The Rain
Kata banyak orang, badai pasti berlalu. Kata orang, jika jatuh
kita harus bangun lagi. Untuk mempercayainya, semua orang
harus merasakannya terlebih dahulu. Tak terkecuali bagi
seorang Arkan Fahreza. Dirinya jatuh namun rasanya tak
punya tenaga untuk bangun lagi. Dia diterpa badai dan belum
mampu untuk melewatinya.
“Kalau gak ada terus gimana, Yah? Gimana kita bisa bayar
uang sekolah adik?”
“Ayah juga bingung, Bu. Tapi pasti ayah usahakan.”
Arkan tahu betul dirinya pengecut. Dia sadar bahwa dirinya
adalah payah. Kabur selalu jadi hal yang paling sering dia
lakukan belakangan ini. Lagi dan lagi dirnya menyalahkan
Tuhan. Lagi dan lagi menyalahkan ayahnya yang dia anggap
tak becus.
Pada keadaan seperti ini, Arkan adalah pengecut tak tahu diri.
Dia kabur dengan niat egoisnya, pergi dengan harap ketika dia
kembali nanti, masalahnya selesai.
***
***
GELANG DAN JAWABAN
***
“Kenapa muka lo murung banget dah?” itu Adrian yang
bertanya.
Rama yang duduk di depannya mengernyit, berbalik badan
menimpali, “hm? Padahal dia paling semangat tadi?” katanya
heran.
Sedangkan yang ditanya hanya berdiam diri saja. Arkan larut
dalam pikirannya sendiri. Jika dia ingat-ingat, sore itu gadis
yang sempat ia temui memakai seragam yang sama dengan
dirinya. Namun, rasanya sulit sekali menemukan gadis itu.
“Gue cabut duluan.”
Rama dan Adrian kaget mendengar Arkan, pun ketika lelaki
tinggi itu sudah berjalan membawa tasnya. “KAN? KITA
MAU LATIHAN DULU BUAT BESOK!!!”
Rama menghela nafas, percuma. Teriakannya tak digubris
oleh Arkan. “Menurut lo dia galauin apa?” tanyanya pada
Adrian.
Adrian mengernyit, “dia galau tiap hari gak sih?”
Rama terkekeh mendengarnya, “bener. Lo bener.”
***
Arkan tahu betul dirinya memang belakangan ini sering
diam. Bukan lagi Arkan yang ceria, bersemangat, dan punya
ambisi. Pun ketika dia ingin, rasanya seperti beban.
Bagaimana ketika dia ceria, ibunya malah sedang bersedih?
Bagaimana jika dia bersemangat lagi justru akan membuat
susah ayahnya?
Bagaimana ketika dirinya berambisi lagi, semua akan semakin
semu? Mimpinya.
“ARKAN!!”
***
“Ah, jadi lo itu anak olim?” tanya Alana sambil mengangguk
paham. Arkan hanya tersenyum tipis membalas.
Arkan sungguh memuji dirinya yang hari ini dirasa sangat
beruntung dan berani, lebih ke nekat. Tadi selepas minta antar
Alana menemui Pak Radit, dia meminta Alana untuk
menunggu di luar kantor guru. Arkan sudah khawatir ketika
dirinya selesai, Alana sudah hilang. Namun, kekhawatirannya
itu sirna ketika matanya dengan jelas melihat gadis berambut
sebahu itu duduk di bangku di depan kantor guru. Berakhir
dengan Arkan yang mengajak Alana ke kantin dan di sinilah
mereka sekarang. Duduk berdua dengan kikuk.
“Keren,”
“Hm?”
Alana tertawa lagi. Arkan sempat berpikir Alana itu suka
sekali tertawa. “ Lo keren tau, jadi anak olim. Fisika lagi,”
puji Alana dengan tempol ‘oke’ nya.
Arkan terkekeh, “apanya yang keren? Gue selalu kalah di
tingkat nasional.”
Alana sedikit berpikir, terlihat dari alisnya yang bertaut. “Gue
denger olim fisika itu sekolah kita selalu di tiga besar?”
tanyanya.
Arkan mengangguk. “Tahun kemarin dua. Tahun sebelumnya
lagi tiga,” jelas Arkan.
“Terus lo anggap itu bukan sebuah pencapaian untuk lo di
bilang keren sama orang lain?” cecar Alana. “Juara itu gak
harus satu. Hish, lo terlalu merendah,” sambungnya.
Arkan? Dirinya terdiam, lebih tepatnya terhipnotis dengan apa
yang gadis di depannya itu katakan. Baru kali ini dirinya tidak
mendapat kalimat seperti “besok harus lebih usaha lagi”
“nanti harus dapat juara satu”. Arkan bahkan sudah muak
mendengar kalimat itu. Baginya itu bukan penyemangat. Alih-
alih disemangati Arkan lebih merasa bahwa itu beban.
Tanggung jawab yang dirinya harus tuntaskan.
“Tapi sekarang, kan lo udah kelas tiga, emang bisa ikut olim
lagi?” tanya Alana.
“Nggak bisa,”
“Terus tadi Pak Radit?”
Arkan bersyukur Alana bukan tipikal gadis kikuk pendiam.
Dirinya tertawa kecil membuat gadis di depannya itu
meringis.
“Apa tadi? Pak Radit? Oh itu beliau nyuruh gue untuk bantu
dia ngajar anak club fisika kalo ada waktu nanti pulang
sekolah,” jelasnya.
“Ayah kalo gak becus jadi kepala keluarga mending gak usah
jadi kepala keluarga!”
“Jaga omongan kamu, Arkan! Kamu pikir ayah gak usaha
selama ini?”
“Kalo usaha mana hasilnya?!”
Cuaca sore itu mendung dan sebentar lagi pasti akan hujan.
Terasa dari angin yang menerpa kulit mereka, Arkan dan
Alana. Mereka berjalan selepas pulang sekolah. Dengan
seragam khas SMA Harapan dan ransel di punggung mereka.
“Meski bener kata lo. Gak adil ambil paksa sinar Mentari,
membuat orang lain kebingungan di mana mereka mau
neduh? Gimana caranya survive dari hujan? Keselnya karena
basah kuyup. Hujan bagi sebagian orang konotasinya buruk.
Tapi buat gue hujan itu menenangkan. Mau seburuk apapun
hujannya, pasti berhenti. Pun badai, pasti berlalu. Hujan itu,
menjanjikan sebuah langit yang lebih indah. Setelahnya, akan
ada Pelangi yang menyambut lo.”
Mereka saling menatap. Tenang rasanya. “Makna itu ada,
tergantung orang mau memaknainya apa.”
Arkan paham. Arkan mengerti. Dan Arkan ingin menjadi
bagian dari orang yang merasakan indahnya Pelangi itu,
Rintiknya perlahan membasahi bumi lagi. Banyak orang
berlalu lalang kebingungan mencari tempat berteduh. Tapi
tidak dengan mereka. Alana tersenyum.
“Ayo, gue mau tunjukkin lo sesuatu.”
***
Arkan merasa déjà vu dengan apa yang terjadi saat ini.
Bedanya, dulu dia hanya memperhatikan dalam diam
sedangkan kali ini dia menjadi penoton di sebuah panggung
pertunjukkan indah.
“Gue mau jadi ballerina.”
Kemudian, tubuh mungil itu berputar. Kakinya dengan lincah
menari. Tangannya menunjukkan betapa indah tarian itu.
Membuat siapapun yang melihatnya terpana. Membuat
siapapun yang menontonnya takjub.
Gadis itu kemudian menjulurkan tangan yang Arkan sambut
dengan senang hati. Arkan tak paham bagaimana menjadi
ballerino. Tapi Alana mampu menciptakan tarian mereka
menjadi istimewa, penuh makna, menakjubkan. Dan Arkan
jatuh. Dan Arkan menyukainya. Dan Arkan ingin melihat
Alana menari setiap hari.
***
“Itu tadi tarian jatuh cinta.”
Arkan yang sedang meniup noodles cup itu heran
mendengarnya. Tapi terkekeh ketika Alana melanjutkan.
“Gue menamainya sendiri.” Alana tersenyum tipis,
menyeruput kuah mie yang sedang dia makan langsung dari
cupnya.
“Giselle itu jatuh cinta sama pangeran hanya dengan sekali
melihatnya. Klise. Padahal dia gak tahu siapa pangeran itu,”
sambungnya pelan.
Arkan terdiam. Lama hening tercipta diantar keduanya. Sibuk
dengan bisingnya kepala masing-masing.
Alana benar, Giselle hanya jatauh cinta tapi tidak tahu siapa
sebenarnya pangeran itu. Bisa saja dia bukanlah pangeran.
Bisa saja Giselle tertipu.
“Kenapa nama lo Alana Azalea?”
Alana menoleh. “Eummm … Alana itu kata mama gue artinya
sesuatu yang berharga. Sedangkan, Azalea itu bunga yang
melambangkan keindahan, keanggunan dan kecantikan
pribadi. Bukan gue banget, ya?”
Arkan tak bisa mengalihkan pandangannya dari gadis itu.
Arkan seperti terbius dengan senyuman indah Alana.
“Nggak kok. Cantik. Bener”
Tapi bagaimana jika pangeran itu ingin memperkenalkan diri?
Bagaimana jika pangeran ingin memberitahu siapa dirinya
sebenarnya? Bagaimana jika pangeran juga sebenarnya jatuh
cinta pada Giselle
TENTANG MIMPI, ANGKA, DAN RUMUS
USAHA
***
Lembar-lembar putih itu dia lihat lamat-lamat. Dalam
diamnya ada do’a yang seraya dia panjat. Semoga ke terima
kerja. Semoga ini adalah keputusan yang benar. Semoga
setidaknya dunianya sedikit membaik.
“Arkan?”
Lamunannya terpecah ketika suara itu masuk ke indra
pendengarnya. Matanya membulat terkejut ketika melihat
gadis yang selalu mengganggu pikirannya itu ada
dihadapannya, sedang mengernyitkan alisnya, kebingungan.
“Alana?”
Gadis itu kemudian tersenyum, tangannya menyapa. “Hai,”
katanya.
“Lagi apa duduk sendirian di halte?” tanya Alana kemudian
mendudukkan diri di sebelah Arkan.
Arkan kemudian tersadar, dia langsung menyembunyikan
lembar surat lamaran kerjanya. Namun, melihat ekspresi
Alana rasanya usahanya sia-sia. Lagipula, siapa yang masih
menanyakan ketika pakaian yang dia gunakan saja sudah
jelas.
***
Arkan terheran-heran ketika melihat Alana Kembali dengan
nampan berisikan banyak makanan. Saat ini mereka sedang
berada di salah satu resto cepat saji. Alana yang membawanya
kemari.
“Al?”
“Hari ini gue traktir. Sebagai gantinya, lo doain gue,” kata
gadis itu setelah duduk di bangkunya.
“Doain apa?” tanya Arkan.
Arkan lagi-lagi dibuat aneh oleh tingkah Alana. Gadis itu
melihat kanan kiri. kemudian mengajaknya berbisik.
“Gue mau ikut audisi balet.” Ucapnya dengan senyuman.
Arkan kemudian hanya mengangguk. Ada rasa tak enak dalam
dirinya ketika dia dihadapkan dengan keadaan seperti ini. Dia
sama sekali tidak menyentuh makanan ataupun minuman
yang Alana beli. Namun, sepertinya gadis itu peka.
“Mau makan sendiri atau gue suapin?” ceplos Alana tanpa
beban.
Arkan terkejut mendengarnya. Yang membuatnya lebih kaget
lagi adalah ekspresi Alana sendiri yang kaget akan ucapannya.
Lalu kemudian, Arkan melihat gadis itu merutuk lagi dan
dirinya tertawa lagi.
“Biar gue gak malu lo makan deh sendiri, ya?”
Arkan kemudian tersenyum. “Makasi ya, Al?”
Alana mengangguk dan tersenyum.
***
"Kenapa lo suka fisika?" pertanyaan itu datang dari Alana.
***
MIMPI-MIMPI SEMU
"Sekarang?"
Mahesa mengangguk.
"Kalo gak mau gak masalah gue bisa-" Perkataannya terhenti
ketika melihat Alana buru-buru beranjak sambil membawa
ponselnya.
Mahesa menatap Keana yang tersenyum padanya.
"Makasih, ya Sa?" ucap Keana tulus. Mahesa hanya
mengangguk mendengarnya.
***
"Mahesa galak gak?" tanya Alana penasaran.
Arkan menggeleng tenang. Perasaan senang tengah
menyelimuti dirinya saat ini.
Alana tersenyum. "Syukur deh."
Arkan menghentikan jalannya. Mereka berdua kini tengah
berada di sebuah taman. Hari sudah menunjukkan malam.
Lampu jalan sudah dinyalakan untuk penerangan.
Laki-laki itu duduk di salah satu bangku taman, mengajak
gadis berambut sebahu untuk duduk di sebelahnya.
"Makasih," ucapan singkat keluar dari bibirnya. Namun
terdengar sangat tulus, sangat tenang, dan lega.
Bagaimana tidak? Dirinya sekarang sudah mempunyai
pekerjaan meskipun hanya menjadi waiters di kafe milik
Mahesa. Berkat Alana.
Alana hanya mengangguk, lalu tersenyum, lalu pandangannya
beralih menatap langit malam. Gelap. Tidak ada bintang.
Namun, sabit tengah menampakkan dirinya malam itu.
"Apa mimpi lo, Ar?" gadis itu bertanya, suaranya lebih
terdengar sendu.
Arkan berpikir sejenak. Tak bohong bahwa dirinya sangat
bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Mimpi? Apakah dia
boleh bermimpi di saat keadaannya seperti ini?
"Entah," jawabnya pelan. "Kalo lo?" tanya balik lelaki itu.
Alana menghela nafas, terdengar seperti perasaan putus asa.
"Mimpi gue jadi balerina. Gue ingin jadi Giselle." Gadis itu
menipiskan bibirnya, untuk kemudian melanjutkan
ucapannya.
"Hape lo ketinggalan."
***
Ada sedikit perasaan menyesal dalam dirinya. Alana, saat ini
tengah berkumpul di meja makan dengan Arkan dan orang tua
lelaki itu.
"Ibu baru tau kalo kamu kerja selama ini, Nak. Pantas kamu
selalu pulang malam," ucap ibu Arkan dengan nada sendu.
"Aku tau selama ini Arkan kerja. Dia kerja di kafe yang
lingkungannya baik. Aku tau anak tante sama om capek
sehabis pulang sekolah harus masuk kerja. Tapi, aku liat
Arkan bisa ngatur waktunya kok om, tante."
Tahu apa yang sedang gadis itu rasakan? Tentu saja gugup.
Jantungnya berdegup kencang. Bahkan tangannya sedikit
gemetar. Alana bertanya pada diri sendiri, keberanian apa
yang ada dalam dirinya sampai bisa berkata demikian.
"Makasih, ya Nak?"
"Oh iya, itu ayam yang Arkan beli di gajian pertamanya om,
tante."
***
Mereka duduk di bangku taman, di bawah rembulan malam
itu. Bintang-bintang memanjakan mata dengan kehadirannya.
Siapapun akan setuju jika ditanya 'apakah malam hari ini
sangat indah?'. Malam hari itu sangat indah. Sampai Alana
enggan memalingkan pandangannya.
"Arkan ..."
"Hm?"
"Mimpi gue udah nggak semu lagi."
"Gue tetap ingin jadi ballerina. Tapi gue gak butuh mereka
tahu kalo gue adalah balerina."
***
“Selamat, buat tarian indah kamu yang mendapat banyak
banget tepukkan meriah.”
Alana tersenyum kecil mendengar kata ‘kamu’ keluar dari
mulu Arkan.
“Selamat juga, untuk juara dan beasiswa yang kamu terima.
You deserve it.”
Lalu keduanya tertawa senang. Dan pemandangan dari
rooftop sekolah di pagi menjelang siang ini tidak begitu terik.
Mereka duduk di kursi yang disediakan di sana. Memandang
pemukiman Jakarta yang padat.
Arkan memberikan bouquet bunga yang dibawanya tadi.
Alana menerimanya dengan senyuman.
“Azalea?”
Arkan mengangguk, lelaki itu mengusap rambut Alana yang
tertiup angin lembut, penuh sayang.
“Bunga azalea untuk si pemilik nama Azalea. Kamu suka?”
Alana megangguk melihat bunga dengan berbagai macam
warna, seperti; merah, kuning, pitih, pink, dan ungu itu
menjadi satu. “Aku suka, makasih, ya?” ucapnya tulus.
Arkan hanya tersenyum sembari terus mengusap rambut
Alana pelan.
“Alana ..”
“Hm?”
Alis Alana bertaut karena tak mendengar kalimat berikutnya
dari lelaki tinggi di sebelahnya itu. Lalu, dirinya semakin di
buat penasaran karena apa yang Arkan katakana di kalimat
berikutnya.
“Mimpiku udah gak semu lagi.”
Arkan tersenyum menatap mata bulat itu. Rasanya ingin
sekali mencubit gemas pipi gadis itu. Sedangkan Alana, dia
membiarkan Arkan larut dalam suasananya. Dirinya hanya
bisa menunggu apa yang akan lelaki itu katakan.
***
GARIS BESAR PROSES
Di tahun ketiga.
Berdua.
Lagi.
Dan lagi.
Selamanya.
EPILOG
Dengan harapan.
Sosok itu, penonton pertamanya.
***
Alana tersenyum ketika melihat gantungan kunci yang
dipegang seorang laki-laki di hadapannya. Gadis itu
kemudian berlakon heboh.
Dia menemukannya.
***
@bayu.sptra9