Anda di halaman 1dari 14

1.

Bertemu Kembali

Mainmu boleh jauh, asal jangan lupa pulang.

Sebab kamu perempuan.

Ramai. Satu kata yang mewakili tempat ini. Bandara. Ya, aku baru pulang dari luar
kota, hampir lima tahun untuk melanjutkan kuliahku. Sekarang aku resmi menyandang gelar
magisterr. Lima tahun tanpa pulang jelas sekali membuatku rindu pada kota kecil yang
pertama kali aku rasakan udaranya. Aku kembali, entah akan lama atau justru hanya sebentar.
Bekerja dan menetap di sini atau kembali pergi dari sini setelah memastikan. Memastikan
segalanya, termasuk hatiku. Tergantung.

Banyak sekali orang lalu lalang. Sekali dua kali aku melihat orang dari negara asing,
terlihat dari warna kulitnya yang lebih putih dan postur tubuhnya yang tinggi di atas rata-rata.
Mengapa orang dari luar, apalagi dari negara barat memiliki tinggi di atas rata-rata?

“Hati-hati kalau jalan, Kak.” Ucapku sambil membantu seorang perempuan yang
sedang terjatuh karena sepertinya terburu-buru.

“Kakak? Ah apakah tampilanku seperti orang yang sudah tua?” Ucapnya. Nadanya
sedikit kesal. Aku mengamati penampilannya. Sebenarnya tidak terlalu tua. Pakaian mahal itu
cocok dengan tubuhnya yang ramping tinggi. Riasannya juga tidak terlalu tebal. Dia sangat
cantik. Tampilannya cocok dengan umurnya yang sepertinya hanya satu tahun diatasku.

“Mengapa?” Tanyaku.

“Kau memanggilku kakak, apakah aku setua itu?”

“Ah karena itu, maaf jika di Indonesia, itu hanya kata sopan untuk memanggil
seseorang yang belum kenal.”

“Namaku Alexa, umurku lima belas tahun.” Ucapnya sambil mengulurkan tangan
padaku. Memperkenalkan diri. Aku terima uluran tangannya.

“Lima belas tahun?” Ucapku tak percaya.


“Kenapa? Aih kenapa aku peduli sampai mau sekali memperkenalkan diri padamu
padahal mamaku pernah bilang untuk tidak memperkenalkan diri kepada siapapun. Okelah
tak masalah, sepertinya umur kita sama. Mungkin juga kita akan satu sekolah. Ingat kalau
aku dan kamu benar-benar satu sekolah nanti, jangan pernah memanggilku ‘Kakak’. Aku tak
suka. Aku terlihat tua. Aih, sudah ya. Aku pergi dulu, aku mengejar Mamaku. Terima kasih
atas bantuanmu. Bye.” Ucapnya secara cepat. Aku menganga mendengar pernyataannya.

“Tapi aku sudah mendapat gelar master.” Kataku pelan menatap kepergiannya.
Mungkin tidak terdengar sebenarnya.

“HAHAHA...” Suara tertawa menyadarkanku.

“Sudah ku bilang jangan liat tua-mudanya seseorang hanya berdasar tinggi badan.
Kebiasaanmu belum hilang ternyata.” Lanjutnya.

“Sejak kapan kamu disitu?”

“Sejak anak kecil yang kamu panggil ‘Kakak’ itu terjatuh. Hahaha.”

“Berhenti menertawaiku, Salman!” Aku melemparkan jaketku padanya. Ya, dia


Salman. Sahabatku.

“Iya-iya. Aku berhenti. Duduklah. Kau pasti menunggu mereka menjemputmu bukan?
Sudah tahu mereka lama, masih mau saja di jemput mereka.” Kata Salman. Mereka yang
dimaksud Salman adalah sahabatku, sahabat Salman juga.

***

Harum masakan tercium sangat harum menganggu konsentrasi ke-enam orang yang
sedang belajar. Bukan! mungkin lebih tepatnya mengganggu penciuman Arana Nabila saja.
Sebab kelima temannya tampak baik-baik saja mengerjakan soal matematika.

“Kamu baru mengerjakan lima dari dua puluh soal? Lihatlah jam dinding, sudah
hampir satu jam kamu mengerjakan.” Kata Salman.

“Pantas saja kamu kalah dari aku dan Salman, Ra. Ku pikir keputusan sekolah
memberi percepatan kelas padaku dan Salman adalah kesalahan. Sebab kamu lebih pintar
dari kami. Tapi tampaknya keputusan sekolah itu benar.” Ucap seorang laki-laki yang
matanya sebenarnya menatap laptop tapi mulut pedasnya entah mengapa tepat sekali
menusuk hati Ara. Itu adalah Abi. Sahabat Ara yang sebenarnya Ara saja masih bingung
mengapa mau menganggapnya sahabat dengan sifatnya yang tidak berperikemanusiaan.
Dasar Es!

Ya. Itu benar. Dan itu adalah luka bagi Ara. Itu keputusan yang hampir saja membuat
Ara kehilangan harapan. Tepatnya tiga bulan yang lalu. Saat Salman, Abi, dan Ara dipanggil
ke ruang BK. Saat itu ia mendengar bahwa tahun ini hanya ada dua orang yang mendapat
percepatan kelas. Dan dua orang itu adalah Salman dan Abi. Keputusan itu sebenarnya
membuat sebagian guru tak percaya, karena Ara lebih pintar daripada mereka. Tapi memang
akhir-akhir ini, nilai Ara turun drastis. Hanya Ara yang tahu alasannya dan cukup dia saja
yang tahu.

”Nah kan melamun lagi.” Ucap Salman sambil melempar kulit kacang ke muka Ara.
Sial memang nasib Ara memiliki teman seperti Salman.

“Ngelamunin apa sih, Ra? Akhir-akhir ini sering banget ngelamun.” Geram Alya.
Mungkin fokusnya mengerjakan soal matematika mulai terganggu.

“Ara lagi jatuh cinta kali, Al.” Itu suara cempreng Putri. Mulai memperburuk suasana.

“Serius, Ra? Bisa jatuh cinta juga ya cewek kayak kamu?” Abi mulai bersuara. Oke
situasi benar-benar memburuk.

“Sudah-sudah... Jangan godain Ara terus dong kalian. Mungkin Ara emang lagi ada
masalah yang emang gak mau dibagi.” Ucap Imel menenangkan. Ara langsung memeluk
mesra sahabatnya itu.

“Kalian gak mau pulang?” Judes Alya kepada Salman dan Abi. “Bukannya anak kelas
dua belas besok try out ya? Kok kalian nyantai banget, sih.”

“Pulang yuk, Bi. Kayaknya kita emang ganggu banget. Kalo Alya udah bersuara
berarti emang dari tadi kita ribut banget.” Ajak Salman kepada Abi. Ya, memang benar apa
yang dikatakan Salman. Alya ini sangat pendiam dan jika ia sudah mengutarakan
kegelisahannya berarti memang itu sudah berada pada level ‘sangat menganggu’.

“Yaudah deh, SEBAGAI ANAK KELAS DUA BELAS yang besok try out, kita
memang seharusnya lagi belajar. Biar lulus dengan hasil yang memuaskan. Bukan malah
gangguin ADEK TINGKAT yang lagi belajar.” Kata Abi sambil berdiri dengan menekankan
suara pada kata-kata tertentu. Kemudian mereka tertawa. Ara menatap sinis kepada mereka
berdua.

“Eh nanti malem jadi kan ke kafe perempatan jalan itu? Yuk deh sekarang aja gak
usah nunggu malam minggu. Lagian besok libur juga anak kelas dua belas try out.” Kata
Putri.

“Malam minggu aja deh, Put. Lagian tugasku belum selesai.”

“Kan libur dua hari, Ra. Belum besok ini dikumpul.” Imel bersuara. Mata Ara
berbinar. Imel memang gitu. Bisa menjadi sangat dewasa pada waktu tertentu sekaligus bisa
menjadi setan penggoda yang paling pintar menggoda. Ara mulai tertarik.

“Jam delapan kan kita ke kafenya? Masih empat jam lagi. Kerjain sekarang aja, Ra.
Keburu kok pasti. Daripada ditunda.” Alya bersuara. Malaikat satu ini kembali mengingatkan
Ara ke jalan yang lurus.

“Nah bener, Ra. Jangan ditunda. Siapa tahu kamu mati besok. Kan jelek banget nanti
kami mengenang matinya kamu. Meninggal dengan hutang belum mengerjakan tugas.” Putri
sepertinya sudah mulai bosan hidup. Sebab setelah mendengar ucapan putri, Ara tanpa ampun
mencubit perut Putri.

“AAAA... TOLONG...” Teriak Putri.

“Udah, Ra. Kerjain tugas sana. Biar nanti keburu. Nah contek aja punyaku.” Ucap
Imel menggiurkan. Ara langsung menghentikan cubitannya. Mengambil buku Imel.
Langsung menyalin. Ah, ternyata Salman benar. Ara sudah tertinggal jauh dari teman-
temannya. Buktinya Imel sudah selesai sedangkan Ara baru lima soal yang berhasil
dkerjakannya.

Senja mulai menyapa. Warna jingga mulai menggantikan tahta birunya langit.
Burung-burung kecil secara berkelompok mulai pulang secara bersama-sama. Sambil
berbunyi ramai. Mungkin jika mereka adalah sekelompok manusia, mereka sedang
menyanyikan lagu ‘Gelang Si Paku Gelang.”

***

Ara meregangkan tubuhnya. Melirik jam dinding. Pukul lima. Ternyata butuh sejam
untuk Ara menyalin jawaban Imel.
"Aku emang lambat banget ya, wkwk." Bisik Ara ke dirinya sendiri. Sambil
menertawakan dirinya yang tinggal nyalin saja lama sekali.

Masih di ruang tamu, tak jauh dari jam dinding, matanya menatap kesal pada tiga
temannya. Mereka justru sedang asyik menonton film di laptop.

"Asli baper.." Ucap Imel.

"Kapan punya pacar kayak dia ya. Udah ganteng, pinter, pendiam tapi romantis. Duh
coba aku yang jadi ceweknya." Itu suara Putri. Alya hanya senyum malu-malu kecil
menanggapi Imel dan Putri. Alya yang cuek saja bisa senyum malu-malu tanda menyetujui
argumen Imel dan Putri, berarti benar dipastikan kalau itu film romantis. Fiks, itu pasti drama
Korea.

Ara berjalan cepat ke arah mereka. Ingin menonton juga.

"Bagian ini nih bikin haru. Duh akhirnya Sakura..." Kata Putri sambil memundurkan
lagi untuk mengulang reka adegan di film.

"Sakura, Arigatou." Ucap tokoh dalam film tersebut. Imel bahkan sudah menangis
terharu. Ara semakin ingin tahu, film apa yang mereka tonton.

"Lihat deh, Ra. Romantis banget mereka." Ucap Putri. Ara yang melihat hanya
melongo. Bukan drakor ternyata. Itu anime Naruto. Sejak kapan mereka berubah jadi wibu?

"Ah kenapa Abi baru kasih tahu kalau Naruto sebagus ini? Nyesel gak nonton ini dari
kecil dulu." Ucap Imel. Ara menepuk jidat. Jadi, Abi yang menyebarkan virus wibu?

"Ra, ganteng banget ya Sasuke." Lanjut Putri.

"Tapi masih ganteng Lee Min Ho sih. Oppa itu gak akan terganti." Kata Ara.

"Itu karena kamu belum nonton anime ini, Ra. Coba tonton dulu." Alya bersuara. Iya,
sih. Benar. Ara kurang objektif dalam menilai karena baru satu sisi saja yang dia ketahui.

"Tonton geh, Ra. Kami mandi dulu." Ucap Imel.

"Dari tadi belum mandi kalian? Katanya apa-apa harus gercep jangan ditunda.
Gimana kalau kalian mati coba tadi? Kan jelek banget mati kalian. Dalam keadaan belum
mandi." Ucap Ara. Inginnya mengembalikan kata-kata yang mereka berikan tadi kepadanya.
"Apasih, Ra? Gak jelas." Kata Alya. Mereka bertiga kompak bangkit untuk mandi.
Meninggalkan Ara sendiri.

Rumah ini sebenarnya milik Putri. Namun dijadikan rumah kos. Itupun sebenarnya
Putri yang memaksa Ibunya. Dengan alasan rumah ini terlalu besar jika hanya dipakai bertiga
saja. Itupun Putri dan Ibunya sering berdua saja di rumah. Ayah Putri sering tidak di rumah.
Maklum, Ayah Putri seorang Diplomat. Karena alasan itu ditambah karena rasa bersalah Ibu
Putri yang menolak tinggal di luar negeri sehingga menyebabkan ia dan Putri jauh dari sang
Ayah karena Ibu Putri sangat takut naik pesawat dan kapal, yang membuat Ibu Putri
mengizinkan rumah mereka menjadi rumah kos.

Mendengar itu, Ara sangat senang. Karena rumah ia sangat jauh dari sekolah.
Menghemat bensin. Selain itu, Ibu Putri sangat baik dan rajin memasak. Kan semakin betah.
Apalagi mendengar bahwa ia hanya harus membayar listrik dan air saja untuk tinggal di
rumah Putri. Nah makin plus-plus deh. Hemat pengeluaran.

Nasib Alya juga tak jauh beda dengan Ara. Yang beda hanya Imel. Rumah Imel
berada di depan rumah Putri. Tapi dia ikut menjadikan rumah Putri sebagai rumah kosnya.
Berbeda dengan Putri yang kesepian, rumah Imel justru sangat ramai. Berisik. Maklum ketiga
kakak Imel sudah menikah. Kakak pertama memiliki dua anak, yang paling besar baru kelas
empat SD. Kakak kedua memiliki anak kembar yang baru memasuki taman kanak-kanak.
Kakak ketiga baru menikah dua bulan lalu. Masih hamil. Bayangkan betapa ramai rumah
Imel. Itu karena Ibu Imel yang tidak memperbolehkan anak-anaknya membangun rumah
sendiri setelah menikah.

"Rumah ini apa gak cukup besar sehingga kamu mau punya rumah sendiri? Gak mau
ngurusin Mama sama Papa yang sudah tua? Gak mau lihat Mama dan Papa bahagia ngeliat
cucu sekaligus ngurusin?" Itu omel Mama Imel setiap kakak mereka izin untuk memiliki
rumah sendiri. Sebenarnya alasan pastinya adalah Mama Imel takut rumah ini sepi seperti
rumah Putri. Rumah Imel memang sangat besar. Dengan sepuluh kamar, tiga kamar untuk
pembantunya. Imel yang tidak tahan dengan kebisingan itu memohon-mohon kepada
Mamanya agar mengizinkan. Setelah penuh pertimbangan, akhirnya Mama Imel
mengizinkan. Dengan syarat setiap sore Imel harus pulang dan malamnya boleh menginap
lagi tempat Putri. Imel mengangguk setuju dengan semangat. Namun sudah seminggu ini
Imel belum pulang. Durhaka memang.
Kembali lagi ke anime Naruto tadi. Karena penasaran Ara membuka file di laptop
Putri. Ia terkejut. Banyak sekali episodenya? Abi benar-benar niat menjadikan teman-
temannya wibu seperti dia.

Malam ini cukup indah karena bintang gemintang tanpa pelit membagikan
keindahahnnya. Menambah indah suasana di kafe ini. Saat kaki sampai pada kafe ini, ternyata
kafe ini belum terlalu ramai. Jelas. Karena ini bukan malam minggu. Hanya beberapa
pengunjung yang datang. Bisa dihitung jari. Lagi pula kafe ini masih baru. Masih belum bisa
mengalahkan pesona kafe di ujung jalan yang tetap ramai di hari apa pun. Padahal kafe ini
juga sudah oke. Harganya juga masih ramah dijangkau apalagi dikantong Ara yang sangat
pendek. Sesuai orangnya.

"Yaelah cemberut aja. Iya deh kita minta maap." Kata Putri.

"Kalian yang ngajak jam delapan coba. Aku udah buru-buru ngerjakan. Buru-buru
makan, mandi, solat.."

"Solat gak boleh buru-buru, Ra." Potong Alya.

"Diem dulu deh Al. Nah sampai mana tadi, oh iya. Udah buru-buru, eh malah aku
yang udah selesai duluan. Harus nunggu kalian lagi yang milih baju kayak milih pemimpin
negara. Penuh perhitungan. Padahal kan yang mandi duluan kalian. Seharusnya kalian yang
udah beresan dulu. Ini aku kudu nungguin kalian. Setengah jam berharga cuy. Katanya kudu
gercep. Jangan nunda-nunda. Ini pada bingung mau pake baju apa cuma buat ke kafe. Lagian
kesini juga sendiri, gak sama pacar. Gimana kalo tadi kalian mati coba, kan jelek banget kalo
aku ngenang mati kalian...." Omel Ara.

"Iya deh kita minta maaf." Ucap Imel.

"Apalagi kamu, Mel. Kan kamu gak solat, tapi kamu yang paling lama dandan."
Semprot Ara ke Imel. Memang di antara mereka berempat, Imel yang memiliki agama yang
berbeda.

"Aku traktir kamu Ra. Mau apa?" Tawar Putri.

"Capuccino aja, Put. Tadi udah makan di rumah kamu. Disuruh Ibu." Nah kan marah
Ara langsung reda. Tawaran Putri memang menenangkan.
"Yee giliran ditraktir aja langsung diem marahnya." Kata Imel. Ara hanya
mengangkat dua jarinya sambil senyum malu-malu.

Sudah dua jam mereka di sini. Sudah gunjing berbagai macam artis. Sudah ngobrol
panjang lebar seluas Aceh sampai Merauke. Hingga jam sudah menunjukan hampir sebelas
malam. Sebenarnya mereka ingin sampai tengah malam. Berhubung dekat dengan rumah
Putri dan besok libur ditambah kafe ini memang buka sampai tengah malam. Tapi Imel yang
sudah sibuk mengangkat telepon dari Mamanya membuat mereka akhirnya memutuskan
untuk pulang.

"Adek? Kamu belum pulang? Pulang sekarang atau besok-besok jangan nginap lagi
tempat Putri. Gak ada ngekos-ngekos lagi." Omel Mama Imel. Keputusan final. Mereka
pulang.

Saat sudah di lantai satu, Ara menepuk jidat. Ponselnya ketinggalan. Ara berbalik ke
lantai dua. Saat melewati mushola yang ada di kafe di lantai dua, samar-samar ia mendengar
suara orang mengaji. Dadanya berdesir.

"Udah berapa lama ya aku gak ngaji?" Ucap Ara kepada dirinya sendiri. Karena
keingintahuannya yang tinggi dan suara mengaji yang merdu sekali. Ia pun semakin
mendekatkan diri ke dalam mushola. Baru melangkah lima langkah, Alya mengagetkannya.

"Ngapain disitu, Ra? Liat apa sih?" Kata Alya.

"Eh gak papa kok. Penasaran."

"Hpnya udah ketemu?"

"Udah. Ni dia."

"Oke." Ucap Alya yang langsung meninggalkan Ara.

Saat kepergian Alya, Ara melihat ke arah mushola sebentar. Saat melihat ke sumber
suara merdu tadi, eh pemilik suaranya malah sudah berdiri di sampingnya. Ara langsung
tergagap.

"Mau masuk mushola dek?" Ucap lelaki yang diperkirakan umurnya enam sampai
tujuh tahun di atas Ara.

"Eh, e, saya anu enggak Pak, eh Kak. Cuma penasaran kok ada yang ngaji hehe."
"Saya justru penasaran sama adek. Sudah hampir tengah malam kok masih di sini?
Hati-hati dek. Apalagi adek perempuan. Gak baik sampai malam keluar rumah. Rumahnya
dimana? Biar saya antar."

"Eh e e e, anu Kak saya sama teman saya."

"Perempuan juga?"

"Iii..i.. Iyya Kak."

"Saya antar saja ya."

"Gak usah Kak. Dekat kok. Lagian Kakak masih kerja. Takutnya nanti Kakak
dimarah bosnya."

"Bos? Oh iya iya. Okedeh saya pergi dulu. Hati-hati di jalan, Dek. Jangan diulangi
lagi. Pertemuan selanjutnya semoga adek ingat Kakak ya." Ucapnya sambil berlalu. Ara
bengong.

"Ini dia nyuruh agar aku inget dia lagi setelah pertemuan ini atau emang sebelumnya
aku sama dia pernah ketemu, terus aku gak inget sama dia tapi dia inget sama aku nah
pertemuan selanjutnya nanti dia pengen aku inget dia karena dia sama aku dulu pernah
ketemu. Eh apasih kok belibet." Ucap Ara kepada dirinya sendiri. Lamunannya terhenti kala
teleponnya berdering. Putri menelepon.

"Kamu lama banget deh. Gak lagi BAB kan kamu di sana? Pulang." Omel Putri.

"Ra, Ra, ARA!" Putri ngegas karena omelannya diabaikan Ara.

"Yah tadi gak kenalan dulu." Ucap Ara tanpa sadar. Mendengar itu, Putri semakin
murka. Ia mengeraskan suaranya.

“RA?! RA! KAMU NGELAMUN?”

***

“Coba waktu itu, aku udah kenal kamu.” Gumamku tanpa sadar. Putri yang di
sampingku menoleh tajam.
“RA?! RA! KAMU NGELAMUN?”

“Eh, emang kamu ngomong apa?”

“Dari tadi kita diem-dieman tahu, Ra. Selepas kamu tahu aku jemput kamu, kamu
Cuma bilang terima kasih terus senyum. Masuk mobil. Habis itu diem. Udah lima belas menit
perjalanan diem-dieman, aku kira kamu capek. Eh malah gumam ga jelas. Kenal siapa sih
kamu? Ketemu jodoh di pesawat?”

“Aku di pesawat bareng Salman. Berarti Salman jodohku?”

SKAK MAT. Putri terdiam. Aku tertawa.

Ya, Putri sudah lama memendam rasa kepada Salman. Aku menjadi saksi kisah
mereka. Teringat jelas di pikiranku Putri senyum malu-malu, diam-diam mencuri pandang di
ruang osis kala SMA. Putri juga menjadi aktif mendatangi rapat semenjak Salman menjadi
ketua osis. Keberuntungan mungkin bagi Putri. Cintanya berbalas. Tapi ini kerugian untukku.

“Kalau aku suka Putri, gimana Ra?” Itu suara Salman. Tanganku tiba-tiba gemetar,
gelas plastik berisi jusku-yang ditraktir Salman-hampir tumpah andai saja aku tak bisa
menguasai diri. Untungnya aku bisa dengan cepat menguasai diri. Aku senyum, menatapnya.

“Ya... Gak masalah sih.” Ucapku dengan seceria mungkin.

“Makasih ya, berkat kamu aku jadi tahu kesukaan Putri apa aja. Aku juga jadi tahu,
Putri orangnya gimana. Aku jadi deket sama Putri berkat kamu, Ra.” Teriris. Hatiku teriris
mendengarnya. Jadi selama ini Salman dekat denganku hanya untuk mencuri informasi
tentang Putri? Aku mengingat kembali, ah iya juga. Selama pertemuan intens kami, dalam
obrolan chat kami, rata-rata Salman bertanya tentang Putri. Ku pikir itu aku. Aku yang
menjadi pendamping untuk menemani Salman menjadi tokoh utama. Seperti drama yang aku
mainkan bersama Salman waktu kami masih sekelas dulu, saat Salman belum mendapat
percepatan kelas.

“Kalian jadian aja deh. Cocok banget. Semoga beneran jadi pasangan ya di
kehidupan nyata.” Ucap salah satu temanku yang baper melihat pertujukanku dengan
Salman. Aku mengaamiinkan dalam hati.

Benar. Aku memang mengaamiinkan. Tapi nyatanya tidak dengan Salman. Sejak ia
mengutarakan perasaannya, aku tahu satu hal. Aku bukan pendamping pemeran utama. Aku,
hanya figuran. Sejak itu pula, aku mencoba berhenti untuk menaruh hati pada Salman. Putri
adalah sahabatku. Mereka juga saling suka. Kesimpulan, aku yang mengalah.

Ah sakit rasanya.. aku lupa waktu itu untuk menyiapkan hati. Padahal aku tahu,
menyukai orang yang sama dalam persahabatan sering terjadi. Salah satu harus mengalah.
Dan sayangnya dalam persahabatanku, akulah yang mengalah.

“Hey Ra! Kamu ngelamun lagi?” Ucap Putri sambil mengayun-ayunkan tangannya di
depan mukaku. Aku terkesiap. Tersadar akan lamunanku beberapa tahun lalu yang masih
tersimpan apik di pikiranku.

“Kamu capek banget ya? Yaudah gih turun. Mau istirahat di rumahku apa rumah
depan?” Tanya Putri. Rumah depan yang dimaksud adalah rumah Imel.

“Eh rumah Imel aja yuk. Kakak pertamanya baru pulang dari Amerika. Pasti bawa
oleh-oleh.” Ajak Putri bahkan sebelum aku menjawab pertanyaannya.

“Sejak kapan anak diplomat suka gratisan?”

“Udah pensiun, Ra. Lagian siapa sih yang gak doyan gratisan.”

“Sejak kapan Kakak Imel pindah? Emang dibolehin sama Mama?” Mama disini
adalah mamanya Imel.

“Sejak kita lulus SMA. Itu berarti sekitar lima tahun yang lalu. Suaminya Kak Reina
kan emang asli orang sana, nah kebetulan orangtua suaminya ada masalah di perusahaannya.
Ya suami Kak Reina sebagai satu-satunya anak ya mau gak mau kudu kesana. Bantuin
orangtuanya. Berkat itulah diizinkan sama Mama. Kamu tahu kan, Mama gimana orangnya.
Kalau gak alasan gitu, mana boleh anaknya pergi ninggalin istana mewahnya.” Jelas Putri
panjang lebar. Aku mengangguk.

Nuansa kamar berwarna merah muda mewarnai dinding kamar Imel. Aku dan Putri
sudah berada di dalam kamar Imel setelah dipersilahkan dengan ramah oleh Mama. Mataku
berkeliling mengingat. Seingatku dulu kamar ini berwarna biru. Ah lima tahun memang
mengubah banyak hal kecil, mungkin juga hal besar. Namun ada yang masih tetap di hati.
Perasaanku.

Bukan perasaan tentang Salman. Sudah ku bilang bukan jika sejak Salman
mengutarakan perasaannya tentang Putri, aku berhenti menaruh rasa? Aku tak main-main.
Aku sempurna berhenti menaruh rasa. Hal yang mengganjal adalah sebuah pertemuan tak
terduga di Bandara tadi. Alasan yang membuatku terdiam sejak tadi.

“Adek kamu nih, Mel. Diem mulu dari tadi.” Ucap Putri langsung kepada Imel, sebal
mungkin denganku yang diam, tidak seperti biasanya. Padahal Imel baru saja masuk kamar.
Oh iya, Imel baru datang karena tadi ia mengajar Al-qur’an di pondok kecil di halaman
belakang rumahnya. Ya, Imel mualaf. Meskipun begitu, orangtuanya tak mempermasalahkan
perbedaan keyakinan. Inilah yang aku suka dari keluarga ini.

Imel meletakkan al-qur’an di nakas. Tersenyum lembut kepadaku.

“Mungkin Ara sedang ada masalah, Put.” Ucap Imel menenangkan.

“Cerita dong, Ra.” Rengek Putri.

Baru saja aku ingin bercerita, gawaiku bergetar. Panggilan video menungguku
mengangkat. Aku tekan tombol hijau.

“Assalamu’alaikum, Ara.” Aku tak menjawab salam itu. Aku kaget.

“Ya ampun muka kamu lucu banget kalau kaget. Tapi sebenarnya aku juga kaget tau
gak. Muka kita mirip banget, sama-sama cantik. Serasa ngaca tahu enggak.” Katanya sambil
terkikik. Aku masih bingung. Kemudian wajah Bapak mulai muncul di kamera.

“Kamu bingung ya, Nak? Ini Ana, Ra. Kembaranmu.” Aku menepuk dahi. Aku lupa
jika aku punya kembaran. Maklum,umurku sekarang dua puluh lima. Selama dua puluh lima
tahun itulah aku terpisah dengan kembaranku. Bapak cerita bahwa Ana dibawa adik
perempuan Mamak karena Tante Ika, begitulah aku memanggilnya, ia tidak bisa memiliki
keturunan. Jadi Ana diasuh olehnya.

“Kamu pulang?” Tanyaku.

“Iya, kemarin. Bapak yang meminta. Ini juga permintaan Papa eh Om Tama yang
memintaku untuk pulang saja setelah Om Tama meninggal. Karena gak ada yang ngurusin
aku di sana.” Cerita Ana. Ya, Om Tama adalah Paman kami, suami Tante Ika. Ia telah
meninggal beberapa minggu yang lalu. Aku dapat kabar dari Mamak saat aku berada di
Yogyakarta. Aku ingat aku disuruh untuk melayat, namun karena aku baru membuka pesan
itu tiga hari setelah aku mendapat pesan dari Mamak, aku menepuk dahi. Kemudian Mamak,
yang tahu kebiasaanku yang selalu lupa mengecek gawai, memaklumi dengan terpaksa. Ya
sudah aku tidak melayat. Oh iya, Tante Ika juga sudah meninggal saat aku masih menjadi
mahasiswa baru. Kala itu, Mamak justru tidak menyuruhku melayat. Karena aku sedang
sibuk-sibuknya.

“Hobi kamu melamun ya?” Tanya Ana. Aku terkesiap.

“Pak kayaknya Ara sudah punya cowok deh. Ini lagi ngelamunin cowoknya.” Ujar
Ana.

“Heh, mana ada!” Ketusku. Ana tertawa.

“Di rumah Imel ya?” Ini Bapak yang bertanya.

“Iya.”

“Lima tahun enggak pulang, malah pulang ke rumah temen. Kamu enggak kangen
sama Bapak sama Mamak?”

“Ya kangen. Mampir bentar ini. Eh kayaknya nginep deh, Pak. Kesorean kalau ke
rumah. Ini juga capek banget.” Kataku sambil melihat suasana yang sudah sore dari jendela
kamar Imel.

“Yaudah. Tapi besok pulang, ya?”

“Iya.”

“Ra, Pesan Bapak untuk kamu, untuk Ana juga. Mainmu boleh jauh, asal jangan lupa
pulang. Sebab kamu perempuan. Bapak mengerti, kalian masih muda. Masih ingin
menambah pengalaman. Menikmati perjalanan. Mencicipi rasa di setiap kota. Tapi inget
selalu ya nak. Kamu perempuan. Tanggung jawab Bapak besar, Nak. Pulang adalah jalan
teraman. Rumah adalah tempat paling selamat untuk kamu. Mamak dan Bapak sudah tua,
sering rindu. Jangan lupa, boleh main, asal jangan lupa pulang.” Aku mengangguki kata-kata
Bapak. Setelah sepatah dua patah kata berikutnya, panggilan video tertutup.

“...Mainmu boleh jauh, asal jangan lupa pulang. Sebab kamu perempuan.” Kalimat
Bapak masih terngiang. Baiklah, besok aku harus pulang. Mungkin juga akan sering pulang
jika aku keluar kota lagi. Atau bahkan, justru menetap di tempat yang menjadi sumber luka
bagiku.
“Nah kan, Mel. Melamun lagi dia.” Putri berujar dengan mulut yang penuh dengan
biskuit. Duduk di sofa, sambil membaca novel.

Imel mendekat. Menyerahkan segelas air putih untukku. Aku terima.

“Masih enggak mau cerita?” Tanya Imel lembut seraya menyentuh pundakku. Aku
menarik nafas dalam. Hening.

“Aku ketemu dia.” Kataku datar. Setelah itu, semua terdiam. Imel dan Putri paham
siapa ‘dia’ yang membuatku seperti ini.

“Sudah lima tahun, kamu belum move on?” Tanya Imel. Aku menggeleng. Putri
justru tertawa.

“Duh, Ra. Kamu udah ke beberapa kota. Menetap setahun malah yang terakhir
kemarin dimana? Eh iya di Yogya. Gak ada gitu cowok yang menetap di hatimu?” Ujar
Putri.

“Aku sih seringnya menetap sama Salman.” Ujarku. Putri terdiam. Kali ini aku dan
Imel tertawa.

Ya. Aku sering menetap bersama Salman. Maksudku, disini sering keluar kota
bareng. Aku memang mengambil S2ku di kampus yang sama dengan Salman. Salman yang
berhubung menjadi seniorku, mengenalkanku pada perkumpulan untuk pengabdian
masyarakat. Jadilah setelah mendapat gelar master, aku sering ikut pengabdian bersamanya.
Kebetulan dia seorang guru, jadi pasti dibutuhkan di daerah terpencil. Aku? kuliah jurusan
Sastra Inggris, tapi menjadi guru matematika. Itu usul Salman. Jahat memang dia.

“Kok jadi ngomongin Salman sih? Resek kamu. Apa hubungannya?” Putri menyahut.

“Dia ternyata Kakaknya Salman.” Jawabku.

“HAHHH!” Teriak Imel dan Putri bersamaan.

Anda mungkin juga menyukai