Anda di halaman 1dari 4

Beberapa kilometer jauh dari tempat Kediaman Eve. Sebuah pedesaan yang sunyi dan tenang.

Jarum jam berdenting tepat setengah sebelas malam. Di dalam rumah yang sangat sederhana,
rapi, bersih dan bergaya klasik terdengar sebuah alunan lagu tempo dulu yang merdu dari
penyanyi wanita legendaris yang terkenal di zamannya.

“Semerbak harum mawar yang Kering.” Lagu yang sangat populer kala itu. Senandung indah
dari suara penyanyinya menggema dari radio kecil di rak sudut ruang tamu. Di sebelah radio
itu terdapat foto lama sepasang saudari kembar yang masih remaja. Pajangan Pernak-pernik
barang antik menghiasi dinding-dinding ruangannya.

Dan dari teras depan rumah, duduk seorang perempuan di kursi goyang dengan pakaian dress
jaman dulu. Ia kelihatan sedang menikmati lantunan musik yang di putar di radio itu, sembari
menghisap sebuah alat pengisap rokok klasik. Di jari tengah tangan kirinya, melingkar
sebuah cincin yang berlambang “Mawar Hitam”. Ia tersenyum memandangi langit malam
yang indah dari situ.

Cahaya rembulan sabit yang ditutupi awan gelap, menambah keheningan malam yang dingin.
Suara-suara dari binatang malam yang berbunyi, seakan mengisyaratkan isi hati dari
perempuan itu. Sambil memandangi langit dengan menghisap sebuah rokok di bibirnya, ia
mengucapkan sebuah kalimat: Mawar yang layu kini sudah tumbuh dewasa.

Senyum tipis dari bibirnya, menandai lorong sempit yang dikelilingi duri tajam. Angin
malam meniup semakin dingin mencekam. Menghembus pedesaan yang asri dan jauh dari
gemerlap dunia perkotaan.

***

Kawasan pinggiran kota di dekat rel kereta api. Area yang sangat bising dan padat. Tampak
orang-orang dewasa berlalu-lalang dengan kendaraan bermotor tanpa surat, mengerjakan
pekerjaan mereka sehari-hari. Sebagian anak-anak miskin yang tidak bersekolah bermain-
main di tengah jalan. Para pengamen jalanan yang segera bersiap mengais rezekinya.

Seorang pengemis yang tidak terurus meminta-minta ditepi jalan depan toko bangunan.
Beberapa Pemulung sampah yang sedang beraksi membongkar sisa-sisa sampah demi
menyambung hidupnya. Dan di sudut pertigaan jalan, seorang pria gila sedang terbaring
memegang sekantong makanan sisa. Ia diserbu oleh lalat-lalat kotor.

Dan tak jauh dari tempat itu, berdiri sebuah rumah sederhana di pekarangan yang kecil di
pinggir pertigaan jalan kompleks. Di depan rumah itu berdiri beberapa pohon berbatang
sedang mengitarinya. Ada juga bunga-bunga yang menghiasi sekeliling rumah itu.
Halamannya pun bersih meski tampak kecil. Semuanya enak dipandang mata.

Di dalam rumah itu seorang pemuda terlihat sedang berbincang-bincang dengan seorang
perempuan di ruang tengah. Pemuda itu kelihatan memikirkan sesuatu yang membebani
hidup mereka. Pemuda itu namanya Elliot dan biasa dipanggil El. Dan perempuan itu adalah
Keren; Ibunya.

“Bu, mungkin, lebih baik aku cari kerja buat bantu perekonomian kita. Aku kasihan lihat Ibu
siang-malam kerja cari uang untuk kebutuhan sehari-hari,”
Keren bertanya, “Kamu mau kerja apa, El?”

“Kerja apa saja, Bu, yang penting menghasilkan uang halal,” jawabnya.

“Kamu masih kuliah, Nak, jangan dulu berpikiran untuk kerja. Ibu masih mampu buat bayar
uang kuliah kamu,” katanya.

“Aku mengerti, tapi, Ibu harus tahu, Ibu sudah dipecat dari pekerjaan. Dan sudah seminggu
tidak kerja. Buat makan saja kita susah. Apalagi buat ongkos kuliah aku, Bu” paparnya.

“Nanti Ibu akan berusaha cari kerja lain buat bayar uang kuliah kamu.” tambahnya.

El berusaha supaya Keren memberi izin padanya untuk bekerja.

“Bukan aku memaksa ibu untuk cari kerja lain, Ibu semakin hari semakin tua. Seharusnya
sekarang aku yang gantikan Ibu untuk cari uang."

“Kamu masih terlalu muda untuk menanggung beban ini. Masa depanmu masih panjang.
Kamu harus sekolah, Nak.”

Keren menatap El dengan wajah haru. “Ibu masih kuat, kok, untuk cari uang. Kamu tidak
perlu khawatir sama Ibu. Itu sudah tugas Ibu sebagai orang tua,” jelasnya.

El sedikit menolak, “Tapi, Bu ….”

“Sudah El, kamu pasti tahu apa yang Ibu harapkan darimu,” harapnya supaya El
mendengarkan kata-katanya.

Dan sejenak El terdiam mendengar perkataan Keren.

“Ibu hanya ingin, kamu berhasil dan menjadi orang sukses. Supaya kita bisa keluar dari
tempat kumuh ini. Hanya itu yang Ibu harapkan darimu,” lanjutnya sambil memandangi luar
jendela.

El mungkin memikirkan sesuatu yang di luar keinginan dari Keren.

"Bu ....” ucap El.

“Apa, El?” tanyanya memandang wajahnya.

El ragu-ragu untuk bicara. “Sebenarnya ....”

Keren menatap aneh pada El dari pembicaraannya. “Sebenarnya apa, El?” tanyanya kembali
sambil mengerutkan kening.

El masih berpikir-pikir apa yang harus ia katakan pada Keren. Ia kelihatan bimbang.

“Ibu rasa … ada sesuatu yang ingin kamu katakan pada Ibu, sebaiknya kamu katakan saja,”
katanya.
Tak mau membuat Keren resah, dengan berat hati, El pun langsung mengatakan apa yang
ingin dikatakannya.

“Bu, aku ingin berhenti kuliah.”

Mendengar kalimat itu, membuat Keren sedikit tidak percaya. Ia berkata, “Apa kamu sedang
bercanda pada Ibu, Nak?”

Keren menatap tajam kepada El. Ia jadi murung lalu menundukkan kepalannya.

“Tidak, Bu. Aku tidak bercanda. Aku serius mengatakannya.”

“Itulah yang sebenarnya ingin aku katakan kepada Ibu,” ungkapnya.

Setelah mengatakan itu kepada Keren ia menyesal. Ia tahu bagaimana perasaan Keren ketika
mendengar keinginannya itu.

“Apa kamu ingin membuat Ibumu ini sedih, Nak?” tanyanya.

“Aku tidak bermaksud membuat ibu sedih, tapi ....” Ia berpikir sejenak.

“Tapi apa, El?” tanyanya. “Coba jelaskan pada ibu."

El hanya terdiam menundukkan kepala.

“Jangan buat Ibu kecewa. Ibu tidak mau kita berakhir di tempat seperti ini.”

Keren berharap El mengurungkan niatnya itu. “Kamu itu masih punya masa depan yang lebih
baik lagi. Tak harus selamanya tinggal di sini.” Keren kembali mencoba meyakinkan El
dengan kata-katanya. “Tempat ini kosong, nak dan tidak bernyawa sama sekali. Yang ada
hanyalah noda hitam yang tidak bisa kita bersihkan, sekalipun kita sudah menjadi debu,”
cetusnya.

El sepintas merenungi kata-kata Kere. “Bu, mungkin aku tidak sepenuhnya mengerti kata-
kata itu. Tapi aku berpikir, itu mengarah ke masa lalu kita, saat Ayah masih ada di sini. Iya
‘kan, Bu?”

Kata-kata dari El membuat Keren teringat kembali suaminya yang sudah lama pergi
meninggalkan mereka berdua.

“Tak perlu mengingat kembali Ayahmu itu. Ibu sudah menganggapnya mati. Karena
kesalahannya, kita harus menderita di tempat seperti ini.” katanya.

“Meskipun begitu … kita sudah lama tinggal di sini, Bu.” balasnya.

“Memang kita tinggal di sini sudah lama. Sudah dua belas tahun, tapi apa yang kita dapatkan
… tidak ada, El. Kita tidak mendapatkan apa-apa di sini.”

El melihat sekeliling ruangan. Ia sepertinya sadar dengan ucapan Keren. Namun, ada sesuatu
yang membuat ia masih sayang dengan tempat itu.
“Mungkin tidak ada, Bu,” katanya memandangi sebuah foto. “Masih terlalu banyak kenangan
di sini yang tidak bisa aku tinggalkan begitu saja.”

Dari tempat duduknya, ia melangkah menuju ke rak lemari dan mengambil foto itu.

“Termasuk kenangan dengan Shopia, Bu.”

Ia mendekat kepada Keren membawa foto di tangannya.

“Pasti Ibu rindu dengan Shopia,” katanya memberikan foto itu.

Keren mengambilnya dan memeluknya erat-erat. Air matanya mulai menetes kala melihat
foto kenangan bersama Putrinya itu.

“Iya El, Ibu rindu sekali padanya.”

Raut wajah Keren tampak sedih dan matanya kelihatan mulai menangis.

“Wajahnya cantik dan lucu, Ibu sangat sayang padanya,” rintihnya saat menatap foto Shopia;
Putrinya.

Melihat Ibunya menangis, ia langsung mendekapnya.

“Sekarang ibu tahu ‘kan kenapa aku masih ingin bertahan di sini. Setiap hari aku sering
melihat bayang Shopia yang sedang bermain di ruangan ini, Bu.”

El mencoba mengingatkan kembali kenangan Shopia kepada Keren.

“Aku masih ingat waktu itu … Ibu sering bermain boneka dengan Shopia di ruangan ini. Dan
setiap minggu Ibu suka mengajaknya keluar untuk melihat kupu-kupu di taman bunga,
sebelum Shopia sakit dan divonis dokter,” katanya.

“Ibu tidak akan pernah lupa itu sampai Ibu tutup usia nanti.” ucapnya memandangi foto
Shopia.

Matanya layu mengikuti alur suasana hati. Ia lalu berkata kepada Ibunya, “Shopia pasti
senang mendengarnya, bu. Pasti ia sangat merindukan kita, dari sana.”

El kemudian tersenyum melihat bayang Shopia duduk tertawa manis kepada mereka berdua
dengan wajahnya yang pucat dan garis bawah matanya yang hitam.

Anda mungkin juga menyukai