Anda di halaman 1dari 2

KISAH SEORANG IBU TUA

Jordan Smith

Ini cerita dari Jepang kuno yang sangat menginspirasi kalian pastinya. Mudah2an
bisa diambil hikmahnya dan di jadikan panutan juga panduan sebagai pedoman
kehidupan ini.. (cerita ini saya dapat dr buku pelajaran bhs Jepang)

Konon pada jaman dahulu, di Jepang ada semacam kebiasaan untuk membuang orang
lanjut usia ke hutan. Mereka yang sudah lemah tak berdaya dibawa ke tengah hutan
yang lebat, dan selanjutnya tidak diketahui lagi nasibnya.

Alkisah ada seorang anak yang membawa orang tuanya (seorang wanita tua) ke hutan
untuk dibuang. Ibu ini sudah sangat tua, dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Si anak
laki-laki ini menggendong ibu ini sampai ke tengah hutan. Selama dalam perjalanan,
si ibu mematahkan ranting-ranting kecil. Setelah sampai di tengah hutan, si anak
menurunkan ibu ini.
“Bu, kita sudah sampai”,kata si anak. Ada perasaan sedih di hati si anak. Entah
kenapa dia tega melakukannya.

Si ibu, dengan tatapan penuh kasih berkata:”Nak, Ibu sangat mengasihi dan
mencintaimu. Sejak kamu kecil, Ibu memberikan semua kasih sayang dan cinta yang
ibu miliki dengan tulus. Dan sampai detik ini pun kasih sayang dan cinta itu tidak
berkurang.

Nak, Ibu tidak ingin kamu nanti pulang tersesat dan mendapat celaka di jalan.
Makanya ibu tadi mematahkan ranting-ranting pohon, agar bisa kamu jadikan
petunjuk jalan”.
Demi mendengar kata-kata ibunya tadi, hancurlah hati si anak. Dia peluk ibunya erat-
erat sambil menangis. Dia membawa kembali ibunya pulang, dan ,merawatnya
dengan baik sampai ibunya meninggal dunia.

Kiranya cerita diatas bisa membuka mata hati kita, untuk bisa mencintai orang tua
dan manula. Mereka justru butuh perhatian lebih dari kita, disaat mereka menunggu
waktu dipanggil Tuhan yang maha kuasa. Ingatlah perjuangan mereka pada waktu
mereka muda, membesarkan kita dengan penuh kasih sayang, membekali kita hingga
menjadi seperti sekarang ini.
IBUKU DUNIAKU

Dinda Tiara Gita Sumanda

“Akuuu benci ayah..!!!” teriakku menggema dilapangan basket outdoor, ditempat ini
ku keluarkan semua amarah dan kekesalanku. tempat ini menjadi saksi kepiluan
sebuah pengkhianatan, kulempar bola basket dengan bengisnya diriku tidak dapat
menahan kekecewaan dan dendam yang teramat sangat. Lagi air mata ini jatuh
mengingat sosok ayah yang kuhormati dan orang yang kusayangi tega mengkhianati
aku dan ibu karna ayah menikah lagi dengan perempuan yang lebih muda dari ibu,
yang merubah paradigmaku tentang sosok ayah.

Aku lari, berlari seolah berpacu dengan angin malam, aku tak peduli dinginnya angin
yang berderu, sesampai di rumah kulihat ibu tersedu sendirian di sudut kamar. “ibu,
aku yakin kita mampu hidup berdua tanpa ayah juga” kukecup kening ibuku dengan
penuh cinta, dan saat itu juga air mataku menetes lagi.
Dengan lembut ibu tersenyum padaku “ini belum seberapa nak, kelak kita akan
menemukan cobaan yang beribu lebih besar” dapat kurasakan hembusan nafasnya
yang bercampur aroma ketegaran mengahadapi cobaan hidup ini.

Setelah kepergian ayah, ibu berjuang seorang diri demi membiayai sekolah dan
mengisi perut kami. Setelah itu pula tak pernah lagi kulihat pria yang telah menemani
ibu selama 17 tahun, mungkin dia sibuk dengan istri barunya dan telah melupakn
kami, biarlah aku pusing karenanya. Bagiku, setelah ibu aku tidak butuh apa-apa lagi.

Bertahun tahun lewat berlalu perlahan kami sudah  bangkit dari keterpurukan, dan
aku dan ibu membentuk dunia kami sendiri dimana hanya ada aku dan ibu. Ibu rela
tak menikah lagi demi mencurahkan seluruh kasih sayangnya untukku, ibu kaulah
hidupku setelah dirimu aku tak butuhkan apa apa lagi.

Tamat

Anda mungkin juga menyukai