sama lelaki
itu langsung berlari mengikuti Alvin.

“Hei!” teriak Rosa.

“Kenapa, sih, teriak-teriak?” tanya Starla yang tiba-tiba datang. Melihat keberadaan Starla
lantas Rosa menarik tangan gadis itu untuk masuk ke kelas. Ia tak memiliki kesempatan
untuk berbicara dengan Starla karena gadis itu terus mengelak. Sesampainya di sudut kelas
Rosa menatap Starla dengan tatapan interogasi.

“Foto yang ada di tele kemarin itu persis ama foto yang aku ambil pakai kamera kamu. Apa
kamu yang nyebarin itu?!” tanya Rosa.
“Kamu gila, ya? Gak mungkinlah aku kayak gitu!” Starla langsung membantah, lalu pergi.

Mereka saling melirik curiga satu sama lain.

***

Ersya senyam-senyum menerima pesan dari grub WA-nya, sesekali gadis itu terkekeh. Di
dalam grub bernam ‘Jeules’ tersebut ada Gelecia, Vanessa, Dewa, Raja, Fira, juga kontak
bernama ‘Mata-mata’.

[Van, Cia, beneran mau pindah ke sini?] tulis gadis itu. Tak beberapa detik langsung dibalas.

Vanessa BF

[Iya. Ini kita lagi di Bandung beres-beres. Sementara tentang Nadira gue serahin ama lo.]
Vanessa membalas.

Dewa

[Gue ama Raja masih di Jakarta. Di Bandung sekarang belajar online. Jadi, ya gitu. Lagian
Papa gue mau mau ngecalonin diri jadi anggota dewan. Jadi, bakalan lamalah di sini.]

Rajanya Swag

[Ho’oh.]
Ersya

[Sharelok. Nanti gue mau mampir ke rumah lo.]

Tak beberapa lama akhirnya Dewa mengirim alamat rumahnya. Tiba-tiba Alvin datang dan
langsung menarik gadis itu. Ersya meletakkan HP-nya yang masih menyala di atas meja dan
mengikuti ke mana Alvin membawanya.

Azka yang tadi mengikuti Alvin tanpa lelaki itu sadari masuk ke dalam kelas tersebut dan
langsung menuju ke meja Ersya. Lelaki itu tersenyum tipis kala melihat HP Ersya yang
menyala. Jadi, dia tak perlu susah-susah menebak pola atau kata sandi HP tersebut.

Azka celingak-celinguk memastikan tak ada orang yang melihatnya. Setelahnya lelaki itu
mengambil HP Ersya, ia menyimpankan kontaknya pada HP gadis itu. Ia meneruskan nomor
Dewa dan Raja ke kontaknya, lalu lokasi yang dikirim Dewa tadi.

Lelaki itu membaca pesan grub tersebut. Ia tercengang ketika melihat semua foto Nadira
yang persis ada di telegram ada di grub tersebut yang dikirim oleh kontak bernama ‘mata-
mata’. Tak hanya itu di pesan selanjutnya pun ada video Nadira yang sedang frustrasi dan
mengacak-acak rambut asal di dalam kelas, dikirim oleh ‘Mata-mata’.

Azka kembali meng-scrool ke atas. Ada satu video

Yang dikirim oleh kontak bernama ‘Fira’. Azka menontonnya. Rahangnya mengeras ketika
menonton video di mana Nadira yang dijahili di taman. Lelaki itu beralih ke media yang
dikirim ke grub tersebut, lalu meneruskan semuanya ke kontaknya. Kemudian, ia juga
meneruskan kontak-kontak yang ada di grub tersebut ke kontaknya. Setelah terkirim, lelaki
itu menghapus semua pesan juga kontaknya. Lantas pergi. Alvin langsung melepas
cengkeramannya ketika sudah sampai di belakang sekolah.
Alvin memegang bahu Ersya dan menatapnya dalam-dalam. “Lo tau, kan, di mana Nadira?!”
tanya Alvin sembari mengguncang Ersya membuat gadis tersebut tertegun seketika.

“Gue gak ada hubungannya ama dia!” balas Ersya suaranya takkalah tinggi dan tatapannya
takkalah tajam.

“Gue tau lo kakaknya Nadira! Jadi, jangan bohong lagi!” terang Alvin membuat Ersya
seketika terpaku sejenak. Gadis itu memalingkan wajahnya dan menepis kedua tangan yang
memegang bahunya.

“Nadira yang bilang?” tanyanya.

“Enggak gue menyelidiki sendiri.”

“Nadira gak pulang selama tiga hari dan gue gak tahu apa-apa.” Ersya menunjuk wajah lelaki
di deoannya. “Dan lo denger, ya, kalau lo berani bilangin ke orang-orang kalau gue kakaknya
Nadira, lo bakalan ngebawa Nadira ke masalah lagi.”

Padahal Alvin yang tadinya hendak mengancam gadis yang hendak pergi tersebut. “Lo juga
yang nyebar hoax kalau gue dan Nadira pacaran juga fitnah lainnya itu?!” teriak lelaki itu
sembari menatap lekat punggung Ersya.

“Terserah lo! Satu lagi kalian gak bakalan nemuin Nadira dengan brosur konyol kalian itu!”
teriak Erysa membuat Alvin kesal. Lelaki itu mengepal tangannya kuat.
Part 23 Terungkapnya

“Pak si Nadiranya masih bekerja di sini, gak?” tanya Alvin pada bos supermarket berbadan
gemuk yang duduk di kasir.

“Bocah kuwi. Sawise entuk gaji pertama, Nadira ora kerja maneh. Dhasar! Karyawan paruh
waktu sing ora duwe niat makarya!” oceh pria tersebut sembari berdiri. Dia melirik Alvin
yang kebingungan.

“Dia gak pernah mampir lagi?” tanya Alvin lagi.

“Ora!” teriak pria tersebut memekakkan telinga. “Keluar!” titahnya sembari menujuk ke
arah pintu luar. Lelaki itu berdesis, lantas keluar sembari mengelus kupingnya.

Di luar ada Alex, dan kelima temannya yang menunggu Alvin sembari memegang lembaran
brosur.

“Gimana ada?” tanya Andara.

“Gak ada,” jawab Alvin, lesu. Mendengar jawaban Alvin mereka menghela napas. Dilan
mengerjap sembari melangkah menuju ke supermarket. Namun, langkahnya terhenti ketika
tertabrak seorang gadis yang membuat barang bawaan gadis tersebut jatuh.

Alex, Alvin, Andara, Raffi, Riki, dan Glen yang melihat kedua orang itu, menyoraki Dilan.
Gadis bernama Alena tersebut hendak mengambil buku novelnya, tetapi telah didahului
oleh Dilan.
Alvin dan Alex yang sekilas melihat sampul novel tersebut seketika menghampiri Dilan.

“Sini, mau liat.” Alvin merampas novel yang baru saja hendak Dilan berikan pada gadis
bermasker. Alex dan Alvin mengamati novel tersebut, lalu melihat nama penulisnya ‘Triple
A’. Mereka saling pandang sejenak. Kemudian Alvin membuka halaman paling belakang,
tempat biodata.

Setelahnya mereka saling pandang kembali.

“Hei! Ini bukuku.” Sontak Alena merampas kembali bukunya.

“Lo dapet dari mana novel ini?” tanya Alvin, tetapi tak dijawab.

“Lo dapet dari mana?!” tanya lelaki itu kembali. Alena masih terdiam. Melihat gadis itu yang
tampak tertekan Dilan pun mengalihkan pembicaraan.

“Kamu temennya Nadira, kan? Nadira hilang, tolong sebarin brosur ini, ya. Atau ditempel di
mana gitu.” Dilan menyodorkan beberapa brosurnya dan langsung diambil oleh Alena.
Lantas gadis itu segera pergi.

Alvin menepuk pundak Dilan. “Lo kenapa, sih? Gue mau nanya ama dia doang dapat buku
itu dari mana,” kata Alvin kesal.

“Udah-udah! Mau nyari Nadira gak, nih?!” teriak Glen.


Panas yang terik tak membuat Alex, Alvin, dan kelima temannya lelah. Mereka membagikan
brosur-brosur ada pula yang menempelkan di dinding, bahkan tiang listrik.

Satu persatu orang yang lewat di pinggir jalan mereka beri brosur tersebut, bahkan saat
lampu merah mereka membagikan pada pengendara beroda empat juga beroda dua.

Sesekali menghela napas, tetapi tak kunjung lelah. Mereka bertanya ke sana ke mari.
Namun, nihil tak satu pun yang pernah merasa menemui Nadira.

“Pak, pernah ketemu ama orang ini, gak?” tanya Andara pada pengendara motor yang
berhenti di lampu merah. Bapak-bapak tersebut memperhatikan wajah di selebaran kertas
tersebut, seperti familier.

Bapak-bapak tersebut teringat saat ia membantu membopong Nadira yang pingsan ke


dalam mobil seorang pria beberapa hari yang lalu. ‘Agak mirip, sih, tapi gak mungkin gadis
itu. Beda jauh,’ batinnya.

“Pernah, gak, Pak,” tanya Andara lagi.

“Enggak,” jawab Bapak tersebut, refleks menggeleng kepala yang memakai helm.

Azka mengetuk pintu rumah Nadira. Tak beberapa lama pintu tersebut terbuka dan
menampakkan seorang wanita paruh baya. Wanita tersebut tersenyum.
“Eh, kamu temennya Nadira? Masuk, masuk. Ada apa ini jam tujuh malam datang ke
rumah,” kata Maryana, mempersilakan lelaki yang memakai kemeja hawai tanpa dikancing
di depannya untuk masuk. Lantas Azka masuk.

Mereka menuju ruang tamu, di sana ada Helmi yang duduk sembari berpikir keras. Maryana
kembali mempersilakan Azka ‘tuk duduk, lelaki itu pun duduk di sofa yang berlawanan
dengan Helmi, sedangkan Maryana duduk di samping suaminya.

“Kamu mau cari Nadira, ya?” tanya Helmi. “Kamu gak tau Nadira hilang?”

Belum sempat menjawab Helmi kembali menyerang Azka dengan pertanyaan.

“Nadira di sekolah punya pacar enggak? Mana tau dia dibawa lari sama pacarnya. Anak itu
sudah sering pulang malam, ini malah hilang pula. Nyusahin banget,” tanya Helmi sembari
menggerutu. Azka terdiam, ia baru sadar ternyata orang tua Nadira sama sekali tak
mengetahui bahwa gadis itu bekerja, makanya pulang malam.

“Dia gak ngasi tahu?” tanya Azka.

“Jadi, dia beneran punya pacar? Dasar, anak ini!” terka Helmi. Azka menghela napasnya. Ia
mengambil ponsel di saku celana lenjingnya, lalu membuka ponsel tersebut.

Lelaki itu membuka foto Nadira yang tengah bekerja di supermarket, lalu meletakkan di atas
meja agar Maryana dan Helmi dapat melihat.
“Apa ini?” tanya pria tersebut sembari mengambil ponsel Azka dan memperhatikan foto di
layar benda pipih tersebut.

“Ini Nadira? Dia kerja untuk apa? Apa uang yang kita kasi tidak cukup?” tanya Helmi.
Maryana hanya mengangkat bahu tidak tahu.

Azka memutar bola matanya, lalu melihat ke pria di hadapan yang meletakkan kembali
ponsel. “Dia kerja buat beli skincare,” jawab lelaki tersebut sembari mengambil kembali
ponselnya.

Pria yang memakai piama itu mengepal tangannya erat. “Anak ini memang nakal! Untuk apa
skincare itu? Untuk jadi cantik, cantik itu gak penting yang penting itu pinter.”

“Ya, bener itu. Sudah dibilangin kemarin padahal!” sambung Yana.

Azka memutar video Nadira yang dibully di dalam kelasnya, dijahili di meja makan, juga yang
lainnya satu persatu dan mempersilakan untuk sepasang suami istri tersebut menonton.

“Oke. Semua dah kumpul. Mari mainkan yel-yel kita, terlebih dahulu!” Terdengar suara dari
HP tersebut.

“1... 2 ... 3 ...!”

“Na, Na, Na, Nadira jelek. Wajahnya beruntusan .... Giginya kuning matanya lebar itulah
Na-di-ra jelek!”
Suami istri tersebut terkejut ketika melihat Ersya yang ikut mengejek adiknya. Keduanya
saling pandang. Kemudian beralih pandang pada Azka yang menarik napas dan
menghembuskannya gusar.

“Bagaimana dia bisa tenang belajar? Jika sekolah yang seharusnya untuk tempat belajarnya
dijadikan opera untuk mengejeknya,” kata Azka, lalu menggeser layar beralih pada video
selanjutnya. Maryana dan Helmi kembali menonton.

Mata mereka berkaca-kaca ketika melihat di dalam video yang berlatar taman tampak
Nadira yang kesusahan mengambil tasnya. Kata-kata ejekan yang keluar dari video tersebut
membuat Helmi panas.

Banyak lagi video saat Nadira dibully yang mereka tonton. Semakin menonton dan melihat
wajah Nadira di layar yang menyedihkan, semakin remuk pula hati mereka.

“Nadira maafkan Papa.”

“Nadira maafkan, Mama.”

Maryana dan Helmi tertunduk lesu. Mereka terisak kala menyaksikan tekanan mental yang
diterima oleh anaknya. Sudahlah gadis itu tekanan batin di luar rumah, tetapi mereka malah
menambahnya di dalam rumah. Seakan gadis itu tak ada lagi tempat untuk berlindung.

“Papa gak tau seberat itu hidupmu di luar sana. Bapak gak tau betapa kamu berjuang di luar
sana demi melindungi dirimu sendiri. Cinta pertamamu, malah menyakitimu secara mental.
Maafkan Papa,” ucap Helmi. Pria tersebut menunduk dan mengusal kepalanya. Pria yang
dirundung rasa menyesal tersebut mengerang, hatinya sakit sekali ia kecewa pada diri
sendiri.

Part 24 Rencana yang Dirancang


“Mama kira hanya kakak kamu yang patut disayang karena dulunya dia sering tersakiti.
Namun, sekarang kamu yang tersakiti oleh orang yang Mama duga patut disayangi.”
Maryana terisak. Dadanya teramat sesak menahan tangisan agar tak pecah. Ia ingin sekali
berteriak dan memukul dirinya sendiri.

Helmi mengadah. Tubuhnya bergetar hebat ketika membayangkan tamparan-tamparan


yang ia layangkan pada pipi Nadira juga perkataan kasar yang ia lontarkan. Mata memerah
dan hidung berair tersebut membuktikan ia menangis karena penyesalan terdalam.

Maryana takkalah menyesalnya. Mengingat perlakuan tak adilnya pada gadis yang hilang
tersebut. Ia mengepal kuat.

Azka hanya memperhatikan dua orang di depannya. Lelaki itu mengambil ponsel untuk
menelepon seseorang, lalu menempelkan benda pipih berkamera tiga tersebut di daun
telinga.

“Sekarang!” katanya ketika telepon dijawab. Lantas meletakkan kembali ponsel di atas meja.
Lelaki itu terkejut kala Maryana dan Helmi berdiri di depan. Dia mendongak, lalu berdiri.
Sontak sepasang suami istri tersebut memeluknya erat.

“Makasih banget kamu dah memberi tahu tentang ini semua. Kami tak tahu harus
membalas dengan apa lagi,” kata mereka serempak. Azka yang sesak karena dipeluk terlalu
erat tak mampu berkata-kata.

“Azka,” panggil seseorang yang membuat Maryana dan Helmi melepas pelukan dan
menoleh ke asal suara, tepat di samping mereka. Seketika Azka menghembuskan napasnya
lega.
Mereka menatap pada dua lelaki yang sedang menunggu. Ada perasaan familier saat
melihat kedua lelaki tersebut di benak Yana dan Helmi. Keduanya mencoba mengingat-
ingat.

“Mereka, kan?” duga Helmi ketika sekilas mengingat.

Azka mengangguk pelan ketika Yana dan Helmi meliriknya. “Dia yang mem-bully anak
kalian.”

Dada pria berbadan kekar itu seketika memanas. Sontak ia langsung menarik kerah Dewa.
Dengan tatapan tajam ia menatap lelaki yang merasa tercekik di depannya. “Beraninya
kamu membuat anak saya menderita!” kata pria itu sembari hendak melayangkan tinjunya.
Namun, berhasil ditahan oleh Azka.

“Maaf, Om. Jangan main tangan.” Azka melepaskan genggamannya dan seketika Helmi
menurunkan tangan juga melepas tarikan di kerah Dewa.

“Heh kamu, ya!” Kini, Yana pula yang memukul Raja. Raja meringis kesakitan ketika
tubuhnya terus dipukul bertubi-tubi. Akhirnya Yana berhenti karena ditenangi oleh Azka,
meskipun kekesalannya masih menumpuk.

Mereka pun duduk di sofa. Seketika saja Raja dan Dewa ditatap dengan tatapan intimidasi,
termasuk Azka karena dia berada di tengah-tengah kedua lelaki tersebut.
“Kamu dengan siapa saja membully anak saya?” tanya Helmi. Sejenak Dewa dan Raja saling
pandang, lalu mengangguk pelan.

“Saya, Dewa, Ersya, Gelecia, Vanessa, dan lain-lain,” jawab Raja sembari menunduk.
Mendengar nama Ersya disebut Helmi mengepal kuat, sedangkan Yana dirundung rasa
kecewa.

“Ersya! Keluar!” teriak Helmi. Di dalam kamar Ersya yang sedang bermain ponsel sembari
tiarap di kasurnya langsung mengubah posisi menjadi duduk.

Dia berdesis, kesal sembari meletakkan HP-nya di kasur, lalu keluar. Gadis yang mengenakan
baju tidur berwarna merah muda berbahan katun tersebut mendekat ke ruang tamu.

“Apa, Pa?” tanya gadis itu, sontak Dewa dan Raja melirik ke arah belakang Helmi. Dewa dan
Raja terbelalak dan lantas berdiri. Terlebih Ersya, ia langsung bergeming dan menelan
ludahnya berat.

Kedua lelaki itu menunjuk Ersya. “Jadi, lo, Kakaknya Nadira?!” duga keduanya serempak.
Erysa mendekat, tatapan dua lelaki tersebut mengarah ke mana ia berjalan.

Ketika Ersya duduk di samping ibunya, lantas keduanya ikut duduk.

“Om, Tante, kita minta maaf banget atas apa yang udah kita lakukan. Kita berdua janji gak
bakalan lakuin hal itu lagi,” ucap Raja yang disambut senyuman tipis dari Azka.
Ingin sekali Helmi dan Yana memukul dan menumpahkan segala amarah pada dua lelaki
tersebut. Namun, mereka telah mendapat wanti-wanti dari Azka.

Helmi dan Yana beralih pandang pada Ersya yang tertunduk sembari menggigit kuku.

“Kenapa kamu menjadi seperti ini?! Kenapa kamu tega-teganya merusak mental adik
kamu?!” Helmi berdiri dan menunujuk pada Ersya sejenak. Gadis itu mendongak. “Dia Cuma
ngerasain setahun doang diginiin. Aku lebih berat, aku dari kecil sampai SMP di-bully,”
balasnya.

“Terus kamu marah padanya gara-gara kamu di-bully?” tanya Helmi, Yana berdiri
bersamaan dengan Ersya, wanita itu berusaha menenangkan suaminya.

“Ya aku marah! Karena gak adil kenapa dia cantik, sedangkan aku jelek dulunya!” jawab
Ersya.

“Sekarang kamu itu sama aja kayak orang yang mem-bully kamu dulunya. Kamu gak ada
bedanya. Jadi, ini cara kamu membalas pada pem-bully kamu? Dengan menjadi pem-bully
juga?” Helmi berucap dengan nada rendah, tetapi penuh penekanan. “Papa kecewa ama
kamu.” Pria itu pergi dengan perasaan yang kecewa.

“Sejujurnya Mama juga kecewa,” lanjut Yana, lalu menyusul suaminya.

Dewa terkekeh”Ternyata kamu lebih kejam dari kita.”


Setelah mengucap hal itu mereka pergi meninggalkan gadis tertunduk dengan tangan yang
mengepal.

Setelah menutup pintu dari luar Azka berucap, “Makasih atas kerjasamanya.”

“Ye,” balas keduanya serempak.

“Ingat jangan lakuin lagi,” kata Azka dan ditanggapi anggukan. Mereka pun pulang ke rumah
masing-masing.

Enam jam yang lalu.

Azka turun dari motor ninja berwarna hitamnya. Lelaki itu membuka helm dan meletakkan
di atas motor. Dia memandang rumah besar di depannya sembari menghela napas.

Perut yang keroncongan tak ia hiraukan. Wajar cacing di dalam perutnya berteriak
kelaparan, pasalnya setelah pulang sekolah lelaki yang memakai masker itu langsung
menuju ke alamat Dewa.

Dia langsung berjalan ke arah pintu masuk dan memencet tombol bel. Tak beberapa lama
pintu terbuka menampakkan seorang wanita.

“Ada apa, ya?” tanya wanita yang bertugas sebagai asisten rumah tangga.

“Saya temannya Dewa,” jawab Azka berkilah. Tak lupa senyuman ia sunggingkan meski tipis.
“Tuan Dewa ama Raja belum pulang, mungkin sebentar lagi pulang, silakan masuk. Jangan
lupa pakai ( hh)-nya.” Wanita tersebut mempersilakan Azka untuk masuk. Lelaki itu pun
masuk, lalu tangannya disemprotkan (hh) oleh ART tersebut. Lelaki itu duduk di sofa yang
cukup empuk baginya, sofa di rumahnya lebih empuk.

“Bi, saya pengen ketemu sama ayahnya Dewa, ada?” katanya lagi.

ART tersebut mengangguk. “Bapaknya ada. Untung kamunya pergi hari ini. Bapak selalu ada
di rumah setiap hari ini.” Setelah berucap, lantas wanita itu berjalan menuju keberadaan
tuan rumahnya yang berada di lantai atas.

Lima menit hampir berlalu, akhirnya terdengar suara derap langkah yang menuruni anak
tangga. Hingga mendekat ke arah Azka. Tampak seorang pria yang mengenakan kemeja
berwarna biru tua juga celana kain, lantas Azka berdiri.

“Saya kira klien saya,” terang pria tersebut sembari duduk diikuti Azka. “Ada apa?”
tanyanya.

Azka menyodorkan HP-nya di meja ke arah pria bernama Deja di depannya. Pria tersebut
mengerutkan dahinya bingung. ART tadi segera pergi untuk m

“Bapak mau mencalonkan diri jadi dewan, ‘kan?” tanya Azka.

“Wah kamu ternyata tahu. Iya, saya memang ingin mencalonkan diri menjadi dewan,”
jawabnya.
Tentu saja lelaki itu tahu, dia sudah membaca pesan dari Dewa di grub di HP Ersya tadi. Azka
mengangguk pelan, mencoba seramah mungkin. “Bapak tahu tingkah laku anak Bapak yang
bisa menghancurkan reputasi Bapak?”

Deja mengangkat alisnya pula sembari menggeleng pelan. Azka menghela napas bersiap
untuk menjelaskan tingkah laku kedua anak Deja. Dia seperti pengampi, tetapi, ya,
sudahlah, ini adalah rencananya.

“Anak Bapak suka mem-bully temannya,” jelas Azka.

“Jangan asal bicara! Anak saya tidak mungkin seperti itu,” tegas Deja tak terima. Namun,
ditanggapi dengan santai oleh Azka. Ia mengambil HP dan membuka aplikasi video. Azka
menyodorkan HP-nya di meja ke arah Deja. Pria tersebut mengerutkan dahinya bingung,
sedangkan Azka memutar video tersebut.

“Oke. Semua dah kumpul. Mari mainkan yel-yel kita, terlebih dahulu!” Terdengar suara dari
HP tersebut.

“1... 2 ... 3 ...!”

“Na, Na, Na, Nadira jelek. Wajahnya beruntusan .... Giginya kuning matanya lebar itulah
Na-di-ra jelek!”
Deja terkejut ketika melihat kedua anaknya yang ikut mengejek seseorang. Ia beralih
pandang pada Azka yang menarik napas dan menghembuskannya gusar. Pria tersebut
menggeser layar karena mendapat isyarat dari Azka.

Matanya berkaca-kaca ketika melihat di dalam video yang berlatar taman tampak kedua
anaknya menjahili gadis yang sama. Kata-kata ejekan yang keluar dari mulut anaknya
membuat pria itu geram.

Banyak lagi video kedua anaknya tengah mem-bully yang ia tonton. Lelaki itu mengepal
kuat.

“Bagaimana masyarakat akan memilih Bapak menjadi dewan, bila Bapak sendiri tak bisa
mendidik anak Bapak dengan benar? Bagaimana Bapak bisa mengurus masyarakat?” tanya
Azka lagi.

Deja menyadari kesalahannya. “Bagaimana menghentikan mereka?”

“Bapak blokir semua kartu ATM mereka dan ancam jangan kasi uang jajan. Karena mereka
tak bisa bertingkah jika tak ada uang.”

Deja mengangguk paham. Ia menarik napas panjang.

“Kita pulang.”

Azka dan Deja sontak menoleh ke asal suara. Tampak Reja dan Dewa yang mendekat ke
arah mereka. Melihat kedua anaknya pulang Deja berdiri, diikuti Azka.
“Ikut Papa, sekarang!” Pria tersebut berjalan dan diikuti oleh kedua anaknya. Azka kembali
duduk dan menunggu kedua anak juga ayah tersebut berbicara. ART tadi datang dengan
membawa nampan berisi dua gelas jus jeruk di atasnya.

Dia meletakkan jus tersebut di atas meja, lalu berpermisi untuk kembali mengerjakan
tugasnya. Selang beberapa menit akhirnya mereka kembali, tampak wajah putus asa di
wajah Dewa, tetapi tidak dengan Raja.

“Kita bakalan ke rumah Nadira buat minta maaf. Bawa kita berdua nanti,” kata Raja.

Ting! Tong!

Tiba-tiba bel kembali berbunyi. Sontak Raja pergi untuk membuka pintu. Tampak seorang
pria yang mengenakan Jaz berlengan panjang berwarna biru tua. Tanpa basa-basi Raja
mempersilakan pria tersebut untuk masuk karena memang sudah saling mengenal. Mereka
berjalan menuju keberadaan Deja, Azka, juga Dewa.

Azka bergeming ketika melihat pria tersebut. Pria yang jarang sekali ia temui dan sama
sekali tak berniat untuk ditemui. Pria bernama Al Fahri tersebut terbelalak.

“Azka?” panggilnya. Namun, tak dibalas oleh Azka.

“Nanti aku chat untuk ketemu di sana,” kata Azka pada Dewa dan Raja. Lantas pergi.
Part 25 Klarifikasi

Seorang gadis yang terbaring di bankar rumah sakit perlahan membuka matanya.
Pandangannya kabur-kabur hingga akhirnya menajam. Gadis tersebut menoleh ke kanan ke
kiri.

Tampak ruangan yang bernuansa putih. Juga tercium bau obat-obatan khas rumah sakit.
Gadis tersebut mengangkat tangannya yang diinfus. Dia mencoba mengingat-ingat apa yang
terjadi.

Namun, rasa sakit seketika menyerang kepalanya. Seorang pria juga dua orang gadis
menghampiri Nadira. Kedua gadis itu mendekat pada Nadira, mambuat gadis yang terbaring
itu langsung terbelalak.

“Moriz, Alena?” tanya Nadira dengan suara lirih. Ia mengubah posisinya menjadi
berselonjor. Gadis itu beralih melirik seorang pria yang mengenakan jaz berwarna biru tua
dengan celana kain berwarna senada.

“Ini Pak Al Fahri, kalau kamu panggil aja Om Al. Dia yang udah nyelamatin kamu, sedangkan
aku sama Moriz yang ngejaga kamu,” jelas Alena.

“Kalian kakak adik?” tanya Nadira lagi.

Kedua orang itu mengangguk membuat Nadira tersenyum tipis, ia iri melihat kedua kakak
beradik yang akrab tersebut, berbeda sekali dengan hubungannya bersama sang kakak.
“Sudahlah kalian jangan berbicara terus dengannya. Dia baru sadar dari koma tiga harinya,”
kata Fahri, membuat Nadira terbelalak.

‘Apakah mereka mencariku?’ batin Nadira.

“Istirahatlah dulu, kamu sudah melewati banyak tekanan tiga hari yang lalu,” ujar Moriz
pula. Nadira seakan melihat sisi dirinya dalam diri Moriz. Gadis itu benar-benar tahu apa
yang dirasakan olehnya dan sangat-sangat mengerti ketika terkena tekanan.

Nadira menggeleng, lalu menghela napas.”Aku udah istirahat selama tiga hari sepertinya.
Aku ingin kalian menjelaskan semuanya padaku.”

“Saya pergi dulu. Berbicaralah.” Fahri pamit dan meninggalkan ruangan tersebut, sedangkan
Alena dan Moriz mereka duduk di kursi dekat dengan bankar Nadira.

“Aku dan Moriz itu anak yatim piatu, untungnya kami bertemu Nona Cle pas mulung dan dia
nawarin kerja di rumah Pak Al. Aku gak bersekolah karena udah berhenti, jadi setiap paginya
aku kerja paruh waktu, lalu sorenya ngebantu Moriz beres-beres rumah Pak Al. Kami juga
tinggal di sana bersama Pak Al, Nona Cle, sama Alex.” Alena menjelaskan, sedangkan Nadira
menyimak.

“Nadira lo di mana!” teriak Alvin benar-benar putus asa. Ia sudah mencari Nadira
semalaman. Namun, tak kunjung ketemu. Lelaki yang berada di atas atap sekolah tersebut
menghela napas gusar.
Sekitar pukul lima pagi lelaki itu sudah pergi ke sekolah dan langsung pergi ke atap sekolah
untuk menghirup udara segar juga berteriak. Lelaki itu terduduk lesu, ia mengerang.

Kalung liontin berwarna ungu terus ia genggam kuat. Lelaki berseragam sekolah tersebut
berdiri dan berjalan untuk turun.

“Alvin kenapa kamu duduk di sini?” tanya Rosa pada Alvin yang duduk di meja Nadira
dengan tangan kanan membentang di atas meja dan tangan kiri dilekukkan juga kepala yang
menempel di lengan atas kanannya yang menghadap ke arah Azka. Layaknya lelaki itu
sedang tertidur duduk di dalam kelas. Namun, matanya masih terbuka.

Azka ikut melirik lelaki di sampingnya. Ia menggeleng pelan, lalu kembali membaca buku. Ia
kembali menoleh ketika sudut matanya melihat benda berwarna ungu.

Lelaki itu terpana ketika melihat kalung liontin Nadira yang berada di samping kepala Alvin.

“Lari!” titah lelaki itu, lalu memejamkan mata. Rosa menghembuskan napas pelan. Ia juga
memandang kalung liontin berwarna ungu itu.

‘Nadira lagi.’ Gadis itu langsung duduk di mejanya. Sekolah mendadak heboh ketika seorang
gadis berjalan menuju ke kelasnya.

Pasalnya itu adalah gadis yang dikabarkan hilang beberapa hari yang lalu, tetapi kembali
dengan keadaan fisik sehat. Namun, jelas-jelas keadaan organ di dalam sana tak benar-
benar sehat.
"Nadira! Kamu ke mana aja?!" teriak siswa-siswi yang ada di ambang pintu kelas mereka.
Nadira merasa menjadi selebriti. Meskipun ia sadar ini hanyalah permulaan sebelum
pembullyan.

'Senanglah secukupnya, agar sedihmu tak membuahkan kecewa,' batinnya.

Nadira berusaha mengontrol jantung yang berdebar-debar. Ia melangkah masuk ke dalam


kelas sontak saja seisi kelas menoleh padanya, begitu juga Azka ia langsung berdiri. Nadira
mendekat ke arah mejanya.

Rosa langsung terpana terlebih lagi Starla kedua orang itu tak sengaja berpandangan, lantas
saling membuang pandang. Para siswa di kelas hanya terpelengak, lidah terasa kelu untuk
memanggil nama 'Nadira'.

“Ini mejaku,” ucap Nadira pada Alvin.

“Ini meja Nadira bukan mejamu,” balas Alvin yang tak menyadari itu Nadira. Lelaki yang
memejamkan mata tersebut memanyunkan bibirnya. Nadira yang melihat liontin berwarna
ungu miliknya lantas mengambil.

“Ini liontinku,” kata Nadira. Alvin yang membuka mata dan menyadari kalung liontin milik
Nadira diambil ia sontak berdiri dan hendak memarahi orang yang tak diduganya itu Nadira.

Namun, mendadak ia terpaku ketika melihat gadis berkucir kuda di depannya yang tengah
memakai kalung liontin tersebut.
“Na—dira,” gagap Alvin. Namun, tak digubris oleh empu pemilik nama. Karena Alvin tak lagi
duduk di kursinya gadis itu pun duduk, melihat Nadira Azka pun kembali ke posisinya
semula. Nadira meletakkan tasnya di atas meja, lalu membuka tas tersebut dan mengambil
hoodie berwarna hitam. Kemudian memberikan pada Azka yang dari tadi menatapnya.

“Makasih, ya," ucap Nadira membuat Azka langsung mengambil hoodie miliknya. Melihat
kedekatan Nadira dan Azka membuat jiwa iri Alvin meronta-ronta. Ia ingin menunjukkan
betapa bertanggung jawabnya dia saat ada masalah yang disebabkan olehnya.

Lelaki itu mengambil penghapus papan tulis, lalu berdiri ke depan. Sontak ia menjadi sorot
perhatian.

"Buka kamera kalian. Video-in gue!" titah Alvin. Sontak membuat beberapa siswa di dalam
sana membuka aplikasi kamera dan mengarahkan pada Alvin.

Lelaki itu mengedarkan pandangan. Ia melihat Nadira yang membaca buku begitu juga Azka.

Alvin memegang penghapus layaknya mikrofon, lalu mengarahkan pada mulutnya. "Halo.
Gue Alvin. Gue mau klarifikasi kesalahan beberapa hari yang lalu." Alvin menunjukkan
pergelanganan tangannya. "Pertama, gelang. Ini, tuh pertanda persahabatan bukan
pacaran. Otak kalian pendek sekali masak gelang couple dibilang pacaran. Kedua, tentang
gue jalan ama Nadira, itu kita berpas-pasan aja, kan, temanan emang gak boleh bareng?
Kedua, gue mukul si cowok itu bukan sekedar gara-gara Nadira, tapi dia udah main fisik ama
temennya Nadira dia pem-bully makanya gue pukul. Ketiga, foto saat Nadira diantar oleh
tiga lelaki itu salah satunya ada gue. Nadira gak mau diantar, di tengah jalan Nadira pulang
sendiri dan kami bertiga cuma mandang dari jauh. Sebagai teman yang baik gue takut dia
diganggu ama preman. Keempat tentang Nadira yang bekerja di supermarket. Dia memang
bekerja di sana, terus masalahnya apa? Dia mandiri daripada kalian beban orang tua, taunya
ngina aja! Kalau tentang dipegang itu, memang cowoknya keganjenan atau enggak disuruh
ama yang tukang foto buat ngejebak Nadira. Ini semua itu murni adalah fitnah dari orang
yang menyebarkan foto-foto tersebut. Sekian!"

Bionarasi

Gadis manis bin lucu yang bernama Fitrah Imalia, kelahiran Penuba, 20 Oktober 2007.
Memiliki hobi menulis dan sudah berkecimpung di dunia literasi dari November 2019.
Penulis kecil yang berasal dari Penuba, Kepulauan Riau dan anak keempat dari lima
bersaudara.

---

Anda mungkin juga menyukai