Anda di halaman 1dari 7

BIODATA

Nama : Nisa Sabilla

Tempat/Tanggal Lahir : Banda Aceh, 05 November 2001

Instansi : Universitas Syiah Kuala

Alamat : Jln. Tgk. Go Gajo, Batoh, Banda Aceh, 23245

No. Hp : 082246048560 (WA Only)

Email : nisasabilla05@gmail.com

Instagram : @nisaaa.sbla

Facebook : Nisa Sabilla

Motto : Hidup untuk belajar, belajar untuk hidup.

Scan KTM:
TIGA JAM
By Nisa Sabilla

Asmara termangu menatap tali gantung diri di tangannya. Dia telah berpikir ratusan
kali membuat keputusan untuk mengakhiri hidup, termasuk mengutarakan keinginannya pada
sang ayah. Gadis itu mengira ayahnya akan marah besar, lalu menolongnya dengan
mengantarkan ke psikolog.

Akan tetapi, pria berumur pertengahan enam puluh tahunan itu malah membantunya
mencarikan tali untuk gantung diri. Sekarang, ayahnya yang ngotot disapa James, —padahal
bernama asli Jamal- itu, sudah meletakkan kursi sebagai pijakan saat akan menggantung
lehernya ke seutas tali di tangannya.

“Nah, nanti kamu naik ke atas kursi. Terus, kamu kalungkan tali itu ke leher, lalu sepak kursi
buat gantung diri,” ucap Pak James.

Gadis bertubuh mungil itu tak habis pikir. Biasanya, para orang tua akan menolak dan
menangis ketika anaknya berniat bunuh diri. Terlebih lagi, sang ayah hanya memiliki dirinya
karena dua hari lalu, dia baru saja kehilangan istri dan seorang putra. Asmara malah sempat
berpikir akan mengajak ayahnya untuk bunuh diri.

Kedua netra Asmara menghangat. Air mata perlahan mengalir jatuh ke tali gantung diri itu.
Dia tidak bisa beradaptasi dengan kehilangan seperti ayahnya. Dia terlalu cepat ditinggalkan
oleh kedua orang yang sangat dia cintai. Ibu dan abangnya meninggal karena kecelakaan saat
menuju ke pasar. Abangnya yang belum pulih dari mabuk perjalanan sepulang dari
perantauan, diminta sang ibu untuk diantarkan ke pasar.

Menurut kesaksian warga setempat, saat berada di persimpangan, abangnya langsung saja
berbelok dan tanpa diduga, bus dari arah berlawanan melaju dengan kencang dan terjadilah
hal yang tidak diduga. Sang ibu meninggal karena perdarahan otak, sedangkan abangnya
meninggal di tempat.

Tak cukup sampai di situ, pacarnya yang telah bersama Asmara selama lima tahun,
mendadak memutuskan hubungan tanpa alasan yang jelas. Tinggallah dia bersama sang ayah
yang keras kepala, fanatik agama dan susah dipahami itu. Ada satu hal yang masih tidak dia
mengerti, ayahnya memberi syarat jika tiga jam sebelum Asmara gantung diri, dia harus ikut
ayahnya ke suatu tempat.

“Sudah siap? Helm mana?” tanya Pak James yang sudah siap dengan motor bebeknya.

“Buat apa pakai helm? Kan kalau misalnya kecelakaan, engga pake helm bisa langsung mati
kayak Bang Hans,” jawab Asmara.

Kedua alis Pak James mengkerut, lalu masuk ke rumah, mengambil helm hello kitty berwarna
pink. “Pakai ini, kita pake helm bukan untuk melindungi kepala dari kecelakaan, tapi untuk
melindungi duit kita dari hantu jalan raya,” ucapnya lalu menancapkan kunci motor.
Asmara menurut saja, dia malas berdebat dengan ayahnya yang seolah sangat mengenal
dirinya. Padahal sedari kecil, dia sangat jarang berinteraksi dengan sang ayah karena pria tua
itu sibuk bekerja. Perjalanan dalam kesunyian mereka lewati. Gadis itu tak bertanya apa pun.
Hal serupa juga terjadi pada Pak James, dia tak berbicara selama dalam perjalanan.

Setelah melewati satu jam perjalanan, Asmara mulai bosan dan bertanya, “Sebenarnya kita
mau ke mana?”

“Ke kota,” jawab Pak James.

Oh, baguslah kalau gitu. Aku pengen ke mall sebelum mati, batin Asmara.

Mendadak Pak James menghentikan motornya tepat di depan warung untuk membeli sesuatu.
Asmara menjauh dari motor bebek yang usianya hampir seperempat usia sang ayah, lalu
duduk di atas kursi kayu panjang. Dari kejauhan dia dapat melihat anak-anak dengan goni
lusuh di tangannya. Mereka berebut mengambil botol minuman bekas sembari tertawa riang.

Tanpa dia sadari, kedua sudut bibirnya tertarik melihat anak-anak itu. Aneh. Wajah mereka
kelihatan dekil karena panas matahari, tubuh mereka kurus kering, tetapi mereka masih bisa
tertawa?

“Kamu tau kenapa mereka masih bisa tertawa, Nak?” tanya Pak James yang tiba-tiba sudah
ada di samping Asmara. “Karena walaupun mereka telah kehilangan segalanya, tetapi mereka
tidak kehilangan harapan,” jawabnya tanpa menunggu jawaban sang anak.

Pak James duduk di samping Asmara, lalu menyodorkan susu stroberi. Mata Asmara
langsung berbinar melihat apa yang dibawakan sang ayah. “Gimana ayah bisa tau aku suka
susu rasa stroberi?”

“Ayah kan mantan intel,” jawab Pak James asal, membuat Asmara menyesal sudah bertanya.

“Memangnya apa harapan yang mereka miliki? Aku yakin umur mereka masih SMP.
Harapan apa yang anak-anak seusia mereka punya?” tanya Asmara tanpa melepaskan
pandangan dari anak-anak yang masih berebutan botol kosong itu.

“Faith, Fatih.”

“Faith, Fatih? Maksudnya?”

“Kamu tau Faith itu artinya apa?” tanya Pak James sembari menatap kedua netra putrinya.

“Keyakinan,” jawab Asmara singkat, memandang mata keriput sang ayah.

“Kamu tahu siapa itu Fatih?” tanya Pak James lagi, kali ini lebih bersemangat.

“Anak tetangga,” jawab Asmara.

Bahu Pak James turun. Jujur, dia cukup kecewa dengan jawaban si anak bungsu. Dia kira,
Asmara cukup cerdas untuk memahami maksudnya. Sementara itu, Asmara tergelak melihat
ekspresi ayahnya.
“Asmara bercanda kok, Yah. Fatih itu tokoh islam yang menakhlukkan konstantinopel, kan?”
tanya Asmara.

Pak James tersenyum puas. “Fatih mempunyai keyakinan menakhlukkan konstantinopel


walaupun dia telah gagal berkali-kali. Faith dan Fatih, kombinasi hebat untuk tetap bertahan
hidup. Kalau dipikir, bisa saja Sultan Muhammad Al-Fatih kembali ke peradaban, lalu
menjalankan hidup dengan damai, kan?”

Asmara mengangguk setuju. “Jadi, maksud Ayah, mereka punya keyakinan yang sama
dengan Fatih?”

“Iya, mereka sama-sama yakin pada Tuhan. Tidak seperti seseorang yang dua jam lalu
berniat mengakhiri hidupnya,” sindir Pak James.

Asmara mendadak berubah menjadi amat kesal. Dia meninggalkan sang ayah, lalu naik ke
atas motor. “Keinginan Asmara engga akan berubah. Ayo lanjutin perjalanannya,” pinta
Asmara bersungut-sungut.

Akhirnya, mereka melanjutkan perjalanan kembali. Dari desa Indrapuri ke kota Banda Aceh,
membutuhkan waktu hampir satu jam. Di sana, sang ayah lebih aktif bercerita di atas motor.
Pak James bercerita jika dia pertama kali bertemu dengan ibu Asmara saat menjadi korban
sekaligus relawan bencana Tsunami.

Mengenang tahun penuh keterpurukan, dia ingin mengajak Asmara ikut merasakan
bagaimana peristiwa hebat itu mengubah hidup semua orang. Mereka berhenti di depan
Musium Tsunami. Asmara tampak kecewa karena mengira sang ayah akan mengajaknya
berbelanja di satu-satunya mall di Banda Aceh.

“Ayo masuk,” ajak Pak James setelah membuka helm.

Asmara menarik langkah dengan malas, memasuki gedung hasil rancangan salah satu tokoh
publik yang berbentuk gelombang. Acap kali dia berdecak kagum dengan bangunan megah
itu, sembari menunggu ayahnya memesan tiket.

“Ini, satu buat Ayah, satu buat kamu,” kata Pak James sembari menyodorkan kartu berbentuk
persegi panjang.

Memasuki museum, mereka disambut lorong gelap, diapit dinding yang dialiri air. Membuat
udara di lorong tersebut terasa dingin dan lembab, ditambah dengan suara tasbih yang entah
berasal dari mana. Asmara menciut dan merangkul lengan ayahnya. Dia seperti merasakan
bagaimana korban-korban tsunami berlarian sembari menggenggam tangan orang-orang
tercinta.

Dia bernapas lega setelah keluar dari lorong pengap itu. Melihat anaknya ketakutan, Pak
James membelai pucuk kepala Asmara. Merasakan ubun-ubunnya diusap dengan lembut,
tubuhnya seakan direngkuh oleh seluruh kehangatan di dunia ini. Tanpa terasa, kakinya
melangkah begitu saja, memasuki ruangan berbentuk corong.
Di seluruh sisi dindingnya, tertulis banyak nama-nama yang tidak dia kenal. Mungkin ratusan
bahkan ribuan nama? Dia tidak tahu dengan pasti.

“Nama-nama siapa ini?” tanya Asmara.

“Ini nama-nama korban yang meninggal karena tsunami,” jawab pengunjung di sebelahnya.

Asmara mengangguk paham. Lelaki berkacamata itu melanjutkan. “Entah kebaikan apa yang
sudah mereka perbuat hingga namanya abadi dalam ruangan penuh dzikir dan bacaan ayat
suci ini,” ucapnya sembari mengembuskan napas.

Asmara tersadar. Benar juga, ruangan ini diisi oleh lantunan ayat suci. Dia melihat orang-
orang yang mendongak ke atas. Penasaran dengan apa yang mereka lihat, dia pun ikut
mendongak. Lafaz Allah bertahta dengan agung di puncak ruangan yang mengerucut ke atas
itu.

Indah bukan main. Hatinya terasa hangat. “Apa nama kita juga bisa terukir di dinding ini?”
kalimat itu terlontar begitu saja dan didengar dengan jelas oleh ayahnya.

“Nama kita mungkin tidak bisa terukir di batu dinding ini, tetapi nama kita pasti akan terukir
di batu nisan,” jawab Pak James bersahaja.

“Mari ke ruangan lain,” ajak pengunjung tadi.

Mereka lalu bersama-sama keluar dari ruangan itu, lalu pria yang tadi berbicara dengan
Asmara berbisik, “Jangan buru-buru ingin mati, kamu masih terlalu muda. Yah, memang
umur tidak ada siapa yang tahu, tapi apa kamu benar-benar ingin mati secepat itu?”

“Kalau pada akhirnya tua muda akan mati, jadi siapa peduli tentang kapan kematian itu
datang?”

Tanggapan Asmara membuat laki-laki itu berjalan mendahuluinya. Pak James sampai
menyenggol lengan Asmara karena ucapannya yang tidak santun. “Kamu ini,” tegur Pak
James, lalu mendahului Asmara untuk masuk ke ruang teater.

Di sana, Asmara harus bertemu lagi laki-laki yang tadi. Akan tetapi, menyadari kehadian
Asmara, pria yang dia perkirakan lebih muda dari ayahnya itu, pindah ke kursi belakang
meninggalkan seorang wanita yang ikut bersamanya. Tidak ada pilihan lain, Asmara pun
terpaksa duduk di samping wanita itu.

Pintu ditutup, lampu dimatikan. Layar di depannya menyala dan menampilkan video
dokumenter tentang bencana Tsunami tahun 2004 silam. Asmara menyimak dengan baik isi
video itu yang menunjukkan detik-detik gempa, bagaimana orang-orang terus menyebut
nama Tuhan hingga gelombang tsunami datang dan menggulung semua yang terbentang di
daratan dengan tergesa-gesa.

Tak peduli apakah itu bayi, anak-anak, remaja sepertinya, dewasa dan lansia, semua
dilahapnya. Gelombang itu seperti kaki tangan kematian yang tak memandang usia. Sebelum
video berakhir, ditampakkan orang-orang yang berebut makanan di pengungsian. Dia merasa
bersyukur tak perlu melewati itu semua. Anak-anak di dalam video itu mungkin seusia
abangnya yang telah meninggal. Jika dia menonton video itu dengan sang abang, pasti
mereka sudah saling mengejek.

Air mata Asmara kembali menetes. Sehelai tisu tersodor, dia mengikuti tangan pemberi tisu
hingga melihat wanita di sampingnya dengan mata sembab. Gadis itu menerima tisu tersebut
dan menyapu kedua netranya.

“Videonya bagus,” ucap Asmara berbasa-basi.

“Iya,” jawab wanita di sebelahnya. “Saya jadi teringat anak-anak saya yang jadi korban
tsunami.”

“Anak-anak Ibu?”

“Iya, yang berbicara sama kamu tadi … suami saya. Pagi itu, saya sedang menyiapkan suami
saya untuk ikut senam rutin di hari minggu. Anak kembar saya yang saat itu masih berusia
empat tahun, merengek untuk ikut ayahnya.”

Wanita itu menjeda ucapannya untuk mengelap cairan bening dari hidungnya.

“Anak kembar?” tanya Asmara tidak percaya. Sayang sekali, batinnya.

“Iya, padahal saya dan suami sudah mendaftarkan mereka ke sekolah dini, mengatur semua
fasilitas untuk tumbuh kembang mereka hingga dewasa. Tetapi takdir berkata lain. Jika
meraka masih hidup sampai sekarang, dia pasti sudah seusia kamu,” terangnya sembari
mengelus bahu Asmara.

Dada kiri Asmara terasa nyeri. Ah, dia menyesal telah menyakiti hati bapak-bapak tadi.
Lampu dinyalakan. Semua pengunjung merangsek keluar, begitu pun dengan pria tadi. Dia
izin meninggalkan wanita itu dan mengejarnya untuk meminta maaf.

Tanpa diduga, ternyata sang ayah lebih dulu menahan pria itu dan tampak sedang
membicarakan sesuatu. Lelaki berkacamata itu langsung mengalihkan pandangan pada
Asmara saat menyadari kehadirannya.

“Pak, saya minta maaf untuk kejadian tadi, saya engga tau kalau-.”

Suara Asmara hilang begitu saja saat pria itu menarik tangan kirinya dan melihat garis tinta
pulpen melintang di atas nadi. Pria itu menghela napas dan berkata, “Jangan khawatir, Nak
Mara. Saya seorang psikiater, kalau kamu butuh bantuan saya, kamu boleh menghubungi
nomor di kartu ini.”

Pria itu mengeluarkan kartu nama dan menjulurkannya pada Asmara. “Maut memang tak
memandang usia. Tapi mengakhiri hidup sebelum tanggal jatuh tempo, tak benar juga,”
nasehatnya, lalu mencubit pipi tembem asmara.
Gadis itu cepat-cepat menghapus tinta pulpen di tangan. Niatnya, dia ingin mengakhiri hidup
dengan mengiris urat nadi, tetapi dia urungkan karena takut kesakitan. Dia tidak berbicara
apa pun sampai sang ayah membawanya ke pelabuhan kapal. Di sana, dia dapat menghirup
udara yang bercampur asin air laut. Tidak sejernih udara di desanya, tetapi udara itu cukup
bisa memberinya ketenangan.

Mereka terdiam cukup lama sembari memandang hulu hilir orang-orang yang naik turun
kapal. “Apa mereka tidak takut kapal itu tenggelam?” tanya Pak James, pura-pura tidak tahu.

“Mana mungkin tenggelam. Kan nahkodanya pasti udah dijamin berpengalaman,” jawab
Asmara sembari melempar kerikil ke lautan.

“Begitu, ya? Lalu, kenapa sulit sekali percaya pada Tuhan?”

“Maksud Ayah?” Asmara kebingungan.

“Kapal itu dikendalikan oleh nahkoda yang tidak mereka kenal, kan? Jika kita bisa
mempercayai perjalanan laut padanya, kenapa kita tidak bisa mempercayai perjalanan
kehidupan yang sudah diatur oleh Tuhan?”

Penjelasan sang ayah terlalu menusuk. Jika nasihat itu berwujud pedang, pasti tubuhnya
sudah berdarah-darah. Asmara menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Kembali
terulang memori saat terakhir kali dia mencium almarhum abang dan almarhumah ibunya.
Dia mungkin menjadi piatu dan merasakan sakit yang luar biasa. Akan tetapi, orang tua yang
ditinggalkan anaknya? Dia yakin, rasa sakitnya melebihi apa yang dia rasakan.

“Ayah!” seru Asmara ketika menyadari sesuatu yang sangat penting. Mata Asmara berkaca-
kaca. Fatal, dia terlambat menyadari. “Bagaimana rasanya kehilangan seorang anak ...
sekaligus istri?”

Mata Pak James mengembun, perlahan hidung mancungnya memerah. “Rasanya tidak dapat
dipikirkan,” jawabnya.

“Ayah. Maafin Mara, Mara telat sadar kalau rasa sakit yang Ayah tanggung lebih dari Mara.
Maaf, Mara terlalu egois.”

Pak James merentangkan tangan dan memeluk putrinya. “Tidak apa, Nak. Sudah cukup,
sudah cukup ibu dan abang kamu yang pergi. Kamu jangan ikut-ikutan ninggalin Ayah ya,
Sayang. Kalau kamu mati, buat apa lagi Ayah hidup?”

Kata orang, waktu dapat menyembuhkan rasa sakit, tetapi menurutku, waktu tidak dapat
menyembuhkan sakit emosional. Kita perlu belajar merelakan, beriringan dengan waktu
yang terus berjalan, batin Mara.

-TAMAT-

Anda mungkin juga menyukai