Anda di halaman 1dari 11

SENDYAKALA PUKUL 6

ANNISA NUR LATIFAH

Januari 2013.

Gemercik air hujan mulai turun membasahi kota Jakarta, dan gadis itu malah memilih untuk berdiam diri tanpa berniat mencari tempat
meneduh. Matanya masih enggan untuk beralih pandang, netranya hanya tertuju pada satu objek yang membuatnya berdecak kagum tanpa henti.
Melihat satu-satunya orang yang rela turun dari atas motornya hanya untuk membantu wanita baya menyebrangi jalanan. Padahal beberapa menit
sebelumnya, Aruna melihat laki-laki itu terlihat buru-buru untuk keluar dari parkiran sekolah nya.

Gyanendra Kala Paramadita, laki-laki itu benar-benar berbeda. Pantas saja dirinya menyimpan kekaguman yang luar biasa pada pandangan
pertama di pukul enam sore itu.

Gyanendra Kala Paramadita adalah pribumi yang namanya benar-benar membumi. Orang-orang bahkan akan langsung mengenalinya hanya
dengan mendengar namanya.

Bagaimana tidak, saat ia masih berumur 17 tahun di tahun 2012 ia menjadi orang indonesia termuda yang meraih gelar Grandmaster di
usianya saat itu. Seorang pecatur asal Indonesia yang sampai saat ini masih menjadi nama paling sempurna menurut Aruna

☆☆☆

Di siang yang cerah ini menemukan Kala di tengah keramaian sepertinya sudah mulai jadi kebiasaan Aruna. Cuma butuh waktu beberapa
detik yang singkat untuk melihat sosok jangkungnya lagi bersandar di motor nya sambil menunggu Aruna. Waktu iris mata hitamnya terpaut
dengan milik Aruna, kita berdua sama-sama tersenyum.

Dia kemudian menyodorkan helm berwarna pink muda yang entah dari mana tiba-tiba bertengger di motornya. “Nih, pake.” Motor itu
membelah jalanan tepat di pukul enam sore melakukan aktifitas rutin nya yaitu menjemput Aruna sepulang sekolah.

Kalau sampai suatu saat nanti Kala adalah orang yang selalu ada di pukul enam Aruna, mungkin pukul enam akan jadi waktu yang paling
ia sukai.

“Eh — hujan,” Kala menepikan motornya sewaktu jarum-jarum hujan mulai turun dan membuat sensasi nyeri sementara pada tubuh Aruna.
“Padahal udah deket.”
“Ya udah, nggak apa-apa, Kak. Lanjut aja.”
“Jangan, dong,” dia menjawab tepat dengan Aruna turun dari motornya. Jantung Aruna saat ini tidak bisa diajak kompromi sewaktu Kala
melepas tasnya dan mengangkatnya ke atas kepala dia agar tidak kehujanan.
“Gue mau lomba, lo juga ada tugas akhir. Kita berdua nggak boleh sakit.” Dan kita berdua berakhir berteduh di depan sebuah toko kelontong
bersama dengan beberapa pengendara motor lainnya.

Aruna sibuk menatap air hujan yang semakin lama semakin rapat, juga langit yang mulai menggelap. Kala juga sibuk lihat ke arah langit.
Aruna tidak tahu apa yang lagi dia pikirin, tapi tampaknya Kala sudah tenggelam jauh dalam lamunannya.

“…..Kak?”
“Hm?”
“Lo pernah suka sama cewek nggak?”

Kala langsung menoleh ke arah Aruna, lalu tersenyum miring, “Kenapa emang?”

“Nggak apa-apa. Nanya aja.”


“Gue nggak tau,” jawabnya. “Tapi boleh nggak gue validasi perasaan gue?”

Aruna mengangkat alis, balik menatap Kala, “Boleh. Tapi kenapa tanya ke gue?”

Tebak apa yang lelaki itu lakukan selanjutnya? Kala menggenggam sebelah tangan Aruna, membuat jari jemari keduanya saling terpaut. Kala
kemudian menaruhnya di saku hoodie yang dikenakannya. Semua itu sontak membuat pipi Aruna serasa dipaparkan setrika panas.

“Lo tahu nggak, target dari permainan catur itu adalah menghabisi raja. Seluruh permainan adalah strategi untuk melindungi raja menggunakan
pion — pihak yang paling lemah dalam permainan.”

Kala menatap Aruna waktu kalimat itu berakhir dan Aruna jadi gelagapan dibuatnya, “Terus?”

“Kalau seseorang berhasil membidik raja, pembidiknya bakal bilang ‘checkmate’ atau skakmat yang artinya adalah… raja udah kalah dan
permainan berakhir.” Aruna masih tidak mengerti apa yang sebenarnya Kala bicarakan.

“Gue baru aja selesai memvalidasi perasaan gue,” Kala tersenyum miring.”
“Gue kira kalimat cheesy ini nggak akan pernah keluar dari mulut gue. Tapi karena lo tadi nanya, gue jadi pengen bilang ini ke lo.”
“……apa?” Jantung Aruna dibuat berdetak kencang oleh Kala.
“You are a checkmate to my King, Run.”
“….”
“Lo adalah pion yang menembus pertahanan gue.”
“….”
“It’s a checkmate. Gue udah kalah, Run".

☆☆☆
Maret 2014.

Sudah hampir satu tahun Aruna mengenal Kala, dan hampir satu tahun pun sepertinya tidak pernah Aruna di hari libur sudah mandi di jam
tujuh pagi, memilah baju yang sekiranya cocok untuk Aruna gunakan dikarenakan bundanya Kala tiba-tiba mengajak Aruna makan di rumahnya.

Aruna sendiri sudah sering bertemu dengan bundanya Kala, tetapi sekedar saling sapa menyapa di depan teras saja jika mereka tidak sengaja
berpapasan.

“Halooo, Aruna.Tetanggaan tapi kok baru mampir ke sini?” Tante Sasha—bundanya Kala—menyapa Aruna dengan hangat. Senyumannya lebar.
Wajahnya cantik dan sangat anggun dengan dress yang dikenakannya, tidak heran Kala juga sangat menawan dimata Aruna. Beliau memeluk
Aruna sesaat sebelum akhirnya berkata, “Sini masuk-masuk. Tante udah masak banyak.”

“Lagi syukuran ya, Tan?” Aruna sedikit takjub waktu ternyata masakan Tante Sasha banyak sekali. Di meja makan sudah ada ayahnya Kala.
Maka, Aruna menyapa dengan canggung, “Pagi, Om...” Om Dhanu—ayahnya Kala—langsung menurunkan koran yang dibacanya, tersenyum
lebar, “Halo, Aruna. Sini duduk di sebelah Om. Ini lho...bukan syukuran, memang ini sambil doa bersama buat turnamen Kala tiga minggu lagi.”

Tidak lama Kala akhirnya turun dari lantai atas. Rambutnya berantakan, kentara sekali kalau ia baru bangun tidur. Matanya langsung tertuju
pada Aruna. Sedikit mencibir, dia berkata, “Rapi amat, kayak mau ketemu siapa aja.”

Kalau di sini tidak ada Tante Sasha dan Om Dhanu, udah bakal Aruna jawab, “'Kan mau ketemu calon mertua.” Tapi untungnya Aruna masih
cukup waras untuk hanya balik mencibir Kala.

“Ya udah sini-sini, kita mulai makan, ya,” Tante Sasha membuka sesi sarapan bersama itu. Mengambilkan nasi untuk semua orang yang ada di
sana.

Tidak lama setelah itu Aruna berdeham, “Enak banget masakannya, Tan. Aku boleh nambah lagi nggak?”

Tante Sasha tampak sangat senang dengan pernyataan Aruna. Wanita berumur empat puluhan itu menjawab dengan sangat antusias, “Habisin
aja, run. Nih kamu tambah lagi dagingnya. Sayurannya juga boleh. Enak 'kan masakan Tante? Pas bumbunya?”

Aruna terkekeh, mengacungkan jempol, “Enak banget....”

“Enak gini tapi kok Kala nggak pernah mau sarapan di rumah, ya....”

Aruna menghentikan semua gerakan, kali ini membiarkan tatapan Aruna bertemu dengan Kala. Cowok itu mengangkat alisnya beberapa saat.
Tidak ada reaksi sedikit pun dari Kala, dia cuma lanjut makan, kali ini dengan terburu-buru.

“Kala gimana di sekolah, Run?” Aruna tersendak tidak lama setelah bundanya kala melemparkan pertanyaan tersebut, kenapa menanyakan nya
ke dia pikirnya.

“Baik, Tan....”
“Nggak suka bikin masalah?”

Aruna menggeleng, “Enggak, kok. Kak Kala anak baik, bintang lima!” Aruna menjawab seadanya. Sejujurnya Aruna tidak tau banyak tentang
Kala di lingkungan sekolah.

“Kala kalau pukul enam sore beneran latihan 'kan, Run? Bukan pergi kemana gitu?”

Aruna sedikit gelagapan. Aruna tau kalau Kala selalu ada acara di pukul enam sore. Tapi mana Aruna tau dia pergi kemana? Tiap Aruna tanya
juga Kala tidak mau jawab.

“Oh, kalau itu—”

“Bunda nggak percaya sama Kala?” Nada bicara Kala agak tinggi. Membuat Aruna sontak diam. Memandang bergantian antara Tante Sasha dan
Kala. Kala melanjutkan dengan intonasi yang sama tingginya, “Ayah juga 'kan? Makanya Ayah sama Bunda nyewa orang buat ikutin aku sepulang
sekolah? Segitu nggak percayanya Bunda dan Ayah sama anaknya sendiri?”

Aruna tidak tahu mesti melakukan apa di situasi seperti ini. Tapi rasa-rasanya, Aruna mulai mengerti kenapa Kala lebih menyukai ibu penjual
bubur dibandingkan bundanya sendiri. Aruna juga mulai mengerti kenapa Kala tidak pernah mau lama-lama di rumah. Dan saat itu Aruna juga
tahu, kenapa Kala selalu bilang kalau di pukul enam dia selalu ada acara.

“Walaupun Kala nggak suka catur, Kala tetep mendedikasikan hampir separuh hidup Kala buat catur, kok bun! Kala latihan tiap hari. Tanya aja
ke pesuruh Ayah dan Bunda yang kalian suruh buat ngawasin Kala setaip saat itu,” Kala bangkit dari kursi makannya. Tatapannya penuh amarah,
“Kala nggak suka catur tapi tetep mau ada di sana juga karena Kala sayang sama Bunda! Kala mau menuhin mimpi kecil Bunda yang nggak
pernah kecapai. Tapi kenapa, sih? Kenapa nggak pernah sedikit pun kalian percaya sama Kala?”

Aruna sudah menutup mata karena tidak mau lihat Om Dhanu memukul Kala, tapi waktu Aruna membuka mata, tampaknya aksi itu sudah
digagalkan oleh Kala sendiri. Dia bisa melihat napas Kala naik turun, membuang tangan ayahnya, lalu berjalan beberapa langkah menuju nakas
yang berada di dekat sana.

“Kala pergi, ” ujarnya sambil menunjukkan kunci mobilnya, lalu berjalan menuju ke luar rumahnya, Aruna tidak tahu ada dorongan dari mana
sampai ia berani mengejar Kala sampai depan rumah dan menahan tangannya, “Kak Kala!”

“Pulang ya, Run. Maaf, ya. Maaf semuanya jadi berantakan.”


“Kak, sorry...”

Kala tersenyum kecil, “Nggak apa-apa. Maaf, ya, lo harus lihat sisi gue yang ini.”

Lalu Kala meninggalkan Aruna. Sendirian.


☆☆☆

Malam nya Aruna sedang duduk di teras nya, sendiri, terdiam, sambil tenggelam dalam pikirannya saat itu. Pandangan Aruna akhirnya jatuh
pada langit yang sudah selesai menurunkan hujannya. Konyol karena akhirnya setelah memikirkannya mati-matian, Aruna baru menyadari
sesuatu; "Jadi, ini adalah yang lo rasain selama ini ya, Kak? Ngejalanin hari yang terasa kosong karena lo nggak bisa ngelakuin hal-hal yang lo
suka?" . Pada akhirnya, malam itu Aruna habiskan dengan menangisi Kala.

Setelah malam itu, Aruna masih melakukan hal yang sama bagai sebuah repetisi setiap harinya; memandangi rumah Kala selama sepuluh
menit penuh, duduk di pekarangannya sembari melakukan sesuatu, membuka Twitter dan mengetikkan nama Kala di sana, juga menggulir layar
ponsel untuk membaca chat keduanya dulu.

Aruna melakukannya setiap hari. Satu tahun, dua tahun, tiga tahun, empat tahun, lima tahun, dan seterusnya, Aruna tetap terbangun di pagi
hari dengan rasa kosong yang ganjil.

Aneh, bukan? Kala yang mengisi hari-hari Aruna dalam waktu singkat justru menetap begitu lama di memori nya. Mau tahu kabar yang lebih
buruk lagi? Sejak hari itu, Kala benar-benar tidak pernah kembali.

☆☆☆

20 May 2023

"Aruna, ke IGD ya sekarang. Pasien baru. Perempuan 58 tahun, stupor, tekanan darah 220/100. Kita suspek perdarahan intracerebral..."
Telepon dari Kak Haris, senior Aruna di departemen saraf serta teman dekatnya sanggup membuat dia berdiri meninggalkan sate ayam yang baru
ia makan satu gigit dan segera berlari ke IGD.

"Aruna, sorry to say this..." nada Kak Haris terdengar ragu dan karena keraguannya itu, perasaan Aruna jadi tidak enak.
"Kenapa, Kak?"
"Pasien atas nama Agastya Ashana Basimah..."
"Kak...."
"Ibu lo, Run." Detik itu juga jantung Aruna seakan berhenti berdetak.

Dengan setengah serak, Aruna menjawab Kak Haris yang masih sibuk memanggil namanya dari seberang sana, "Run? Lo di sana, 'kan? Runa?"

"Kak, lo bohong 'kan..."

"Nggak, Run. Tapi tenang aja, ibu lo lagi ditanganin Sama Dr. Kala."

Ada lagi yang membuat jantung Aruna lagi-lagi seakan kehilangan energinya untuk membuat dia tetap waras, "Dokter..Kala? Kala??"

"Iya, Run. Lo nggak tahu? dr. Kala Paramadita, chief residen yang terkenal pinter, telaten, dan....galak. Jadi lo tenang aja, ya. Cepet ke sini. Sama
gue," suara Kak Haris sangat tenang, berkebalikan dengan jantung Aruna yang detaknya mulai menggila.

Rasanya, Aruna Tidak pernah berlari sekencang ini di hidupnya. Jadi sewaktu dia datang ke IGD, ia harus menumpu tubuhnya dahulu,
terengah-engah. Aruna bisa melihat Kak Ashriel sedang berada di samping sebuah bangsal dengan tangan kirinya memegang ponsel, juga seorang
laki-laki di sebelahnya---laki-laki yang ajaibnya langsung dikenali oleh otak Aruna dan membuat air mata di pipi nya turun tanpa permisi.

"Aruna!" Waktu Kak Haris memanggil nama nya, laki-laki disamping nya juga ikut melihat ke arah dia. Mungkin ada beberapa detik yang cukup
panjang yang Aruna gunakan untuk mempelajari fitur wajahnya; rambut hitamnya yang terjatuh di kening, mata sayunya, hidung bangirnya,
rahang tegasnya, semuanya...

Dia betulan Kala yang dia kenal, Kala yang dulu. Kala yang itu. Kala yang selama sepuluh tahun ini berusaha dia musnahkan dari memorinya.

Sewaktu laki-laki itu berjalan dengan setengah berlari ke arah Aruna, dia masih terpaku. Menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya.
Raut wajahnya tidak bisa dia tebak sama sekali. "Lo wali pasien? Dokter 'kan?" Tanyanya, suaranya masih sangat familiar di telinga Aruna.
"Gimana sih? Udah tau ibu lo sendiri punya hipertensi tapi minum obatnya nggak dijaga. Gue yakin banget ibu lo minum obatnya nggak teratur
sampai kayak gini," dia berbicara tanpa jeda, dan itu membuat Aruna terpaku.

"Lo nggak pantes jadi dokter."


'Dia...nggak inget gue?' pikir Aruna tidak percaya.
"Dokter Haris, siapin operasi CITO buat ibu Hana. Lo nggak usah ikut. Gue nggak mau kerja sama orang yang nggak profesional," ujarnya
sembari berjalan meninggalkan Aruna begitu saja.

Aruna tertawa frustasi. Ada lucu-lucunya juga ya dunia ini. Dalam sepuluh tahun yang dia habiskan untuk menangisi si brengsek itu, akhirnya
dia punya alasan untuk membenci lelaki bernama Kala itu.

☆☆☆

27 May 2023

Pada akhirnya, Aruna tetap kalah. Pintunya selalu terbuka untuk Kala. Bahkan sewaktu laki-laki itu sampai ke tempat mobilnya terparkir, di
jalanan besar di mana tidak ada satu pun orang yang peduli akan eksistensi dia, jantungnya yang sudah diupayakan mati-matian untuk tidak
berdetak lebih kencang itu tetap luruh. Perasaannya melebur, pecah, seiring langkah Kala yang mendekat.

“Kak Iel—”” “Aruna, udah kelamaan nunggu, ya?” Tanyanya, dengan napas tersengal, seakan dirinya sangat terburu-buru untuk sampai ke
sini. “Baru setengah jam kok, Kak. Maaf ya ngerepotin—”
“Iel tadi lagi ada urusan, terus hp-nya ketinggalan di bawah. Waktu lo telepon, hp-nya bunyi terus. Jadi gue nggak sengaja liat notifikasinya,”
lelaki itu menjelaskan. “Dan gue langsung chat lo.”
”.....oke, Kak.”
“Mobil lo bakal dibawa ke bengkel langganan gue, ya. Nanti kita ikutin dari belakang.”
“Bakal....diderek gitu, Kak?” Kala mengangguk, tersenyum kecil, “Nggak apa-apa, 'kan?”

Aruna mengangguk. Gadis itu membiarkan Kala berbicara dengan seorang laki-laki berumur empat puluhan yang tampaknya akan mengurusi
mobil Aruna. Perbincangan itu tidak berlangsung lebih dari lima menit, namun karena selama itu dia tidak melepaskan genggamannya pada jari
jemari Aruna, gadis itu merasa oksigen di sekitarnya kian lama kian menipis.

“Aruna.”
“Iya, Kak?”
”.....kalau hal kayak gini terjadi lagi, lo bisa hubungin gue, kok.”

“Boleh?” Kala menoleh. Di antara bunyi klakson kendaraan yang meminta mobil ia segera berjalan, di antara pergantian lampu merah menjadi
hijau, Kala tersenyum, “Boleh.”

Kata itu tanpa ampun menggugurkan berbagai perasaan aneh yang berkecamuk di dada Aruna belakangan ini, menggantinya menjadi perasaan
hangat yang familiar, yang pernah ia rasakan di suatu waktu. Bahkan untuk beberapa saat, Aruna lupa bahwa dirinya sudah bertekad untuk tidak
jatuh berkali-kali pada Kala. Aruna lupa dan selalu gagal.

“Kak...”
“Iya?”
”.....sebenernya lo inget gue 'kan?” Kala diam. Pertanyaan itu bahkan bukan teori biokimia yang bisa dijawab hanya dengan membaca Harper,
tapi laki-laki itu tetap bergeming.

“Maaf ya, Run,” Kala membalas, nyaris tak terdengar. “Gue brengsek banget.”

Aruna hanya membalasnya dengan dengkusan. Sisa perjalanan itu mereka habiskan dengan hening. Kala sibuk menyetir, dengan pikirannya
yang berkecamuk tanpa henti. Sementara Aruna memandang ke arah warung di sisi kiri-kanan jalan, pikirannya nyaris kosong, terlampau lelah
dengan hal-hal rumit yang terjadi di hidupnya.

“Kak”
“Kenapa, Run?”
“Gue sekarang udah terlalu capek buat mulai duluan,” Aruna tidak bermaksud untuk menumpahkan apa yang dirasakannya sekarang, namun
mulutnya tiba-tiba berbicara demikian.
“Soalnya, segala sesuatu yang gue mulai duluan nggak pernah berakhir baik.”
Kala menoleh, “Kayak kita.”
”.....”
“Kayak lo dan gue.”

Kala lagi-lagi bungkam, kali ini dengan jari jemarinya yang menggenggam erat setir mobil dalam diam. Mobil itu kemudian menepi di sebuah
bengkel kecil. Pemiliknya adalah laki-laki paruh baya yang sibuk bermain catur dengan temannya. Sementara mobil Aruna diperbaiki oleh
pegawai-pegawainya yang mengenakan seragam hijau.

Aruna menoleh ke arah Kala, mengikuti tatapan matanya. “Lo pengen main catur lagi nggak, Kak?”

“Gue nggak pernah suka catur.” Ia mengangguk, “Tapi lo pernah kangen nggak? Mau nggak mau, suka nggak suka, catur pernah jadi bagian dari
hidup lo, 'kan?”

“Sejujurnya, gue nggak tahu,” Kala menjawab, menyilangkan tangannya di depan dada. Laki-laki itu membiarkan punggungnya bersandar
pada kursi pengemudi, sementara matanya tak lepas memandangi permainan catur yang tengah berlangsung.
“Beberapa tahun lalu, gue mulai main lagi. Tapi bukan untuk diri gue sendiri.”
“Oh ya?”Kala mengangkat kedua sudut bibirnya,
“Gue kasih tutor diem-diem buat atlet catur muda.”
“Kayak cita-cita lo dulu.” Ia mengangguk, “Kayak cita-cita gue dulu. Tapi, itu semua biar gue dan Iel bisa hidup. Biar kita bisa bayar sewa
Saturasa. Biar kita bisa kuliah.”

“Lo hebat.” Kala tidak tahu kenapa satu kalimat itu sedikit banyak meluruhkan sesak di dadanya, membuat sudut bibirnya terangkat, juga
membuat selapis bening menghiasi matanya.

“Main lagi mau nggak, Kak? Nanti gue yang bilang ke bapaknya. Sambil nungguin mobil gue beres.”
Kala mengerjap, “Hah?
“Main catur lagi. Mau nggak?”

Kala tersenyum kecil, “Boleh.”

Sama dengan sepuluh tahun lalu, Kala hanya memandangi Aruna dengan takjub. Matanya selalu berbinar dan hal itu membuat ia merasa bahwa
apa yang dilakukannya benar.

“Gue udah bilang! Ayo main! sini cepetan!” Aruna menaik-naikkan alisnya, setengah mendorong Kala untuk mendekati papan catur.

“Sini, Jang! Main sama Abah!” Pemilik bengkel itu melambaikan tangannya. “Sok atuh ulah isin lah sareng Abah mah!“

Dan setelah sekian lama, Kala akhirnya duduk di depan papan catur lagi. Jari jemarinya kembali bergerak memindahkan bidak catur. Perasaannya
campur aduk, ramuan dari rasa sedih dan rindu. Bagaimana bidak catur itu mengantarkannya pada memori yang menyenangkan sekaligus sendu
membuat jari jemarinya bergetar.
“Kak, gue boleh pinjem charger nggak? Hape gue mau mati, belum ngabarin Kak Iel. Takutnya dia nungguin....” Kala menoleh beberapa saat
sebelum kembali fokus pada permainannya, “Ambil aja, Run. Mobilnya nggak dikunci, kok. Kayaknya ada di laci dashboard.” Aruna
mengacungkan jempolnya, “Oke, Kak. Kak Kala main aja! Nggak usah peduliin gue.”

Gadis itu setengah berlari menuju ke dalam mobil, untuk beberapa saat disibukkan dengan tumpukan kertas pada laci dashboard mobil Kala,
berusaha mencari charger di antaranya. Namun dua lembar foto menarik perhatian Aruna. Kedua foto itu memuat ayah dan bunda Kala, juga
seorang anak laki-laki dengan pose yang sama persis. Anak laki-laki di foto pertama dan kedua berbeda. Foto yang pertama adalah Kala, ia sangat
yakin. Tapi foto yang kedua? Aruna tidak bisa menemukan jawabannya bahkan setelah hampir lima menit menerka.

“Ini kakaknya Kak Kala? Tapi dia nggak pernah cerita deh perasaan. Terus di rumahnya waktu itu juga nggak ada fotonya sama sekali,” Aruna
mengernyitkan dahinya, berbicara pada dirinya sendiri. “Ini posenya sama persis gila, bahkan sampai ke tone fotonya.”

Aruna masih mencoba mencari perbedaan dari kedua foto tersebut saat Kala tiba-tiba membuka pintu mobilnya dan bertanya, “Run, udah ketemu
belum?”

Keduanya refleks saling bertatapan. “Kak, ini siapa?” Pupil mata Kala melebar saat mengetahui apa yang tengah gadis itu lihat.

“Run, itu—”

Kala belum sempat menjawab ketika Aruna berhasil membaca tulisan di sudut foto kedua; Gyanendra Daniel R.

“Aruna, nanti gue ceritain. Sekarang kita ke rumah sakit, ada emergensi.”

Kala berkata perlahan. Vokalnya tertahan di tenggorokan, seakan mengatakan kalimat itu sangat menyakitinya. Namun pada akhirnya, keduanya
sama-sama pergi dari bengkel, meninggalkan mobil Aruna yang masih diperbaiki, mengantarkan mereka pada ruang operasi dengan suara
monitor yang bising.

~~~

“Haris!,” Kala berkata dengan penuh penekanan. Dingin. Haris sontak melirik dengan ujung matanya, menantikan lanjutan kalimat Kala.
“Kenapa pasien ini perlu dikraniotomi?”

Aruna menaikkan alisnya, melirik ke arah Haris yang tampak mematung dengan pinset dan pisau bedah di tangannya.

“Anu—,” Haris tahu dirinya pintar, tapi ditanya mendadak dengan tatapan intimidatif dan kalimat yang super dingin itu membuat otaknya
mendadak beku. “Karena ada perdarahan di otak?”

“Semua orang di sini juga tahu pasien ini ada perdarahan di otak,” Kala memotong. Tangannya masih telaten melakukan pekerjaannya. “Gue
tanya kenapa dia mesti masuk ruang operasi dan dikraniotomi. Emang semua orang yang perdarahan di otak mesti dioperasi? Lo belajar nggak,
sih? Perasaan gue udah terangin ini berkali-kali.”

“Sorry, Bang.”

“Gimana bisa gue lepas lo buat lakuin operasi sendirian kalau kayak gini aja nggak bisa jawab?”

“Iya. Maaf, Bang. Nanti gue baca lagi.”

“Pin satu,” Kala beralih pada Aruna. “Potong—nggak usah buru-buru gitu potongnya! Lo mau ini gunting kecil kena ke bagian otak yang lain?
Pelan-pelan aja. Mau tanggung jawab kalau ada apa-apa sama pasiennya?”

Bagi Aruna, tiga jam yang ia lalui di ruang operasi bersama Haris dan Kala adalah tiga jam terlama di seumur hidupnya. Ruang operasi yang
biasanya dingin itu mendadak panas. Aruna masih ingat bagaimana beberapa jam lalu laki-laki tukang marah-marah itu duduk di sampingnya,
berbicara lembut dengannya. Lalu beberapa jam kemudian, mendadak seluruh kepribadiannya seakan berubah.

“Kak Haris.” Keduanya sedang mencuci tangan pasca operasi sewaktu Haris menoleh, kemudian tersenyum kecil, “Hm?”

“Lo keren hari ini. You did great.” “Halah, keren apanya. Tiga jam penuh gue dimarahin,” Haris menggosok tangannya, berpindah dari jari jemari
menuju pergelangan tangan. “Sorry, ya. Gue bukannya contohin lo yang baik-baik sebagai senior malah kena marah terus. Gue tiba-tiba blank,
buset!”

“Nggak apa-apa. Gue juga minta maaf.”

“Lo nggak salah apa-apa?”

Aruna mengangkat bahunya, “Kayaknya mood dia nggak bagus hari ini gara-gara pertanyaan gue.”

“Lo nanya apa emang ke dia?”

“Ada deh.” Haris mengangkat alisnya. “Soal kehidupan pribadi dia,” Aruna melanjutkan karena Haris tampak sangat penasaran. Gadis itu
mengeringkan kedua tangannya dengan tisu. “Lo tau dia ada di mana sekarang?”

“Biasanya kelar operasi dia beli minuman di vending machine yang deket mess.”

Aruna manggut-manggut, “Kalau gitu, gue boleh duluan? Ada yang harus gue omongin sama Kak Kala.”

Haris rasa, Aruna tidak membutuhkan jawaban darinya. Karena sebelum ia sempat menjawab, gadis itu sudah berlari kecil ke ruang ganti. Hanya
butuh waktu sepuluh menit sampai Aruna sudah berlarian di lorong mess, menangkap sosok laki-laki berhidung bangir yang tengah memainkan
minuman kaleng di tangannya.
Aruna tidak mengatakan apa-apa. Dirinya duduk di sebelah Kala. Meniti setiap detik yang hanya diisi keheningan panjang, seakan lelaki itu tidak
berniat membuka pembicaraan sedikit pun.

“Daniel itu... kakak lo?” dan pada akhirnya Aruna membuka pembicaraan.

Sudut bibir Kala terangkat di satu sisi, laki-laki itu mengacak rambutnya beberapa saat sebelum terkekeh, “Bisa dibilang gitu.”

“Terus? Dia di mana sekarang? Kenapa dulu gue nggak pernah lihat dia?”

Kala mengangkat wajahnya, “Oh iya?”

“Lo cuma tinggal bertiga sama Tante Sasha dan Om Dhanu, iya 'kan—”

”—lo ngeliat dia hampir setiap hari dulu,” Kala memotong.

Kalimat itu sontak membuat Aruna mengernyitkan keningnya. Sekeras apa pun dia mencoba mengingat, tidak ada seseorang bernama Daniel di
folder memorinya. Maka gadis itu menatap Kala lamat-lamat, menunggu sang empu menjawab.

“Daniel itu....” Kala menunduk. Seakan seluruh pertahanan tubuhnya menghilang—

“Selalu ada di dalam diri gue.”

—dan yang tersisa hanya sakit tanpa ampun.

“Orang yang lo kenal dulu....,” Kala menjedanya, kali ini mengangkat wajahnya. Menukar satu tatap dengan Aruna. “....mungkin adalah Daniel,
bukan Kala.”

“Kak, gue nggak ngerti.” “Lo nggak harus ngerti, Run. Semuanya terlalu rumit. Hidup gue terlalu kacau, dan lo nggak mesti masuk ke dalam
kekacauan itu.”

Aruna ikut bangkit, menatap punggung Kala yang terpaut jarak dua meter darinya. “Gue nggak pernah keberatan.”

“Gue yang keberatan.” jawab cepat Kala.

“Terus?” Kala berhenti.

“Terus lo mau ninggalin gue lagi? Lo nggak akan jelasin apa-apa lagi ke gue? Lo jangan merasa diri lo yang paling sakit di sini ya, Kak. Selama
sepuluh tahun ini gue juga menderita!” Aruna tidak peduli apakah suaranya akan terdengar sampai ke dalam mess atau tidak. dia hanya tidak
mau—lagi-lagi—menjadi orang paling bodoh dan tidak tahu apa-apa di dalam situasi yang membingungkan ini.

“Gue mau mencoba ngertiin lo, gue mau maafin lo atas apa yang lo lakuin ke gue dulu, tapi lo nggak mau cerita ke gue!”

Kala berbalik, kali ini kedua matanya tampak memerah. Tangannya mengepal keras hingga urat nadinya terlihat jelas menghiasi kedua tangannya.

”—emangnya kalau gue ceritain semuanya ke lo, apa yang bakal berubah?”

“Kak—”

”—nggak ada, 'kan?”

Aruna berusaha mengatur napasnya, menyeka air matanya yang turun tanpa permisi.

“Gue tetap jadi boneka keluarga Gyanendra, gue juga tetap jadi laki-laki brengsek yang ninggalin lo tanpa kata sepuluh tahun lalu, gue—”

“Kak....”

”—buat lo, selamanya gue akan begitu. Jadi, gue minta maaf karena gue pergi tiba-tiba sepuluh tahun yang lalu. Gue minta maaf karena ninggalin
lo. Kalau lo sama gue, kalau lo bareng-bareng sama orang yang belum selesai sama masa lalunya sendiri, lo bakal capek. Dan lo nggak akan
bahagia, Run.”

Laki-laki itu menabrakkan punggungnya pada dinding koridor, tubuhnya perlahan terjatuh. Dan tiba - tiba perkataan yang terjadi sepuluh tahun
di hari sebelum keberangkatan turnamennya muncul.

“Kalau kamu nggak buat masalah di hari turnamen kamu, Bunda kamu pasti masih hidup!”

Kala merenggut rambutnya frustasi. Suara-suara itu menghantuinya, lagi.

“Anak Bejat! Nggak tau diuntung! Udah susah-susah saya urus kamu dari kecil sampai sekarang. Saya cuma minta kamu ikuti kemauan saya
saja! Saya ingin kamu seperti Daniel, aktif di catur dan fokus belajar untuk masuk sekolah kedokteran. Dan kamu berani-beraninya kabur dari
rumah waktu tau kamu cuma anak angkat?!” Dan kali ini dirinya terlalu patah untuk bereaksi.

“Memangnya kalau kamu nggak jadi bagian dari keluarga saya, kamu bisa apa? Bocah yang nggak punya apa-apa seperti kamu ini nggak punya
hak buat melawan!“ Seperti bagaimana seluruh hidupnya direnggut habis-habisan oleh ekspektasi dan harapan dari ayahnya, hari itu juga
nyawanya hampir direnggut oleh ayahnya sendiri.

“Kak Kala....”

Kala merasa dirinya tengah berhalusinasi saat mendengarnya. Namun sewaktu sebuah rengkuhan mengantarkannya pada hangat yang tidak asing,
pada usapan di puncak kepalanya, juga pada tepukan halus di punggungnya, Kala tahu bahwa segalanya nyata.

“Kak, maafin gue...”


"Aruna, mulai dari awal lagi ya? makasih udah nunggu gue selama ini, dan maaf Aruna" Aruna membalas dengan anggukan dan senyuman kecil
lalu kembali merengkuh lelaki yang dulu sempat ia sangat cintai bahkan sampai sekarang.

☆☆☆

6 June 2023

“Krayon sama pensil warnanya lima puluh cukup 'kan, Mas?”

“Harusnya sih cukup,” Ashriel mengernyitkan keningnya, mencoba menghitung barang-barang yang ada di bagasi mobil. Telunjuknya bergerak
naik turun. “Oke, udah semua. Nanti kalau misalnya ternyata yang daftar lebih dari lima puluh orang, gue bakal ke sini lagi.”

“Sama gue lagi, 'kan?” Sudut bibir Ashriel terangkat, membentuk sebuah parabola manis, “Tergantung bu dokternya sibuk atau nggak.”

Aruna terkekeh. Kemudian tangannya melambai ke arah Ashriel, meminta laki-laki itu untuk mendekat ke arahnya. “Kak iel! Sini foto dulu
sama barang-barang yang udah kita beli. Lumayan deh ini betis gue kayaknya udah ngalah-ngalahin atlet.”

Ashriel tertegun. It's crazy. It's crazy because for the first time in his life, he doesn’t have words to describe how he is feeling now. Dan sewaktu
kakinya melangkah mendekat ke arah Aruna, sewaktu gadis itu merangkulnya agar keduanya bisa masuk ke dalam satu frame, Ashriel merasa
dirinya harus mulai berhenti.

“Mau pulang sekarang, Kak?”

“Sekarang jam berapa, Run?”

Aruni bergumam, menyalakan ponselnya, “Masih jam tujuh sih, Kak.”

“Makan dulu mau? Kita mampir McD aja supaya bisa drive thru, terus makan di mobil,” Ashriel mengangkat alisnya, menunggu jawaban dari
gadis di hadapannya.

“Supaya enak aja. Katanya lo mau diceritain tentang gimana gue dan Kala ketemu?”

“Oh iya! Gue sampe lupa, deh.” Ashriel mengacak rambut gadis itu, “Capek, ya?”

“Hehe iya, lumayan. Emang dasarnya gue jarang olahraga aja, sih. Jadi diajak muter-muter dikit udah ngos-ngosan,” Aruna terkekeh.

Keduanya sudah duduk di dalam mobil lima menit kemudian. Lagu-lagu Keshi terputar. Hujan rintik mengiringi laju sedang mobil, tertahan oleh
lampu merah di perempatan.

“Gue pernah sekali drive thru McD bareng Kak Kala. Dulu. Kayaknya sebelum dia ngilang, deh,” Aruna bercerita tanpa menatap wajah Ashriel
sama sekali. Manik matanya sibuk menatap jalanan. Sementara Ashriel menoleh beberapa detik, tersenyum singkat. “Terus?”

“Hm?” “Kenangan McD itu buat lo jadi kenangan baik atau kenangan yang bikin sakit?”

Aruna senang berbincang dengan Ashriel. Apa pun yang ia ceritakan, Ashriel selalu menanggapinya dengan tertarik. Aruna rasa, menghabiskan
waktu dengan Ashriel tidak akan pernah membosankan.

“Banyak sakitnya sih kalau diinget-inget,” Aruna menghela napas, menjatuhkan tubuhnya pada kursi mobil. “Tapi nggak nyesel juga pernah ada
di momen itu.”

Ashriel tertawa kecil, “Dulu gue dan Kala pernah pengen banget makan ayamnya McD. Tapi kita bener-bener nggak punya uang waktu itu. UKT
kuliah belum kita bayar, Saturasa waktu itu masih ngontrak dan kita kehabisan uang buat bayar token listrik.”

“Oh iya? Terus terus?”

”....ya akhirnya kita nahan-nahan buat nggak ke sana. Terus Kala cerita kalau terakhir kali dia ke McD bareng seseorang yang dia sayang,” Ashriel
melanjutkan. “Sekarang gue baru connecting the dots, oh ternyata orang yang diajak Kala tuh lo.”

“Kak Kala pernah bilang gitu?”

“Iya. Beneran. Kalau diinget-inget lagi, Kala tuh nggak pernah sekali pun lupain lo,” Ashriel melanjutkan. “Gue nya aja yang nggak tau kalau
dia tuh lagi nyeritain lo.”

Aruna tertawa, matanya berbinar. Yang satu itu membuat Ashriel ikut tersenyum. ia mengerti, sekali pun Kala sudah pergi meninggalkannya
bertahun-tahun, sekali pun Kala datang lagi dengan sayap-sayapnya yang sudah patah, Kala selalu punya tempat khusus di hati Aruna.

Mungkin, berharap ada sedikit ruang untuknya adalah sesuatu yang sangat mustahil. Dan bagi Ashriel, harapan itu terlampau jahat untuk dia
utarakan pada Kala.

Setelah mendapatkan makanan yang keduanya mau, Ashriel memarkirkan mobilnya di seberang sebuah taman. Banyak pedagang yang berjualan
di dekat sana, juga orang-orang yang hanya sekadar berjalan-jalan.

Di sini aja, ya. Biar nggak sepi-sepi banget,” Ashriel menghentikan mobilnya, mematikan mesin, dan membuka jendela. Laki-laki itu mengambil
sebuah album foto di kursi belakang, menyerahkannya kepada Aruna.

“Ini apa, Kak?”

“Beberapa foto gue sama Kala,” Ashriel berujar. “Kalau waktu awal-awal ketemu, kayaknya gue nggak pernah foto bareng dia.”
Aruna membuka album bersampul cokelat itu, memandangi foto-foto yang ada di sana satu per satu. Membuat hatinya hangat sekaligus sedih.
“Lucu banget, Kak. Kok kepikiran buat dijadiin album gini?”

Ashriel tertegun, “Soalnya...” Jeda. Dadanya mendadak penuh.

“Gue nggak pernah punya seseorang yang bisa gue abadikan di dalam foto,” Ashriel tidak tahu kalau mengatakannya akan semenyakitkan ini.
“Ketemu Kala adalah kali pertama gue merasa bahwa.... gue benar-benar ada di dunia ini. Bahwa gue adalah karakter utama yang bisa punya
cerita sendiri.”

Aruna menoleh, menggenggam album itu erat, “Jadi, kapan kalian pertama ketemu?”

“Dua hari setelah turnamen Kala,” Ashriel menjawab. Burger yang dipesannya dibiarkan mendingin. Jari jemarinya sibuk memelintir kertas
bungkus makanan, kebiasaannya jika pikiran tengah penuh. “Gue inget itu udah hampir tengah malem. Gue lagi jalan pulang dari stasiun, terus
gue lihat Kala di pinggir jembatan, lagi berantem sama ayahnya.”

”....berantem?”

“Mungkin lebih tepatnya bukan berantem kali, ya? Berantem 'kan kalau dua-duanya saling ngelawan? Kalau ini, Kala bener-bener lagi dipukulin
sama ayahnya.”

Aruna membulatkan mulutnya, “Gue nggak tau kalau Om Dhanu sejahat itu sama Kak Kala....”

“Dia lebih jahat dari yang lo kira. Hari itu, ayahnya bukan cuma pukulin Kala. Dia tendangin Kala. Dia hampir dorong Kala dari jembatan itu.
Gue nggak tau apa permasalahannya dan awalnya gue nggak mau peduli,” Ashriel menghela napas, menjedanya dengan meminum satu teguk
air mineral.

“Gue nggak pernah mau berurusan sama orang kaya. Tapi....”

”.....lo nggak tega?”

Ashriel mengangguk, “Gue bener-bener nggak tega, Run. Jadi akhirnya gue pukul ayahnya Kala. Gue bawa Kala ngejauh dari sana. Dia beneran
hampir mati kalau seandainya gue nggak bawa dia ke rumah sakit yang ada di sana.”

”.....”

“Gue aja nggak tau sejak kapan gue bisa berantem kayak gitu,” Ashriel terkekeh. “Mungkin karena Tuhan pengen gue dan Kala tetap hidup, gue
dikasih kekuatan yang nggak pernah gue kira bakal ada.”

Aruna mengernyitkan dahinya, “Jadi sejak itu kalian bareng-bareng?”

“Bisa dibilang begitu.”

“Tapi kenapa? Apa yang bikin kalian akhirnya mutusin buat tinggal dan hidup bareng? Kenapa lo memilih untuk pergi dari rumah dan hidup
bareng Kak Kala?”

Ashriel menoleh, “Gue nggak pernah bilang kalau gue punya rumah.”

“Hah?”

“Gue kerja di stasiun. Gue nggak terlalu inget sejak kapan. Yang jelas, kerjaan gue itu adalah angkatin barang orang, terus gue dapet uang.
Biasanya uang itu gue pake buat makan, atau beli buku,” Ashriel menjelaskan. “Gue tinggal di stasiun, karena gue kabur dari panti asuhan.”

Aruna mengerjapkan matanya.

“Awalnya gue mau ninggalin Kala di rumah sakit aja. Lagian gue nggak ada urusan apa-apa sama dia,” Ashriel menyandarkan tubuhnya, menatap
gadis didapnnya. “Tapi, Kala bener-bener ketakutan. Gue rasa dia trauma. Dia bener-bener diem hampir seminggu penuh. Tiap kali gue mau
tinggalin dia, dia selalu tarik ujung baju gue.”

Aruna menundukkan kepalanya. Dirinya sempat sangat marah pada Kala tanpa tahu apa yang laki-laki itu alami. Dan itu membuat titik-titik air
mata berjatuhan di pipinya.

“Akhirnya gue bawa dia ke stasiun. Kalimat pertama yang dia keluarin setelah diem hampir seminggu lamanya adalah... 'lo pinter banget, lo pasti
bakal jadi orang sukses di masa depan'. Dia bilang begitu sewaktu lihat gue baca buku sambil nunggu penumpang-penumpang.”

”....”

“Nggak ada sama sekali kata 'masa depan' di pikiran gue, Run. Gue cuma berpikir untuk bertahan hidup seenggaknya di hari itu doang,” Ashriel
berujar. “Tapi dia yang baru gue kenal seminggu sangat-sangat percaya sama gue.”

”....terus gimana, Kala?

Kasa melanjutkannya dengan senyuman, “Karena Kala, gue akhirnya sekolah. Gue akhirnya ngerti hidup gue mesti dibawa ke mana. Gue
akhirnya jadi Ashriel yang ini, yang lo kenal.”

“Kalian sekolah dimana? Ayahnya Kala nggak cari-cari dia lagi?”

“Percaya nggak? Kita keluar kota. Supaya nggak ketemu sama ayahnya lagi. Gue ikut percepatan. Kala lanjutin kelas dua belasnya. Kala emang
berniat kabur dari rumah sejak awal, jadi berkas-berkas ijazah dan sekolahnya udah dia bawa. Hari-hari itu berat banget buat gue...”
Ashriel tertawa kecil, tapi Aruna bisa melihat matanya memerah. Sembap. Memori itu jelas menyenangkan sekaligus menyakitkan untuk seorang
lelaki depannya.

”...tapi seenggaknya gue punya Kala. Gue punya orang yang percaya sama gue. Gue belajar bermimpi. Gue iri karena Kala punya mimpi yang
sangat banyak.”

”.....”

“Salah satunya adalah Kala mau jadi dokter bedah saraf. Bundanya meninggal di hari turnamennya karena pituitary apoplexy. Itu membekas
banget buat dia. Kala banyak nyalahin dirinya sendiri, dia pikir, kalau dia nggak kabur di hari turnamennya, bundanya nggak akan meninggal.”

“Padahal itu bukan salah dia...”

“Iya. Siapa juga yang nggak sedih dan terguncang waktu tau kalau dirinya bukan anak kandung?”

Ashriel menggeser duduknya, membuka halaman pertama album yang tengah Aruna pegang. Ada foto Kala dan dia yang tengah memberi tanda
peace ke arah kamera. “Ini foto gue dan dia di Purwokerto.”

“Kalian ke Purwokerto?!”

“Iya. Kala 'kan mau sekolah kedokteran. Dia cuma kepikiran ke sana. Terus waktu itu, FK di sana baru angkatan pertama. Jadi, chance
keterimanya lebih gede.”

Aruna menatap Ashriel. Cukup lama. “Darimana kalian dapet uang kuliah?”

“Kala dapet beasiswa. Lo juga tahu kalau dia jenius,” Ashriel kemudian menunjuk foto itu lagi. “Waktu lagi di sini, Kala tanya sama gue, lo
pengen jadi apa, El? Mimpi lo apa?” Aruna mendengarkan.

Ashriel tersenyum kecil, “Gue beneran nggak punya mimpi waktu itu. Gue nggak tau mau jadi apa. Terus, karena yang gue suka cuma buku, gue
berpikir bahwa suatu saat nanti I wanna build my own library.“

“Lo pernah cerita waktu itu ke gue,” Aruna tersenyum, menepuk bahu Ashriel bangga. “Dan sekarang, lo udah berhasil wujudin apa yang lo
mau.”

“Itu karena Kala, Run. Dia yang mati-matian kerja biar kita bisa hidup, biar bisa bayar biaya kuliah gue. Gue kadang bantu ngajar privat buat
anak-anak SD di sana,” Ashriel membuka halaman berikutnya dari album. “Ini anak-anak gue! Ini juga Kala kadang bantu ngajarin. Dia lebih
sering kerja part time di kafe.”

Aruna tertawa melihat binaran di mata Ashriel. “Lucu banget. Gue rasa kalian emang ditakdirin buat ketemu, deh?”

“I know right ? Gue nggak bohong waktu bilang we saved each other's life back then,” Ashriel membalikkan kembali halaman albumnya. “Ini
waktu akhirnya gue sama Kala balik ke Jakarta. Kayaknya lima tahun lalu?” Ashriel menunjuk foto dirinya dan Kala yang berada di depan
Saturasa.

“Woah, Saturasa ternyata dulu cuma sebesar ini ya, Kak?”

“Iya. Bahkan waktu itu lantainya cuma semen doang.”

”....waktu sampai ke sini, ayah Kala udah nggak pernah cari-cari dia lagi?”

Ashriel menggeleng, “Nggak. Sampai detik ini, Kala pun nggak tahu beliau di mana.”

“Terus gimana ceritanya bisa bangun Saturasa sampai kayak sekarang, Kak?”

“Waktu itu kita udah mentok banget. Nggak tau mau gimana. Kala mau lanjut spesialis, tapi tau sendiri 'kan kalau biayanya besar banget?”
Ashriel menjedanya dengan helaan napas.

“Kala waktu itu kerja, jadi dokter umum. Malemnya, dia jadi tutor catur buat atlet muda.”

”....”

“Penghasilan terbesar kita waktu itu dari tutor catur itu. Apalagi waktu si atlet muda pertama ini berhasil. Atlet-atlet selanjutnya rela ngeluarin
uang berapa pun supaya mereka bisa diajarin sama Kala.”

Aruna mengernyit, “Bentar, Kala. Gimana cara Kak Kala approach atlet-atlet itu? Ngumumin secara terang-terangan sama aja kayak bom bunuh
diri, 'kan? Sama aja kayak buka persembunyian secara terang-terangan?”

“Pertanyaan bagus,” Ashriel menjentikkan jarinya. “Gue dan Kala sengaja ketemuan diem-diem sama atlet pertama itu. Bikin kesepakatan. Kala
mau ajarin dia, asalkan dia nggak pernah buka identitas Kala ke orang-orang. Untuk yang seterusnya, mereka dateng sendiri. Ada rumor dari
mulut ke mulut.”

Aruna menggeleng-gelengkan kepalanya, “It's getting complicated.“

“Tapi akhirnya keren, 'kan? Kita akhirnya bisa bangun Saturasa—”

”—dan Kak Kala bisa lanjut spesialis,” Aruna menyentuh tangan Ashriel, menggenggamnya. “Makasih ya, Kak iel, karena Kaka selalu ada di
samping Kak Kala.”
Ashriel terdiam. Jantungnya seakan berhenti berdetak untuk beberapa saat. Dia juga ingin mendengar gadis di hadapannya berterima kasih pada
siapa pun itu untuk menjaganya. Dia juga ingin mendengar kalimat serupa “Terimakasih, ya, udah selalu ada di samping Ashriel.” Karena kalimat
itu terdengar seperti, “Terimakasih, ya, udah jagain Ashriel buat gue.”

“Nanti gue juga bakal bilang ke Kak Kala. Makasih karena dia selalu ada buat Kak iel.”

Bingo. “It makes me like you even more.”

”.....gimana, Kak?”

Dan malam itu Ashriel memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan Aruna yang baru saja dilontarkannnya dan memilih hanya memendam
untuk dirinya sendiri.

☆☆☆

7 July 2023

Apa yang Kala lakukan di hadapan makam bundanya selalu sama; merapal doa dalam diam dan merindukannya dalam sepi. Tidak pernah ada
tangis yang keluar dari sudut matanya sekali pun sesak di dadanya berlomba untuk dikeluarkan.

“Bunda, ini Aruna,” Kala menatap wajah Aruna lekat sewaktu gadis itu mulai mengeluarkan suaranya. Diletakkannya buket bunga matahari itu
di dekat nisan, lalu gadis itu kembali berujar, “Maaf Arun baru dateng ke sini ya, Bunda.”

Kala tidak pernah sekali pun membayangkan kalau dirinya akan datang ke sini dengan orang selain Ashriel. Kala sudah berupaya sangat keras
untuk menutupi hal-hal pribadinya dari orang yang berada di sekitarnya, namun ternyata, setelah semuanya terkuak, alih-alih merasa tidak
nyaman, ia malah merasa lega.

Mungkin karena dia tidak lagi menggenggam rasa sakitnya sendirian.

“Arun ke sini cuma mau nyapa Bunda. Juga mau kasih tahu kalau Kak Kala udah tumbuh jadi orang hebat sekarang, jadi Bunda nggak perlu
khawatir, ya,” Aruna tersenyum. “Kala juga sekarang punya Arun, punya Ibun, dan punya Kak Ashriel. Kak Kala bakal baik-baik aja. Fly high
to heaven, Bunda.”

Kala hanya tersenyum mendengarnya. Laki-laki itu diam-diam berharap semua orang yang menginginkan dirinya bahagia bisa berbahagia juga.
Sementara Aruna beralih pada makam yang berjarak beberapa makam dari makam bunda Kala, tempat di mana Daniel bersemayam untuk
selamanya.

Kala mengikuti Aruna dari belakang, membiarkan gadis itu berjongkok di sebelah makam itu.

“Kak Daniel,” Aruna meletakkan bunga matahari di dekat nisan Daniel. “I'm so sorry this happened to you, Kak. Gue nggak pernah ada di suatu
masa ketika gue hidup berdampingan sama Kak Daniel, tapi mungkin banyak rasa sakit yang nggak pernah sempat lo ceritain sama orang-orang.”

Ucapan itu hanya berbalas hening.

“Makasih juga ya, Kak. Karena Kak Daniel kasih kesempatan buat Kak Kala ada di keluarga lo, buat ngerasain rasanya punya keluarga,” Aruna
menunduk sebanyak yang ia bisa. “Makasih ya, Kak. Semoga lo tenang di sana.”

Aruna melirik pada Kala yang tengah memejamkan matanya. Laki-laki itu membutuhkan beberapa detik yang cukup panjang untuk merapalkan
doanya, dan ketika ia membuka mata, yang ia lihat adalah senyuman dari gadis yang sangat disayanginya. “Udah?”

Aruna mengangguk, “Udah. Mau pulang sekarang?”

“Boleh, ayo,” Kala mengulurkan tangannya pada Aruna, yang segera ia sambut hingga jari jemari keduanya saling terpaut. Aruna bisa merasakan
hangat yang mengalir pada jari jemari Kala, juga denyut nadinya yang berkejaran di antara denyut nadi miliknya. Kala menggenggamnya dengan
sangat erat.

Aruna menatap Kala lekat. Tangan yang saling tergenggam itu terayun-ayun seiring langkah mereka menuju mobil. “Kak, gimana perasaan lo
sekarang?”

“Gue ngerasa cukup, Run.”

Aruna memiringkan kepalanya. Dari sekian kali pertanyaan itu terlontar dari mulutnya, baru kali ini ia mendengar jawaban seperti itu. Kalau
ditanya begitu, kebanyakan orang akan menjawab senang, sedih, atau spektrum perasaan lainnya. Tapi Kala tidak. Merasa cukup adalah hal yang
sulit, dan untuk itu, Aruna sangat senang Kala berani mengatakannya.

“Kita mau ke mana sekarang, Kak?”

Kala hanya menunjuk dengan dagunya, “Ke dalem mobil.”

Aruna mendesis gemas, “Iya, maksudnya ke mana lagi?” Aruna membuka pintu mobil dan duduk di sebelah Kala, kemudian lanjut bertanya.
“Mau pulang aja? Kayaknya dari semenjak jaga kemarin lo belum tidur, ya? Lo mesti istirahat, deh. Muka lo udah kucel gini.”

Kala tidak menjawab, laki-laki itu hanya bergeming. Bahkan sampai menit selanjutnya, ia belum menjalankan mobilnya untuk keluar dari
tempat parkir.

“Kak? Kenapa? Ada masalah?”


“Aruna, gue sayang banget sama lo.”

Aruna menaikkan alisnya, jantungnya tiba-tiba berdetak sangat kencang sekali pun akhir-akhir ini Kala sering melontarkan kata sayang kapan
pun dan di mana pun. Yang satu ini terdengar berbeda, bahkan tatapannya yang biasanya terlihat jenaka tampak dingin.
“Kak....”
“Run, I wish you to know that you have been...the last dream of my soul.“

Aruna mengerjap, kali ini sudut bibir Kala terangkat. Laki-laki itu tidak menatapnya sama sekali, pandangannya jatuh pada langit senja yang
mulai menggelap, yang terpantul indah pada kaca mobil. “Gue ingin terbangun di pagi hari dengan lo berada di samping gue. Gue ingin sayang
sama lo sampai lupa caranya menghitung hari. Gue ingin kita bisa ketawa bareng, nangis bareng. I want to laugh with you and fall asleep with
you in my arms.“

Baru setelahnya, Kala menatap Aruna lekat.

“Dan yang paling penting.... I want to secure my world in my arms. Gue mau lo. Gue harap lo memperbolehkan gue untuk masuk ke dalam hidup
lo selamanya,” Kala melanjutkan, jaraknya dengan Aruna hanya sepanjang penggaris tiga puluh sentimeter hingga ia bisa mencium dengan jelas
harum wangi teh menenangkan serupa rumah yang menguar dari tubuh Kala.

“Kak....ini...lo nembak gue?”

Kala menggeleng, mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak berwarna biru tua yang di dalamnya terdapat sebuah cincin.”No, I
propose you to be my wife, Aruna.”

Aruna merasa pipinya saat ini seperti ditempeli setrika panas. Seluruh darahnya dipompa habis-habisan hingga jantungnya berdetak lebih kencang
dari biasanya.

“Kak....”

Kala tertawa kecil, tampak canggung, “Kenapa? Terlalu mendadak, ya?”

“Lo tahu jawaban gue apa,” Aruna menjawab cepat. “Tapi emang lo harus ngelamar gue di parkiran makam banget, ya?”

“Hah? Ini masih di parkiran makam?!”

Aruna memukul bahu Kala kencang, “Emangnya lo pikir ini di mana?”

“Gue kira kita udah jalan ke tempat yang gue rencanain. Padahal gue udah nanya-nanya tempat itu ke Haris, soalnya dia nembak pacarnya di
sana,” Kala berdecak, merutuki kebodohan dirinya. “Sorry, ya, Run. Mau gue ulangin lagi nanti?”

Tawa Aruna pecah, kali ini dirinya yang mendekat ke arah Kala, berbisik pelan, “Nggak usah. Jawabannya tetep sama lagian. Cukup memorable
juga buat diceritain ke anak kita nanti kalau lo lamar gue di makam.”

“Apa emang jawabannya?”

“Ya mau, lah! Lo pikir buat apa gue nungguin lo selama sepuluh tahun kalau gue nggak mau jadi pasangan lo?”

Kala tertawa, menangkup pipi gadisnya dengan kedua tangannya yang besar hingga bibirnya mengerucut,

“Makasih, ya, udah sabar sama gue,” kemudian Kala menyerahkan kotak yang sedari tadi dipegangnya. “Nih cepet pake cincinnya.”

“Ya ampun, nggak ada romantis-romantisnya! Harusnya lo yang pakein ke gue!”

“Ya udah sini tangannya!”

Aruna tertawa kecil, mencoba menutupi perasaannya yang kini tengah jungkir balik dengan heboh. Sewaktu cincin itu melingkar di jari manisnya,
tiba-tiba saja mata ia memanas. Gadis itu ingin menangis, mungkin karena bahagia yang ia rasa saat ini terlampau besar.

“Kak, makasih, ya. For finding yourself again.“

Kala kembali menangkup pipi Aruna dan mencium keningnya. Aruna bisa merasakan bagaimana lelaki didepannya itu menumpahkan semua
emosinya di sana, rasa sayangnya, rasa takut yang melingkupinya selama ini, semua penyesalan, semua asa dan hilang yang ia alami, Kala
menumpahkan semuanya.

“Lo pernah bilang kalau tiap pukul enam sore, lo suka sedih karena mesti pisah sama gue di penghujung hari,” Kala tersenyum kecil. “Di pukul
enam yang selanjutnya, lo nggak mesti pisah sama gue. Karena gue bakal ada di samping lo, selamanya.”

“Selamanya?” Aruna mengacungkan jari kelingkingnya, seperti sepuluh tahun lalu sewaktu Kala berjanji akan menceritakan apa pun masalah
yang dimilikinya. Namun, Aruna berharap janji yang saat ini akan berhasil Kala tepati.

“Selamanya,” Kala menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Aruna tanpa ragu.

“I love you Agastya Aruna Anandita.”


“Love you too, Gyanendra Kala Paramadita.”
“I'll say it everyday, Run.”
“And I will never get tired of hearing it.“
Aruna rasa, tidak akan pernah ada momen bersama Kala yang akan ia sesali. Karena bersama Kala, Aruna selalu merasa cukup.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai