Anda di halaman 1dari 4

G(ARA)

~ Titik tertinggi dari mencintai adalah merelakan

Aurana Reisha Azalea biasa dipanggil Ara merupakan seorang gadis SMA yang memiliki paras cantik, bermata hazel, bulu
mata lentik, dan wajah yang oriental. Hari-harinya berjalan seperti biasa. Namun sejak kedatangan murid baru yang
bernama Alvano Sagara membuat ia diam-diam menyimpan rasa terhadapnya. Cinta dalam diam begitulah yang dialami
Ara. Hingga akhirnya mereka menjadi teman dekat. Tetapi sampai suatu hari kenyataan pahit harus ia terima. Gara
meninggalkan untuk selama-lamanya. Seolah dunianya berhenti karena cinta pertamanya telah meninggalkannya. Dan fakta
yang mengejutkan, ternyata Gara secret admirer Ara kecil waktu mereka berumur 5 tahun. Kepingan memori mulai hadir
dalam benak yang terkikis oleh rasa rindu dan membuat Ara tidak punya pilihan lagi selain merelakannya. Karena titik
tertinggi dari mencintai adalah merelakan. Dan Tuhan adalah pemilik skenario terbaik.

Pagi hari yang cerah mentari menampakkan sinarnya menembus celah gorden dari kamar seorang gadis yang masih
bergelung dengan mimpinya indahnya. Suara alarm berbunyi mengusik tidurnya hingga membuat ia terbangun. Kemudian ia
lihat jam di atas nakas menunjukkan pukul 05.00. Dengan segera menuju kamar mandi dan mulai memakai seragamnya.

Ara saat ini duduk di bangku kelas 11. Ara bersekolah di SMA Nusa Bangsa Surabaya. Pukul 06.15 Ara berangkat sekolah
dan tak lupa ia berpamitan kepada kedua orang tuanya. Ara naik bus karena jarak rumah ke sekolahnya cukup jauh. Ia
sengaja berangkat pagi karena piket. Sesampainya di sekolah, Ara berjalan melewati gedung utama. Suasana sekolah
terlihat sepi karena memang masih pagi. Ara berjalan menyusuri koridor kelas 11. Dan sampailah di kelasnya 11 MIPA 2.
Tak lama, sahabatnya yang bernama Manda Putri datang.

"Halo Man. Tumben datangnya pagi", tanya Ara yang sedang piket.
"Iya aku suntuk karena tadi malam begadang maraton drakor. Sengaja berangkat pagi supaya nggak telat", ucap Amanda
disertai cengiran khasnya.
"Ckckck kebiasaan emang", seraya menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya itu yang pecinta drakor sejati.
Beberapa menit kemudian, bel masuk berbunyi menandakan jam pelajaran pertama dimulai. Dan siswa-siswi kelas 11 MIPA
2 sudah mulai masuk ke kelas dan duduk sesuai tempatnya. Hari ini adalah waktunya mapel fisika. Dan yang mengajar
adalah wali kelasnya yaitu Bu Laili.

"Assalamualaikum anak-anak", ucap Bu Laili.


"Waalaikumsalam Bu", semua siswa menjawab salam dengan serempak.
"Ada kabar gembira buat kalian. Hari ini kelas kita kedatangan murid baru dari Jakarta", kata Bu Laili.
Semua siswa pun nampak berisik karena ingin mengetahui apakah murid baru itu laki-laki atau perempuan.
"Silahkan masuk dan perkenalkan dirimu nak", ucap Bu Laili mempersilahkan.
"Perkenalkan saya Alvano Sagara murid pindahkan dari SMA Garuda di Jakarta. Panggil aja Gara", ucap murid baru itu
seraya memperkenalkan diri. Meskipun tampangnya datar, tapi tidak mengurangi kadar ketampanannya. Dan sorot matanya
yang tajam itu tak sengaja menatap ke salah satu titik yaitu Ara. Ia tidak bermimpi bukan? Karena apa yang ia lihat adalah
Aranya. Dan sangat ia rindu karena hampir 12 tahun lamanya tidak saling bertemu. Mungkinkah Ara mengingatnya? Ara
yang sibuk membaca novel tidak memperhatikan di depan. Sampai Manda berbisik kepada Ara.
"Ssstt Ara. Tuh murid baru ngeliatin ke kamu terus", kata Manda yang duduk di sebelahnya.
"Hah masa sih", dan deg pandangan mata mereka bertemu. Rasanya ia familiar dengan wajah itu. Tapi siapa dan dimana ia
pun lupa. Tetapi Ara memutuskan kontak mata lebih dulu.
"Oke kalau begitu nak Gara silahkan duduk di bangku belakang yang kosong itu" ucap Bu Laili mengarahkan.
"Baik Bu", jawab Gara dengan patuh.

Saat hendak menuju ke bangkunya, ia melewati deretan bangku yang ditempati Ara. Memorinya berputar pada masa
kecilnya dengan Ara. Rasanya dunia seperti daun kelor. Bertahun-tahun lamanya ia merindukan gadis imut yang ada
didepannya. Akhirnya ia pun dipertemukan dengannya. Dan Ara yang ditatap pun langsung memutuskan kontak matanya
karena salah tingkah.
"Ish kenapa sih hatiku dag dig dug gini? Apa aku salah makan ya?", tanya Ara dalam hati.
"Nggak-nggak masa iya sih aku jatuh cinta pada first sight? Ya kali kenal aja belum", beonya dalam hati.

Pembelajaran pun dimulai dan Bu Laili menerangkan materi fisika tentang kesetimbangan. Hingga bel istirahat pun
berbunyi. Semua siswa pergi ke kantin. Kecuali 3 orang yang masih ada di kelas, Ara, Manda, dan Gara.
"Ara yuk keluar", ajak Manda.
"Bentar deh aku lagi nyari kunci ruang jurnalistik. Mana sih kok gak ada. Perasaan tadi pagi aku taruh dalam tas. Mana
bentar lagi ada rapat", kata Ara yang masih mencari kunci di dalam tasnya. Kunci itu penting baginya karena Ara merupakan
ketua jurnalistik.
Hampir 5 menit Ara mencari namun hasilnya nihil. Kuncinya tetap belum ketemu. Membuat Manda tak sabar ingin pergi ke
toilet karena panggilan alam.
"Aku duluan ya Ara. Soalnya kebelet", kata Manda dengan setengah berlari.
"Iya udah sana-sana", ucap Ara setengah berteriak.

Di kelas hanya ada mereka berdua Ara dan Gara. Suasana di kelas berubah menjadi hening. Ara yang merasa tak nyaman
karena hanya berdua pun hendak keluar kelas menyusul Manda. Namun langkahnya terhenti karena suara Gara
menginterupsi.
"Hei! Ini bukan kuncimu? Tadi ada di bawah mejaku", tanya Gara. Mau tak mau Ara menengok ke belakang untuk
memastikan.
Syukurlah kuncinya ketemu. Kalau tidak urusannya panjang nanti dengan Bu Titin pembina jurnalistik.
"Iya benar. Makasih ya Gara", jawab Ara dengan lega karena kuncinya ketemu.
"He'em", Gara menganggukkan kepala.
"Oh ya ngomong-ngomong kita belum kenalan. Kenalin aku Ara", seraya tersenyum.
"Udah tau", ucap Gara seraya tersenyum simpul dan melaluinya.
Ara yang diam mencerna apa yang dimaksud Gara memasang wajah cengo. Kenapa dia udah tau namanya. Apakah
sebelumnya pernah bertemu? Ah rasanya tidak mungkin.

Ara pergi ke ruangan jurnalistik untuk rapat bersama anggota jurnalistik. Dan tak terasa jam masuk pun berbunyi. Semua
siswa masuk ke kelas masing-masing. Pergantian jam pelajaran Bahasa Indonesia di kelas 11 MIPA 2. Pak Resya selaku
guru Bahasa Indonesia menjelaskan materi tentang cerpen. Bel pulang pun berbunyi menandakan waktu belajar mengajar
telah berakhir. Ara berjalan keluar dari gerbang sekolah menuju halte bus. Hampir 20 menit ia menunggu di sana dan hanya
lalu lalang kendaran yang lewat didepannya. Tetapi tiba-tiba seseorang memberhentikan motornya dan membuka helm full
face nya.
"Ara ngapain kamu disini?", tanya Gara.
"Aku nungguin bus mau pulang", jawab Ara.
"Mending kamu pulang bareng aku. Daripada kamu nunggu di sini sampai sore. Pasti kamu capek", tawar Gara.
Setelah dipikir-pikir apa salahnya Gara membantu. Meskipun baru 1 hari mereka kenal.
"Iya deh. Eh beneran gapapa? Maaf merepotkan", tanya Ara memastikan.
"He'em", ucap Gara.
Akhirnya ia sampai di rumahnya. Dan ia mengucapkan terima kasih kepada Gara karena mau mengantarkan ia sampai di
rumahnya dengan selamat.

Hari demi hari Ara dan Gara semakin dekat layaknya teman sejati. Meskipun begitu masih ada batasan antara laki-laki dan
perempuan. Dari awalnya sebatas kagum berubah menjadi cinta dalam diam. Karena Ara pun tak berani mengungkapkan
perasaannya. Cukup ia dan Tuhan yang tahu.
Waktu lomba cerdas cermat sains pun tiba. Ara yang mengikuti lomba tersebut harus menerima kekalahan dan dia bersedih
karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuk sekolahnya. Dan Gara yang selalu mendengar keluh kesahnya.
"Yah gimana dong. Aku gak bisa kasih yang terbaik untuk sekolah ini", seloroh Ara kepada Gara.
"Gapapa yang penting kamu sudah berusaha yang terbaik. Ingat kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda", ucap Gara
menasehati Ara.
Gara menghibur Ara dengan memberikan semangat tak lupa ia memberikan sebungkus cokelat kesukaan Ara.
"Udah sedihnya. Gak baik kalau sedih terus. Ini aku kasih cokelat, pasti kamu suka", ucap Gara.
Ketika Gara memberikan cokelat itu, sekelebat bayangan anak kecil muncul di benaknya. Bocah lelaki yang memberikan
cokelat kepada sang gadis kala sedang menangis dan bersedih sama persis seperti apa yang dilakukan Gara sekarang.
"Makasih banyak ya Gara", kata Ara.
"Sama-sama, nanti malam ada waktu gak?", tanya Gara.
"Ada, emangnya kenapa?", tanya balik Ara.
"Besok libur, kamu mau gak aku ajak ke Cafe Gardenia", tawar Gara.
"Boleh, jam berapa?", tanya Ara.
"Jam 7", ucap Gara.
"Oke, aku tunggu", ucap Ara.
"Oke", timpal Gara.

Malam harinya di Cafe Gardenia.


Ara datang terlebih dahulu, lalu Ara mencari tempat duduk di dekat jendela. Hingga 1 jam menunggu Gara tak kunjung
datang. Ara selalu melihat ke pintu Cafe namun belum muncul tanda-tanda kedatangan Gara.
"Gara mana ya kok lama banget", ucap Ara lesu. Bagaimana tidak? Ia sudah menghabiskan 1 gelas cappucino sambil
menunggu Gara.
"Apa dia lupa? Aku telpon saja", bimbang Ara seraya mencari kontak Gara di telpon miliknya.
Tut, telpon tersambung.
"Halo Gara, kamu di mana sih kok lama banget. Apa kamu lupa ya?", cerocos Ara.
"Oh iya maaf tadi aku ada urusan mendadak tadi. Maaf ya", ucap Gara menyesal.
"Iya gapapa. Terus ini gimana, gak jadi ketemuan?", tanya Ara.
"Jadi dong, bentar ya tungguin aku", ucap Gara.
"Yaudah aku tunggu. Jangan lama-lama ini udah malam, hati-hati juga", kata Ara.
"Iya", ucap Gara dan setelah itu sambungan terputus.
Gara yang lupa pun diselimuti rasa bersalah karena membuat Ara menunggu. Ia melajukan motornya dengan kecepatan
tinggi menuju Cafe Gardenia. Karena tempat parkirnya penuh, mau tak mau ia harus memakirkan sepeda motornya di
seberang jalan. Dengan langkah sambil berlari ia hendak menuju ke Cafe Gardenia. Dan tak lupa juga ada sebuah buket
mawar merah serta coklat dan secarik kertas di tangannya.
"Aku harus cepet nih sebelum Ara ngambek" ucap Gara seraya menyebrang jalanan, dan tanpa ia sadari ada sebuah mobil
yang melaju dengan kecepatan tinggi ke arahnya.
Ctiiiitt bruk.
Tubuh Gara tertabrak mobil tersebut sehingga menyebabkan tubuhnya terpental cukup jauh dan tak lupa sekujur tubuhnya
yang di lumuri darah. Gara masih sadar hingga orang menghampirinya dan semuanya gelap.

Di Cafe Gardenia.
"Kok Gara lama banget sih", ucap Ara seraya menidurkan kepalanya di atas meja.
Hingga ia mendengar suara seperti tabrakan. Saat ia menoleh ke luar jendela, sudah banyak orang dan ia pun merasa
penasaran dengan korban kecelakaan itu. Lalu ia keluar cafe dan mendekati gerombolan orang-orang itu dan ia menyelinap
untuk melihat siapa korban kecelakaan itu, setelah ia melihat korban kecelakaan itu seketika nafasnya tercekat di
tenggorokan melihat Garanya sudah tak tergeletak di jalanan. Ia menangis dan menghampiri Gara. Orang-orang pun
memandang Ara dengan penuh tanda tanya hingga ada seorang Bapak-bapak menghampirinya.
"Apakah kamu mengenalnya?", tanya Bapak itu.
"Ya, saya mengenalnya. Dia teman saya", ucap Ara seraya mengangis tersedu-sedu.
"Pak, tolong panggilkan ambulans!", ucap Ara meminta tolong kepada si Bapak. Karena semuanya hanya menyaksikan.
Tidak berani menolong. Sungguh miris!
"Iya dek", ucap Bapak itu dengan cepat menelpon ambulans.

Tak lama mobil ambulans pun datang dan langsung memasukan Gara ke dalamnya, Ara pun ikut kedalam ambulans dan
tiba-tiba ada Ibu-ibu yang menepuk bundaknya.
"Dek, apa ini barang punya korban?", ucap Ibu itu seraya menyerahkan sebuah ponsel, buket mawar dan secarik surat di
dalamnya, serta sebuah cokelat.
"Oh iya Bu itu punya teman saya, terimah kasih Bu", ucap Ara dan setelah itu masuk ke dalam ambulans.
Di dalam ambulans.
"Gara, ayo bangun", ucal Ara seraya memegang tangan Gara. Ia menunduk, menangis tersedu-sedu. Hingga suara Gara yang
lemah menerpa indera pendengarannya.
"A-Ara", ucap Gara lirih.
"Ah Gara. Gara kamu yang kuat ya, kita sebentar lagi sampai", ucap Ara menggenggam tangan Gara.
"Sakit, aku udah gak kuat", ucap Gara lemah. Ia sudah tak kuat menahan sakit.
"Gak, kamu gak boleh ngomong gitu. Bentar lagi kita sampai, bertahan ya", ucap Ara dengan air mata yang terus mengalir di
pipi.
Gara hanya menggelengkan kepala dan setelah itu matanya tertutup, ia tak sadarkan diri.
"Gara, Gara bangun hikss", ucap Ara seraya menggoyangkan tubuh Gara.
"Pak cepet pak jalannya", ucap Ara kepada sopir ambulans. Demi apapun ia sangat khawatir dengan keadaan Gara saat ini.

Mereka sudah sampai di Rumah Sakit. Gara pun langsung di larikan ke ruang gawat darurat untuk perawatan intensif. Dan
dokter pun langsung masuk dan menutup ruangan tersebut.
Ponsel Gara masih di tangan Ara. Ia takut untuk mengabari orangtua Gara. Namun ia tidak punya pilihan lain.
"Halo. Assalamualaikum", kata Ara.
"Waalaikumsalam. Loh kok suara cewek, mana Gara?", tanya seorang wanita di seberang sana.
"Maaf Tante. Saya Ara temannya Gara. Saya mau memberitahu jika Gara ada di rumah sakit Pelita Bunda karena
kecelakaan", ucap Ara dengan nada lirih.
"Astaghfirullah Gara. Iya nak bentar Tante dan Om akan ke sana", ucap Bunda Gara dengan nada sedikit bergetar karena
syok mendenger kabar tersebut.
"Baik Tante", ucap Ara.
Tak lama kedua orangtua Gara datang. Mereka nampak khawatir, sedih, gelisah semuanya jadi satu.

Hingga ruangan ICU terbuka menampilkan seorang dokter yang berjalan ke arah Ara dan orangtuanya.
"Maaf. Sudah tidak ada harapan lagi. Karena pasien kehilangan banyak darah sehingga nyawanya tak terselamatkan", ucap
Dokter itu.
"Nggak mungkin. Anak saya masih hidup kan?", ucap Bunda Gara dengan nada yang sedikit meninggi. Karena terkejut
mendengar penuturan dari sang Dokter. Dan suaminya pun mencoba menenangkannya. Meskipun begitu Papa Gara sangat
terpukul atas kepergian anaknya.
"Maaf Pak, Bu. Ini adalah takdir Tuhan", ucap sang Dokter kemudian pergi karena Dokter juga sangat sedih karena tidak bisa
menyelamatkan pasiennya.
Mendengar apa yang dikatakan Dokter itu membuat dunia Ara seketika rutuh. Gara yang selalu menyemangati dirinya dikala
ia sedang bersedih, Gara yang selalu menghiburnya, dan menasehatinya. Namun pada hari ini ia menghembuskan nafas
terakhirnya. Ia sangat merasa kehilangan sosok Gara.

Hari pemakaman Gara pun tiba. Isak tangis pun terdengar. Dan orang yang paling merasa kehilangan adalah orangtua Gara.
Bunda Gara tidak mau pergi beranjak dari salemba itu. Namun Papa Gara mencoba membujuknya. Hingga hanya tersisa Ara
yang masih setia memandangi nisan itu dari jauh.
Alvano Sagara
Bin
Hendra Latif
Lahir : 14 Maret 2004
Wafat : 25 November 2021
Ia lalu berjongkok tepat di sebelah nisan itu lalu mengusapnya pelan. Dengan susah payah ia mengukir senyum di wajahnya
kala mengingat semua yang terlintas tentang Gara. Entah cerita mereka yang terlalu singkat atau mungkin memang cerita
tersebut belum usai. Seketika sekelebat memori waktu kecil hadir dalam benaknya.

Flashback On
Ara yang duduk di taman sendirian menangis dan tiba-tiba didatangi oleh bocah kecil seumurannya.
"Hai gadis cantik. Jangan nangis dong. Kata Bunda kalau nangis cantiknya ilang", kata bocah kecil 5 tahun itu.
"Aku gak lagi nangis kok. Cuma sedih aja", ucap Ara berbohong.
"Hmm. Aku tahu kok kamu belbohong. Udah ya jangan sedih lagi. Ini aku kasih cokelat", kata bocah lelaki itu dengan
tersenyum.
"Makasih. Oh ya namamu siapa?", tanya Ara.
"Gala. Kalau kamu?", ucap Gara yang masih cadel tidak bisa mengucapkan huruf 'r'.
"Ara", ucap Ara seraya menggenggam tangan Gara untuk bersalaman.
Tak lama orangtuan Gara memanggilnya. Dengan terburu-buru ia berpamitan kepada Ara. Sekaligus salam perpisahan. Gara
tidak akan lupa dengan perkenalan singkatnya dengan Ara. Dan Ara pun akan mengingat semua tentang Gala.

Flashback Off
Ara yang masih mencoba menguatkan diri untuk membuka surat dari Gara. Ia kemudian membacanya. Setetes air mata
turun membasahi pipinya. Tak disangka jika Gara pada malam itu ingin mengutarakan perasaan kepada Ara. Bunga mawar
pemberian Gara ia tarus di dalam nakas. Meskipun agak layu ia tetap menjaganya dengan baik. Dan cokelat yang selalu
Gara kasih ketika Ara bersedih, ia mulai membuka dan memakannya untuk menghilangkan sedikit kesedihannya. Mungkin
bagi dunia yang hilang adalah seseorang, tetapi bagi seseorang yang hilang adalah dunianya. Gara yang selalu menemani
dan membantunya, baik dalam keadaan susah maupun senang, yang selalu memberi semangat ketika Ara down. Ada setitik
ketakrelaan saat mengetahui dan melihat jelas bahwa Gara telah meninggalkan untuk selama-lamanya. Karena titik
tertinggi dari mencintai adalah merelakan. Bagian terpahit dari perpisahan adalah berpisah karena kematian, karena
seberapa besar rindumu padanya, ia tidak akan kau temui lagi di dunia ini. Selamat jalan dan selamat kehilangan.

Anda mungkin juga menyukai