Anda di halaman 1dari 14

DI SUSUN OLEH :

MUHAMMAD SAPTA APRIANSYAH

KELAS 7 C

SMP SETIA BUDI SUNGAILIAT

TAHUN PELAJARAN 2016/2017


TUPAI DAN KELINCI PEMALAS

Di sebuah hutan tinggalah dua sahabat. Mereka adalah seekor kelinci dan seekor
tupai. Setiap hari mereka selalu menghabiskan waktu bersama-sama.
Pada suatu hari, tupai mengatakan kepada kelinci, ''Musim hujan sebentar lagi akan
datang. Mari kita buat sarang. Supaya bila hujan turun, kita punya tempat untuk berteduh.''Ya,
betul juga kata kamu. Tapi izinkan aku istirahat dulu, "jawab kelinci.
Pada sore itu, hujan turun dengan lebatnya. Tupai dan kelinci berteduh di bawah
pohon. Mereka basah dan kedinginan. ''Jika kita punya sarang, tentu kita tidak akan basah
begini,'' kata tupai. Ya, betul juga apa yang kamu katakan, jawab kelinci. "Besok pagi kita
akan buat sarang," kata kelinci lagi.
Keesokan paginya, cuaca sangat cerah.Tupai kembali mengajak kelinci untuk
membangun sarang. "Lebih baik kita pergi cari kayu untuk membangun sarang," kata
tupai. "Tapi bukan sekarang," jawab kelinci. "Kita masih ada banyak waktu lagi. Marilah kita
pergi cari makanan. Aku sungguh lapar! Mendengar jawaban Kelinci"Tupai menggeleng-
geleng melihat sikap sahabatnya itu.
Pada sore itu, hujan turun lagi. Tupai dan kelinci basah kuyup karena tidak ada tempat
berteduh."Alangkah baiknya jika kita ada sarang," kata tupai. "Besok kita harus buat sarang.
Saya tak ingin terus basah seperti ini sewaktu hujan. "Kelinci yang pemalas itu tidak
menghiraukan keluhan sahabatnya."Kita tunggu besok sajalah," kata kelinci.

Pelajaran yang dapat di ambil : Jangan pernah menunda-nunda suatu pekerjaan yang
bisa kita kerjakan pada hari itu juga. Kerjakanlah selagi bisa.
Dongeng Ayam Jantan yang Cerdik dan Rubah yang Licik

Dongeng - Ayam jantan yang cerdik


dan rubah yang licik

Suatu senja saat matahari mulai tenggelam, seekor ayam jantan terbang ke dahan
pohon untuk bertengger. Sebelum dia beristirahat dengan santai, dia mengepakkan sayapnya
tiga kali dan berkokok dengan keras. Saat dia akan meletakkan kepalanya di bawah sayapnya,
matanya menangkap sesuatu yang berwarna merah dan sekilas hidung yang panjang dari
seekor rubah.
"Sudahkah kamu mendengar berita yang bagus?" teriak sang Rubah dengan cara yang
sangat menyenangkan dan bersemangat. "Kabar apa?" tanya sang Ayam Jantan dengan
tenang. Tapi dia merasa sedikit aneh dan sedikit gugup, karena sebenarnya sang Ayam takut
kepada sang Rubah. "Keluargamu dan keluarga saya dan semua hewan lainnya telah sepakat
untuk melupakan perbedaan mereka dan hidup dalam perdamaian dan persahabatan mulai
dari sekarang sampai selamanya. Cobalah pikirkan berita bagus ini! Aku menjadi tidak sabar
untuk memeluk kamu! Turunlah ke sini, teman, dan mari kita rayakan dengan gembira."
"Bagus sekali!" kata sang Ayam Jantan. "Saya sangat senang mendengar berita ini." Tapi sang
Ayam berbicara sambil menjinjitkan kakinya seolah-olah melihat dan menantikan kedatangan
sesuatu dari kejauhan.
Ayam Jantan yang Cerdik
dan Rubah yang Licik

"Apa yang kau lihat?"tanya sang Rubah sedikit cemas. "Saya melihat sepasang Anjing
datang kemari. Mereka pasti telah mendengar kabar baik ini dan.." Tapi sang Rubah tidak
menunggu lebih lama lagi untuk mendengar perkataan sang Ayam dan mulai berlari menjauh.
"Tunggu," teriak sang Ayam Jantan tersebut. "Mengapa engkau lari? sekarang anjing adalah
teman-teman kamu juga!". "Ya,"jawab sang Rubah. "Tapi mereka mungkin tidak pernah
mendengar berita itu. Selain itu, saya mempunyai tugas yang sangat penting yang hampir saja
saya lupakan. "Ayam jantan itu tersenyum sambil membenamkan kepalanya kembali ke
bawah bulu sayapnya dan tidur, karena ia telah berhasil memperdaya musuhnya yang sangat
licik.

Jadi pembelajaran yang dapat kita teladani dari dongeng ayam jantan yang cerdik dan
rubah yang licik ini adalah janganlah kita menipu orang lain, jadilah cerdik tetapi
tidak licik.
Bawang Merah dan Bawang Putih

Jaman dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu
dan seorang gadis remaja yang cantik bernama bawang putih. Mereka adalah keluarga yang
bahagia. Meski ayah bawang putih hanya pedagang biasa, namun mereka hidup rukun dan
damai. Namun suatu hari ibu bawang putih sakit keras dan akhirnya meninggal dunia.
Bawang putih sangat berduka demikian pula ayahnya.
Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah.
Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang merah sering berkunjung ke rumah
Bawang putih. Dia sering membawakan makanan, membantu bawang putih membereskan
rumah atau hanya menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Akhirnya ayah Bawang
putih berpikir bahwa mungkin lebih baik kalau ia menikah saja dengan ibu Bawang merah,
supaya Bawang putih tidak kesepian lagi.
Dengan pertimbangan dari bawang putih, maka ayah Bawang putih menikah dengan
ibu bawang merah. Awalnya ibu bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada
bawang putih. Namun lama kelamaan sifat asli mereka mulai kelihatan. Mereka kerap
memarahi bawang putih dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang Putih sedang
pergi berdagang. Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara
Bawang merah dan ibunya hanya duduk-duduk saja. Tentu saja ayah Bawang putih tidak
mengetahuinya, karena Bawang putih tidak pernah menceritakannya.
Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak saat
itu Bawang merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih.
Bawang putih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh,
untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia
harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih
harus menyetrika, membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun
Bawang putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu saat
ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.
Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang akan
dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri jalan setapak di pinggir hutan
kecil yang biasa dilaluinya. Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang putih segera mencuci semua
pakaian kotor yang dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari
bahwasalah satu baju telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah baju
kesayangan ibu tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju ibu tirinya telah hanyut terlalu jauh.
Bawang putih mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil
menemukannya. Dengan putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada
ibunya. Dasar ceroboh! bentak ibu tirinya. Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus
mencari baju itu! Dan jangan berani pulang ke rumah kalau kau belum menemukannya.
Mengerti?
Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibun tirinya. Dia segera menyusuri sungai
tempatnya mencuci tadi. Matahari sudah mulai meninggi, namun Bawang putih belum juga
menemukan baju ibunya. Dia memasang matanya, dengan teliti diperiksanya setiap juluran
akar yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah jauh
melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang putih melihat seorang
penggembala yang sedang memandikan kerbaunya. Maka Bawang putih bertanya: Wahai
paman yang baik, apakah paman melihat baju merah yang hanyut lewat sini? Karena saya
harus menemukan dan membawanya pulang. Ya tadi saya lihat nak. Kalau kamu
mengejarnya cepat-cepat, mungkin kau bisa mengejarnya, kata paman itu. Baiklah paman,
terima kasih! kata Bawang putih dan segera berlari kembali menyusuri.
Hari sudah mulai gelap, Bawang putih sudah mulai putus asa. Sebentar lagi malam
akan tiba, dan Bawang putih. Dari kejauhan tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah
gubuk di tepi sungai.
Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya.
Permisi! kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu. Siapa kamu
nak? tanya nenek itu. Saya Bawang putih nek.
Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang hanyut. Dan sekarang kemalaman.
Bolehkah saya tinggal di sini malam ini? tanya Bawang putih. Boleh nak. Apakah baju
yang kau cari berwarna merah? tanya nenek. Ya nek. Apanenek menemukannya? tanya
Bawang putih.Ya.
Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku menyukai baju itu,
kata nenek. Baiklah aku akan mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu disini
selama seminggu. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana? pinta
nenek. Bawang putih berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun
merasa iba. Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama seminggu, asal nenek tidak
bosan saja denganku, kata Bawang putih dengan tersenyum.
Selama seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek tersebut. Setiap hari Bawang
putih membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek. Tentu saja nenek itu merasa senang.
Hingga akhirnya genap sudah seminggu, nenek pun memanggil bawang putih.
Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang rajin dan
berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau
boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah! kata nenek.
Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap memaksanya.
Akhirnya Bawang putih memilih labu yang paling kecil. Saya takut tidak kuat membawa
yang besar, katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan Bawang putih hingga depan
rumah.
Sesampainya di rumah, Bawang putih menyerahkan baju merah milik ibu tirinya
sementara dia pergi ke dapur untuk membelah labu kuningnya. Alangkah terkejutnya bawang
putih ketika labu itu terbelah, didalamnya ternyata berisi emas permata yang sangat banyak.
Dia berteriak saking gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan bawang
merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata tersebut. Mereka memaksa
bawang putih untuk menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan hadiah tersebut. Bawang
putih pun menceritakan dengan sejujurnya.
Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana untuk
melakukan hal yang sama tapi kali ini bawang merah yang akan melakukannya. Singkat kata
akhirnya bawang merah sampai di rumah nenek tua di pinggir sungai tersebut. Seperti
bawang putih, bawang merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak
seperti bawang putih yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya bermalas-
malasan. Kalaupun ada yang dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus karena selalu
dikerjakan dengan asal-asalan.
Akhirnya setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang merah untuk pergi.
Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah karena menemanimu selama
seminggu? tanya bawang merah. Nenek itu terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah
satu dari dua labu yang ditawarkan. Dengan cepat bawang merah mengambil labu yang besar
dan tanpa mengucapkan terima kasih dia melenggang pergi.
Sesampainya di rumah bawang merah segera menemui ibunya dan dengan gembira
memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut bawang putih akan meminta bagian,
mereka menyuruh bawang putih untuk pergi ke sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka
membelah labu tersebut. Tapi ternyata bukan emas permata yang keluar dari labu tersebut,
melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan lain-lain. Binatang-
binatang itu langsung menyerang bawang merah dan ibunya hingga tewas. Itulah balasan
bagi orang yang serakah.

Kera dan Kura-Kura


Seekor kera dan seekor kura-kura hidup di sebuah hutan dekat sungai. Namun, kera
yang satu ini mempunyai sifat yang tidak terpuji. Ia licik, suka memperalat temannya untuk
kepentingan dirinya.

Kera bersahabat dengan kura-kura karena ada yang diharapkan dari kura-kura. Bila
bepergian ke suatu tempat, kera selalu naik di atas punggung kura-kura dengan berbagai
alasan: capek, kakinya sakit dan alasan yang lain. Kura-kura tak pernah sakit hati. Kura-kura
menurut saja. Kemampuan kera mengambil hati membuat kura-kura luluh dan selalu dekat
dengan kura-kura. Tanpa bantuan makhluk lain, tak mungkin kita bisa hidup, bisik hatinya.

Jika di tengah perjalanan ditemukan pohon yang sedang berbuah, kera dengan gesit
memanjat pohon itu, sementara kura-kura disuruhnya menunggu di bawah. Setelah perutnya
kenyang, barulah kera ingat temannya yang sedang menunggu di bawah. Hanya buah-buah
yang jelek dan kulit-kulitnya yang dilempar ke bawah sambil mengatakan, Wah kura-kura,
buahnya jelek-jelek dan sudah banyak yang dimakan kelelawar sehingga tinggal kulitnya
saja. Terima saja ini untukmu.

Hidup mengembara dari hari ke hari telah membuat mereka bosan. Pada suatu hari,
datanglah musim kemarau panjang. Hujan tidak kunjung datang. Pohon-pohon di hutan
banyak yang layu dan tidak berbuah. Kera dan kura-kura sedang berteduh di bawah pohon di
pinggir sungai sambil berpikir tentang apa yang harus dilakukan menghadapi situasi seperti
itu.

Kera membuka percakapan. Kura-kura, apa yang harus kita lakukan menghadapi
musim kemarau ini? tanyanya kepada si kura-kura. Kura-kura tidak menjawab karena
memang kura-kura tidak mampu berpikir yang berat-berat. Akhirnya, kera melanjutkan
pembicaraannya, Sebaiknya kita menanam pisang, sebentar lagi musim hujan akan datang.

Saya setuju, jawab kura-kura. Dari mana bibitnya? tanyanya kepada kera. Begini saja,
kita menunggu di tepi sungai ini. Pada musim hujan, banyak manusia membuang anak pisang
ke sungai. Nanti kalau ada yang hanyut kita ambil. Mereka berdua setuju.

Mula-mula mereka bekerja keras membuka hutan untuk ditanami pohon pisang.
Setelah tanahnya siap, datanglah musim hujan. Sepanjang hari mereka di tepi sungai
menunggu pohon pisang yang hanyut. Tidak seberapa lama dari jauh tampak pohon pisang
hanyut. Kera berteriak, Kura-kura cepat berenang kamu! Ambil batang pisang itu! Saya
takut air dan tak bisa berenang. Kalau berenang saya jagonya. kata kura-kura
menyombongkan diri.

Kamulah yang beruntung bisa berenang, sedang aku tidak pandai berenang. Kalau aku
pandai berenang, tidaklah engkau perlu bersusah-susah mengambil batang pisang itu. Aku
tentu akan membantumu, ujar kera dengan licik.

Mendengar ucapan kera itu, hati kura-kura menjadi terharu. Oleh karena itu, ia segera
berenang menarik batang pisang itu ke tepi sungai. Batang pisang itu dikumpulkan satu per
satu. Setelah cukup banyak barulah ditanam. Mereka membagi dua setiap batang pisang sama
Panjang agar adil. Bagian atas diambil si kera dan bagian bawah diberikan kepada kura-kura.
Kera rupanya tahu bahwa buah pisang selalu ada di bagian atas. Oleh karena itu, ia
mengambil bagian atas.

Beberapa waktu mereka bekerja menanam pohon pisang. Kura-kura rajin sekali memelihara
tanamannya, sedangkan tanaman si kera tentu saja mernbusuk dan mati sernua.

Setelah kebun pisang milik kura-kura berbuah dan buahnya mulai masak, datanglah kera
bertandang. Hai kura-kura, tidakkah kau lihat pisangmu telah masak di pohon, tanya kera
bersemangat. Ya, saya lihat, hanya saya tak mampu memanjat untuk memetiknya, jawab
kura-kura. Apakah artinya kita bersahabat, kalau saya tidak dapat membantumu, kata kera.

Dalam hati kera, muncul akal liciknya, lebih-lebih Perutnya sudah mulai terasa lapar.
Kera menawarkan diri untuk membantu kura-kura memanen pisangnya. Kurakura setuju.
Dengan gesit, kera memanjat pohon pisang yang telah ranum buahnya. Di atas pohon ia
makan sepuas-puasnya, sedangkan kura-kura (si pemilik kebun) dilupakannya. Ia menunggu
dengan hati yang mendongkol. Kadang-kadang, kera melemparkan kulit kepada kura-kura.
Hal itu dilakukannya setiap hari, sampai kebun itu habis buahnya.

Sejak itu, kura-kura merasa sakit hati. Namun, apa yang bisa dilakukannya? Sebagai
makhluk Tuhan yang lemah, ia hanya bisa berdoa semoga yang curang dan khianat mendapat
murka Tuhan. Mereka berpisah untuk waktu yang agak lama. Kura-kura selalu menghindar
jika mendengar suara kera.
Pada suatu hari yang panas, udara menjadi kering. Buah-buahan di hutan semakin
berkurang. Para satwa di hutan banyak yang kelaparan dan kehausan. Apalagi kera yang
rakus itu. Ia berjalan gontai mencari teman senasib sepenanggungan. Lalu ia beristirahat di
bawah pohon yang rindang, di atas sebuah batu. Karena lapar dan haus, kera tidak sadar
bahwa yang diduduki itu adalah punggung si kura-kura yang sedang beristirahat pula. Karena
udara panas, kura-kura menyembunyikan kepalanya di bawah punggungnya yang keras itu.
Si kera kemudian berteriak memanggil sahabatnya, Kura-kuraaaaa., di mana kamu,
Kemarilah! Kita sudah lama tidak bertemu Terdengarlah suara dari bawah pantat si kera,
Uuuuuuwuk...

Kera marah sekali. Ia mengira, suara itu adalah suara alat kelaminnya yang
mengejeknya. Sebenarnya, suara itu adalah suara kura-kura yang didudukinya. Dengan
geram, ia mengancam alat kelaminnya sendiri. Jika kamu mengejekku lagi akan aku
hancurkan! ancamnya. Kemudian, ia berteriak lagi, Kura-kuraaaaaaaaaaa. Mendengar
suara itu marahlah si kera. la mengambil batu, lalu alat kelaminnya dipukul berkali-kali. Kera
menjerit-jerit kesakitan, sambil terus memukulkan batu itu ke arah alat kelaminnya. Kura-
kura menjulurkan kepalanya. Ia ingin menolong, tetapi sudah terlambat. Kera sahabatnya
yang licik itu telah mati.
Si Kancil dan Siput

Suatu hari angin berhembus semilir-semilir membuat penghuni hutan mengantuk.


Begitu juga dengan si kancil. Untuk mengusir rasa kantuknya si kancil berjalan-jalan di hutan
sambil membusungkan dadanya.
Sambil berjalan si kancil berkata, "Siapa yang tak kenal kancil. Si pintar, si cerdik dan
si pemberani. Setiap masalah pasti selesai olehku."
Ketika sampai di sungai, si kancil segera minum untuk menghilangkan rasa hausnya.
Air yang begitu jernih membuat si kancil dapat berkaca. Si kancil berkata-kata sendirian.
"Buaya, gajah, harimau semuanya binatang bodoh, jika berhadapan denganku mereka dapat
aku perdaya."
Si kancil tidak tahu kalau ia dari tadi sedang diperhatikan oleh seekor siput yang
sedang duduk di bongkahan batu yang besar.
Si siput berkata, "Hei kancil, kau asyik sekali berbicara sendirian. Ada apa? Kamu
sedang bergembira?" Kancil mencari-cari sumber suara itu. Akhirnya si kancil menemukan
letak si siput. "Rupanya sudah lama kau memperhatikanku ya? Siput yang kecil dan imut-
imut. Eh bukan! Kamu memang kecil tapi tidak imut-imut, melainkan jelek bagai kotoran
ayam," ujar si kancil.
Siput terkejut mendengar ucapan si kancil yang telah menghina dan membuatnya
jengkel. Lalu siput pun berkata, "hai kancil! kamu memang cerdik dan pemberani karena itu
aku menantangmu lomba adu cepat."
Akhirnya mereka setuju perlombaan dilakukan minggu depan. Setelah si kancil pergi,
siput segera memanggil dan mengumpulkan teman-temannya.
Si siput meminta tolong teman-temannya agar waktu perlombaan nanti semuanya
harus berada di jalur lomba. "Jangan lupa, kalian bersembunyi di balik bongkahan batu, dan
salah satu harus segera muncul jika si kancil memanggil, dengan begitu kita selalu berada di
depan si kancil," kata siput.
Hari yang dinanti tiba. Si kancil datang dengan sombongnya, merasa ia pasti akan
sangat mudah memenangkan perlombaan ini. Siput mempersilahkan kancil untuk berlari
duluan dan memanggilnya untuk memastikan sudah sampai mana ia sampai.
Perlombaan dimulai. Kancil berjalan santai, sedang siput segera menyelam ke dalam
air. Setelah beberapa langkah, si kancil memanggil siput. Tiba-tiba siput muncul di depan
kancil sambil berseru, "hai kancil! aku sudah sampai sini."
Si kancil terheran-heran, segera ia mempercepat langkahnya. Kemudian ia memanggil
si siput lagi. Ternyata siput juga sudah berada di depannya. Akhirnya si kancil berlari tetapi ia
panggil si siput, ia selalu muncul di depan kancil. Keringatnya bercucuran, kakinya terasa
lemas dan nafasnya tersengal-sengal.
Ketika hampir finish, ia memanggil siput, tetapi tidak ada jawaban. Si kancil berpikir
siput sudah tertinggal jauh dan ia akan menjadi pemenang perlombaan. Si kancil berhenti
berlari, ia berjalan santai sambil beristirahat. Dengan senyum sinis kancil berkata," kancil
memang tiada duanya."
Si kancil dikagetkan ketika ia mendengar suara siput yang sudah duduk di atas batu
besar. "Oh kasihan sekali kau kancil. Kelihatannya sangat lelah, capek ya berlari?" ejek siput.
Tidak mungkin! Bagaimana kamu bisa lebih dulu sampai, padahal aku berlari sangat
kencang," seru si kancil. "Sudahlah akui saja kekalahanmu," ujar siput.
Si kancil masih heran dan tak percaya kalau ia dikalahkan oleh binatang yang lebih
kecil darinya. Si kancil menundukkan kepala dan mengakui kekalahannya.
"Sudahlah tidak usah sedih, aku tidak minta hadiah kok. Aku hanya ingin kamu ingat
satu hal, janganlah sombong dengan kepandaian dan kecerdikanmu. Semua binatang
mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, jadi jangan suka menghina dan
menyepelekan mereka," ujar siput.
Siput segera menyelam ke dalam sungai. Tinggalah si kancil dengan rasa menyesal
dan malu.

Anda mungkin juga menyukai