Anda di halaman 1dari 6

BAWANG MERAH DAN BAWANG PUTIH

Jaman dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang gadis remaja yang
cantik bernama bawang putih. Mereka adalah keluarga yang bahagia. Meski ayah bawang putih hanya pedagang biasa, namun
mereka hidup rukun dan damai. Namun suatu hari ibu bawang putih sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Bawang putih
sangat berduka demikian pula ayahnya.
Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah. Semenjak ibu Bawang putih
meninggal, ibu Bawang merah sering berkunjung ke rumah Bawang putih. Dia sering membawakan makanan, membantu
bawang putih membereskan rumah atau hanya menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Akhirnya ayah Bawang
putih berpikir bahwa mungkin lebih baik kalau ia menikah saja dengan ibu Bawang merah, supaya Bawang putih tidak
kesepian lagi.
Dengan pertimbangan dari bawang putih, maka ayah Bawang putih menikah dengan ibu bawang merah. Awalnya ibu
bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada bawang putih. Namun lama kelamaan sifat asli mereka mulai kelihatan.
Mereka kerap memarahi bawang putih dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang Putih sedang pergi berdagang.
Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara Bawang merah dan ibunya hanya duduk-duduk saja.
Tentu saja ayah Bawang putih tidak mengetahuinya, karena Bawang putih tidak pernah menceritakannya.
Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu Bawang merah dan ibunya
semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih. Bawang putih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus
bangun sebelum subuh, untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia harus
memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih harus menyetrika, membereskan
rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun Bawang putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena
dia berharap suatu saat ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.
Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang akan dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi
kecil dia menyusuri jalan setapak di pinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya. Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang putih segera
mencuci semua pakaian kotor yang dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari bahwasalah satu baju
telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah baju kesayangan ibu tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju ibu
tirinya telah hanyut terlalu jauh. Bawang putih mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil
menemukannya. Dengan putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada ibunya.
“Dasar ceroboh!” bentak ibu tirinya. “Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari baju itu! Dan jangan berani
pulang ke rumah kalau kau belum menemukannya. Mengerti?”
Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibun tirinya. Dia segera menyusuri sungai tempatnya mencuci tadi.
Mataharisudah mulai meninggi, namun Bawang putih belum juga menemukan baju ibunya. Dia memasang matanya, dengan
teliti diperiksanya setiap juluran akar yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah jauh
melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang putih melihat seorang penggembala yang sedang memandikan
kerbaunya. Maka Bawang putih bertanya: “Wahai paman yang baik, apakah paman melihat baju merah yang hanyut lewat
sini? Karena saya harus menemukan dan membawanya pulang.” “Ya tadi saya lihat nak. Kalau kamu mengejarnya cepat-cepat,
mungkin kau bisa mengejarnya,” kata paman itu.
“Baiklah paman, terima kasih!” kata Bawang putih dan segera berlari kembali menyusuri. Hari sudah mulai gelap,
Bawang putih sudah mulai putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang putih. Dari kejauhan tampak cahaya lampu
yang berasal dari sebuah gubuk di tepi sungai. Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya. “Permisi…!”
kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu. “Siapa kamu nak?” tanya nenek itu.
“Saya Bawang putih nek. Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang hanyut. Dan sekarang kemalaman. Bolehkah
saya tinggal di sini malam ini?” tanya Bawang putih. “Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek.
“Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih.
“Ya. Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku menyukai baju itu,” kata nenek. “Baiklah aku
akan mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu disini selama seminggu. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan
siapapun, bagaimana?” pinta nenek.Bawang putih berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun merasa
iba. “Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama seminggu, asal nenek tidak bosan saja denganku,” kata Bawang putih
dengan tersenyum.
Selama seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek tersebut. Setiap hari Bawang putih membantu mengerjakan
pekerjaan rumah nenek. Tentu saja nenek itu merasa senang. Hingga akhirnya genap sudah seminggu, nenek pun memanggil
bawang putih.
“Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang rajin dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau
boleh membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah!” kata
nenek.
Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap memaksanya. Akhirnya Bawang putih memilih labu yang paling
kecil. “Saya takut tidak kuat membawa yang besar,” katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan Bawang putih hingga
depan rumah.
Sesampainya di rumah, Bawang putih menyerahkan baju merah milik ibu tirinya sementara dia pergi ke dapur untuk
membelah labu kuningnya. Alangkah terkejutnya bawang putih ketika labu itu terbelah, didalamnya ternyata berisi emas
permata yang sangat banyak. Dia berteriak saking gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan bawang
merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata tersebut. Mereka memaksa bawang putih untuk
menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan hadiah tersebut. Bawang putih pun menceritakan dengan sejujurnya.
Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana untuk melakukan hal yang sama tapi kali ini
bawang merah yang akan melakukannya. Singkat kata akhirnya bawang merah sampai di rumah nenek tua di pinggir sungai
tersebut. Seperti bawang putih, bawang merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang
putih yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun ada yang dikerjakan maka hasilnya
tidak pernah bagus karena selalu dikerjakan dengan asal-asalan. Akhirnya setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang
merah untuk pergi. “Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah karena menemanimu selama seminggu?”
tanya bawang merah. Nenek itu terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang ditawarkan. Dengan
cepat bawang merah mengambil labu yang besar dan tanpa mengucapkan terima kasih dia melenggang pergi.Sesampainya di
rumah bawang merah segera menemui ibunya dan dengan gembira memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut
bawang putih akan meminta bagian, mereka menyuruh bawang putih untuk pergi ke sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka
membelah labu tersebut. Tapi ternyata bukan emas permata yang keluar dari labu tersebut, melainkan binatang-binatang
berbisa seperti ular, kalajengking, dan lain-lain. Binatang-binatang itu langsung menyerang bawang merah dan ibunya hingga
tewas. Itulah balasan bagi orang yang serakah.
Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari ( Jawa Tengah )

Pada jaman dahulu hidup seorang pemuda bernama Jaka Tarub di sebuah desa di daerah Jawa Tengah. Ia
tinggal bersama ibunya yang biasa dipanggil Mbok Milah. Ayahnya sudah lama meninggal. Sehari hari Jaka Tarub
dan Mbok Milah bertani padi di sawah.

Pada suatu malam, ditengah tidurnya yang lelap, Jaka Tarub bermimpi mendapat istri seorang bidadari nan
cantik jelita dari kayangan. Begitu terbangun dan menyadari bahwa itu semua hanya mimpi, Jaka Tarub tersenyum
sendiri. Walaupun demikian, mimpi indah barusan masih terbayang dalam ingatannya. Jaka Tarub tidak dapat tidur
lagi. Ia keluar dan duduk di ambengan depan rumahnya sambil menatap bintang bintang di langit. Tak terasa ayam
jantan berkokok tanda hari sudah pagi.

Mbok Milah yang baru terjaga menyadari kalau Jaka Tarub tidak ada di rumah. Begitu ia melihat keluar
jendela, dilihatnya anak semata wayangnya sedang melamun. “Apa yang dilamunkan anakku itu”, pikir Mbok Milah.
Ia menebak mungkin Jaka Tarub sedang memikirkan untuk segera berumah tangga. Usianya sudah lebih dari cukup.
Teman teman sebayanyapun rata rata telah menikah. Pikirannya itu membuat Mbok Milah berniat untuk membantu
Jaka Tarub menemukan istri.

Siang hari ketika Mbok Milah sedang berada di sawah, tiba tiba datang Pak Ranu pemilik sawah sebelah
menghampirinya. “Mbok Milah, mengapa anakmu sampai saat ini belum menikah juga ?”, tanya Pak Ranu membuka
percakapan. “Entahlah”, kata Mbok Milah sambil mengingat kejadian tadi pagi. “Ada apa kau menanyakan itu Pak
Ranu ?”, tanya Mbok Milah. Ia sedikit heran kenapa Pak Ranu tertarik dengan kehidupan pribadi anaknya. “Tidak
apa apa Mbok Milah. Aku bermaksud menjodohkan anakmu dengan anakku Laraswati”, jawab Pak Ranu.

Mbok Milah terkejut mendengar niat Pak Ranu yang baru saja diutarakan. Ia sangat senang. Laraswati adalah
seorang gadis perparas cantik yang tutur katanya lemah lembut. Ia yakin kalau Jaka Tarub mau menjadikan Laraswati
sebagai istrinya. Walaupun demikian Mbok Milah tidak ingin mendahului anaknya untuk mengambil keputusan. Biar
bagaimanapun ia menyadari kalau Jaka Tarub sudah dewasa dan mempunyai keinginan sendiri. “Aku setuju Pak
Ranu. Tapi sebaiknya kita bertanya dulu pada anak kita masing masing”, kata Mbok Milah bijak. Pak Ranu
mengangguk angguk. Ia pikir apa yang dikatakan Mbok Milah benar adanya.

Hari berganti hari. Mbok Milah belum juga menemukan waktu yang tepat untuk membicarakan rencana
perjodohan Jaka Tarub dan Laraswati. Ia takut Jaka Tarub tersinggung. Mungkin juga Jaka Tarub telah memiliki
calon istri yang belum dikenalkan padanya. Lama kelamaan Mbok Milah lupa akan niatnya semula.

Jaka Tarub adalah seorang pemuda yang sangat senang berburu. Ia juga seorang pemburu yang handal.
Keahliannya itu diperolehnya dari mendiang ayahnya. Jaka Tarub seringkali diajak berburu oleh ayahnya sedari kecil.
Pagi itu Jaka Tarub telah siap berburu ke hutan. Busur, panah, pisau dan pedang telah disiapkannya. Iapun pamit pada
ibunya.

Mbok Milah terlihat biasa biasa saja melepaskan kepergian Jaka Tarub. Ia berharap anaknya itu akan
membawa pulang seekor menjangan besar yang bisa mereka makan beberapa hari ke depan. Tak lama kemudian
Mbok Milah masuk ke kamarnya. Ia bermaksud beristrihat sejenak sebelum berangkat ke sawah. Maklumlah, Mbok
Milah sudah tua.

Tak memakan waktu lama di tengah hutan, Jaka tarub berhasil memanah seekor menjangan. Hatinya senang.
Segera saja ia memanggul menjangan itu dan bermaksud segera pulang. Nasib sial rupanya datang menghampiri.
Tengah asyik berjalan, tiba tiba muncul seekor macan tutul di hadapan Jaka Tarub. Macan itu mengambil ancang
ancang untuk menyerang. Jaka tarub panik. Ia segera melepaskan menjangan yang dipanggulnya dan mencabut
pedang dari pinggangnya. Sang macan bergerak sangat cepat. Ia segera menggigit menjangan itu dan membawanya
pergi.

Jaka Tarub terduduk lemas. Bukan hanya kaget atas peristiwa yang baru dialaminya, iapun merasa heran.
Baru kali ini nasibnya sesial ini. Hewan buruan sudah ditangan malah dimangsa binatang buas. “Pertanda apa ini ?”,
pikirnya. Jaka Tarub segera menepis pikiran buruk yang melintas di benaknya. Setelah beristirahat sejenak, ia segera
berjalan lagi.

Nasib sial belum mau meninggalkan Jaka tarub. Setelah berjalan dan menunggu beberapa kali, tak seekor
hewan buruanpun yang melintas. Matahari makin meninggi. Jaka Tarub merasa lapar. Tak ada bekal yang dibawanya
karena ia memang yakin tak akan selama ini berada di hutan. Akhirnya Jaka Tarub memutuskan untuk pulang walau
dengan tangan hampa.
Ketika Jaka Tarub mulai memasuki desanya, ia heran melihat banyak orang yang berjalan tergesa gesa
menuju ke arah yang sama. Bahkan ada beberapa orang yang berpapasan dengannya terlihat terkejut. Walaupun
merasa heran Jaka Tarub enggan untuk bertanya. Rasa lapar yang menderanya membuat Jaka Tarub ingin cepat cepat
sampai di rumah.

Jaka Tarub tertegun memandang rumahnya yang sudah nampak dari kejauhan. Banyak orang berkerumun di
depan rumahnya. Bahkan orang orang yang tadi dilihatnya berjalan tergesa gesa ternyata menuju ke rumahnya juga.
“Ada apa ya ?”, pikirnya. Jaka Tarub mulai tidak enak hati. Ia segera berlari menuju rumahnya.

“Ada apa ini ?”, tanya Jaka Tarub setengah berteriak. Orang orang terkejut dan menoleh kearahnya. Pak Ranu
yang memang menunggu kedatangan Jaka Tarub sedari tadi langsung menghampiri dan menepuk nepuk bahu Jaka
Tarub. “Sabar nak..”, katanya sambil membimbing Jaka Tarub memasuki rumah.

Mata Jaka Tarub langsung tertuju pada sesosok tubuh yang terbujur kaku diatas dipan di ruang tengah.
Beberapa detik kemudian Jaka Tarub menyadari kalau ibunya telah meninggal. Jaka Tarub tak sanggup menahan air
mata. Inilah bukti atas firasat buruk yang kurasakan sejak pagi, pikirnya.

Jaka Tarub tak sanggup berbuat apa apa. Ia hanya termenung memandang wajah Mbok Milah. Cerita Pak
Ranu bahwa istrinya yang menemukan Mbok Milah telah meninggal dunia dalam tidurnya tadi pagi tak
dihiraukannya. Ia merenungi nasibnya yang kini sebatang kara. Jaka Tarub juga menyesal belum memenuhi
keinginan ibunya melihat ia berumah tangga dan menimang cucu. Tapi semua tinggal kenangan. Kini ibunya telah
beristirahat dengan tenang.

Sepeninggal ibunya, Jaka Tarub mengisi hari harinya dengan berburu. Hampir setiap hari ia berburu ke hutan.
Hasil buruannya selalu ia bagi bagikan ke tetangga. Hanya dengan berburu, Jaka Tarub bisa melupakan
kesedihannya.

Seperti pagi itu, Jaka Tarub telah bersiap siap untuk berangkat berburu. Dengan santai ia berjalan menuju
Hutan Wanawasa karena hari masih pagi. Ketika sampai di hutanpun Jaka tarub hanya menunggu hewan buruan
lewat di depannya. Tak terasa hari sudah siang. Tak satupun hewan buruan yang didapat Jaka Tarub. Ia justru lebih
banyak melamun.

Karena rasa haus yang baru dirasakannya, Jaka Tarub melangkahkan kakinya kea rah danau. Danau yang
terletak di tengah Hutan Wanawasa itu dikenal masyarakat sebagai Danau Toyawening. Ketika hampir sampai di
danau itu, Jaka Tarub menghentikan langkah kakinya. Telinganya menangkap suara gadis gadis yang sedang
bersenda gurau. “Mungkin ini hanya hayalanku saja”, pikirnya heran.”Mana mungkin ada gadis gadis bermain main
di tengah hutan belantara begini ?”.

Dengan mengendap endap Jaka Tarub melangkahkan kakinya lagi menuju Danau Toyawening. Suara tawa
gadis gadis itu makin jelas terdengar. Jaka Tarub mengintip dari balik pohon besar kearah danau. Alangkah
terkejutnya Jaka Tarub menyaksikan tujuh orang gadis cantik sedang mandi di Danau Toyawening. Jantungnya
berdegub makin kencang.

Jaka Tarub memperhatikan satu satu gadis di danau itu. Semuanya berparas sangat cantik. Dari percakapan
mereka, Jaka Tarub tahu kalau tujuh orang gadis itu adalah bidadari yang turun dari kayangan. “Apakah ini arti
mimpiku waktu itu ?”, pikirnya senang.

Mata Jaka Tarub melihat tumpukan pakaian bidadari di atas sebuah batu besar di pinggir danau. Semua
pakaian itu memiliki warna yang berbeda. “Jika aku mengambil salah satu pakaian bidadari ini, tentu yang punya
tidak akan dapat kembali ke kayangan”, gumam Jaka Tarub. Wajahnya dihiasi senyum manakala membayangkan
sang bidadari yang bajunya ia curi akan bersedia menjadi istrinya.

Dengan hati hati Jaka Tarub berjalan menghampiri tumpukan baju itu. Ia berjalan sangat perlahan. Jika para
bidadari itu menyadari kehadirannya, tentu semua rencananya akan buyar. Jaka Tarub memilih baju berwarna merah.
Setelah berhasil, Jaka Tarub buru buru menyelinap ke balik semak semak.

Tiba tiba seorang dari bidadari itu berkata “, Ayo kita pulang sekarang. Hari sudah sore”. “Ya benar.
Sebaiknya kita pulang sekarang sebelum matahari terbenam”, tambah yang lain. Para bidadari itu keluar dari danau
dan mengenakan pakaian mereka masing masing.

“Dimana bajuku ?”, teriak salah seorang bidadari. “Siapa yang mengambil bajuku ?”, tanyanya dengan suara
bergetar menahan tangis. “Dimana kau taruh bajumu Nawangwulan ?”, tanya seorang bidadari kepadanya. “Disini.
Sama dengan baju kalian..”, Nawangwulan menjawab sambil menangis. Ia terlihat sangat panik. Tanpa bajunya,
mana mungkin ia bisa pulang ke Kayangan. Apalagi selendang yang dipakainya untuk terbang ikut raib juga.
Karena Nawangwulan tidak menemukan bajunya, ia segera masuk kembali ke Danau Toyawening. Teman
temannya yang lain membantu mencari baju Nawangwulan. Usaha mereka sia sia karena baju Nawangwulan sudah
dibawa pulang Jaka Tarub ke rumahnya.

Akhirnya seorang bidadari berkata “Nawangwulan, maafkan kami. Kami harus segera pulang ke kayangan
dan meninggalkanmu disini. Hari sudah menjelang sore”. Nawangwulan tidak dapat berbuat apa apa. Ia hanya bisa
mengangguk dan melambaikan tangan kepada keenam temannya yang terbang perlahan meninggalkan Danau
Toyawening. “Mungkin memang nasibku untuk menjadi penghuni bumi”, pikir Nawangwulan sambil mencucurkan
air mata.

Nawangwulan kelihatan putus asa. Tiba tiba tanpa sadar ia berucap “Barangsiapa yang bisa memberiku
pakaian akan kujadikan saudara bila ia perempuan, tapi bila ia laki laki akan kujadikan suamiku”. Jaka Tarub yang
sedari tadi memperhatikan gerak gerik Nawangwulan dari balik pohon tersenyum senang. “Akhirnya mimpiku
menjadi kenyataan”, pikirnya.

Jaka Tarub keluar dari persembunyiannya dan berjalan kearah danau. Ia membawa baju mendiang ibunya
yang diambilnya ketika pulang tadi. Jaka Tarub segera meletakkan baju yang dibawanya diatas sebuah batu besar
seraya berkata “Aku Jaka Tarub. Aku membawakan pakaian yang kau butuhkan. Ambillah dan pakailah segera. Hari
sudah hampir malam”.

Jaka Tarub meninggalkan Nawangwulan dan menunggu di balik pohon besar tempatnya bersembunyi. Tak
lama kemudian Nawangwulan datang menemuinya. “Aku Nawangwulan. Aku bidadari dari kayangan yang tidak bisa
kembali kesana karena bajuku hilang”, kata Nawangwulan memperkenalkan diri. Ia memenuhi kata kata yang
diucapkannya tadi. Tanpa ragu Nawangwulan bersedia menerima Jaka Tarub sebagai suaminya.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tak terasa rumah tangga Jaka Tarub dan Nawangwulan telah
dikaruniai seorang putri yang diberi nama Nawangsih. Tak seorangpun penduduk desa yang mencurigai siapa
sebenarnya Nawangwulan. Jaka Tarub mengakui istrinya itu sebagai gadis yang berasal dari sebuah desa yang jauh
dari kampungnya.

Sejak menikah dengan Nawangwulan, Jaka Tarub merasa sangat bahagia. Namun ada satu hal yang
mengganggu pikirannya selama ini. Jaka Tarub merasa heran mengapa padi di lumbung mereka kelihatannya tidak
berkurang walau dimasak setiap hari. Lama lama tumpukan padi itu semakin meninggi. Panen yang diperoleh secara
teratur membuat lumbung mereka hampir tak muat lagi menampungnya.

Pada suatu pagi, Nawangwulan hendak mencuci ke sungai. Ia menitipkan Nawangsih pada Jaka Tarub.
Nawangwulan juga mengingatkan suaminya itu untuk tidak membuka tutup kukusan nasi yang sedang dimasaknya.

Ketika sedang asyik bermain dengan Nawangsih yang saat itu berumur satu tahun, Jaka Tarub teringat akan
nasi yang sedang dimasak istrinya. Karena terasa sudah lama, Jaka Tarub hendak melihat apakah nasi itu sudah
matang. Tanpa sadar Jaka Tarub membuka kukusan nasi itu. Ia lupa akan pesan Nawangwulan.

Betapa terkejutnya Jaka Tarub demi melihat isi kukusan itu. Nawangwulan hanya memasak setangkai padi. Ia
langsung teringat akan persediaan padi mereka yang semakin lama semakin banyak. Terjawab sudah pertanyaannya
selama ini.

Nawangwulan yang rupanya telah sampai di rumah menatap marah kepada suaminya di pintu dapur. “Kenapa
kau melanggar pesanku Mas ?”, tanyanya berang. Jaka Tarub tidak bisa menjawab. Ia hanya terdiam. “Hilanglah
sudah kesaktianku untuk merubah setangkai padi menjadi sebakul nasi”, lanjut Nawangwulan. “Mulai sekarang aku
harus menumbuk padi untuk kita masak. Karena itu Mas harus menyediakan lesung untukku”.

Jaka Tarub menyesali perbuatannya. Tapi apa mau dikata, semua sudah terlambat. Mulai hari itu
Nawangwulan selalu menumbuk padi untuk dimasak. Mulailah terlihat persediaan padi mereka semakin lama
semakin menipis. Bahkan sekarang padi itu sudah tinggal tersisa di dasar lumbung.

Seperti biasa pagi itu Nawangwulan ke lumbung yang terletak di halaman belakang untuk mengambil padi.
Ketika sedang menarik batang batang padi yang tersisa sedikit itu, Nawangwulan merasa tangannya memegang
sesuatu yang lembut. Karena penasaran, Nawangwulan terus menarik benda itu. Wajah Nawangwulan seketika pucat
pasi menatap benda yang baru saja berhasil diraihnya. Baju bidadari dan selendangnya yang berwarna merah.. !!

Bermacam perasaan berkecamuk di hatinya. Nawangwulan merasa dirinya ditipu oleh Jaka Tarub yang
sekarang telah menjadi suaminya. Ia sama sekali tidak menyangka ternyata orang yang tega mencuri bajunya adalah
Jaka Tarub. Segera saja keinginan yang tidak pernah hilang dari hatinya menjadi begitu kuat. Nawangwulan ingin
pulang ke asalnya, kayangan.
Sore hari ketika Jaka Tarub kembali ke rumahnya, ia tidak mendapati Nawangwulan dan anak mereka
Nawangsih. Jaka Tarub mencari sambil berteriak memanggil Nawangwulan, yang dicari tak jua menjawab. Saat itu
matahari sudah mulai tenggelam. Tiba tiba Jaka Tarub yang sedang berdiri di halaman rumah melihat sesuatu
melayang menuju ke arahnya. Dia mengamatinya sesaat.

Jaka Tarub terpana. Beberapa saat kemudian ia mengenali ternyata yang dilihatnya adalah Nawangwulan
yang menggendong Nawangsih. Nawangwulan terlihat sangat cantik dengan baju bidadari lengkap dengan
selendangnya. Jaka Tarub merasa dirinya gemetar. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Nawangwulan berhasil
menemukan kembali baju bidadarinya. Hal ini berarti rahasianya telah terbongkar.

“Kenapa kau tega melakukan ini padaku Jaka Tarub ?”, tanya Nawangwulan dengan nada sedih. “Maafkan
aku Nawangwulan”, hanya itu kata kata yang sanggup diucapkan Jaka Tarub. Ia terlihat sangat menyesal.
Nawangwulan dapat merasakan betapa Jaka Tarub tidak berdaya di hadapannya.

“Sekarang kau harus menanggung akibat perbuatanmu Jaka Tarub”, kata Nawangwulan. “Aku akan kembali
ke kayangan karena sesungguhnya aku ini seorang bidadari. Tempatku bukan disini”, lanjutnya. Jaka Tarub tidak
menjawab. Ia pasrah akan keputusan Nawangwulan.

“Kau harus mengasuh Nawangsih sendiri. Mulai saat ini kita bukan suami istri lagi”, kata Nawangwulan
tegas. Ia menyerahkan Nawangsih ke pelukan Jaka Tarub. Anak kecil itu masih tertidur lelap. Ia tidak sadar bahwa
sebentar lagi ibunya akan meninggalkan dirinya.

 “Betapapun salahmu padaku Jaka Tarub, Nawangsih tetaplah anakku. Jika ia ingin bertemu denganku suatu
saat nanti, bakarlah batang padi, maka aku akan turun menemuinya”, tutur Nawangwulan sambil menatap wajah
Nawangsihbakar”, lanjut Nawangwulan.

Jaka Tarub menahan kesedihannya dengan sangat. Ia ingin terlihat tegar. Setelah Jaka Tarub menyatakan
kesanggupannya untuk tidak bertemu lagi dengan Nawangwulan, sang bidadaripun terbang meninggalkan dirinya dan
Nawangsih. Jaka Tarub hanya sanggup menatap kepergian Nawangwulan sambil mendekap Nawangsih. Sungguh
kesalahannya tidak termaafkan. Tiada hal lain yang dapat dilakukannya saat ini selain merawat Nawangsih dengan
baik seperti pesan Nawangwulan

Anda mungkin juga menyukai