Anda di halaman 1dari 9

Mari bercerita tentang jatuh cinta.

Hal klise yang sering terjadi di–Bukan, bukan


hanya di film ataupun novel romansa, tapi di kehidupan nyata.

Seperti sepasang manusia berumur belasan yang kini tengah duduk di garis tepi milik
samudera, memandangi lambaian baskara yang baru singgah di awal hari, berbincang seru
lalu tertawa, tersenyum karena obrolan mereka selalu sambung menyambung, tidak pernah
menemukan titik akhir yang melahirkan kecanggungan.

Mereka berbincang tentang apa? Bercerita mengenai apa? Jatuh cinta? Bukan.

“sekarang ikan pausnya gak akan muncul di permukaan, kalau kamu mau tau,” ucap si adam,
memeluk lutut dengan pandangan lurus ke depan. Hawa disisinya pun sama.

“kenapa?”

“oh tau aku, soalnya kalo pagi ini hari minggu, dia libur sekolah jadi bangunnya siang.”

Adam itu tertawa manis, menyadari si hawa yang bertanya tapi menjawab sendiri, “salaaah.”

“loh terus?” tanya si hawa.

“pagi ini dia ada jadwal ceramah di laut sebelah, makanya ga muncul. Nama lengkapnya kan
paustad, kalau kamu mau tahu lagi.”

Giliran si hawa yang tertawa, “emang kamu tau jadwal ceramah dia?”

“enggak sih kalau kemarin, tapi hari ini udah tau,” jawab si adam.

“tau darimana?”

“dari tetangganya,” si adam menoleh ke hawa yang senyumnya belum juga luntur dari awal
percakapan, menyadari akan itu, si hawa juga jadi ikut menoleh, “siapaaa? Pak hiu?”
menggeleng sebagai jawaban, si adam melanjutkan, “nyonya ubur-ubur.”

Lalu tertawa lagi. Tertawa bersama, tidak hanya si hawa atau hanya si adam.

Dilihat dari jauh saja barisan pohon kelapa yang berderet rapih sudah tahu, berbisik-bisik
lewat hembusan bayu segar khas pagi, yang ramai dibicarakan itu si hawa dan adam yang
kini masih asyik berbincang.

“Apa yang mereka bahas? Tuan paus?” Tanya pohon kelapa paling pinggir sebelah kanan.

“Iya, hahahahaha, lucu sekali,” balas kawan sebelahnya.

Yang tengah ikut menimbrung, “mereka seperti sedang jatuh cinta.”

“tidak usah kau ucap pun kami tau,” jawab yang lainnya, masih tetap berbisik-bisik walau
tetap ramai sekali saat didengar.
“tapi, mereka membahas tuan paus, bagaimana bisa kau tau tuan?” pohon kelapa muda
yang berdiri paling pinggir sebelah kiri bertanya tak mengerti.

“hey, cinta itu tidak bisa digambarkan dengan kata, perbincangan mereka hanya suatu hal
abstrak yang hanya mereka yang bisa mengerti, tidak ada unsur romansanya sama sekali,”
jawab pohon kelapa deretan tengah, sebut saja si tengah. Si paling tinggi.

“lalu tuan bisa tau darimana kalau mereka jatuh cinta? Bukan tuan bilang hanya mereka
yang bisa mengerti?” pohon kelapa muda masih tak mengerti, tetap bertanya, “dari mata
mereka, senyum mereka, bahkan dari cara mereka berbicara satu sama lain saja itu sudah
sangat kentara anak muda. Sebut saja itu bahasa jatuh cinta yang sebenarnya.”

Ah iya... bahasa jatuh cinta yang sebenarnya.

Kisah ini pun akan sama, tentang si adam dan hawa yang kini sudah bangkit dari
memandangi laut itu, kisah ini tentang mereka. kalau kamu membaca ini hanya dari
perbicangannya saja, bisa jadi pemahamanmu akan sama seperti pohon kelapa muda, kamu
hanya mengerti itu sebatas abstrak belaka.

Terkecuali kamu memperhatikan suatu hal lain–yang membuat kamu akan mengerti, atau
bahkan ikut masuk kedalam dunia mereka.

Suatu hal lain antara mereka–bahasa jatuh cinta yang sebenarnya.


Sore itu mendung, gadis 16 tahun lebih 6 bulan yang baru keluar dari kelasnya
berjalan pelan melewati kelas-kelas yang sudah mulai kosong. Langkahnya tidak gontai,
tidak cepat, tidak lemas, tidak juga terlalu bersemangat. Biasa-biasa saja, santai.

Berhubung sepulang sekolah hari itu tidak ada pertemuan OSIS, ia hanya akan langsung
pulang ke rumah. Mendekati lobby sekolah, langkahnya mulai memelan, menghindari
kerumunan yang ramai, ia hanya sedang malas dengan keramaian karena berniat
menjadikannya hari rabu itu sebagai hari santainya.

Di ambilnya ponselnya di saku rok, berniat mengecek apakah sang supir sudah menjemput
atau belum, walau baru ingin menekan tombol on pada sisi ponsel layarnya sudah menyala
lebih dahulu, menampilkan notifikasi dengan pesan singkat.

Kak sagara OSIS


nanti saya pulang ikut ya, kalo ga salah udah bilang ke ibu kamu juga
“pak, nanti belok kiri ya,” niatannya begitu yang akan diucapkan kirana, tapi belum
juga kalimatnya keluar, suara lain sudah mendahului.

“makasih ya, kirana,” pemuda yang satu tahun lebih tua dari usianya itu tersenyum ramah,
melirik sedikit kebelakang, ke arah tempat ia duduk, walaupun tubuhnya tetap menghadap ke
depan, hanya dijawab iya kak oleh gadis itu.

Bukan berniat kaku, tapi kirana hanya kaget dan sedikit bingung harus jawab apa. Itu pun
sudah bagus ada balasan, ya walaupun sedikit kikuk.

“itu nanti belok kiri ya pak,” wacana kalimat kirana diganti ucapkan oleh pemuda itu–Sagara.
Kakak kelas kirana, anak kelas 12 IPA 1 yang juga satu organisasi bahkan satu komplek
perumahan dengan kirana–sejak sekolah dasar, dan tak pernah akrab. Panggil saja pemuda itu
saga, atau sebagai adik kelas yang sopan ditambahi imbuhan kak didepannya.

Sampai mobilnya sudah berhenti didepan rumah kak saga, kirana hanya menangguk sopan
sewaktu laki-laki itu mengucapkan terimakasih yang kedua kali untuknya juga untuk pak
supir, lalu turun dari mobil.

Masih ingat pesan dari kak saga di sekolah? Itu memang kalimat mengagetkan yang kirana
baca di rabu sore itu, dan selepas kak saga sudah masuk ke rumahnya kirana bisa jauh lebih
lega dan merasa lepas dari canggung, tapi siapa sangka kelegaannya tidak berlangsung lama
saat langkahnya memasuki rumah.
“3 hari kedepan berangkat sama pulang sekolah bareng sagara ya kak, ibu sama
ayahnya ada keperluan di luar kota soalnya.”

1 kalimat dari sang ibu saat kakinya baru saja melangkah masuk ke dalam rumah, bukan dari
notifikasi pesan kak sagara, tapi efek kagetnya sama bagi kirana.
Mata kirana tak bisa berpindah dari layar ponsel yang menampilkan ruang percakapan
antaranya dengan kak sagara.

Kak sagara OSIS


nanti saya pulang ikut ya, kalo ga salah udah bilang ke ibu kamu juga

satu kalimat pertama yang ada di ruang percakapan mereka, membuatnya menimbang-
nimbang dengan keputusan akhir yang entah sopan atau tidak, tapi kini jarinya sudah mulai
mengetikkan pesan singkat pada sagara.

kak maaf, udah rapih belum ya?

Tepat pesannya terkirim, pintu mobil bagian depan sebelah kiri terbuka, menghadirkan laki-
laki yang terlihat menawan dengan seragamnya, “maaf ya lama, tadi ada barang saya
ketinggalan diatas,” ucapnya saat benar-benar baru masuk mobil, membuat mata kirana, kali
ini, beralih dari ponselnya dan disambut oleh tatapan sagara yang tentu saja pertemuan antara
2 netra anak manusia itu tidak disengaja.

Membalas ucapan sagara? Tentu tidak, kirana hanya mengangguk, kemudian memalingkan
pandangan.

Perjalanan ditemani oleh hening, hanya suara klakson mobil atau deru motor lewat yang
mengisi, radio pagi ini sama saja seperti kemarin sore, dimatikan. Pak supirnya itu memang
entah kenapa, bertahun-tahun kirana kenal, jarang sekali menyalakan radio saat sedang
menyetir.

Ya.. hening saja begitu. Sepi.

Pagi itu tidak ada kejadian istimewa yang menyambut awal hari kirana, juga sagara, kakak
kelasnya itu hanya diam, tak mengeluarkan satu dua patah kata lagi usai bilang maaf tadi,
kecuali satu hal yang kirana tidak sadari sampai tiba di sekolah dan sudah masuk ke kelasnya.
Sagara tau, kirana memalingkan pandangannya tepat saat netra mereka bertemu.
mungkin gadis itu salah tingkah, mungkin. Kalau tidak, berarti hanya sagara yang begitu.
Maaf tadi kamu jadi nunggu

Satu kalimat singkat yang Sagara kirimkan pada Kirana, tepat saat gadis itu keluar dari mobil,
disertai netra Sagara yang mengikuti langkahnya beserta perasaan aneh yang sama sekali
tidak ia mengerti.
Usai jam mata pelajaran terkahir kirana buru-buru bergegas menuju parkiran, masuk ke mobil
yang ternayata sudah ada sagara disana, seperti biasa duduk di samping pengemudi, sembari
membaca novel dengan serius tanpa terganggu fokusnya walaupun tadi kirana menutup pintu
tidak sengaja sedikit agak kencang.

Mobil mulai melaju keluar wilayah sekolah, gerimis mulai membasahi ibu kota, padahal
kirana kira tadi langit cerah itu akan bertahan sampai malam, ternyata runtuh juga tangisnya.

Bunyi gemericik air yang semakin deras jatuh diatas mobil mengisi kelengangan diantara dua
anak manusia ini. Tidak terhitung pak supir karena beliau baru saja turun masuk ke dalam
minimarket, menumpang buang air kecil yang sudah tidak bisa ditahan.

Sebenarnya bisa-bisa saja kirana pura-pura tak peduli dan bermain ponsel, tapi masalahnya
untuk sekedar bermain ponsel saja rasanya jadi semakin canggung.

“kamu suka baca?”

“kak saga lagi baca apa?”

dua kalimat basa-basi yang terucap dari lisan yang berbeda, di waktu yang sama. Membuat
dua-duanya juga sama-sama kikuk. Mana pula sagara terlanjur menghadap ke belakang dan
kirana terlanjur mengarahkan matanya pada laki-laki dengan buku digenggamannya itu.

“iya suka.”

“max havelaar.”

“eh? Maksud aku, aku suka baca buku.”

laki-laki itu terlihat bingung, matanya melirik ke seisi mobil, menghindari mata si hawa yang
padahal juga sama dengannya, “maksudnya.. maksudnya saya lagi baca buku max havelaar,”
diangkatnya buku di tangan kanannya.

“oh iya.. max havelaar karya multatulli ya?” hal terlucu adalah kalimat kirana ramah tapi
nadanya kaku, parahnya si empu sadar akan itu.

“iyaaa, kamu mau coba baca?” tawar sagara.

“boleh kak?” tanya kirana ragu.

“boleh kok, saya baru selesai baca tadi,” disodorkannya buku itu, ada sedikit perubahan kali
ini, mata keduanya sudah tidak ‘berjalan’ kemana-mana, nadanya tidak ragu ataupun
canggung. Biasa-biasa saja. Tapi entah kenapa, hal sepele seperti itu membuat sagara senang
secara tidak sadar.

Anda mungkin juga menyukai