pikirkan. Hari ini aku menerima lamaran Mario, pria yang tidak pernah kupikir akan menjadi pilihan terakhirku. Aku tidak mencintainya, tetapi kupikir dia orang yang tepat untuk dijadikan teman hidup. Aku menyesap kopiku, lalu aku teringat kenangan beberapa tahun silam saat aku belum memahami betapa rumitnya menjadi dewasa. “Mama kenapa, sih, suka banget sama lagu Om ini?” tanyaku pada Mama yang tengah fokus menyetir. “Om siapa?” Aku mengembuskan napas, “ini lho, Marcell Siahaan, sangking Mama sering muter lagunya aku udah anggap dia Omku.” Mama tertawa, “beberapa hal memang takkan terganti, Kak.” Aku tersenyum masam mendengar jawaban Mama. Sebab, ia dan lagu Marcell Siahaan adalah hal yang tidak bisa dipisahkan, apalagi lagu yang berjudul “Takkan Terganti”. Setiap hari mama memutarnya, terutama saat mengantarku ke sekolah. Mendadak ia akan tersenyum sekaligus sendu. Aku masih ingin bertanya, namun mobil sudah berhenti di depan sekolahku. Ah, menyebalkan. Menjadi siswa kelas 12 adalah hal yang paling berat saat itu. “Have fun, Kak. Nggak usah dipikirkan kelas 12 nya, semua orang punya porsinya masing- masing.” Mama selalu yang terbaik, ketimbang menekanku untuk masuk perguruan tinggi ternama dan segala macamnya ia malah mempertanyakan apa kemauanku. Mama tidak akan memaksakan kehendaknya hanya untuk terlihat hebat sebagai orang tua. Tetapi, tetap saja aku merasa minder dengan teman-temanku yang sudah punya tujuan setelah ini. *** Sore itu kelas berakhir pukul 16.35 lebih lama dari biasanya, seingatku Bu Serin memberikan ulangan sejarah mendadak dan itu sangat merusak mood-ku. Aku melihat mobil mama terparkir rapi di seberang jalan, namun aku tidak melihatnya. Aku mengedarkan pandanganku, aku melihat mama bersama pria mereka tampak berbincang. Mama sepertinya menyadari keberadaanku, sebab ia tampak berpamitan. Tidak seperti biasa mama hanya diam, tidak ada lagu Marcell Siahaan, dan yang kutemukan hanya tatapan sendunya. Padahal aku ingin bertanya siapa pria tadi? Ah, apa perubahan ini disebabkan pria tadi? Ada banyak pertanyaan dikepalaku. Perjalanan menuju rumah terasa panjang dan aku benci suasana ini. Aku semakin kesal begitu melihat lampu merah menyala. “Kakak pernah jatuh cinta?”tanya Mama yang akhirnya bicara. Aku mengerutkan kening, “kayanya belum, deh.” “Tadi itu namanya Indra, mantan Mama.” Untuk pertama kalinya Mama menceritakan hal seperti ini. “Nggak cuma mantan, Indra juga cinta pertama, Mama.” “Terus kenapa Mama nggak nikah sama Om Indra, aja?” tanyaku yang membuat Mama mengembuskan napas berat. Seperti ada sesak yang sudah lama ditahannya. “Hampir. Mama dan Indra berpacaran sejak SMA, lalu nenekmu tidak pernah merestui hubungan kami. Katanya, Indra tidak punya masa depan.” “Kok nenek begitu? Kan, Mama, cintanya sama Om Indra, terus mama, kok akhirnya menikah sama Papa? “ Mama tersenyum, “kami jatuh cinta saat remaja, lalu beranjak dewasa. Saat dewasa kami paham bahwa hubungan tidak selalu tentang memiliki. Ya, begitulah proses pendewasaan tidak menyenangkan namun harus ikhlas.” “Terus papa? Mama nggak cinta?” “Almarhum Papamu itu terlalu baik. Perempuan mana pun akan jatuh cinta padanya.” Saat itu aku tidak suka dengan jawaban mama. Aku merasa mama tidak tulus kepada papa. Namun, setelah dewasa aku memahaminya. Mengapa ia masih mendengarkan lagu Marcell Siahaan setiap mengantar jemputku di sekolah. Sebab mama ingin mengenang masa yang tidak bisa ia ulang, tapi kekal dalam kenangan. Aku memahami mama yang tidak menikah lagi setelah papa meninggal, padahal aku tahu banyak yang mendekatinya. Iya, mama menunggu Om Indra. Sayangnya pertemuan mereka setelah sekian lama, pada akhirnya tidak menghasilkan apapun. Cinta pertama saat mereka remaja sangat indah, lalu saat mereka dewasa mereka paham akan kata berjuang, dan lagi- lagi harus ditutup dengan keikhlasan.