Anda di halaman 1dari 55

Dancing In

The Rain

Muhamad Bayu Saputra


TERIMA KASIH

Terima kasih untuk Allah SWT. Udah kasih kelancaran dan


kesehatan untuk saya. Terima kasih karena sampai saat ini
masih diberi rahmat dan berkahnya, karena itu saya bisa
selesaiin novel pertama saya untuk memenuhi tugas akhir
semester.
Terimakasih kepada diri sendiri yang udah mau berjuang
untuk bisa selesaiin novel ini. Untuk orang tua terutama mimi
(panggilannya) udah mau dukung dan selalu support segala
sesuatunya.
Untuk sosok dibalik pemeran Alana Azalea makasih banyak
udah mau banyak bantuin selesaiin novel ini walaupun
kadang selalu aja ada hal yang sering didebatkan. Terimakasih
Atas Support system terbaik satu ini selalu nemenin, selalu
jadi penenang dalam kerasnya hidup. Nama kamu ga disebut
disini. Tapi, arti dari nama Alana Azalea sangat cocok untuk
orang paling spesial di Tata Surya ini . Harus selalu ingat
ya kalo jadi angka sepuluh itu ga harus satu cara. Terimakasih
banyak Seplianti
Terima kasih juga kepada ibu Fatimah yang udah ngasih
materi tentang novel, kasih contoh-contoh tentang karya fiksi,
udah koreksi kesalahan-kesalahan. Terima kasih ibu ilmunya
sangat bermanfaat.
PROLOG

Kata banyak orang, badai pasti berlalu. Kata orang, jika jatuh
kita harus bangun lagi. Untuk mempercayainya, semua orang
harus merasakannya terlebih dahulu. Tak terkecuali bagi
seorang Arkan Fahreza. Dirinya jatuh namun rasanya tak
punya tenaga untuk bangun lagi. Dia diterpa badai dan belum
mampu untuk melewatinya.

Pertanyaan-pertanyaan seperti; kenapa harus dirinya?


Bagaimana caranya bangkit? Mampukah dia bisa
melewatinya? Selalu berkecamuk di kepala. Membuat bising
tak nyaman. Namun dia bisa apa selain menjalani?.

Seperti sore ini, Arkan baru saja sampai rumah selepas


sekolah. Berniat untuk istirahat. Sekadar merebahkan tubuh
yang Lelah. Namun, lagi-lagi keadaan tak mendukungnya.
Dirinya berada di balik pintu, tak sengaja mendengar
percakapan ayah dan ibunya.

“Kalau gak ada terus gimana, Yah? Gimana kita bisa bayar
uang sekolah adik?”
“Ayah juga bingung, Bu. Tapi pasti ayah usahakan.”
Arkan tahu betul dirinya pengecut. Dia sadar bahwa dirinya
adalah payah. Kabur selalu jadi hal yang paling sering dia
lakukan belakangan ini. Lagi dan lagi dirnya menyalahkan
Tuhan. Lagi dan lagi menyalahkan ayahnya yang dia anggap
tak becus.

Harusnya jika Perusahaan ayahnya tak bangkrut, dia bisa


istirahat setelah pulang sekolah. Jika saja ayahnya itu mampu
mempertahankan perusahaannya, dia dan ibunya tidak
bingung bagaimana nasib sekolahnya itu.

Pada keadaan seperti ini, Arkan adalah pengecut tak tahu diri.
Dia kabur dengan niat egoisnya, pergi dengan harap ketika dia
kembali nanti, masalahnya selesai.

***

Berjalan tanpa tujuan. Berlayar tanpa peta. Terbang dengan


keadaan sayap yang rapuh. Bisa menjadikan manusia tersesat,
tenggelam karena kondisi laut yang badai, atau bahkan
hancur. Membahayakan memang.

Arkan selalu membenci hujan. Baginya hujan itu


menyebalkan. Baginya hujan hanyalah perusak, pengganggu,
dan perenggut cerahnya matahari.
Namun, kedua paragraph di atas setidaknya menyatu di sore
ini. Dirinya hanya sekadar luntang-lantung tak punya tujuan.
Di bawah derasnya hujan yang dia benci. Tangis air matanya
menyatu dengan aliran air hujan yang jatuh di pipi.

“Setidaknya gue punya satu alas an untuk gak membenci


hujan,” batinnya.

Mungkin sudah tiga puluh menit dirinya itu bejalan, sampai


dia tak sadar sekarang dirinya berada di sebuah taman sepi.
Yang membuat dirinya terpaku diam adalah pemandangannya
di depan.
Seorang gadis dengan ringannya menari di bawah rintik
hujan. Tersenyum Bahagia seperti hujan adalah hadiah. Gadis
itu menari seolah suara percikan air hujan melodi indah
baginya.
“Is she crazy?” gumamnya perlahan.
Seakan hanyut dalam pesona gadis di depannya itu, Arkan
hanya termangu menatap. Senyum di bibirnya dia biarkan
mengembang. Sampai hujan sore itu reda. Sampai Arkan lupa
akan agenda kaburnya. Sampai kepalanya tak sebising
biasanya. Sampai gadis itu hilang dari pandangannya.
Namun sepertinya semesta kali ini tengah berpihak padanya.
Arkan mendekat ke tempat gadis itu tadi, dia menunduk,
berjongkok mengambil sebuah gantungan tas yang sempat
terjatuh sewaktu wanita itu buru-buru pergi tadi.
Senyum tipis perlahan muncul dari bibirnya. “Alana Azalea
…” gumamnya.
Dan hari itu dia akhiri dengan bertanya-tanya; sebenarnya
siapa gadis tadi? Alana?

***
GELANG DAN JAWABAN

Acara classmate memang sedang diadakan di SMA Harapan


minggu ini. Wajar saja jika sangat terdengar ramai. Lomba
antar kelas menjadi acara rutin yang setiap semester pasti
diadakan.
“Kan, ikut gak lo?” pertanyaan temannya itu membuat Arkan
yang sedang memainkan ponsel terdistraksi.
“Kemana?”
“Nonton lomba dance di stage lapang,” jawab temannya lagi,
Rama namanya.
Arkan terdiam sejenak sebelum senyuman tipis tersemat di
bibirnya.
Rama memandang curiga, membuatnya berkata aneh.”Gue
curiga sama senyuman lo.”
“Hm?”
“Pasti lo mau liat pah- AW,“ omongan Rama terpotong
karena Arkan menepuk bibirnya keras. “LO GILA YA?!!”
sambungnya teriak tak terima.
Arkan berlalu meninggalkam Rama masa bodoh. “Lo yang
gila,” katanya enteng.

***
“Kenapa muka lo murung banget dah?” itu Adrian yang
bertanya.
Rama yang duduk di depannya mengernyit, berbalik badan
menimpali, “hm? Padahal dia paling semangat tadi?” katanya
heran.
Sedangkan yang ditanya hanya berdiam diri saja. Arkan larut
dalam pikirannya sendiri. Jika dia ingat-ingat, sore itu gadis
yang sempat ia temui memakai seragam yang sama dengan
dirinya. Namun, rasanya sulit sekali menemukan gadis itu.
“Gue cabut duluan.”
Rama dan Adrian kaget mendengar Arkan, pun ketika lelaki
tinggi itu sudah berjalan membawa tasnya. “KAN? KITA
MAU LATIHAN DULU BUAT BESOK!!!”
Rama menghela nafas, percuma. Teriakannya tak digubris
oleh Arkan. “Menurut lo dia galauin apa?” tanyanya pada
Adrian.
Adrian mengernyit, “dia galau tiap hari gak sih?”
Rama terkekeh mendengarnya, “bener. Lo bener.”

***
Arkan tahu betul dirinya memang belakangan ini sering
diam. Bukan lagi Arkan yang ceria, bersemangat, dan punya
ambisi. Pun ketika dia ingin, rasanya seperti beban.
Bagaimana ketika dia ceria, ibunya malah sedang bersedih?
Bagaimana jika dia bersemangat lagi justru akan membuat
susah ayahnya?
Bagaimana ketika dirinya berambisi lagi, semua akan semakin
semu? Mimpinya.

“ARKAN!!”

Langkahnya terhenti mendengar suara itu. Tak lama


setelahnya ada gadis berdiri di depannya dengan nafas yang
tersenggal, seperti sudah berlari?
“Lo abis lari?” Arkan merutuki dirinya yang bodoh karena
mempertanyakan hal yang sudah jelas.
Gadis itu tertawa kecil, membuat Arkan mengernyit. Tapi
setelahnya dia melihat senyum yang terpampang di wajah
gadis itu.
“Sorry, lo Arkan, kan?”
“Hm,” angguknya. “Ada apa, ya?” tanya Arkan.
Gadis itu menjawab, “Lo dipanggil Pak Radit.”
“Pak Radit?” ulangnya.
Gadis dengan tinggi sebahu di depannya itu kemudian
membenarkan rambutnya yang berantakkan. Namun, yang
mengalihkan fokusnya adalah name tag gadis itu. “Alana?”
gumamnya perlahan.
Respon dari gadis di depannya itu tentu kaget. Arkan melihat
jelas matanya yang membulat dan gerakannya yang terhenti.
“Lo kenal gue?” tunjuknya pada dirinya sendiri.
Lega. Rasanya lega sekali. Arkan seperti Kembali bisa
bernafas. Senyum di bibirnya terpatri membuat gadis
Bernama Alana ini semakin bingung dibuatnya.

“Lo bisa antar gue ketemu Pak Radit?”

***
“Ah, jadi lo itu anak olim?” tanya Alana sambil mengangguk
paham. Arkan hanya tersenyum tipis membalas.
Arkan sungguh memuji dirinya yang hari ini dirasa sangat
beruntung dan berani, lebih ke nekat. Tadi selepas minta antar
Alana menemui Pak Radit, dia meminta Alana untuk
menunggu di luar kantor guru. Arkan sudah khawatir ketika
dirinya selesai, Alana sudah hilang. Namun, kekhawatirannya
itu sirna ketika matanya dengan jelas melihat gadis berambut
sebahu itu duduk di bangku di depan kantor guru. Berakhir
dengan Arkan yang mengajak Alana ke kantin dan di sinilah
mereka sekarang. Duduk berdua dengan kikuk.

“Keren,”
“Hm?”
Alana tertawa lagi. Arkan sempat berpikir Alana itu suka
sekali tertawa. “ Lo keren tau, jadi anak olim. Fisika lagi,”
puji Alana dengan tempol ‘oke’ nya.
Arkan terkekeh, “apanya yang keren? Gue selalu kalah di
tingkat nasional.”
Alana sedikit berpikir, terlihat dari alisnya yang bertaut. “Gue
denger olim fisika itu sekolah kita selalu di tiga besar?”
tanyanya.
Arkan mengangguk. “Tahun kemarin dua. Tahun sebelumnya
lagi tiga,” jelas Arkan.
“Terus lo anggap itu bukan sebuah pencapaian untuk lo di
bilang keren sama orang lain?” cecar Alana. “Juara itu gak
harus satu. Hish, lo terlalu merendah,” sambungnya.
Arkan? Dirinya terdiam, lebih tepatnya terhipnotis dengan apa
yang gadis di depannya itu katakan. Baru kali ini dirinya tidak
mendapat kalimat seperti “besok harus lebih usaha lagi”
“nanti harus dapat juara satu”. Arkan bahkan sudah muak
mendengar kalimat itu. Baginya itu bukan penyemangat. Alih-
alih disemangati Arkan lebih merasa bahwa itu beban.
Tanggung jawab yang dirinya harus tuntaskan.

“Tapi sekarang, kan lo udah kelas tiga, emang bisa ikut olim
lagi?” tanya Alana.
“Nggak bisa,”
“Terus tadi Pak Radit?”
Arkan bersyukur Alana bukan tipikal gadis kikuk pendiam.
Dirinya tertawa kecil membuat gadis di depannya itu
meringis.

“Ah, maaf. Gue banyak tanya, ya? Hehe.” Alana merutuki


dirinya yang selalu ‘berlebihan’. Lain kali, dia akan lebih bisa
mengerem mulutnya agar tidak banyak bicara. “Gapapa lo gak
usah jawab kalo gak ma-“ ucapannya terhenti karena Arkan
mengibas-ngibaskan tangan, membuatnya heran.

“Gak papa. Gue suka kok.”


“Hm?”
Arkan yang kali ini merutuk. Gasnya terlalu kencang, dia
sadar.

“Apa tadi? Pak Radit? Oh itu beliau nyuruh gue untuk bantu
dia ngajar anak club fisika kalo ada waktu nanti pulang
sekolah,” jelasnya.

Alana hanya mengangguk membuat Arkan tersenyum tipis.


Lelaki itu melihat ponsel Alana yang terus-menerus bergetar
menandakan ada yan menelponnya. Arkan melihat Alana yang
bergestur ‘aduh, gue lupa.’
Gadis itu menjadi buru-buru, sempat pamit ‘gue duluan ya,
anak kelas udah pada nyariin’ yang Arkan tangkap. Gadis itu
kemudian berlalu dan Arkan yang masih terdiam. Namun, tak
lama dirinya pun beranjak.

“Alana!” panggilannya membuat Langkah gadis itu terhenti


dan berbalik menghadapnya.

Arkan mendekat, merogoh sesuatu dalam tasnya,


menunjukkan benda dengan senyumannya. Benda yang
membuat gadis di depanya itu membulatkan mata, kaget.
Meraih gantungan yang dirinya pegang.

“KOK ADA DI LO?”


“Gue udah nyari ini kemana-mana.”
“Gue pikir akan hilang.”
“Makasi Arkan.”

Arkan tersenyum mendengar celotehannya. Bahkan, tanpa dia


sadari, dirinya menjadi lebih sering tersenyum hari ini.

“Gue boleh minta nomor lo?”


“Hm?”
LANTUNAN LAGU

Hujan lagi-lagi turun malam itu. Namun, dinginnya tak


mampu mengalahkan gejolak emosi yang sedang tercipta di
satu keluarga itu. Ayah dan anak itu saling tatap, sedangkan si
ibu hanya terdiam menangis sedu.

“Ayah kalo gak becus jadi kepala keluarga mending gak usah
jadi kepala keluarga!”
“Jaga omongan kamu, Arkan! Kamu pikir ayah gak usaha
selama ini?”
“Kalo usaha mana hasilnya?!”

Ayah Arkan terdiam mendengar omongan anaknya. Ayahnya


sudah berusaha. Dia setiap hari mencari kerja, banting tulang
mencari uang, bahkan menjadi kuli pun pernah ia lakukan.
Dirinya memang bersalah atas kebangkrutan Perusahaan.
Andai hari itu dia mampu meyakinkan para investor, pasti
semua masih baik-baik saja.
Tak akan nada anaknya yang menjadi temperamental dan
berubah drastis. Istrinya yang seharusnya hanya memikirkan
kebutuhan rumah, sekarang harus kesusahan akan memasak
apa untuk lauk makanan.
Mendengarnya langsung dari mulut sang anak bahwa dirinya
tidak pantas membuat hatinya tergores. Ada seperti tikaman
pisau dalam dirnya. Pisau tak kasat mata itu berhasil
membuatnya terdiam.
“Maafkan ayah …” ucap Ayahnya pelan.

Arkan menghela nafas kasar. Dia sadar sudah kelewat batas.


Dirinya yang sekarang sangat susah sekali untuk dikontrol.

“Apa Arkan harus putus sekolah biar gak nyusahin kalian?


Apa Arkan harus kerja biar bisa bantu kalian?” ucapnya putus
asa.

Ayah dan ibunya tentu kaget mendengar perkataannya. Tanpa


sempat memberi mereka bersuara, Arkan berlalu
meninggalkan. Masuk ke kamarnya. Merutuki diri kenapa tak
bisa mengontrol dirinya. Ayahnya pasti terluka. Ibunya pasti
bersedih. Mereka pasti sedang menangis.
Air matanya jatuh perlahan, namun segera ia tepis. “Maafin
Arkan, Yah, Bu …”

Dirinya luruh tapi tak ingin berlarut. Matanya melihat gitar


yang ada di atas Kasur. Meraihnya, lalu terduduk di lantai,
menjadikan ranjang tempatnya tidur sebagai penyangga
tubuhnya, Untuk kemudian jari jemarinya perlahan memetik
senar. Menciptakan alunan irama.
Lagu ini, lagu yang menjadi lagu favoritenya selama enam
bulan belakangan. Lagu yang selalu ia putar disaat-saat seperti
ini.
“Ku mohon hentikan air matamu mama”
”Bila ternyata harus putus sekolahku”

“Dan ku pilih gaya hidup yang tiada”

“Pernah indah di matamu”

“Tak mampu ku mengampuni diriku mama”

Pintu kamarnya terbuka, ada sosok ibunya di balik sana,


tersenyum mendengar alunan nyanyiannya. Ibunya itu
menghampirinya, terduduk di ranjang. Memberi gestur
‘lanjutkan’ untuk sebuah lagunya malam mini.
Mempersembahkan lagu favoritnya di hadapan sang ibu
langsung.

“Karena kenyataan hidup yang aku jalani”


“Tak seindah saat ku dengar engkau bernyanyi”

“Peluklah lelah jiwaku mama”

“Yang terluka dipecundangi dunia”

Arkan merasakan ada pelukan yang menyapa hangatnya saat


itu. Ibunya mendekapnya tulus membuat jarinya berhenti
memetik. Perkataan ibunya membuatnya merenung,
“Kami orang tua kamu, ayah mau buat hidup kita sejahtera.
Ibu gak minta kamu bantu nyari uang, nak. Ibu Cuma minta
anak-anak ayah sama ibu dukung dan tetep semangatin ayah.
Hm?” tutur ibunya halus.
Arkan menggigit bibirnya menahan untuk menangis. “Arkan
minta maaf, Bu. Arkan jadi sering emosi sama kalian,”
balasnya menyesal. “Itu sebabnya Arkan lebih suka kabur
daripada harus kayak tadi,” sambungnya dalam hati.
Ibunya itu tersenyum teduh, “Ibu ngerti, Nak. Gak papa.”
Arkan terdiam. “Apa Arkan udah aja ya bu sekolahnya? Biar
nanti Arkan kerja bantu ayah …”
Ibunya menggeleng. “Jangan. Arkan harus sekolah. Arkan
harus sarjana. Kalau bisa sampe S2 dan S3. Arkan fokus
sekolah sama Pendidikan kamu, nak. Biar di luar itu, ayah
sama ibu yang pikirkan.”
“Tapi Ark-“ omongannya terpotong oleh sang ibu.
“Arkan, kan bilang mau jadi dosen. Arkan bilang waktu itu
kalau anak ibu itu mau membantu banyak orang.” Ibunya
lagi-lagi tersenyum teduh. Arkan hanya bisa memeluk untuk
menjawab apa yang ibunya katakan.

Pelukkan malam itu terasa sangat hangat dengan ayahnya


yang menyusul kemudian.
DANCING IN THE RAIN

Cuaca sore itu mendung dan sebentar lagi pasti akan hujan.
Terasa dari angin yang menerpa kulit mereka, Arkan dan
Alana. Mereka berjalan selepas pulang sekolah. Dengan
seragam khas SMA Harapan dan ransel di punggung mereka.

“Lo pernah gak, sengaja ujanan padahal lo punya payung?”


tanya Alana.
Arkan mengernyit, “Gue gak suka hujan.”
Alana menghentikan langkahnya namun tidak dengam Arkan.
“Kenapa gak suka?”
“Hujan itu buat gue seperti masalah. Dia datang dengan ambil
paksa sinar matahari dan buat orang-orang tanpa persiapan
kebingungan.” Arkan tersenyum kecil memandang Alana
yang mencuatkan bibir.

“Lo sendiri, kenapa suka hujan?”


“Hm?”
“Dancing in the rain. I saw you.”

Alana terdiam. Dia tidak butuh banyak jawaban dari


pertanyaannya-pertanyaannya. Karena sudah dia temukan
jawaban itu.
Alana menipiskan bibirnya, tersenyum kecil. Matanya
berbinar menatap langit. “Entah. Gue suka. Gue suka
mencium bau petrichor. Gue suka kalau rintiknya membasahi
gue.”

Langkah Alana terhenti, membuat Arkan juga menghentikan


langkahnya. Mata bulat itu menatap Arkan dengan binar,
Senyumnya mengembang memperlihatkan gigi gingsul di
sebelah kirinya. “Manis” pikir Arkan.

“Meski bener kata lo. Gak adil ambil paksa sinar Mentari,
membuat orang lain kebingungan di mana mereka mau
neduh? Gimana caranya survive dari hujan? Keselnya karena
basah kuyup. Hujan bagi sebagian orang konotasinya buruk.
Tapi buat gue hujan itu menenangkan. Mau seburuk apapun
hujannya, pasti berhenti. Pun badai, pasti berlalu. Hujan itu,
menjanjikan sebuah langit yang lebih indah. Setelahnya, akan
ada Pelangi yang menyambut lo.”
Mereka saling menatap. Tenang rasanya. “Makna itu ada,
tergantung orang mau memaknainya apa.”
Arkan paham. Arkan mengerti. Dan Arkan ingin menjadi
bagian dari orang yang merasakan indahnya Pelangi itu,
Rintiknya perlahan membasahi bumi lagi. Banyak orang
berlalu lalang kebingungan mencari tempat berteduh. Tapi
tidak dengan mereka. Alana tersenyum.
“Ayo, gue mau tunjukkin lo sesuatu.”
***
Arkan merasa déjà vu dengan apa yang terjadi saat ini.
Bedanya, dulu dia hanya memperhatikan dalam diam
sedangkan kali ini dia menjadi penoton di sebuah panggung
pertunjukkan indah.
“Gue mau jadi ballerina.”
Kemudian, tubuh mungil itu berputar. Kakinya dengan lincah
menari. Tangannya menunjukkan betapa indah tarian itu.
Membuat siapapun yang melihatnya terpana. Membuat
siapapun yang menontonnya takjub.
Gadis itu kemudian menjulurkan tangan yang Arkan sambut
dengan senang hati. Arkan tak paham bagaimana menjadi
ballerino. Tapi Alana mampu menciptakan tarian mereka
menjadi istimewa, penuh makna, menakjubkan. Dan Arkan
jatuh. Dan Arkan menyukainya. Dan Arkan ingin melihat
Alana menari setiap hari.

Dan mereka menjadi luluh Bersama air hujan. Mereka tertawa


dengan rintiknya yang membasahi. Membiarkan hujan
menjadi figuran dan panggung yang menakjubkan.
Menciptakan pelanginya sendiri. Lalu indah Bersama-sama.

***
“Itu tadi tarian jatuh cinta.”
Arkan yang sedang meniup noodles cup itu heran
mendengarnya. Tapi terkekeh ketika Alana melanjutkan.
“Gue menamainya sendiri.” Alana tersenyum tipis,
menyeruput kuah mie yang sedang dia makan langsung dari
cupnya.
“Giselle itu jatuh cinta sama pangeran hanya dengan sekali
melihatnya. Klise. Padahal dia gak tahu siapa pangeran itu,”
sambungnya pelan.
Arkan terdiam. Lama hening tercipta diantar keduanya. Sibuk
dengan bisingnya kepala masing-masing.
Alana benar, Giselle hanya jatauh cinta tapi tidak tahu siapa
sebenarnya pangeran itu. Bisa saja dia bukanlah pangeran.
Bisa saja Giselle tertipu.
“Kenapa nama lo Alana Azalea?”
Alana menoleh. “Eummm … Alana itu kata mama gue artinya
sesuatu yang berharga. Sedangkan, Azalea itu bunga yang
melambangkan keindahan, keanggunan dan kecantikan
pribadi. Bukan gue banget, ya?”
Arkan tak bisa mengalihkan pandangannya dari gadis itu.
Arkan seperti terbius dengan senyuman indah Alana.
“Nggak kok. Cantik. Bener”
Tapi bagaimana jika pangeran itu ingin memperkenalkan diri?
Bagaimana jika pangeran ingin memberitahu siapa dirinya
sebenarnya? Bagaimana jika pangeran juga sebenarnya jatuh
cinta pada Giselle
TENTANG MIMPI, ANGKA, DAN RUMUS
USAHA

Bagaimana jika Giselle diberi ruang oleh semesta untuk


mengetahui siapa itu pangeran?
Apakah Giselle akan tetap jatuh cinta?
“Kea, sekarang udah jarang main ke rumah deh. Udah punya
banyak temen baru jadi sombong.” Gadis bernama Alana itu
ceritanya sedang merajuk kepada temannya, Keana.
“Ana sibuk kali, cil. Dia udah semester dua sekarang,” jawab
lelaki tinggi dengan santainya, Mahesa namanya.
“Dih, sombong tetep,” ucap Alana mencuatkan bibirnya kesal.
Keana tertawa melihat tingkah temannya. Meski beda
setahun, Alana tidak mau dianggap adik, dia ingin menjadi
sahabat saja, begitu katanya.
“Gue kemarin ke rumah lo, lo gak ada.”
Alana kaget mendengarnya. “Kapan?” tanyanya heran.
“Jam pulang sekolah. Sekalian nunggu Hesa sih jadi gak lama
mampirnya.” Keana menjelaskan dan gadis di sebelahnya itu
hanya mengangguk.
“Kemana dulu lo? Ngayap ya? Emang punya pacar?” Mahesa
mencercarnya dengan pertanyaan yang Alana tidak ingin
jawab.
Hari itu hari libur, jadi mereka memutuskan untuk jalan
karena sudah lama tidak bermain. Duduk di sebuah kafe
dengan mengobrol santai memang menjadi hal yang paling
Alana sukai, setidaknya dia tidak keluar banyak tenaga.
Namun fokusnya terganggu oleh seorang lelaki berperawakan
tinggi menggunakan setelan hitam putih. “Arkan?”
Alana buru-buru mengemasi barang-barangnya dan pamit
membuat Keana dan Mahesa kebingungan.
“Lo mau kemana?”
“Kea, Sa, gue duluan ya. Makasi traktirannya, hehe byeee ..”

***
Lembar-lembar putih itu dia lihat lamat-lamat. Dalam
diamnya ada do’a yang seraya dia panjat. Semoga ke terima
kerja. Semoga ini adalah keputusan yang benar. Semoga
setidaknya dunianya sedikit membaik.

“Arkan?”
Lamunannya terpecah ketika suara itu masuk ke indra
pendengarnya. Matanya membulat terkejut ketika melihat
gadis yang selalu mengganggu pikirannya itu ada
dihadapannya, sedang mengernyitkan alisnya, kebingungan.
“Alana?”
Gadis itu kemudian tersenyum, tangannya menyapa. “Hai,”
katanya.
“Lagi apa duduk sendirian di halte?” tanya Alana kemudian
mendudukkan diri di sebelah Arkan.
Arkan kemudian tersadar, dia langsung menyembunyikan
lembar surat lamaran kerjanya. Namun, melihat ekspresi
Alana rasanya usahanya sia-sia. Lagipula, siapa yang masih
menanyakan ketika pakaian yang dia gunakan saja sudah
jelas.

“Sorry lo ketemu gue lagi kayak gini,” ucapnya sambil


meringis. Tak bohong kalau ada sedikit rasa malu dalam
dirinya.
“Why sorry?” Alana menggelengkan kepala tanda itu bukan
sebuah kesalahan. Gadis itu justru memberikan gestur tangan
meminta. “Mana? Gue pengen liat. Lo abis wawancara, kan?”
tanyanya.

Arkan hanya terdiam tak menggubris, sampai Alana geram


dan megambil paksa lembar lamaran kerja Arkan. Gadis itu
tersenyum membacanya. Kepalanya mengangguk kecil.
“Lo lamar di kafe tadi, kan? Mau ketemu yang punya-nya
langsung?”
“Hah?”

Alana, gadis itu sekarang berakting mengibas-ngibaskan


lembaran dengan keluhan ‘panas’ yang membuat Arkan entah
kenapa tertawa, merasa lucu akan tingkah Alana itu.
“Lo udah makan? Panas banget gak sih di sini? Yuk!”

Lalu setelahnya gadis itu beranjak dengan lembar lamaran


kerja yang dibawanya.

***
Arkan terheran-heran ketika melihat Alana Kembali dengan
nampan berisikan banyak makanan. Saat ini mereka sedang
berada di salah satu resto cepat saji. Alana yang membawanya
kemari.
“Al?”
“Hari ini gue traktir. Sebagai gantinya, lo doain gue,” kata
gadis itu setelah duduk di bangkunya.
“Doain apa?” tanya Arkan.
Arkan lagi-lagi dibuat aneh oleh tingkah Alana. Gadis itu
melihat kanan kiri. kemudian mengajaknya berbisik.
“Gue mau ikut audisi balet.” Ucapnya dengan senyuman.
Arkan kemudian hanya mengangguk. Ada rasa tak enak dalam
dirinya ketika dia dihadapkan dengan keadaan seperti ini. Dia
sama sekali tidak menyentuh makanan ataupun minuman
yang Alana beli. Namun, sepertinya gadis itu peka.
“Mau makan sendiri atau gue suapin?” ceplos Alana tanpa
beban.
Arkan terkejut mendengarnya. Yang membuatnya lebih kaget
lagi adalah ekspresi Alana sendiri yang kaget akan ucapannya.
Lalu kemudian, Arkan melihat gadis itu merutuk lagi dan
dirinya tertawa lagi.
“Biar gue gak malu lo makan deh sendiri, ya?”
Arkan kemudian tersenyum. “Makasi ya, Al?”
Alana mengangguk dan tersenyum.
***
"Kenapa lo suka fisika?" pertanyaan itu datang dari Alana.

Arkan berpikir sejenak sebelum kemudian menjawab, "karena


gue suka angka. Angka buat gue gak membosankan."

Alana bergidik hiperbola, "gue ogah banget sih ketemu sama


angka lagi. Tapi IPS juga ada angka," bibirnya mencuat lalu
berdecik kesal.

Arkan terkekeh mendengarnya, "manusia mau sampai mati


pun tetap akan berurusan dengan angka, Alana.”
“Iya sih. Gak salah dan sangat benar.”
Lalu keduanya saling diam. Sebelum kemudian Arkan
kembali angkat bicara.
“Lo tau rumus usaha, gak?”
Alana berpikir sebentar, kemudian meringis, menggeleng.
“Gue belum pernah berurusan sama fisika dan gue mengakui
gue bodoh soal itu, hihi ..”
Arkan tersenyum. “Usaha itu membutuhkan gaya dan
perpindahan. Kalo gak ada perpidahan, berarti usahanya nol.
Nah dengan adanya usaha, maka kita bisa membuat
perubahan,” jelasnya sambal tersenyum.
Tapi sepertinya Alana masih bingung, gadis itu terlihat belum
sepenuhnya paham.
"Gini-gini ..." Arkan bersiap menjelaskan dan dirinya
tersenyum tipis melihat Alana yang langsung bersiap fokus.
"Giselle jatuh cinta sama pangeran, maka Giselle harus
berusaha. Kalo Giselle gak ada usaha, maka nilainya akan
nol."
Alana kali ini ber-oh ria dan mengangguk tanda paham. Dia
tersenyum menatap Arkan.
"Cerita gue soal fisika, ngebosenin, ya? Maaf ..." cicit Arkan
pelan.
"Nggak kok. Seru. Keren."
Alana mengacungkan jempolnya dan mereka tertawa
kemudian.
Dan Arkan merasa dihargai.
"Arkan ..."
Arkan menoleh, menatap Alana di depannya.
"Gue memang gak ngerti soal angka, tapi ... gue mau ngasih
tau lo sesuatu."
Arkan mengangkat alis menunggu Alana berbicara kemudian.
"Untuk mencapai angka sepuluh, kita gak harus lima tambah
lima. Masih banyak caranya. Nggak harus pertambahan.
Mungkin bisa aja perkalian. Atau mungkin pembagian. Atau
bahkan jika harus pengurangan sekali pun."
Seperti sihir perkataan Alana itu sampai-sampai Arkan
terpaku menatapnya. Sampai rasanya seperti hujan di tengah
kemarau panjang. Menenangkan dan Arkan suka.
Tadinya, dia pikir hari itu akan berakhir menjadi dirinya yang
tempramental. Dia pikir penolakan atas usahanya akan
menjadikan hari itu hari yang kacau. Namun, tidak. Arkan
salah. Untungnya dia bertemu dengan gadis aneh itu.
Untungnya pertanyaan tentang fisikanya mampu membuat
Arkan lupa akan bisingnya kepalanya tadi.

"Makasih, Al. Makasih ..." ucap Arkan tulus.


Alana tersenyum mendengarnya.

"Mau gue kenalin ke yang punya kafe tadi?"

***
MIMPI-MIMPI SEMU

"Oh gitu ..."

Mereka bertiga sama-sama mengangguk kali ini. Alana


menghela nafas dan meminum minumannya. Saat ini mereka
tengah berada di kafe milik Mahesa. Lebih tepatnya milik
orang tua Mahesa.

Alana memaksa Mahesa dan Keana untuk bertemu, ingin


menjelaskan sesuatu hal terkait Arkan. Alana meminta
bantuan dari mereka berdua karena bagaimana pun dia sudah
menawarkan bantuan pada Arkan.

"Suruh ke sini aja sekarang," pinta Mahesa membuat mata


Alana membulat.

"Sekarang?"

Mahesa mengangguk.
"Kalo gak mau gak masalah gue bisa-" Perkataannya terhenti
ketika melihat Alana buru-buru beranjak sambil membawa
ponselnya.
Mahesa menatap Keana yang tersenyum padanya.
"Makasih, ya Sa?" ucap Keana tulus. Mahesa hanya
mengangguk mendengarnya.

Mungkin sudah sekitar tiga puluh menit berlalu untuk


kemudian mereka berdua melihat Alana dan laki-laki tinggi
yang mereka yakini itu adalah Arkan, dengan setelan hitam
putihnya.

Mahesa merasa geli kenapa rasanya sangat formal.


"Duduk duduk .." ucap Mahesa mempersilahkan.

Alana mengajak Keana keluar, meninggalkan dua lelaki itu


untuk mengobrol (?) permasalahan pekerjaan.

"Jangan galak-galak ya lo! Awas aja," ancam gadis berambut


sebahu itu sebelum kemudian menarik Keana keluar.

Menyisakan senyuman tipis di bibir lelaki yang sedari tadi


menatapnya teduh itu. Mahesa hanya mencibir lalu
pandangannya menangkap Arkan yang tengah tersenyum, lalu
kemudian dirinya terkekeh geli.

***
"Mahesa galak gak?" tanya Alana penasaran.
Arkan menggeleng tenang. Perasaan senang tengah
menyelimuti dirinya saat ini.
Alana tersenyum. "Syukur deh."
Arkan menghentikan jalannya. Mereka berdua kini tengah
berada di sebuah taman. Hari sudah menunjukkan malam.
Lampu jalan sudah dinyalakan untuk penerangan.
Laki-laki itu duduk di salah satu bangku taman, mengajak
gadis berambut sebahu untuk duduk di sebelahnya.
"Makasih," ucapan singkat keluar dari bibirnya. Namun
terdengar sangat tulus, sangat tenang, dan lega.
Bagaimana tidak? Dirinya sekarang sudah mempunyai
pekerjaan meskipun hanya menjadi waiters di kafe milik
Mahesa. Berkat Alana.
Alana hanya mengangguk, lalu tersenyum, lalu pandangannya
beralih menatap langit malam. Gelap. Tidak ada bintang.
Namun, sabit tengah menampakkan dirinya malam itu.
"Apa mimpi lo, Ar?" gadis itu bertanya, suaranya lebih
terdengar sendu.
Arkan berpikir sejenak. Tak bohong bahwa dirinya sangat
bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Mimpi? Apakah dia
boleh bermimpi di saat keadaannya seperti ini?
"Entah," jawabnya pelan. "Kalo lo?" tanya balik lelaki itu.
Alana menghela nafas, terdengar seperti perasaan putus asa.
"Mimpi gue jadi balerina. Gue ingin jadi Giselle." Gadis itu
menipiskan bibirnya, untuk kemudian melanjutkan
ucapannya.

"Tapi ... itu gak mungkin."

Arkan mengangkat alisnya terkejut. "Kenapa?"


"Mereka lebih pengen gue jadi pebisnis. Sampai gue gak
berani bilang kalau gue pengen jadi balerina." Jawab Alana
diakhiri dengan tawa miris.
"Terus akan lo kejar?"
Alana menggeleng mendengar pertanyaan Arkan sampai
membuat lelaki itu menautkan alisnya.
"Entahlah."

Lalu, setelahnya hanya hening diantara mereka.

Mimpi mereka masih semu. Masih tidak tahu bagaimana cara


menempuhnya. Masih tak tahu seperti apa jalan yang harus
dilewatinya. Mereka mencoba tetap saja berjalan tanpa tujuan.
Berlayar tanpa peta. Entah sampai kapan. Entah tujuannya
akan kemana. Mungkin tersesat. Mungkin diterpa badai. Atau
mungkin, pelangi yang mereka lihat nantinya.
AYAM, GISELLE, DAN PANGERAN

Arkan, lelaki itu entah bagaimana pemikirannya. Karena


sudah sepuluh menit masih saja berdiri di depan rumahnya.
Dengan plastik putih yang ada di tangan kanannya, laki-laki
itu mengeratkan pegangannya.

Hari ini, hari pertamanya gajian. Merasa senang karena ini


adalah kali pertamanya. Dia sudah banyak berubah dalam
kurun waktu sebulan ini. Dia tidak lagi menjadi Arkan yang
sering kabur. Tidak lagi menjadi Arkan yang meluap-luapkan
emosinya. Dia menjadi lebih baik, sedikit.

Arkan merasa dirinya beruntung karena dipertemukan dengan


gadis ceria yang selalu menemani dirinya. Gadis yang tak
sengaja dia jumpai di hari itu. Gadis yang dengan tariannya
mampu membuat siapapun tersihir penuh kagum. Alana, yang
tak pernah banyak tanya namun selalu ada dan membuat
semuanya lebih baik. Arkan merasa gadis itu mendukungnya.

Bolehkah ... dia sedikit lebih egois? Untuk tetap membuat


gadis itu ada untuknya. Untuk membuat gadis itu selalu
mendukungnya. Untuk tetap menggenggam erat tangan gadis
itu agar tersenyum padanya.
Dan ... Arkan siap untuk menjadi penonton setia gadis balet
itu. Selamanya.
Selamanya.
"Arkan?"

Suara yang sangat familiar itu menyapa gendang telinganya.


Membuatnya tersadar dan segera berbalik badan. Menemukan
Alana di sana, berdiri dengan tangan yang ia acungkan, ada
ponsel Arkan digenggamannya.

"Hape lo ketinggalan."

***
Ada sedikit perasaan menyesal dalam dirinya. Alana, saat ini
tengah berkumpul di meja makan dengan Arkan dan orang tua
lelaki itu.

Tidak, dia tidak menyesal karena bertemu kedua orang tua


Arkan. Hanya saja, penampilannya sangat buruk kali ini.
Memakai seragam sekolah, bahkan rambutnya kusut, sangat
tidak layak dipandang, pikirnya.

"Ibu baru tau kalo kamu kerja selama ini, Nak. Pantas kamu
selalu pulang malam," ucap ibu Arkan dengan nada sendu.

"Kenapa kamu gak bilang sama ayah sama ibu?" ayahnya


Arkan bertanya. Alana mendengar ada sedikit nada
kekhawatiran.

Sedangkan yang ditanya diam. Lelaki di samping Alana itu


lebih memilih menundukkan kepala. Alana melihat kebiasaan
buruk Arkan belum hilang. Maka, dia genggam tangan yang
sedang lelaki itu kepal erat-erat. Membuat si empunya
menatap Alana dan Arkan menemukan gadis itu tersenyum,
mengangguk menenangkan.

"Om, tante, maaf sebelumnya ... Kenalin aku Alana, temannya


Arkan."
Orang tua Arkan menatap gadis di depan mereka, kemudian
tersenyum.

"Aku tau selama ini Arkan kerja. Dia kerja di kafe yang
lingkungannya baik. Aku tau anak tante sama om capek
sehabis pulang sekolah harus masuk kerja. Tapi, aku liat
Arkan bisa ngatur waktunya kok om, tante."

Tahu apa yang sedang gadis itu rasakan? Tentu saja gugup.
Jantungnya berdegup kencang. Bahkan tangannya sedikit
gemetar. Alana bertanya pada diri sendiri, keberanian apa
yang ada dalam dirinya sampai bisa berkata demikian.

"Jadi ... om sama tante gak perlu khawatir atau merasa


bersalah. Anak om sama tante itu anak baik, kok. Kalau ada
apa-apa nanti Alana yang bantu Arkan," pungkas Alana
dengan senyuman yakin.

Ayah Arkan tersenyum, menatap anaknya yang memang


sudah dewasa di usia yang bahkan baru delapan belas tahun.
Ibunya pun sama, merasa bangga pada Arkan yang bisa
paham kondisi keluarganya.

"Makasih, ya Nak?"

"Ayah sama ibu bangga sama kamu."


Arkan tersenyum mendengarnya. Dia kemudian menatap
Alana yang senyumannya tidak pernah pudar. Ada rasa
terimakasih yang ingin segera lelaki itu sampaikan.

"Oh iya, itu ayam yang Arkan beli di gajian pertamanya om,
tante."

Gadis itu paham, Alana sangat peka akan situasi. Mendengar


tawa dari kedua orang tuanya saat mengobrol dengan Alana
rasanya menenangkan. Arkan baru pertama kali merasakan
seperti ini lagi.

Tertawa bersama keluarganya. Mengumpul dengan cemilan


sebagai hidangan. Rasa nyaman, tenang, senang, menyelimuti
rumahnya malam itu.

Dan semuanya, berkat Alana.

Makasih, Al. Makasih banyak.

***
Mereka duduk di bangku taman, di bawah rembulan malam
itu. Bintang-bintang memanjakan mata dengan kehadirannya.
Siapapun akan setuju jika ditanya 'apakah malam hari ini
sangat indah?'. Malam hari itu sangat indah. Sampai Alana
enggan memalingkan pandangannya.

"Arkan ..."
"Hm?"
"Mimpi gue udah nggak semu lagi."

Arkan menatap Alana tepat. Matanya melihat gadis itu dengan


heran.

Alana tersenyum, melihat ekspresi bingung Arkan.

"Gue tetap ingin jadi ballerina. Tapi gue gak butuh mereka
tahu kalo gue adalah balerina."

Alana menatap Arkan teduh. "Gue gak butuh banyak


penonton untuk melihat tarian gue. Karena gue udah punya
satu penonton, yang akan selalu suka dengan tarian gue."

Giselle sudah jatuh pada pangeran.


Pangeran sudah membiarkan Giselle tahu siapa dirinya.

Dan keduanya menjadi satu malam itu.


SEBUAH RENCANA

Alana berlari dengan gaun balerinanya. Membiarkan langkah


kaki ringannya menuntunnya kala itu. Tak ingin juga untuk
melunturkan senyuman yang terpatri di wajah manisnya.

Gadis itu masih terbayang akan ucapan pujian Mamanya tadi.


Tadi dirinya menampilkam balet. Dirinya menjadi Giselle
yang tengah jatuh cinta. Memberikan persembahan memukau
dengan diakhiri tepuk tangan meriah.

Hari itu pesta perpisahan kelas dua belas di sekolahnya. Ada


mamanya menonton. Lalu, Alana melihat senyuman di wajah
mamanya. Setelahnya, gadis itu di peluk oleh sang ibunda.
Dibisikkan kalimat bangga. Dia, berhasil mempertunjukkan
balet yang membuat mamamya memuji 'Indah tarian kamu,
Lana.' Membuatnya ingin memberitahukan pada seseorang.

Alana juga ingin mengucapkan selamat pada sosok itu. Alana


dengar, lelaki itu berhasil memenangkan juara umum.
Bahkan, Alana mendengar bahwa lelaki itu berhasil
mendapatkan beasiswa untuk kuliah di salah satu Sekolah
Tinggi Statistika.
Langkahnya terhenti ketika melihat sosok laki-laki tinggi itu
di depan sana. Arkan Fahreza Putra, tengah memeluk dua
buah bouquet bunga. Lelaki itu menangkap kehadirannya.
Tangannya beseru ‘sini’ yang langsung Alana turuti.
Alana mendekat, tersenyum pada kedua orang tua Arkan yang
saat itu hadir di acara perpisahan. Ibu Arkan langsung
memeluk gadis itu. Mendekapnya hangat yang langsung
Alana balas pelukannya.
“Tante kangen banget sama kamu, Nak.”
Alana terkekeh kecil mendengarnya.
“Lana juga kangen sama tante, hehe”
Lalu kemudian gadis itu menyalim kepada ayah Arkan.
“Sehat, Al?”
“Alhamdulillah, om.” Balas Alana.
Arkan tersenyum melihat pemandangan di hadapannya. Dia
merasa sangat senang. Pun ketika mata bulat berbinar itu
menatap matanya. Sungguh, rasa damai itu menyelimuti
dirinya.
“Bentar ya, yah, bu.”
Lelaki itu menyerahkan satu bouquet bunga pada ibunya. Lalu
mengajak Alana untuk entah kemana. Alana pun pamit kepada
kedua orang tua Arkan.
“Mau kemana, nih?” tanya gadis itu penasaran.
Arkan tak menjawab dan malah menarik tangan Alana pelan.
Menggenggamnya lembut.

***
“Selamat, buat tarian indah kamu yang mendapat banyak
banget tepukkan meriah.”
Alana tersenyum kecil mendengar kata ‘kamu’ keluar dari
mulu Arkan.
“Selamat juga, untuk juara dan beasiswa yang kamu terima.
You deserve it.”
Lalu keduanya tertawa senang. Dan pemandangan dari
rooftop sekolah di pagi menjelang siang ini tidak begitu terik.
Mereka duduk di kursi yang disediakan di sana. Memandang
pemukiman Jakarta yang padat.
Arkan memberikan bouquet bunga yang dibawanya tadi.
Alana menerimanya dengan senyuman.
“Azalea?”
Arkan mengangguk, lelaki itu mengusap rambut Alana yang
tertiup angin lembut, penuh sayang.
“Bunga azalea untuk si pemilik nama Azalea. Kamu suka?”
Alana megangguk melihat bunga dengan berbagai macam
warna, seperti; merah, kuning, pitih, pink, dan ungu itu
menjadi satu. “Aku suka, makasih, ya?” ucapnya tulus.
Arkan hanya tersenyum sembari terus mengusap rambut
Alana pelan.
“Alana ..”
“Hm?”
Alis Alana bertaut karena tak mendengar kalimat berikutnya
dari lelaki tinggi di sebelahnya itu. Lalu, dirinya semakin di
buat penasaran karena apa yang Arkan katakana di kalimat
berikutnya.
“Mimpiku udah gak semu lagi.”
Arkan tersenyum menatap mata bulat itu. Rasanya ingin
sekali mencubit gemas pipi gadis itu. Sedangkan Alana, dia
membiarkan Arkan larut dalam suasananya. Dirinya hanya
bisa menunggu apa yang akan lelaki itu katakan.

“Kita bikin usaha bareng, yuk? Kafe milenials?”

Alana, gadis itu tertawa kecil. Tawanya mulai terdengar


renyah. Sebelum kemudian Arkan dan dirinya hanyut dalam
tawa riang yang melegakan. Juga penuh semangat.

***
GARIS BESAR PROSES

Di tahun berikutnya, mereka berdua sama-sama memasuki


jenjang perkuliahan. Arkan dengan beasiswa yang ia dapat di
Sekolah Tinggi Statistika dan Alana yang menempuh prodi
Ilmu Komunikasi di sebuah Universitas Swasta ternama di
Jakarta.

Mereka sama-sama sibuk dengan kuliahnya masing-masing,


bahkan waktu untuk bertemu pun menjadi jarang. Arkan
masih bekerja sebagai waiters di kafe milik Mahesa.
Sedangkan, Alana memilih untuk menjadi content creator di
salah satu platform. Gadis itu terkadang menceritakan
kesukaannya pada balet.

Tahun berikutnya lagi.

Arkan diangkat menjadi manager kafe milik Mahesa. Lelaki


itu mendapat kepercayaan dari sang owner karena
kecakapannya dalam berhitung serta bakatnya memanage
bisnis.
Sedangkan di sisi lain Alana semakin banyak penggemarnya.
Bahkan, konten-kontennya sering mendapat like sampai
ratusan ribu. Gadis itu semakin suka dengan pekerjaannya.
Mereka menjadi sangat jarang bertemu karena waktu yang
terbatas. Namun, setiap harinya mereka menyempatkan untuk
video call. Bahkan, komunikasi itu tetap terhubung sampai
pagi. Keduanya tidur dan panggilan mereka masih terhubung.
Orang-orang biasa menyebut itu dengan sebutan ‘sleep call’.

Di tahun ketiga.

Arkan dan Alana sering bertemu setiap weekend. Bukan,


mereka bertemu bukan untuk menikmati weekend seperti
kebanyakan pasangan. Mereka bertemu untuk membahas
bisnis yang akan mereka jalani. Biaya mereka kumpulkan dari
masing-masing pekerjaan. Mereka sudah menabung selama
tiga tahun untuk kemudian bisa merancang bisnis ini.
Seperti minggu hari itu, mereka tengah berkeliling mencari
tempat yang pas untuk tempat usaha mereka. Dari mulai
sebuah tempat di Rawamangun, di komplek Haji Ten, sampai
Cipinang pun mereka datangi untuk tahu survey mana yang
paling baik.

Di tahun keempat, tahun ini.

Coffe Shop bernama Tarian Hujan berhasil mereka dirikan.


ENDING

Arkan tersenyum puas melihat di sekelilingnya, Sebuah kafe


dengan gaya minimalis yang tengah ramai pengunjung
miliknya menjadi kafe yang saat ini paling digemari anak
muda. Rasa haru dan bangga setiap kali melihat tempat ini
menyelimuti dirinya.
Arkan tidak percaya, dirinya mampu sampai di titik ini.
Dan itu semua, berkat gadis yang sudah menemaninya lima
tahun belakangan ini. Gadis yang rambutnya sudah Panjang.
Gadis yang senyumnya tidak pernah berubah. Gadis yang
berperan besar dalam hidupnya.
Alana Azalea.
Alana berjalan mendekat setelah berphoto dengan salah satu
penggemarnya. Gadis itu kini terlihat lebih dewasa dengan
gaya berpakaiannya yang sopan.
“Gimana, Pak? Masih gak percaya kalau kafe ini punya
bapak?” tanya gadis itu, becanda.
Arkan tertawa menimpali. Diusapnya lembut rambut gadis di
hadapannya itu.
“Besok minggu aku sama ayah dan ibu mau ke rumah..”
“Mau apa?” tanya Alana penasaran.
“Mau lamar anaknya, biar gak keburu diikat cowok lain.
Mata Alana membulat. Ekspresi kagetnya bukan bohongan.
Arkan hanya tertawa melihatnya. Lelaki itu nekat mencubit
pipi Alana gemas. Sebelum kemudian gadis itu tersadar.

“ARKAN MAKE UP GUE!!!”

Arkan berlari kabur dari amukkan gadis itu. Dengan tawanya.


Dengan senang dalam dirinya. Dengan perasaan Syukur tiada
henti. Dengan harapan untuk niat baiknya semoga diterima
oleh keluarga si ballerina kesayangannya.

Pada akhirnya, kisah Giselle dan Pangeran mampu sampai


pada titik puncak yang menggembirakan. Pada akhirnya,
Giselle mampu membuat Pangeran jatuh cinta pada
tariannya. Pada akhirnya, Pangeran mampu menunjukkan
pada Giselle siapa dirinya.

Tarian di bawah hujan itu menjadi awal dari mereka. Hujan


mampu membuat lelaki putus asa itu menjadi lelaki Tangguh
yang hebat. Perumpamaan hujan hari itu mampu mengubah
pemikiran lelaki dengan sisa-sisa nafas itu menjadi lebih
dewasa. Pun rumus fisika yang lelaki itu jelaskan pada gadis
berambut sebahu itu, mampu membuat dirinya sadar akan
pentingnya usaha untuk mencapai perubahan.

Lalu, mereka meryakannya.


Mereka membuat pesta meriah.

Untuk hari esok yang akan datang.

Mereka siap menyambutnya.

Berdua.

Dengan pertunjukan Giselle dan Pangeran.

Dengan tarian di bawah hujan.

Dengan definisi hujan itu sendiri.


Dengan angka penuju angka sepuluh yang tak harus lima
tambah lima.
Dengan pengertian rumus fisika.

Lagi.
Dan lagi.
Selamanya.
EPILOG

Gadis berambut sebahu dengan seragam khas SMA Harapan


itu berjalan sendirian. Alana Azalea, dirinya mencuatkan
bibir. Sedang merasa bosan. Padahal hari itu sudah jam
pulang sekolah. Tapi dia masih luntang-lantung tat tahu arah.

“Yes ! Mendung!” ujarnya semangat.

Indra penglihatan gadis itu melihat seorang lelaki yang sama


seragamnya, seperti dirinya. Berjalan dengan Langkah kusut.
Bahkan, lelaki itu sering mengusak rambutnya kasar.
“Galau tuh pasti.”

Tak lama rintik-rintik yang gadis itu tunggu jatuh mengenai


tubuhnya. Gadis itu bersorak ria. Dirinya melihat banyak
orang lalu lalang kebingungan mencari tempat berteduh.
Alana kemudian beranjak. Langkah kakinya seperti diiringi
dengan melodi yang indah. Tangannya tanpa sadar ikut
menari. Sampai tiba Alana di sebuah taman sepi, gadis itu
menjatuhkan tas-nya masa bodoh.
Kakinya itu membuat tubuhnya bersenyalir dengan hujan.
Tangan lentiknya membuat Gerakan-gerakan indah. Suara
rintik hujan adalah irama yang paling dirinya sukai.
Tubuhnya kesana kemari. Dirinya seperti berada di atas
panggung persembahan spektakuler.
Sampai hujan berhenti, tanggannya pun terjatuh. Alana
melihat dari kejauhan sana ada seseorang yang
memperhatikannya. Dirinya tersenyum kecil.
Gadis itu segera berjongkok, melepas paksa gantungan
sleting tas-nya. Lalu setelahnya, pergi.

Dengan harapan.
Sosok itu, penonton pertamanya.

***
Alana tersenyum ketika melihat gantungan kunci yang
dipegang seorang laki-laki di hadapannya. Gadis itu
kemudian berlakon heboh.

“KOK ADA DI LO?”


“Gue udah nyari ini kemana-mana.”
“Gue piker akan hilang.”
“Makasi Arkan.”

Alana tersenyum puas.

Dia menemukannya.

***

“Kenapa nama lo Alana Azalea?”

“Eummm … Alana itu kata mama gue artinya sesuatu yang


berharga. Sedangkan, Azalea itu bunga yang melambangkan
keindahan, keanggunan dan kecantikan pribadi. Bukan gue
banget, ya?”

“Nggak kok. Cantik. Bener.”


TENTANG PENULIS

Muhamad Bayu Saputra atau lebih dikenal sebagai Bayu


adalah salah satu murid di SMAN 1 LURAGUNG yang
pada tahun 2023 duduk di kelas 12 MIPA 4. Lahir pada
17 Februari 2005 di kota Kuningan sebagai anak bungsu.
Kecintaannya terhadap angka sering kali membuat dia
memenangkan perlombaan di sekolah, oleh karena itu.
Cita-Cita saya yang ingin masuk sebagai mahasiswa di
STIS saya kembangkan di dalam novel bahasa indonesia
ini. Walaupun banyak sekali rintangan tapi tetap percaya
bahwa apabila ada usaha tentu perpindahan/perubahan
akan terjadi.

@bayu.sptra9

Anda mungkin juga menyukai