Anda di halaman 1dari 7

Tema : Takdir Cinta

Judul : Garis Takdir Amira

Oleh : Abang J.

Bertahun-tahun lamanya, perempuan cantik yang dikenal sebagai bidadari itu terus menyendiri
dan mengurung diri dalam rumahnya. Meski tidak sedikit lelaki yang datang menyuntingnya, Ia
malah memilih untuk menutup diri dan menyuruh orang tuanya agar menolak saja setiap lelaki
yang datang, karena bagi mereka itu usaha yang sia-sia untuk mendapatkan hatinya, apalagi
memilikinya. Diumurnya yang menginjak Dua Puluh Empat tahun, Amira lebih memilih
menjalani hidupnya sebagai perempuan malang yang terus-menerus memandang foto lelaki yang
Ia pajang di dinding kamarnya, sambil meneteskan air mata sepanjang malam hingga fajar tiba
menjemput embun di pagi buta.

“Amira ... bangun, Nak! sudah subuh nih,” ujar ibunya Amira dari depan pintu kamarnya.

Berkali-kali dipanggil, Amira sama sekali tidak menjawabnya. Sedangkan ibunya sangat paham
kondisi Amira yang beberapa tahun terakhir ini tidak bisa terlalu diganggu.

“Amira ... bangun, Nak. Ayahmu sudah nungguin nih sholat berjamaah,” ibu Lastri kembali
memanggil Amira sambil mengetuk pintu kamarnya.

“Iya, Bu ... Amira ambil wudhu dulu,” sambil mengusap embun di matanya, Amira menyahuti
ibunya yang sudah menunggu sedari tadi sebelum berwudhu.

Sepanjang malam, Amira tidak tidur sampainya waktu sholat subuh tiba. Setiap harinya selama
lima tahun terakhir Amira selalu melakukan hal yang sama, yaitu memandang foto yang ada di
kamarnya sambil meneteskan air mata hingga matanya membengkak. Lelaki yang sangat Ia
cintai kini hanya tinggal fotonya saja yang bisa Ia lihat selama lima tahun terakhir ini, lelaki itu
namanya Reza. Reza, meninggal lima tahun yang lalu akibat kecelakaan sepulang dari
kampusnya setelah mengantar Amira di rumahnya. Bagi Amira, Reza adalah segalanya, karena
sejak duduk di bangku sekolah mereka berdua menjalin hubungan hingga mereka sama-sama
masuk disalah satu universitas di kota mereka. Ujian akhir setelah melewati masa KKN, Amira
hanya menjalaninya sendiri tanpa Reza yang menemaninya. Sedangkan Reza harus kembali
menghadap Tuhan yang maha kuasa karena kecelakaan maut yang menimpanya.

Amira adalah perempuan yang sangat cerdas, bukan saja kecerdasannya yang membuat banyak
mahasiswa di kampus itu menyukainya melainkan kecantikannya juga yang sangat mempesona.
Tapi bagi Amira, Reza lah yang menjadi pemilik hatinya dan yang selalu hidup dalam dirinya.
Sehingga waktu Amira tidak banyak untuk yang lain melainkan untuk menyendiri dan melihat
foto-fotonya dengan Reza.

Setelah mencium tangan Ayah dan Ibunya, Amira dengan segera membuka mukennah dan
masuk kembali kedalam kamarnya. Karena bagi Amira setelah sholat subuh usai, maka waktu itu
akan Ia gunakan untuk tidur selepas Ia begadang sepanjang malamnya.

“Bu, bagaimana kalau kita jodohkan saja anak kita Amira?” kata pak Arisman suami ibu Lastri
atau ayahnya Amira.

“Mau dijodohkan sama siapa lagi, Pak?” jawab ibu Lastri.

“Ada anaknya teman kantornya bapak!” lanjut pak Aris. “Dia anak yang baik dan juga taat
beribadah, Bu.”

“Emangnya Amira mau, Pak? apalagi anak kita tidak suka dijodohkan,” tanya bu Lastri pada
suaminya.

“Kita ajak Amira jalan-jalan ke rumah temannya Bapak dulu, Bu! sembari kita perkenalkan Dia
sama itu anak.” Seru pak Aris.

“Kalau ibu mana baiknya saja, Pak. Tapi bagaimana dengan Amiranya sendiri,” lanjut ibu Lastri.

“Kalau begitu minggu depan kita ajak Amira ke rumah temannya bapak, nanti bapak kasih tahu
dulu pak Darto kalau kita akan ke rumahnya bersama Amira.”

Pak Darto adalah teman kantornya pak Arisman ayanya Amira, pak Darto memiliki anak laki-
laki yang bernama Rian. Rian kurang lebih seumuran juga dengan Amira, tetapi ibu Lastri
khawatir akan Amira yang tidak suka dijodohkan apalagi dengan lelaki yang belum sama sekali
dia kenal seperti Rian.
Amira dikenal sebagai perempuan pendiam dan tidak suka keluar rumah kecuali liburan di
kampung neneknya. Tidak sedikit lelaki di kampungnya yang menyukai Amira, tetapi sayangnya
Amira tidak pernah terlihat di luar rumah sebagaimana teman-temannya yang lain yang suka
jalan-jalan. Jangankan mendapatkan hati Amira, melihatnya saja jarang meski di halaman
rumahnya sendiri.

Satu minggu kemudian, waktu yang ditentukan oleh pak Arisman sudah tiba. Tetapi Amira sama
sekali belum dikasih tahu kalau Dia akan diajak jalan-jalan ke rumah teman Bapaknya, dan yang
lebih penting lagi Dia akan dikenalkan sama Rian anak pak Darto teman Bapaknya.

Selepas sholat subuh, ibu Lastri langsung menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya pak Aris dan
juga putri satu-satunya itu. Setelah sarapan sudah siap, ibu Lastri langsung membangunkan
Amira yang baru saja tidur setelah ikut sholat bersama mereka.

“Amira ... bangun, Nak. Ayo sarapan pagi, Ayah dah menunggumu di meja makan.”

Setelah beberapa kali dipanggil, baru Amira menjawab Ibunya. “Hmm ... kenapasih Ibu pagi-
pagi sekali menyuruhku sarapan,” sambil mengucek matanya, Amira bangun dari tempat
tidurnya dan memandang foto Reza sebelum mencuci muka.

“Ayo sarapan dulu, Nak! sebelum kamu mandi,” ujar ibu Lastri pada Amira. Sedangkan Amira
masih belum tahu yang direncanakan oleh Ayah dan Ibunya.

“Emang mau kemanasih, Bu? kok pagi-pagi sekali Amira disuruh sarapan dan mandi,” tanya
Amira sambil mengambil nasi dengan sendok nasi di tangannya.

“Hari ini kita mau jalan-jalan ke rumah teman kantornya Ayah, jadi kamu harus dandan cantik
yah,” potong pak Aris.

“Emang ada acara apasih, Yah? kok harus ajak Aku segalasih, disuruh dandan cantik lagi,”
kembali Amira bertanya sama Ayahnya.

“Tidak ada acara yang special kok, hanya saja kita silaturahim dengan temannya Ayah,” lanjut
pak Aris.
“Terus kenapa ajak Aku dan menyuruhku dandan cantik, Yah? Ayah sama Ibu bisa pergi
sendirikan?” kembali Amira menyanggah Ayahnya.

“Pokoknya kamu harus ikut, Nak!” ibu Lastri memotong pembicaraan Amira dengan Ayahnya.

“Yaudah, Amira mandi dulu kalau gitu,” tutup Amira setelah selesai sarapan.

Setelah beberapa saat, Amira sudah siap berangkat ke rumah teman Ayahnya, dan sebelum
keluar dari kamarnya, Amira menyempatkan diri untuk memandang foto Reza di dinding
kamarnya sambil berkata, “Sayang, Aku keluar dulu sebentar yah sama Ayah dan Ibu, maaf
karena Aku meninggalkanmu sendirian di sini,” ujar Amira sambil memandang foto kekasihnya
yang sudah tiada itu.

“Mira ... cepat, Nak. Ayah dah nungguin di luar tuh,” dari ruang tamu terdengar suara ibu Lastri.

“Iya, Bu ... Amira dah mau keluar kok!” sambil bergegas keluar dari kamarnya, Amira berkata
“By Reza sayang, sampai ketemu lagi nanti setelah Aku pulang.”

Kurang-lebih Dua Puluh menit diperjalanan, Amira dan orang tuanyapun sampai di rumah pak
Darto.

“Ayo turun, kita sudah sampai di rumahnya pak Darto,” kata pak Arisman.

Setelah turun dari mobil, keluarga pak Arisman langsung disambut hangat oleh keluarganya pak
Darto, sedangkan Amira masih bertanda tanya akan tujuan mereka datang dan sambil melihat
satu-persatu wajah keluarganya pak Darto.

“Selamat datang pak Aris, ayo langsung masuk kedalam,” sambut pak Darto, dan begitupun ibu
Azizah istrinya.

Setelah beberapa saat berbincang, pak Arisman pun mengutarakan maksud dan tujuan mereka
datang. “Begini, Pak ... maksud kedatangan kami hari ini tiada lain hanya untuk bersilaturahmi
dengan keluarganya Bapak.”

“Owh iya ... kami malah senang keluarganya pak Aris berkenan datang ke rumahnya kami,”
jawab ibu Azizah.
“Sebenarnya kami tidak enak untuk mengatakan hal utama dari kedatangan kami ini, Pak!” lanjut
pak Aris dengan senyum kecil di bibirnya.

“Walah ... pak Aris kayak orang asing aja di rumah ini, kami benar-benar bersyukur keluarganya
Bapak bisa berada di rumah kami,” jawab pak Darto setelah menyeruput kopi di tangannya.

“Begini, Pak! tujuan kami datang kemari hanya ingin mempererat tali keluarga kita,” ujar pak
Aris.

Amira yang mendengar perkataan Ayahnya itu langsung melototinya dengan wajah yang serius
dan penuh dengan rasa penasaran.

“ini anak kami Amira, kami mau perkenalkan dengan anaknya Bapak, Rian!” pak Arisman
langsung masuk keinti pembicaraan.

Sontak Amira mendengar perkataan Ayahnya itu langsung kaget, dan Dia memandang ke arah
Ibunya sambil menganggukkan kepalanya sebagai isyarat kalau Ia belum paham apa maksud
perkataan Ayahnya itu.

“Hehehe ... hal itu benar-benar menjadi kabar bahagia bagi kelurga kami, Pak!” balas pak Darto.

Setelah sekian lama perbincangan itu berlangsung, Amira benar-benar ingin segera pulang ke
rumahnya, apalagi ditambah dengan Rian yang senyam-senyum sambil menatapnya, meskipun
sesekali Ia hanya membalas dengan senyuman sinis di bibirnya.

Hari sudah sore, Amira dan keluarnganyapun pamitan pulang kepada keluarga pak Darto,
sementara Amira sudah tidak tahan untuk segera bertanya sama Ayahnya kenapa Dia ingin
dijodohkan dengan lelaki yang belum sama sekali Dia kenal, dan sesampainya di rumah, Amira
langsung bertanya pada Ayahnya.

“Maksud Ayah memperkenalkan Amira sama anaknya pak Darto itu apa, Yah?” tanya Amira.

“Ayah mau kalau kamu menikah sama anaknya pak Darto, Nak,” jawab pak Arisman pada
anaknya.

“Aku tidak mau dijodohkan, Yah. Apalagi dengan laki-laki yang belum sama sekali Aku kenal,”
kembali Amira menolak kemauan Ayahnya.
“Intinya kamu harus menikah dengan Rian, sudah bertahun-tahun kamu mengurung diri seperti
itu, emang kamu mau tidak menikah selamanya?” tegas pak Arisman pada Amira.

“Iya, Nak ... kamu harus ikuti kata-kata Ayahmu, lagian Rian itu anaknya baik,” tambah ibu
Lastri.

“Ini bukan persoalan baik dan buruknya, Bu! tapi Amira tidak mencintainya,” tegas Amira.

“Soal cinta nanti akan ada setelah kalian sudah berkeluarga, Nak! sekarang kamu siapkan diri
saja untuk jadi ibu rumah tangga,” seru Ayahnya Amira.

“Intinya Aku nggak mau dijodohkan, Aku lebih memilih menyendiri seperti ini selamanya
ketimbang harus dijodohkan dengan lelaki yang tidak Aku cintai,” tegas Amira sambil berlari
masuk ke dalam kamarnya.

“Mira ... Amira ... sini dengarkan dulu penjelasan Ayahmu, Nak,” ibu Lastri dengan nada tinggi
memanggil Amira.

Amira yang tidak terima dirinya dijodohkan memilih untuk kembali mengurung diri, baginya
menikah akan mengkhianati Reza. Karena Reza adalah satu-satunya lelaki yang Ia cintai,
sehingga Ia lebih memilih mati ketimbang harus menikah dengan lelaki lain.

BIONARASI

Abang J adalah nama penaku, sekarang umurku berjalan Dua Puluh Lima Tahun. Aku hobi
menulis sejak kelas Tiga SMP meskipun itu hanya sebatas tulisan puisi biasa, tetapi dewasa ini
Aku lebih mengarah kecerita meski tidak menarik sama sekali. Besar harapanku bisa menjadi
penulis yang bisa menerbitkan buku sendiri.

Anda mungkin juga menyukai