Anda di halaman 1dari 15

Tok tok tok. Terdengar bunyi ketukan pintu dari depan rumah Aki Adi.

“Aki Adi! Kami ingin mendengarkan cerita seram lagi Pak! Ayoklah Pak!” teriak kami dari
depan rumahnya.

Anak- anak itu adalah aku, Ratna, Bastian dan Asmara; kami adalah anak-anak SMP yang
tinggal di Desa Sukajadi dan sering mengunjungi rumah Aki Adi untuk mendengar cerita
khasnya. Tidak bisa dipungkiri, memang cerita Aki Adi itu sudah terkenal di kampung kami,
banyak anak yang berbondong-bondong untuk mengunjungi rumah beliau untuk
mendengarkan ceritanya dan kami yang sedang liburan pun ingin memenuhi liburan dengan
seru.

Pintu rumah pun akhirnya terbuka, “Kalian siang-siang datang kesini untuk mendengar cerita
bapak? Bukannya lebih seru kalau malem dengernya? Hahaha, bapak bercanda, sini ayo
masuk,” kata Aki Adi dengan penuh senyum dan tawa.

Ia tampak tidak kaget dengan kehadiran kami di depan rumahnya. Setelah dibukakan pintu,
kami semua segera masuk ke ruang tamu Aki dan duduk manis, seperti anak kecil yang tidak
sabar mendengarkan cerita favoritnya.

“Ayok Ki! Kami udah bela-belain cepet makan loh pak buat denger cerita aki. Aki gak merasa
terharu gitu?” tanyaku dengan muka yang merengut; anak-anak lain dan Aki Adi pun
terkekeh mendengar apa yang dikatakanku.

“Lebay lu Alif, tapi emang bener ki, kita tadi buru-buru loh,” kata Ratna, melanjuti apa yang
dikatakanku sebelumnya.

Aki Adi pun hanya terkekeh dan mau tak mau hanya mengiyakan keinginan kami.

“Ya sudah, aki mulai ceritanya.”

Kami langsung duduk dengan tegap dan terlihat fokus terhadap apa yang akan diceritakan
Aki Adi, seolah-olah ini merupakan berita yang begitu penting.

“Jadi konon katanya, Aki sih sendiri gak pernah kesana jadi juga kurang tau, tapi katanya
Gunung Salak itu banyak cerita mistisnya. Banyak sekali. Dari nenek-nenek tua yang ditebak
sebagai Mpu dari jaman Kerajaan Padjajaran sampai pasukan tentara gaib. Banyak kejadian
di Gunung Salak yang bahkan susah dijelaskan dan sering dibilang tak masuk akal. Katanya,
disana juga ada binatang buas raksasa yang bisa dibilang gak masuk akal. Ada juga misteri
kampung setan yang katanya malem malem itu berisik, padahal mah teu aya orang. Tapi
yang menurut Aki paling serem itu kerajaan Padjajaran yang katanya sekarang ada di atas
Gunung Salak, sedangkan keruntuhan kerajaannya aja gak tau karena apa, semuanya tetap
misterius. Ada yang bilang ilang, ada yang bilang saat Prabu Siliwangi mati, dia bawa
kerajaannya juga. Gak tau juga Aki.”
Mulut kami semua membulat seperti anak yang baru saja belajar membaca vokal, kecuali
Asmara. Tanpa disadari, suasana sudah menjadi senja, tetapi kami belum juga ingin pulang
dan masih merasa penasaran dengan ceritanya.

“Ki, ki, trus kan kita tinggal dibawah kaki Gunung Salak, kok gak pernah liat gitu pak? Kan jadi
penasaran gitu,” tutur Bastian; kami semua pun lalu ikut bertanya-tanya.

“Ya teu aya atuh, kumaha éta. Kita kan di kaki gunung, itu kan di tengah-tengah gunung,
jauh pisan,” kata Aki sambil tertawa mendengar apa yang dikatakan oleh Bastian

“Semua kejadian-kejadian itu memang bener,” kata Asmara dengan volume yang begitu kecil
nan halus dan nada yang begitu monoton.

Kami dan tentu juga Aki melihat kearahnya dengan bingung; tak hanya itu, kami juga
merinding mendengarnya.

“Ah tong nyingsieunan urang, mana udah jam magrib. Jangan sembarangan dong!” gumam
Ratna sambil mendekati badannya ke Bastian.

Tentu hal yang dikatakan Asmara cukup mengkagetkan kami semua, akan tetapi
ditambahnya suasana sekitar kami yang mulai gelap dan sunyi, hal yang seharusnya tidak
begitu menakutkan kini cukup membuat kami semua merinding ketakutan kecuali Aki yang
masih terlihat biasa saja. Aku yakin, walaupun Aki terlihat biasa saja, Ia pasti sangat
kebingungan dan sedikit ketakutan; mukanya yang awalnya tersenyum kini terlihat gelisah.

“Kok dia bisa tau? Bukannya dia sendiri aja gak tau ceritanya? Lah kok bisa?” gumamku
dengan suara yang begitu kecil, sambil mendekati badanku ke Aki.

“Gak ada kok, tenang. Kalo emang, kita juga jauh kan tinggalnya dari sana? Ya memang deket
ke salah satu jalur yang pendaki lewatin, cuman kan tetep aja masih jauh dari tempat
lokasinya,” jawab Aki sambil menekan setiap suku kata yang Ia ucapkan agar terdengar oleh
kami semua; Ia tahu bahwa kami semua merinding ketakutan.

“Ah gak usah ngawur!” jawabku kepada Asmara, “Udah pulang-pulang. Udah magrib nih,
nanti dicariin lagi dah.”

Aki hanya melihat mereka dengan heran, apalagi terhadap Asmara. Setelah aku mengatakan
itu kepada mereka semua, kami semua bergegas ke depan rumah Aki dan menggunakan
sepatuku sambil sedang meneriaki Aki dari depan rumahnya, “Aki kami pulang dulu, nuhun
ki.”

Di perjalanan, semuanya tidak berbicara sama sekali; pada saat itu juga, Bastian mendadak
berbicara ditengah keheningan yang kami buat, “Kita anter Asmara dulu yuk,” ucap Bastian
sambil memberi kode kepadaku dan Ratna. Mengerti apa yang ingin disampaikan Bastian,
kami pun setuju dengan idenya.
Selama diperjalanan, kami semua tidak mengobrol. Ratna masih terlihat ketakutan,
sedangkan Bastian mencoba untuk melihat sekelilingnya; tampaknya dia mencoba untuk
mengalihkan pemikirannya. Asmara… Asmara tentu terlihat santai, dengan senyum yang
terukir di wajahnya; akan tetapi senyuman itu bukan tipe-tipe senyum yang manis,
melebihkan senyum tapi lebih pada senyuman menyeramkan yang kamu lihat di film horror.

Setelah apa yang dirasakan sebagai 1 jam, kami pada akhirnya sampai di rumah Asmara.

“Ibu, Ayah, aku pulang,” sahut Asmara dari depan halamannya; tak lama kemudian, orang
tuanya pun membukakan pintu untuknya.

“Dadah, sampai jumpa besok ya,” kata Asmara sambil melambaikan tangannya ke kami.

Tentu, dia tidak lupa untuk bersenyum kepada kita semua.

“Dadah Asmara,” jawab Ratna dengan senyum yang terlihat sangat dipaksa. Setelah itu,
kami bergegas melanjuti perjalanan kami kembali ke rumah.

Saat berjalan, aku mendadak memikirkan sesuatu.

“Yang dibilang Asmara. Itu sebenernya beneran gak sih? Gue jadi takut, tapi penasaran juga
jadinya. Gimana kalo kita kesana bareng-bareng besok subuh? Sama Asmara juga. Bisa aja
ada yang dia sembunyiin dari kita gitu. Tapi jujur menurut kalian janggal gak sih yang dibilang
Asmara?” ku tanya mereka tentang pendapat mereka.

Mereka tetap diam, tidak menjawabku. Akhirnya aku menoleh kearah mereka; mereka
berdua terlihat sedang bengong sambil berjalan. Melihat mereka seperti itu, aku jentikkan
jariku di depan wajah mereka masing masing, “Halo? Halo? Denger gak sih? Hey, jangan
bengong, udah magrib tau, gak boleh bengong.”

“Oh iya, maap,” kata mereka berdua secara bersamaan, “Bilang apa?” tanya Ratna.

Aku hanya bisa menggeleng-geleng palanya, “Hadeh, gak jadi deh. Tapi mau gak kita
berempat kesana? Ke Gunung Salak. Kita cari tau gitu.”

Ratna dan Bastian hanya bisa berdiri beku mendengar pertanyaanku, memang mereka takut
dengan cerita yang diceritakan Aki, tapi mereka juga penasaran tentang pernyataan Asmara;
tampaknya rasa dilemma menghantui diri mereka berdua.

“Oh, emm, ayo. Mana tau kita ketemu sesuatu yang kayak spektakuler atau kayak “WOW!”
gitu,” jawab Bastian, yang tentu tampak berusaha mengalihkan pikirannya.

Sedangkan Ratna hanya mengganguk setuju dengan apa yang dikatakan oleh Bastian; Ia
sama sekali tidak tersenyum atau terlihat antusias, sangat berbeda dengan ekspresinya
sebelum kami menggunjungi rumah Aki.
“Bener ya? Setuju semua? Oke, nanti gue telfon si Asmara, trus besok ketemuan di
rumahnya Bastian” beritahuku kepada mereka berdua.

Setelah semua setuju, kami dengan buru-buru kembali kerumah masing-masing untuk
membereskan barang-barang kami.

Memang ini bukan petualangan kami yang pertama, tapi ini ada petualangan mistis kami
yang pertama; tentu tidak salah dong jika aku merasa semangat tentang ide yang diberikan
olehku untuk mengeksplor tempat itu. Malam itu, aku memilih untuk tidur lebih pagi hari
itu, agar esok hari datang lebih cepat daripada apa yang aku rasakan.

Tanpa disadari, pagi pun datang. Ayam di desa mulai berkokok. Kukukruyuk, kukukruyuk.
Aku pun terbangun mendengar suara alarm yang alami.

“Bangun kak! Udah ada makanan!” teriak adikku; namanya Shafira. Dia sekarang 6 tahun,
lebih muda 8 tahun dariku dan tentu, kami serumah begitu menyayanginya.

“Iya sebentar Sha, nanti kakak turun ya. Mau mandi dulu,” jawabku kepadanya.

Aku bergegas memasuki kamar mandi yang ada di sebelah kamarku dan mulai mengguyur
asal-asalan. Hei, bukan salahku, siapa sih yang gak semangat jika dapat kesempatan untuk
berpetualangan ke tempat yang baru.

Dengan buru-buru, aku menyelesaikan mandiku dan merapikan barang-barangku dan turun
kebawah untuk makan sarapan yang dibuat Ibu sejak subuh.

Setelah makan, aku mengambil semua barang-barangku, “Bu, aku pergi dulu ya, kayaknya
aku nginep rumah Bastian hari ini.”

Bukan tidak ingin jujur kepada Ibu, tapi jika ku beritahu yang sesungguhnya, pasti Ia tidak
setuju.

“Iya nak, hati hati ya. Jangan ilang. Jangan ke tempat yang berbahaya juga.”

“Iya bu, aku pergi dulu bu!” sahutku dari atas sepedaku di depan rumah.

Desa terlihat ceria hari ini; burung berkicau, matahari bersinar terik, anak-anak berteriak
girang sambil bermain di taman, dan juga hembusan angin. Semua terlihat seperti biasa.
Aku mempercepat dayungan kakiku agar dapat sampai lebih cepat.

Tidak lama kemudian, aku sampai di rumah Bastian. Tentu, mereka semua sudah sampai di
sana; wajar, diantara kami berempat, rumahku paling jauh, ya memang tidak segimana jauh,
akan tetapi dibandingkan mereka yang lain, tentu lebih jauh.

“Lama amat sih,” sahut Ratna.


“Iya nih lama banget!” dilanjuti oleh Asmara.

“Maap, maap, rumah gue kan jauh, gimana gak lama. Lu orang mah jalan kaki 1 menit udah
nyampe.”

Mereka terkekeh mendengar pernyataanku. Memang mereka sengaja mengatakan itu, tapi
tentu bukan serius.

“Udah lah, mending jalan sekarang selagi masih pagi. Ini kita kasih catatan ke Aki aja gak
sih? Jadi setidaknya ada satu orang yang tau kita tu dimana. Tapi lu orang ada yang kasih tau
orang tua lu orang?” tanya Bastian.

Kami semua menggelengkan pala kami. Memberitahu orang tua kami itu sama saja seperti
menggali liang lahat sendiri. Mereka akan memulai ceramah mereka dengan “Bapak sama
Ibu bukan mau marah, tapi kalian itu…” Selalu sama; kami tahu jelas sifat orang tua kami.

“Ya makanya, kita kasih tau Aki aja. Kita taro di kantong surat, selipin ke bawah pagar trus
kita langsung pergi. Gimana idenya menurut kalian?” usul Bastian.

“Boleh juga sih idenya, ya udah ayo cepetan, udah mau jam 9 loh ini!” jawab Asmara sambil
terlihat sedikit kesal terhadap teman-temannya yang lambat.

Dengan itu, kami berburu-buru pergi ke rumah Aki dan meninggalkan sepucuk surat di
bawah pagar. Setelah itu, kami memulai perjalanan mistis kami yang pertama dan pergi ke
tempat pintu masuk trekking yang dinamakan Ajisaka, dimana merupakan salah satu tempat
dimana tidak terlalu banyak orang memulai hiking untuk naik ke Gunung Salak.

Rumah kami tidak jauh dari sana, mungkin sekitar 20 menitan dengan berjalan kaki, kami
dapat sampai disana. Dan tidak jauh dari sana ada curug Bernama Curug Nangka. Karena itu,
dalam waktu luang, kami sering kesana untuk sekedar berendam atau bermain air. Namun,
kedatangan kami kali ini berbeda, dan tentu, kami sampai disana kurang lebih 20 menitan.

Sambil berjalan ke sana, Ratna bertanya kepada kami, “Kalo misalkan di sana kita ketemu
hal-hal aneh itu gimana?”

Semua terdiam mendengarkannya.

“Gak apa apa, gue bakal record semuanya kok. Ini aja ada bawa 2 kamera vlog, satu buat
digantung di tas buat di belakang, satu buat di pegang. Jadi tenang, kalo ada hal-hal aneh,
pasti udah ke record juga kan.”

Tak lama, kami telah sampai di pintu masuk jalur trekking Gunung Salak. Walaupun sepi,
terdapat beberapa orang yang berminat untuk hiking di gunung yang angker ini. Bastian pun
ikut mengantri sedangkan aku, Ratna dan Asmara pergi membeli air untuk kami bawa di
atas sana. Apalagi banyak yang mengatakan jika diatas tidak ada banyak sumber air untuk
minum.
Setelah membeli air, kami pun mengobrol dengan beberapa bapak-bapak yang sedang
duduk dekat di mana kami membeli air.

Tak lama kemudian, Bastian berteriak “Ayo cepetan! Giliran kita nih!”
Mendengar teriakan Bastian, kami bertiga pun berpamit dengan bapak-bapak. Akan tetapi
salah satu dari bapak-bapak tersebut menghentikan kami sejenak, “Nak, ingat ya, jika kamu
merasa ada suara-suara yang memanggilmu di sekitarmu, jangan pernah kamu merasa
penasaran dan mencari tahu. Dan juga suara gamelan, jangan pernah kau ikuti suaranya.
Jangan juga kamu petik bunga anggrek di atas sana.”

Mendengar apa yang dikatakan oleh bapak itu cukup membuat kami bingung. Disaat aku
ingin bertanya, Bastian pun meneriaki kami lagi, “Cepetan gak! Lama banget sih!” Aku pun
dengan buru-buru menjawab bapak tersebut, “Iya pak, makasih buat amanatnya. Akan kami
dengarkan pak.” Setelah itu, kami pun berpamit lagi dan berlari ke arah Bastian dan
perjalanan mistis kami pun dimulai.

Pada awalnya, semuanya cukup santai dan kami tetap mengobrol sambil mendaki. Dengan
peralatan kami yang cocok, perjalanannya masih dapat kami lintaskan dengan baik. Suasana
yang begitu cerah dari matahari yang cukup terik dan juga angin yang menghembus pelan
cukup membuat kami merasa rileks dan santai, walaupun hanya kami berempat yang
berada di jalur itu.

Dalam hanya 1 jam 30 menit, kami tentu sudah sampai di Pos Lapas Pakis. Di sana, kami
beristirahat sejenak untuk mengumpulkan energi yang telah kami gunakan untuk mendaki.
“Gila, viewnya bagus amat cuy. Keren, ya sih udah siang juga jadi view Bogornya keliatan
gitu,” ucap Bastian. “Iya gue setuju kali ini,” jawab Ratna. Aku mengganguk, setuju dengan
pernyataan Bastian.

Akan tetapi, sejak tadi Asmara tetap diam dan tidak berbicara. Meski kami mengajaknya
untuk mengobrol, itupun hanya dijawab secara singkat. “Ah mulai cape kali ya,” aku pikir
sambil melihat Asmara dengan penuh kekhawatiran. “Hei, lu gak apa apa? Kok dari tadi
diem banget?” tanyaku kepada Asmara.

“Gak apa apa kok. Lu orang di sini jangan terlalu berisik, ngeganggu orang tadi lewat tau.
Sampe ngeliatin kita mereka,” kata Asmara. Kami bertiga membeku setelah mendengar apa
yang dia katakan.

“Orang-orang?” tanya Ratna, sambil bergemetaran.

“As, yakin lu liat orang lain?” tanyaku kepadanya.

“Iya, barusan. 4 orang. Semuanya pake baju hitam. Stick hikingnya juga bukan pake kayak
kita, malahan pake kayu. Udah rapuh juga kayaknya kayunya. Tapi mereka gak pake baju
kayak kita, kayak jubah gitu. Trus liatin kita mulu tau, udah naik aja masih liatin kita mulu.”
Mendengarkannya membuat bulu kuduk kami berdiri; tentu, itu cukup menakutkan.
Seakan-akan mengerti kondisinya, Bastian dengan cepat mengalihkan pembicaraan, “Ayo
lanjutin aja perjalanannya, gak usah dipikirin. Kita kecilin suara kita aja.” Dengan itu kami
bergegas berdiri dan melanjuti perjalanan kami.
Agar kami tidak ketakutan, aku tetap mengajak mereka mengobrol untuk mengalihkan
pikiran kami tapi dengan volume yang kecil. Tanpa kami sadari, kami pun sudah sampai di
Pos Ksatria Beuheung Awi.

“Mau lanjut atau gimana?” tanya Ratna, “Masih pada cape gak?” Semua menggelengkan
kepalanya, “Lanjut ajalah Rat, biar cepet sampenya,” kata Asmara sambil jalan di depan
kami. Kami bertiga juga lanjut berjalan.

“Lif, Rat,” bisik Bastian, “Itu sih Asmara. Dia kenapa sih? Ceritanya ngawur gitu pake segala
orang-orang apalah itu entah. Aneh ceritanya, beneran.”

“Ya sih, gue juga gak tau. Mungkin sesuatu yang bisa dia liat tapi bukan kita?” ku tanya.

“Bisa jadi dia yaaaa, begitu. Lu berdua pasti ngerti lah maksud gue apaan. Ahhhh, gak usah
ikutan ngawur lu berdua. Bikin takut aja sih. Mana masih lagi di sini,” sahut Ratna yang
sedang mencoba untuk tidak benar-benar teriak di atas gunung.

“Gak tau sih, tapi emang bukannya si Asmara bisa liat sesuatu yang kita gak bisa? Katanya
sih gitu…” jawabku dengan suara yang gagap.

“Udah gak usah dipikirin, lanjutin aja yuk! Kalo bisa gak usah istirahat lagi lah, sampe
puncak, kita turun. Toh kita emang kesini buat liat ceritanya nyata atau enggak. Ngapain kita
harus mikir terlalu jauh dulu. Kalo enggak ya mungkin memang gak ada atau kita gak bisa
liat, kalo ada yang memang yang diceritakan ya bener gitu. Dibawa simpel aja gitu, santai. Ya
udah ayok!” kata Bastian sambil mencoba meyakinkan kami.

Setelah mengatakan seperti itu, Bastian dengan buru-buru, menyusul Asmara yang kini
sudah mulai menjauh dari kita. Mungkin Ia tidak sadar kami berada jauh di belakangnya.
Kami berdua pun ikut menyusul dan akhirnya kami berempat berada di kecepatan yang
sama.

Dari sana, perjalanan kami pun tidak terlalu mengerikan. Selepas berjalan sekitar 1 jam an,
ada pertigaan dimana jalur Ajisaka yang kami lewati menyambung dengan jalur dari Curug
Nangka. Di sana lah kami mulai bertemu beberapa pendaki, namun tetap saja, tidak terlalu
banyak pendaki yang naik dan masih bisa hitungan jari.

Tak jauh dari pertigaan itu, terdapat jalur yang bercabang. Satu yang berbatuan dan satu
yang lebih mulus.

“Kenapa jalurnya yang berbatuan ya?” tanya Bastian, “Padahal ada yang mulus gitu.”

“Gak tau gue, eh tapi liat, di jalur berbatuan ada tanda tali. Ikutin yang ada tandanya aja. Lu
ngapain coba walaupun mulus lu ke sana padahal gak ada tandanya?” jawab Ratna.
Asmara tetap diam tak menjawab apa apa dan mengambil jalur berbatuan itu. Kami semua
terlihat bingung dengan kelakuan Asmara beberapa waktu ini. Lebih diam daripada biasanya
merupakan deskripsi paling tepat untuk situasi ini. Namun kami mencoba untuk tidak
memikirkannya lagi.

Detik berubah menjadi menit dan menit berubah menjadi jam. Tak terasa, kami pun
akhirnya sampai di Puncak 2 Gunung Salak. Setelah perjalanan hampir 8 jam total, kami
akhrinya sampai di tujuan. Aku mencoba untuk mengecek jam tangan di tangan ku; ternyata
sudah jam 4 sore.

Walaupun sudah begitu sore, dengan view kota Bogor yang begitu indah dari atas puncak
gunung, kami pun tidak merasa menyesal untuk naik ke Gunung Salak ini, ya walaupun ada
kejadian aneh sedikit tadi.

“Gilaaaaaa, gue suka banget viewnya. Kamera mana?” tanya Bastian kepada ku.

“Lah kan gue kasih ke lu tadi, eh enggak deh, di tas gue. Coba lu cek. Ambil aja buat foto”

“Wah, cantik,” ucap Asmara.

“Fotoin gue dong,” kata Ratna kepada Bastian yang telah mengambil kameraku dari dalam
tasku.

Seusai kami semua menikmati pemandangan dari puncak gunung, kami mencari tempat
untuk beristirahat.

“Jujur, menurut gw, apa yang di bilang Aki gak nyata. Nih buktinya gak ada apa apa di sini.
Ya palingan soal tadi pagi doang, cuman itu mah yaaa biasa aja gitu. Semuanya fiktif lah
intinya,” kata Bastian dengan mulutnya yang paling suka asal nyeplos.

“Bisa gak jangan bilang gitu?” jawab Asmara dengan spontan dan suara yang begitu
menegangkan dan serius.

Kami tentu hanya bisa terdiam. Hanya itu yang bisa kami lakukan sejak tadi pagi. Asmara
terlalu berbeda bagi kami, bagaikan di dalamnya itu roh yang berbeda dan bukan Asmara.
Jujur, aku sendiri cukup takut dengan pergantian Asmara.

“Santai dong As,” jawab Bastian, “Lu kenapa sih beberapa hari ini? Gonta ganti kepribadian
mulu. Sikap lu juga beda. Sorry nih kalo yang gue bilang bakal nyakitin hati lu atau gimana
tapi lu gak bisa bercandaan gitu sih.”

“Beda? Gue yang beda? Kok dari gue bilang jangan ngomong gitu kok malah jadi ngomongin
gue? Lu nya yang jangan asal nyeplos kalo ngomong, belom aja lu liat beneran. Gue doain lu
beneran ilang trus liat semuanya baru mungkin mulut lu jadi gak lemes.”

“WOI SANTAI DONG! GAK USAH PAKE DOA-DOA SEGALA!” sahut Bastian kepada Asmara.
Ia sudah tidak bisa tahan dengan pergantian Asmara dan amarahnya pun sudah mulai
meluap bagaikan kawah di gunung. Bagaimana anak yang begitu manis dan ramah senyum
menjadi anak yang seperti ini? Apa yang terjadi padanya? Kami sendiri juga tidak tahu.

Perdebatan pun terjadi selama lebih dari setengah jam.

“Udah, udah. Lu berdua udah berantem setengah jam tau. Kurang? Tunggu kita pulang. Ini
udah jam 5 lewat tau. Nanti kita dicariin baru tau,” kata Ratna yang sudah mulai kesal
dengan perdebatan panas antara dua sahabatnya.

“BILANG SAMA TEMEN LU!” teriak Bastian.

Aku memijat pelipisku.

“Hadeh, gak kelar kelar,” ku bisik ke Ratna.

Ratna hanya bisa tersenyum pasrah karena dua sahabatnya ini. Ya mungkin dia juga sudah
cape dengan mereka berdua sepertiku. Kami hanya menontoni mereka selama setengah
jam terakhir.

“Udahan, kita pulang, kita pulang,” kataku dengan suara tegas.

Jika dibiarkan begini, perdebatan yang masih panas ini tidak akan berakhir. Bastian, Ia
sangat keras kepala dan teguh pada pendiriannya. Sedangkan Asmara, kami pun tak yakin
dengan Asmara. Asmara yang sekarang terlalu jauh berbeda dengan Asmara yang kami tau.

Setelah upaya memisahkan mereka, aku dan Ratna memutuskan untuk kami berdua masing-
masing berjalan dengan salah satu dari mereka; dia dengan Bastian dan aku dengan Asmara
(karena Ia takut dengan berubahan Asmara yang begitu drastis, makanya Ia menyuruhku
untuk berjalan bareng Asmara).

Pada akhirnya, kami pun bergegas turun karena matahari sudah mulai tenggelam dan juga
hanya kami berempat yang tersisa di atas puncak gunung. Jalur yang awalnya sangat terlihat
dengan jelas karena sinar matahari yang bekerja sebagai senter untuk kami kini menjadi
jalur yang gelap gulita.

“As, lu kenapa beberapa hari ini? Kayak beda aja gitu, lu bener bener gak apa apa?”

“Gue juga gak tau Al, bingung. Kayak beberapa hari ini gue selalu gsk bisa tidur nyenyak, pas
tidur kayak ada yang manggil-manggil gue terus suruh gue buat ke sini. Itu sebelum Aki
cerita loh. Gue kayak gimana ya, diminta ke sini? Gak tau deh gue. Buat apa juga gue gak
ngerti.”

“Ohhhh, ya udah deh. Gue kira lu kenapa gitu.”


“Oh, enggak kok, cuman ya gitu. Karena mereka emang nyata. Mereka memang ada. Cerita-
cerita itu? Memang terjadi, banyak dari mereka yang jadi korban cerita ke gue, dan lu tau
merekanya itu siapa kan?”

“Iya gue ngerti kok. Ya udah deh, kita pulang aja sekarang.”

Aku menoleh ke belakang, di mana seharusnya Bastian dan Ratna berada.

“Lah mereka kemana?” ku tanya kepada Asmara.

“Gue gak tau, kok bisa gak ada? Jelas-jelas kan tadi mereka ada di belakang kita.”

“Gimana kalo kita naik lagi trus cari mereka?”

“Al, lu yakin mau naik lagi? Udah mulai magrib loh. Gue sih ikut-ikut lu aja, cuman lu yakin
gak?”

“As, mereka itu temen kita. Masa kita tinggalin? Ya gak apa apa sih lu kalo mau turun
duluan, gue naik aja dulu nyari mereka.”

“Gak, gue gak boleh tinggalin lu disini sendirian. Dari tadi di sini banyak penghuninya dan lu
sama sekali gak terbiasa sama semua ini.”

“Ya udah kita pergi bareng. Dengan syarat lu gak boleh jauh dari gue juga. Gue pake tali
yang gue bawa trus gue iket tangan lu sama tangan gue biar kita gak misah.”

Asmara mengganguk dengan setuju. Aku dengan cepat mengambil tali paracord yang telah
aku gantung di tasku untuk digunakan saat waktu darurat dan aku ikatkan pada tangan
Asmara dan aku sendiri. Dengan itu, kami bergegas kembali naik ke tempat kami awal
berpencar.

Saat berada di tengah perjalanan, aku menemukan sebuah gantungan kunci yang
tergantung di ranting pohon yang berada di pertigaan. Gantungan kunci itu terlihat sangat
familiar.

“Bukannya itu gantungan kuncinya Ratna?” tanyaku kepada Asmara yang sekarang juga
masih terlihat cukup bingung dengan pertanyaan yang baruku berikan.

“Iya, kok bisa di jalur sana… Jangan-jangan mereka salah jalur lagi…”

Bulu kudukku mulai merinding; bukan karena kedinginan tapi karena ketakutan yang mulai
menghantui diriku. Suasana yang begitu suram dan ditambah lagi waktu yang sudah benar-
benar gelap tentu membuat diriku dipenuhi oleh ketakutan. Pikiranku hanya terjebak
tentang orang tua Bastian; aku yakin mereka akan mencari kami berdua dan juga orang tua
Ratna dan Asmara.
Tidak seperti aku, Asmara terlihat lebih santai; walaupun aku yakin dia juga ketakutan, tapi
tentu Ia lebih terbiasa melihat sesuatu yang hanya orang tertentu bisa lihat.

“Al, disitu… Disitu ada orang yang kayak prajurit jaman dulu Al… Ada orang yang tadi pagi
juga…” bisik Asmara kepadaku dengan penuh ketakutan. Nafasnya mulai tidak teratur dan
suaranya mulai mengecil dengan kegelisahan. Aku hanya bisa berdiri seperti patung setelah
mendengar apa yang dikatakan oleh Asmara.

“Tolong! Tolong! Tolong!”

Suara itu berasal dari dalam jalur tersebut.

“Kayak suara Ratna,” kata Asmara, “Ayo cepet!”

Aku dan Asmara dengan cepat lari memasuki jalur tersebut, melewati ranting ranting pohon
yang berjatuhan. Dari jauh, aku dapat melihat beberapa bayangan orang; Ia menggunakan
baju prajurit jaman dulu, seperti apa yang dideskripsikan Asmara. Namun saat kami berdua
mulai mendekat kepada bayangan-bayangan itu, mereka menghilang begitu saja, tanpa
jejak sama sekali. Aku dan Asmara pun berhenti berlari.

“Tolong! Tolong kami!”

“Suara Bastian!” kataku kepada Asmara.

Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Karena itu, kami berdua lalu meningkatkan
kecepatan lari kami. Tak lama kemudian, aku melihat Bastian dan Ratna yang terpelosok ke
dalam lubang yang cukup dalam.

Luka goresan dapat dilihat di sekeliling tubuh mereka. Wajah mereka terlihat sangat pucat
dan penuh ketakutan. Aku dengan buru-buru mengambil tali paracord yang lain dan
melemparkannya ke bawah lubang.

“Rat, pegangan yang erat ya,” kata Asmara.

Lalu aku dan Asmara mencoba untuk menariknya dengan sekuat tenaga dan akhirnya Ratna
dapat keluar dengan selamat. Kami pun menyuruhnya untuk mengikatkan tangannya ke tali
yang aku dan Asmara gunakan untuk mengikat tangan kami. Kemudian, kami melemparkan
tali yang digunakan untuk menarik Ratna kepada Bastian.

“Bas, pegangan ya,” kataku kepadanya.

Kami bertiga mencoba untuk menariknya namun tetap saja Ia tidak dapat naik. Bagaimana
bisa sedangkan yang mencoba menariknya saja 2 anak perempuan dan 1 anak laki-laki. Tapi
kami tidak menyerah dan mencoba lagi.

“Kok lama sih?” tanya Bastian.


“Gak kuat Bas, lu terlalu berat buat kita,” jawabku.

Semua tetap diam. Tak ada suara. Hanya hening.

“Ya udah kami coba lagi,” kata Ratna.

Kami kemudian menariknya lagi. Namun, hal aneh terjadi; pada akhirnya kami dapat
menariknya keluar dengan mudah dan tanpa menguras tenaga yang banyak seperti tadi.

Saat Bastian keluar, dengan cepat aku memberi tali yang tersambung dengan tangan kami
semua kepadanya untuk diikat sekitar tangannya. Namun, saat Ia keluar, Ia membeku di
tempatnya.

“Bas, lu kena-” tanya Ratna kepadanya yang lalu dipotong oleh Asmara.

“Dalam hitungan ketiga, gue mau lu orang lari. Lari bukan ke depan tapi ke arah belakang
kita. Jangan banyak nanya, lari aja, oke? Satu, dua, ti-”

“Mau kemana kalian?” tanya seseorang dari belakang Asmara.

Figur hitam tadi. Ia merupakan pria dan menggunakan baju pemimpin dari zaman kerajaan
Padjajaran dengan keris di samping bajunya. Tak hanya itu, ada seekor harimau yang besar
disebelahnya, lebih besar daripada harimau yang kita temukan di kebun binatang.

“Itu.. itu bukannya Prabu Siliwangi…” bisik Ratna kepadaku.

Begitu sosok pria menanyakan keberadaan kami, tiba-tiba terdengar suara gamelan yang
entah datang dari mana.

“Kalian mau kemana?” tanya pria itu sekali lagi.

Ia terlihat serius dan tentu terlihat sangat mirip dengan Prabu Siliwangi, pemimpin kerajaan
Padjajaran dulu.

“LARI!” teriak Bastian dan kami semua dengan cepat lari ke tempat awal aku dan Asmara
menemukan gantungan kunci Ratna. Perjalanan yang awal hanya dimulai dengan
ketidakpercayaan kami terhadap cerita Aki kini menjadi nyata. Memang benar ada penghuni
di gunung ini. Dari perjalanan yang begitu santai kini menjadi penuh dengan adrenalin.

Kami semua berlari dengan kencang, mengikuti jalur yang kami lewati tadi pagi walaupun
samping kami jurang.

“Mau kemana kalian?” kata seorang prajurit yang mendadak muncul di depan kami.

“HUAAA!” teriak kami semua di waktu yang bersamaan.

“Maaf, maaf. Kami tidak bermaksud apa apa,” jawabku kepada prajurit itu.
Kami semua menangis dengan ketakutan. Dalam seumur hidup kami, kami tidak pernah
merasa begini; dihantui oleh ketakutan dan kegelisahan.

“Hermmm. Kalian telah mengganggu kami! Ambil salah satu dari mereka sekarang!” teriak
prajurit itu kepada prajurit lain yang berada di belakang kami.

Lalu, datang segerombolan prajurit di belakang kami dan mulai mendekati kami. Takut dan
panik, kami semua hanya bisa berdiri dengan kaki yang sudah mulai melemas karena lelah
dan tentu, histeria. Kaki kami sudah terasa seperti agar-agar yang baru saja keluar dari
kulkas. Bagaimana kami bisa berdiri dengan tegap?

“LARI!” teriakku kali ini.

Aku sudah tak tahan. Aku hanya ingin pulang. Kami semua juga ingin pulang. Ya, memang
mereka tak kasat mata dan tidak hidup, namun efek keberadaan mereka jauh lebih
mempunyai dampak yang besar kepada ketakutan kami.

Kami pun mencoba untuk melewati prajurit yang berada di depan kami. Dengan cepat, kami
melewati jalur kecil di samping prajurit itu dan lari sekencang mungkin. Tanpa kami sadari,
kami pun hampir sampai di bawah.

“CEPETAN! MEREKA DI BELAKANG!” teriak Ratna dengan kencang.

Kami tidak sempat untuk beristirahat. Mana mungkin kami beristirahat disaat seperti ini
walaupun sudah lelah? Kaki kami yang benar-benar sudah mulai melemah saja tetap kami
paksakan untuk lari.

“CEPET!” teriak Bastian kali ini. Ia pun berlari semakin cepat, lebih cepat dari semuanya dan
berpindah ke posisi depan kami yang awalnya merupakan Ratna.

Namun, siapa sangka, ternyata di depan terdapat beberapa batu kerikil. Bastian yang tidak
mengetahuinya pun tersungkur dan jatuh, kakinya pun terkilir dan tidak bisa digerakan.
Wajahnya sudah terlihat pasrah dengan keadaanya sekarang.

“Cepet Bas, gue bantuin. Ayok!” teriakku kepadanya.

Ia hanya tersenyum. “Udah gak apa apa, kalian aja. Gue udah gak bisa lari Lif, yang ada lu
orang juga gak bisa pulang kalo harus angkat gue. Mungkin ini karma gue udah bilang begitu
di atas tadi. Maap ya As gue udah nyakitin hati lu bilang gitu.”

“Iya gue maapin kalo lu selamat. Jadi ayok, kita bantuin. Cepet!” jawab Asmara yang sudah
mulai menangis melihat temannya yang harus ditinggal mereka.

“Maapin ya As, gue gak bisa ikut lagi. Udah kalian tinggalin gue aja, kasih tau bokap nyokap
gue kalo gue sayang mereka, itu aja sih. Udah cepetan lari, mereka udah mulai deket lagi.
Cepetan!”
“Ya udah Bas, sampai ketemu disuatu saat nanti ya Bas. Makasih buat semuanya. Beneran,”
kataku kepadanya yang dibalas oleh senyuman dari Bastian.

“Ayo! Cepet! Mereka udah mulai deket lagi! Cepetan, lari!” teriak Bastian dengan senyum di
wajahnya.

Tampaknya Ia sudah menerima jalur hidupnya sekarang. Ia harus pasrah dengan segalanya
dan meninggalkan orang-orang yang Ia sayangi, terutama keluarganya dan teman dekatnya.

Kami pun dengan cepat kembali berlari ke bawah sambil melirik kebelakang, melihat Bastian
yang sedang duduk di tanah dengan kaki yang tak bisa digerakan. Para prajurit pun
mendatangi Bastian dan mengambilnya dan menghilang entah kemana dengannya. Tiada
satu pun yang tersisa, termasuk Bastian.

Tak lama kemudian kami sampai di bawah, di tempat pos di mana kami memulai perjalanan
kami. Kami pun bergegas kembali ke rumah Bastian.

“Ibu! Ibu! Bastian bu!” teriak Ratna dari depan rumah Bastian.

“Nak! Kalian kemana saja nak? Kami semua khawatir dengan kalian nak! Mana Bastian?
Mana anakku?” tanya ibunya Bastian.

“Bu, Bastian… Bastian diambil bu. Oleh penghuni Gunung Salak bu. Dia, dia kakinya terkilir
trus gak bisa gerak bu. Trus dia suruh kita lari aja bu, tinggalin kita. Trus dia diambil sama
mereka. Mereka semua!” cerita Ratna sambil menangis.

Ibunya Bastian hanya bisa terdiam dan nangis. Anaknya tersayang kini sudah tak ada. Masih
lebih baik jika jasadnya ada, bisa saja beliau kuburkan dan datang jika kangen. Namun,
jasadnya saja hilang entah kemana; entah diambil kemana. Beliau hanya bisa menangis
sambil memeluk kami.

“Anakku…” kata ibunya sambil menangis.

Tak lama kemudian sedesa datang dan menanyakan kami tentang apa yang terjadi. Aku pun
menyeritakannya kepada mereka semua tentang apa yang terjadi, sedangkan Ratna dan
Asmara hanya bisa menangis sambil memeluk ibunya Bastian.

“Kalian bertiga.”

Kami menoleh ke samping kami. Aki Adi. Kami dengan cepat lari kepadanya dan menangis
sambil memeluknya.

“Anak-anak, kalian itu sebelum melakukan sesuatu, kalian harus mikir. Kedepannya gimana.
Jangan asal iya atau enggak. Ngerti?”

Kami mengganguk.
“Jangan gini lagi ya? Cukup ibu kehilangan Bastian, jangan sampai orang tua kalian dan ibu
kehilangan kalian. Kalian udah kayak anak ibu,” kata ibunya Bastian.

Tak lama kemudian ayam berkokok dan matahari pun sudah mulai terbit. Subuh ini
merupakan subuh yang tak terlupakan oleh orang-orang di desa kami.

Mungkin jika hari itu aku mendengar perkataan Ibuku untuk tidak ke tempat yang
berbahaya, kami semua tidak akan merasakan pengalaman mengerikan ini yang akan
membuat kita trauma selama berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun…

Anda mungkin juga menyukai