Anda di halaman 1dari 5

#EventMantas

#Day01

#ASPIRASI

Nama : Fitrah Imalia

Judul : Oddysey

Jungkat :± 1000 kata

𝗣𝗿𝗼𝗹𝗼𝗴

"𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱𝘬𝘶 𝘱𝘦𝘯𝘶𝘩 𝘭𝘶𝘬𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘱𝘶𝘯 𝘣𝘢𝘩𝘢𝘨𝘪𝘢, 𝘢𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘱𝘢𝘯𝘵𝘢𝘴 𝘢𝘬𝘶
𝘮𝘢𝘵* 𝘣𝘦𝘨𝘪𝘵𝘶 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘢𝘱𝘢-𝘢𝘱𝘢?"

----

Selene Lumina Darma merasakan embusan angin yang sejuk saat mendung menyelimuti
langit. Dia duduk termenung di sudut kamar, memandangi tetes-tetes hujan yang meluncur di
jendela. Wajahnya dipenuhi ekspresi sedih, mencerminkan pertarungan batin yang terjadi di
dalamnya.

Ekspresi berubah menjadi takut dan cemas ketika pintu kamar terbuka menghadirkan sosok
pria tinggi dengan berewok di wajah yang dingin. Kedatangan Darma Aji Lumantara,
menghentikan aliran pikiran Selene. Dalam keheningan itu desahan kecewa sang ayah
memecah keheningan ruangan. "Selene, mengapa kau hanya meraih juara 3 umum? Inikah
balasanmu atas materi yang kuberikan. Aku berharap lebih darimu!" sentak Darma dengan
nada dingin dan tegas, mengisi ruangan dengan ketegangan. Inilah yang terjadi ketika
ASPIRASI Darma tak ter-wujudkan oleh gadis berusia 18 tahun itu.

Ketidakpuasan ayahnya terhadap hasil rapor kenaikan kelas 12 menciptakan awan kelabu
dalam hatinya. Helaan napas tak mengenakan dari pria berusia 45 tahun itu terdengar jelas,
pria itu melepas ikat pinggang. Siap-siap mencambuk. Tanpa sepatah kata, cambukan
melayang di kaki gadis bersurai pendek berwarna hitam itu. Erangan kesakitan tak
dipedulikan, cambuk demi cambukan menciptakan rasa nyeri.
***

Selene, tertatih-tatih, menuruni tangga mencari keberadaan ayahnya. Lebam tampak di


pergelangan kaki dan lengan yang tak tertutup oleh sleeveless dress yang ia kenakan. "Aku
harus membujuk dan meminta maaf lagi pada Papa, agar dia mengizinkanku bertemu dengan
ibu," lirihnya.

Meski sudah ratusan kali ia dicaci maki, diperlakukan buruk, dan dipukul habis-habisan, ia
tetap patuh, pada pria itu salah satunya harus menjadi gadis berprestasi dan selalu menjadi
yang pertama dalam hal apapun. Sebagai balasan enam bulan sekali Selenea bisa bertemu
dengan ibunya.

"Aku tidak peduli dengan pendapat anak itu, aku akan menikahimu! Anak itu hanya
perhiasan yang berguna karena prestasinya untuk aku pamer ke teman-temanku."

Tak jauh dari ruang tamu, Selene samar mendengar penuturan yang tak lain keluar dari mulut
Darma yang berada di ruang tamu bersama seorang wanita yang mengenakan dress bodycon
berwarna merah.

"Mas, aku menjadi istrimu berarti juga menjadi ibu untuk Selene," ucap wanita itu, sambil
mengelus pundak Darma.

Selene mengernyit, berlari kecil menghampiri Darma. "Apa? Ibu, Istri?" Sontak saja,
pandangan keduanya tertuju pada gadis berkulit kuning langsat itu.

"Kenapa kamu keluar kamar?! Seharusnya kamu merenung atas kegagalan kamu! Berani
kamu yang gagal ini menampakkan diri dengan sengaja pada saya!" sentak Darma.

Selene tertegun, matanya mulai berkaca-kaca. "Pa, tolong jawab pertanyaan Selen. Papa mau
nikah lagi?"

"Apa urusanmu kalau saya menikah lagi?"

"Pa! Aku masih berharap Papa kembali dengan Ibu! Ibu bagaimana Pa?!"

Mata keduanya saling bertatapan yang memiliki arti berbeda.

"Pa!" sentak Selene, ketika Darma hanya menghela napas terus menerus tanpa menjawab
pertanyaan.
"Ibu bagaimana, Pa? Gak boleh ada yang gantiin ibu, Pa. Gak boleh!"

"Papa jangan egois, Pa, Papa janji bakalan rujuk sama Ibu kalau Selen jadi anak yang
penurut, kan?!" Nada gadis itu semakin meninggi membuat Darma mengepal tangan dan
tersulut emosi.

"Kau menyuruhku rujuk dengan arwah ibumu, ha?! Ibumu sudah mat*!"

"Aku tidak akan rujuk dengan ibumu, sekalipun kau menurutiku!"

"Papa bohong, kan?!" tanya Selene, buliran yang tertahan sejak tadi mengalir di pipinya.

Gadis itu memegang dan mengguncang tangan sang ayah sambil merengek, "Pa! Papa
bohong, kan? Jawab, Pa! Mama gak mungkin meninggal."

"Itu benar. Saya sengaja tidak memberitahukanmu agar kemarin kamu fokus ujian. Saya tidak
memberitahu saja nilaimu sudah merosot! Ah lagi pun sama saja, kan? kamu juga tidak bisa
bertemu dengan ibumu karena nilaimu merosot!" Jawaban dari Darma membuat Selene
runtuh, seketika pucat wajah polos gadis itu. Ia langsung terduduk di lantai dengan tatapan
kosong. Mat*,omong kosong itulah yang berada di pikirannya.

“Selene, lupakanlah Ibumu yang tak berguna itu, hiduplah sebagai piala bagiku! Kau
paham?!” tambah pria itu lagi.

Wanita yang hendak dinikahi ayah Selene hanya berdiri dengan wajah datar, tanpa rasa
kasihan. Entah apa yang dipikirkannya.

Selene mendongak dengan matanya yang memerah ia menatap tajam mata sang ayah penuh
tidak percaya dengan perkataan yang pria itu lontarkan. Mana mungkin ada seorang ayah
yang berkata tanpa belas kasihan seperti itu, ketika ibu dari anaknya meninggal. Selene
berdiri dan langsung berlari tergopoh-gopoh keluar rumah. Tanpa memakai alas kaki, gadis
itu menerpa hujan lebat yang tak reda-reda. "Aku harus ke rumah Ibu, memastikan tapi di
mana? A--ku tidak tahu rumahnya."

Setiap kali diantar ke rumah sang Ibu, Selene sering tertidur tanpa sadar. Sadar-sadar ia sudah
berada di depan rumah ibunya. Begitu juga ketika ia kembali pulang.

Selene terhenti ke jalan yang sepi, seluruh badannya basah kuyup dan menggigil. Ia
meringkuk tertunduk lemas, rambut pendek sebahunya itu menutupi wajah yang menangis
pecah dan meraung-raung. Kenapa? Kenapa hidupnya seperti ini, ia bahkan kehilangan satu-
satunya orang yang tulus sayang padanya. Kenapa Tuhan memberikan hidup yang malang
seperti ini. Suara deru hujan, isakkan tangis dan berisiknya isi kepala seakan menulikan
telinganya. Ketika Selene Lumina Darma mengangkat wajah, truk besar tepat di depannya,
gadis itu terbelalak dan membeku.

Bruk!!

Dalam sekejap dunia berputar cepat bagi gadis itu, ketika tubuhnya merasakan hantaman tak
terduga. Tubuhnya terhempas ke belakang hingga membentur aspal dengan kuat. Pandangan
Selene kabur rasa sakit menjalar ke tubuhnya. "Apakah ini akhir dari hidupku yang tak
pernah menemukan titik bahagia sampai aku mati?" Monolognya. Tak ada saksi kecelakaan
tersebut, selain hujan yang semakin deras seolah menyaksikan tragedi yang tak terhindarkan.
Darah bercampur air hujan mengalir membasahi jalanan menciptakan pemandangan yang
semakin suram.

***

Mata tiba-tiba terbuka, dia merasakan transisi yang mendalam. Mimpi? Kilauan mentari pagi
menyusup masuk melalui jendela menyentuh wajahnya yang terkejut. Hatinya masih
berdegup kencang mempertanyakan realitas di sekelilingnya. Selene, terengah-engah,
meraba-raba tubuhnya. Tidak ada rasa sakit, luka, dan darah seperti keadaan terakhir di
ingatannya.

“Tadi itu mimpi?” Dia mengubah posisi menjadi berselonjor. “Tapi tadi itu terasa sangat
nyata dan menyakitkan.”

Selene menyela rambut, tetapi lagi-lagi ia terkejut. “Hah? Rambut aku kenapa panjang lagi.
Seingatku, aku memotong rambut sebulan sebelum ujian.”

Selene mengambil ponsel di nakas samping kasurnya. Netra dengan pupil berwarna coklat itu
membesar. Ketika tanggal di HP tersebut menunjukkan tanggal 25, bulan Juni, tahun 2022
berarti setahun sebelum kecelakaan terjadi yaitu tanggal 25 Juni 2023. “Ini aku salah setting
atau gimana, sih?”

Namun, setelah berpikir panjang dengan segudang pertanyaan, Selene mau tak mau
menerima kenyataan bahwa ia telah menerima keajaiban, yakni kembali ke masa lalu. “Kalau
hari ini hari Sabtu berarti hari ini pembagian rapor dan besoknya aku bakalan ketemu Ibu,
kan?
Dabo Singkep, 3 Januari 2024

Anda mungkin juga menyukai