Anda di halaman 1dari 2

Nama : Fahima Dinnniyah Chairunnisa

Kelas : 9K
Absen : 14
Tema : Persahabatan

Arti Komunikasi

“Ah, sinyalnya hilang lagi!” keluh Amara sembari menatap ponselnya. Sepuluh menit sudah Ia
habiskan hanya untuk mencari sinyal. Amara tak heran sih, sekarang Ia dan keluarganya berada
di kampung halaman, lebih tepatnya di rumah nenek. Alasannya tentu untuk menghabiskan
liburan akhir semester. Amara pasrah, kembali Ia letakkan ponsel miliknya di nakas lanjut
beranjak menuju teras rumah. Gadis remaja itu hendak mencari neneknya. Matanya memindai
seisi rumah. Rumah nenek terkesan tradisional, dari bentuk atapnya yang khas ala rumah Joglo
hingga seluruh perabotannya yang berasal dari kayu jati.

“Oh disini toh.” Amara menemukan neneknya sedang duduk di ruang tamu. Tapi neneknya tak
sendiri, ada seorang gadis yang tak Ia kenal di samping nenek. “Eh Amara? Kebetulan ini ada
Ardela mampir. Yang pernah nenek ceritakan itu loh, cucunya mbah Rani.” Amara tersenyum
sembari menyapa gadis sebayanya itu. Amara mengenal mbah Rani, karena Ia selalu berjumpa
dengan beliau setiap pulang kampung. Tapi baru kali ini Ia bertemu dengan Ardela secara
langsung.

“Oh ya, Amara daripada nganggur dirumah, lebih baik ikut Ardela ke rumah Mbah Rani, ya? Kan
kemarin belum sempat mampir ke rumah Mbah Rani.” Amara terdiam mendengar ajakan
neneknya. “Iya Ra, ayo jangan sungkan.” ucap Ardela. “Eh…iya...” Amara terkekeh, sejujurnya Ia
sangat malas apalagi ini masih jam 8 pagi. Tapi apalah daya, sekarang Ia sudah mengekori
Ardela menuju rumah Mbah Rani.

Amara dan Ardela akhirnya sampai. Rumah Mbah Rani tak jauh beda dari rumah nenek. “Ayo
duduk disini, Ra.” Amara menurut dan duduk di salah satu kursi . Sementara Ardela izin pamit
kedalam. Amara menatap bingkai foto yang terpajang di diding. Ia melihat Ardela dan bocah
yang sepertinya berusia lima tahun tersenyum manis. Mungkin itu adik Ardela. Tepat saat itu,
seseorang melangkah mendekatinya. Itu bukan Ardela, tapi bocah lelaki yang sama di bingkai
foto yang Ia lihat. Amara menyapa bocah itu “Hai, adiknya Ardela ya?” Tapi aneh, anak itu
hanya tersenyum tak menjawab pertanyaannya. “Em…namanya siapa nih?” Anak itu masih
diam tak bergeming, tapi tetap tersenyum. Tak lama kemudian, Ardela datang dengan segelas
the hangat. “Eh Elio disini? Ini adikku Ra, namanya Elio.” Ardela meletakkan segelas teh tadi
pada meja. “Dia…Tunarungu.”

Amara sedikit terkejut lalu kembali menatap Elio yang masih tersenyum. “Aku biasa
berkomunikasi dengan Elio menggunakan bahasa isyarat.” Ucap Ardela lalu tangannya mulai
bergerak mempraktikan bahasa isyarat pada Elio. Seakan mengerti, Elio mengangguk paham.
“Amara, Mbah Rani sedang tidak dirumah. Mungkin kamu mau melihat-lihat sekitar? Di
belakang ada kebuh coklat, ayo kesana.” Amara sekali lagi hanya menurut mengikuti Ardela
yang menggandeng tangan Elio disampingnya.

Mereka bertiga menikmati buah coklat yang sempat Mbah Rani petik. Sesekali Amara terkagum
menyaksikan dua saudara itu berkomunikasi. Ardela bercerita mengenai kesehariannya. Ia
tinggal bertiga bersama ibu dan Elio di rumah Mbah Rani setelah kepergian ayahnya. Oleh
karena itu, Ardela harus mengatur keperluan rumah lantaran ibunya yang selalu berkerja. Hal
itu menjadi tamparan keras untuk Amara. Ia merasa malu karena setiap hari Ia hanya sibuk
dengan ponselnya. Seketika sebuah ide terbesit di benak Amara.

“Ardela, apa aku boleh belajar Bahasa isyarat? Sepertinya menarik.” Amara piker mungkin
dengan belajar Bahasa isyarat, Elio bias berkomunikasi tidak dengan kakaknya saja. Sekaligus
untuk mengisi waktu luang. “Wah! Tentu saja! Bagaimana kalau kita mulai sekarang?” Ucap
Ardela antusias. Amara mengangguk.

Sehari belajar Bahasa isyarat, Amara masih kaku. Dua hari belajar, Amara mulai menghafal
beberapa gerakan. Tiga hari belajar, Amara sudah bisa memperkenalkan diri dengan Bahasa
isyarat. Hal itu menjadi kebahagiaan tersendiri untuk Amara. Ia sadar bahwa teknologi bukan
satu-satunya hal yang menyenangkan.

Sayangnya seminggu telah berlalu. Itu berarti sudah waktunya Amara pulang ke kota. “Maaf ya
jika merepotkanmu selama ini.” Amara memeluk Ardela. “Ah tidak, aku senang memliki teman
baru.” Amara lanjut beralih pada Elio. Ia berpamit pada Elio dengan Bahasa isyarat, meskipun
gerakannya masih sangat kaku. Elio mengerti dan memeluk Amara.

Bagaimanapun liburan tahun ini mengajarkan hal yang tak ternilai berharganya bagi Amara.
Melalui Bahasa isyarat, menyadarkannya arti dari komunikasi sebenarnya. Ia berencana
mengembangkan kemampuan Bahasa isyaratnya dirumah nanti agar saat berkunjung kembali,
Amara bisa berkomunikasi secara lancar dengan Elio.

Anda mungkin juga menyukai