Anda di halaman 1dari 27

Peranan Kebudayaan Melayu Riau dalam Bingkai Kebudayaan Nusantara

1.Pendahuluan
Bahasan topik diatas dilakukan pada Seminar “Mengukuhkan Budaya & Identitas Masyarakat
Nusantara” tanggal 8 Mei 2014 di Universitas Andalas (UNAND) Padang-Sumatra Barat.

Klarifikasi topik  : Potensi atau posisi Cipta,rasa,karsa dan karya Orang Melayu Riau dalam
kerangka pemikiran,perasaan,kemauan dan hasilnya manusia / masyarakat yang bersebar di
Nusantara dalam arti luas  yaitu  antara Samudra Pasifik,Atlantik,benua Asia ke Selandia
baru dan diantara terbatas di kepulauan Indonesia dan Tanah Semenanjung Malaysia.Riau
berarti provinsi Riau dan provinsi Kepulauan Riau yang pernah mencapai puncak
pengembangan kebudayaan Melayu.

Pembahasan menggunakan pendekatan Historis (Sejarah) sebagai bagian pendekatan Ilmu


sosial. Pendekatan ilmu sosial mengacu kepada pendapat Prof. Sartono Kartodirdjo (1993)
yang mengutarakan bahwa pendekatan ini menentukan peristiwa sejarah dari segi mana kita
memandangnya: dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkan, dan
lain sebagainya. Pendekatan sosiologi meneropong segi sosial peristiwa yang dikaji,
golongan sosial mana yang berperan, serta nilai-nilainya, hubungan dengan golongan lain.
Pendekatan antropologis mengungkapkan nilai-nilai dari prilaku tokoh sejarah, sistem
kepercayaan, pola hidup dan lain sebagainya. Pendekatan politikologis mempelajari struktur
kekuasaan, jenis kepemimpinan, dan hirarki sosial.

Metode historis menurut Gilbert J. Gragghan (1957) ialah seperangkat aturan dan prisip
sistimatis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif dan menilainya secara
kritis dan mengajukan sintesis secara tertulis. Lebih lanjut Louis Gottschalk (1983)
mengatakan metode sejarah sebagai proses menguji dan analisis kesaksian sejarah guna
menemukan data yang autentik dan dapat dipercaya, serta sintesis kisah sejarah yang dapat
dipercaya, langkah-langkahnya; pengumpulan objek, menyingkirkan bahan-bahan yang tidak
autentik, penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya menjadi kisah atau penyajian yang
berarti. Ringkasnya disebut; heuristic, kritik atau verifikatif, aufassung, atau interpretasi, dan
derstellung atau historiografi. Oleh Kuntowijoyo (1995) ditambahkan pemilihan topik dan
rencana penelitian.

Merujuk kepada pendekatan dan metode di atas akan dapat dinarasikan hasil pembahasan.
Membahas topik diatas  dapat dikaji sejak ribuan tahun sebelum Masehi (pra sejarah), masa
kuno, seterusnya sejak masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara khususnya di pantai
Timur Sumatra, di sepanjang Selat Melaka, di Tanah Semenanjung, di pantai utara dan pesisir
Kalimantan/Borneo sejak abad 7 M yang dibawa oleh para pedagang dari tanah Arab. 

Pada perjalanan Islam menuju Selat Melaka, para pedagang itu singgah di Malabar, Cambay,
dan Gujarat (India). Sejak itu Islam berpengaruh sebagai agama dan budaya yang
menentukan pertumbuhan dan perkembangannya. Kawasan Nusantara sendiri didiami oleh
penduduk yang berbudaya Melayu, penggunaan bahasa Melayu, dan sejak Islam dianut
sebagai agama oleh Orang Melayu tersebut, maka dengan sendirinya telah terjadi pengaruh
agama Islam terhadap segala aspek kehidupan Orang Melayu, meliputi bahasa, adat-istiadat,
pandangan hidup, alam pikiran, dan lain-lain.

Dalam mempelajari peranan kebudayaan  Melayu dalam bingkai kebudayaan Nusantara 


dapat dirujuk berbagai aspek di atas, terutama ditinjau dari segi unsur-unsur
budaya/peradaban Melayu dan kaitannya dengan unsur-unsur budaya universal sebagaimana
yang diutarakan oleh para ahli antropologi seperti C. Kluckhon (1944}, B. Malinowski dan
G. Murdock (1940), yaitu bahasa, ekonomi, teknologi, organisasi soisal, system pengetahuan,
religi dan kesenian (Suwardi MS, 2005).

Pada uraian ini hanya akan membahas, sejarah perjalanan budaya Melayu, ciri-ciri Melayu:
Melayu adalah Islam, bahasa dan sastra, nilai dan adat-istiadat, kondisi dan potensi Melayu
kini, cabaran globalisasi, sehingga kebudayaan  Melayu sebagai inti kebudayaan Nusantara
tetap kukuh dan menjadi identitas  Masyarakat Nusantara .Dilanjutkan penyajian usaha-usaha
pewarisan kepada generasi penerus. Dari uraian itu dapat disimpulkan bahwa kebudayaan
melayu tetap kukuh sebagai masyarakat Nusantara,  identitas Melayu sebagai jati diri 
Melayu yang selalu  perkasa  dan diharapkan mampu memberi keperkasaan kepada insan
Melayu Nusantara itu yang Islami, yaitu Agama Islam, Bahasa Melayu, dan Adat Melayu.
Secara ringkas dapat diformulasikan bahwa Melayu identik dengan Islam terutama sejak
pemimpin kerajaan menjadi penganut Islam dan selanjutnya sebagian besar masyarakatnya
menjadi penganut Islam. Adat Orang Melayu pun selanjutnya menganut filosofis “Adat
Bersendi Syarak, Syarak Bersendikan Kitabullah”.  

Filosofi tersebut diharapkan dimiliki generasi penerus sehingga kehidupan masyarakat


menjadi kuat dan kukuh, “perkasa” dan mampu membentengi dirinya dari cabaran nilai-nilai
yang bertentangan dengan nilai Melayu yang Islami itu. Untuk lebih jelasnya ikutilah
bahasan bagian-bagian selanjutnya.
2.Asal-muasal Kebudayaan Melayu 
Kajian Kebudayaan Melayu Riau tidak boleh dilepaskan dari perjalanan Sejarah di Nusantara
yang dapat diikuti uraian berikut.
A. Masa Prasejarah
Masa prasejarah diawali dengan peninggalan benda purbakala di berbagai wilayah diantara
Samudara Pasifik dan Samudra Atlantik, khususya dari Yunan di Tiongkok Selatan dan
Taiwan (Formosa ) sampai Kepulauan Nusantra seperti Kepulauan Indonesia dan
Semenanjung Melayu. Diantaranya peninggalan benda terbuat dari batu dan logam, batu tua
(paleolitikum), batu tengah (mesolitikum), batu baru (neolitikum), perunggu dan besi;
berbentuk benda tempayan, moko, nekara, patung perunggu, dan sebagainya. 

Kepercayaan mereka animisme, politeisme dan seterusnya mendapat pengaruh dari Hindu,
dan budha, seterusnya agama Islam. Sistem kehidupan mulai dari pengumpul (foodgathering)
sampai pengolahan (food production), kemampuan bertani—menanam, dan pandai membuat
perlatannya dari logam seperti parang, cangkul, sabit, trisula, dan sebagainya.

Bahasa yang mereka gunakan bahasa Melayu yang mulai tersebar ke Nusantra sejak 3000
SM -1500 SM, gelombang pertama dan gelombang kedua pada 1500 SM-500 M dikenal
Melayu Tua (proto Melay) dan Melayu Baru (Deutro Melay). Menurut seorang ahli bahasa
Von Humboldt, adanya kerumpunan antara bahasa Melayu dan bahasa Polinesia (Slamet
Mulyono, 1982: 20) ada dua ratus kosa kata yang sama diantara pemakai bahasa di
Kepulauan Nusantara itu. Kosa kata itu seperti kata-kata: padi atau pare, buluh atau bamboo
(awi), mentimun, jelatang, tuba, talas, ubi, tebu, nyiur, dan sebagainya (H. Kern, 1889:105-
120).

B. Masa Kuno
Pada masa kuno pendukung budaya Melayu bermastautin di Kepulauan Nusantra dari Pulau
Pas (Timur) dan Madagaskar (Barat), serta Formosa (Utara) dan Selandia Baru (Selatan).
Penyebarannya diantaranya di Indonesia dan pulau-pulau besarnya serta di Tanah
Semenanjung Malaya. Persebaran Melayu itu seperti dikemukakan oleh Arkeolog dan ahli
bahasa seperti peta segitiga  dibawah ini 

Mereka mendirikan kerajaan-kerajaan seperti di Kalimantan Timur bernama Kerajaan Kutai,


di daerah Bogor bernama Kerajaan Taruma Negara. Bahasa yang digunakan adalah
Sansekerta, huruf Pallawa pada prasastinya, agamanya sudah Hindu, isi dari tulisan itu
menyatakan pengorbanan kepada para dewa pada setiap bulan purnama.  
Pada abad ke 7-14 M berdiri Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan berkembang sampai ke
Tanah Semenanjung Melaya sampai batas Thailand, dan di Jawa berpusat di Jawa Tengah
seperti di Magelang, didirikan stupa Borobudur, di Kalasan ada Stupa Kalasan dekat
Jogyakarta. Prasasti Sriwijaya menggunakan bahasa Melayu kuno seperti untuk kata perahu
atau sampan disebut sambau, laksa sama dengan sepuluh ribu, hyang menyebut gelar raja
seperti kata Dapunta Hyang, kata minanga=sungai, tamwan =temon= pertemuan, dan
sebagainya.

Kerajaan Sriwijaya berhasil membangun kekuasaan meliputi negeri di Nusantra Barat,


Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, dan memajukan agama Budha, perdagangan dan
pendidikan. Di bidang pendidikan terbukti mengirim mahasiswa ke Universitas Nalanda di
India sekitar abad 9 M sebagaimana tertulis pada prasasti Nalanda yang isinya antara lain
Raja Dewapala Dewa menghadiahkan lima desa kepada Raja Sriwijaya untuk membuat
asrama bagi pelajar-pelajar Sriwijaya yang belajar di Universitas Nalanda.

Pada abad ke 7 M (644/645 M) berdiri kerajaan Melayu Jambi sampai 771 M dan selanjutnya
sejak berkembang Sriwijaya dikuasai Sriwijaya. Pusat Sriwijaya berpindah-pindah
(Palembang, Jambi, di Sekitar Jogyakarta (Kalasan, Parambanan, Magelang),
Semenanjung/Tanah Genting Kra = Situmarat (Thailand) dan peninggalannya terdapat juga di
Riau, yaitu di Kampar, tepatnya di Kecamatan XIII Koto Kampar dengan desanya Muara
Takus, dikenal Candi Muara Takus. Juga sisa batu bata ditemukan di Padang Candi (Desa
Betung, Lubuk Jambi, Cerenti di Pulau Jambu dan di Sikakak, Kuantan Singingi).

Pada akhir pemerintahan Sriwijaya sekitar abad ke-13 M, Raja Sriwijaya, Sang Sapurba,
bermaksud mencari pusat baru. Setelah sampai di Bintan, ia terus ke barat menuju Sungai
Indragiri. Di sini beliau mendirikan Kerajaan Keritang. Selanjutnya bernama Indragiri dan
terus ke barat didirikan Kerajaan Kandis di Kuantan dengan pusatnya di Sintuo. Seterusnya
berdiri Kerajaan Melayu di Darmasraya (Sumatra Barat).  Mula-mula pusatnya di Sungai
Langsat (Kiliranjao) terus masa Adityawarman menjadi raja, Kerajaan Darmarsyaraya ibu
kotanya dipindahkan ke Pagaruyung di Batusangkar.

3.Perkembangan Islam dan kebudayaan Melayu di Malaka,Johor,Riau

Seterusnya pusat-pusat pemerintahan Melayu berkembang dari Bintan (kepulauan Riau) ke


Tumasik/Singapura  terus ke Melaka dan Semenanjung umumnya dari abad ke 14 M sampai
abad ke 16 M. Sejak pertengahan abad ke 16 M pusatnya berada di  Riau-Johor, terus ke
Riau-Lingga,Siak Sri Indrapura, Kampar, Indragiri, Rokan, ,(kemaharajaan Melayu) dan
seterusnya.

Islam itu menyebar di Nusantara-Indonesia termasuk di kawasan pendukung budaya Melayu,


seperti di kawasan Pantai Timur Sumatera, Pantai Utara Jawa, Pantai Kalimantan, Sulawesi,
Kepulauan Maluku dan sebagainya. Penyebaran agama Islam dilakukan melalui perdagangan
yang berjalan dengan damai. Sebagaimana dimaklumi bahwa sistem pelayaran dan
perdagangan antara Timur dan Barat telah berlangsung sejak permulaan tahun Masehi.

Sejak zaman kuno, lokasi Kepulauan Nusantara merupakan tempat persilangan jaringan lalu
lintas laut yang menghubungakan Benua Timur dan Benua Barat. Navigasi dengan teknologi
kapal layar mula-mula terutama menempuh jalur menyusur pantai. Dengan dikenalnya
astronomi atau ilmu bintang serta sistem angin yang berlaku di lautan Indonesia dan lautan
Cina pada umumnya dan lautan Nusantara khususnya, pelayaran itu menentukan
terbentuknya kota-kota pelabuhan serta pusat-pusat kerajaan. Dari kota-kota pelabuhan dan
ibu kota kerjaan itu terkumpul hasil bumi dan barang dagangan yang menimbulkan ramainya
perdagangan ke Indonesia. Kota-kota pelabuhan itu menjadi teminal jalur perdagangan antara
Teluk Persia, Jazirah, Arab dan secara bersambung melewati Gujarat, Malabar, Koromandel,
dan sampai ke Indonesia (Sartono Kartidirdjo, 1987).

Haji Agus Salim (1962) pernah mengatakan bahwa jalan laut ke Timur ini tersebut dalam
kitab-kitab Arab. Sesudah menyusur pantai Semenanjung India sampai ke Kulan (Quilon) di
Pesisir Malabar, masuk ke lautan besar di sebelah Timur Ceylon. Dari situ ke ujung Utara
Pulau Sumatera (Tanah Aceh) terus melalui Selat Malaka ke Kedah, lalu ke Selatan sampai di
Palembang menyeberang ke Pulau Jawa, menyusur Pantai Utara Pulau Jawa, balik pula ke
Utara, dan setelah 15 hari di laut sampai ke Kamboja.

Dari situ menyusur pantai pula, melalui Cochin-Cina sampai ke Pesisir Tiongkok. Di situ
pula melalui sepanjang pesisir pulang pergi memakan waktu 40 hari. Setelah berhenti
beberapa lama menantikan musim angin baik, kemudian berlayar pulang 40 hari pula
lamanya. Begitulah perjalanan itu tiap-tiap tahun. Di jalan pergi dan pulang, tiap-tiap kali
pelabuhan-pelabuhan di Jawa dan Sumatera mesti disinggahi.

Dari uraian itu ternyata Islam telah dianut oleh penduduk di Sumatera dan Jawa pada abad
ke-8, yaitu bersamaan dengan masuknya Islam ke Tiongkok. Demikian pula Zainal Abidin
Abbas (1952) mengatakan bahwa orang Arab Islam telah mempunyai hubungan perdagangan
yang luas sekali dengan negeri-negeri Timur. Malah pada abad 7 M, Raja Tiongkok, Tai Tsi
Tung telah menganut Islam. Sayed Alwi Tahir al Had, mufti Kerajaan Johor mengatakan
bahwa Islam masuk ke Indonesia dalam abad 7 M dan Sumatera tahun 650 M.

H.M.Zainuddin mengatakan sebelum Nabi Muhammad  SAW wafat, telah dikirim utusan ke
Tiongkok. Setelah Rasulullah wafat abad 7 M (632 M), berangkatlah satu ekspedisi terdiri
dari beberapa orang saudagar Arab. Beberapa orang mubaligh Islam ikut dalam rombongan
itu berlayar ke negeri China tinggal di Kanton dan singgah pula di Pelabuhan Sumatera Utara
(Aceh), yaitu Lamuri. Pada tahun 82 H (717 M) berlayar pula 33 buah kapal Arab-Persia
dikepalai oleh Zahid ke Tiongkok dan singgah pula di Sumatera Utara (Aceh), Kedah, Siam,
Brunei dan lain-lain. Kepentingan mereka adalah untuk berdagang dan menyebarkan Islam.

Disebutkan Dr. Hamka (1975) terdapat Pelabuhan Kalah yang menjadi kota pertemuan antara
pedagang dari Tiongkok. Hal yang sama juga diungkapkan Van Leur bahwa abad 4 M,
Kanton telah menjadi koloni pedagang Arab. Dari Kanton itu telah berdagang pula ke
Sumatera sekitar abad 7 M (674 M). T.W Arnold dalam bukunya “The Preaching of Islam”
menyebutkan pada 674 M telah ada koloni Arab di Pantai Barat Sumatera dan ada dari
pembesar Arab itu yang menjadi kepala koloni di sana, yaitu sekitar 676 M (Sidi Ibrahim,
1971).

Pada  masa awal penjajahan, orang Melayu memang terpinggirkan secara struktural maupun
kultural. Barulah di akhir penjajahan, orang Melayu mulai mendapat tempat trutama dalam
pendidikan. Bahasa Melayu sudah mulai diajarkan dan digunakan sebagai bahasa pengantar
di sekolah-sekolah. Pada tahun 1928 di Indonesia misalnya para pemuda mengucapkan
sumpah yang melahirkan tiga ciri Indonesia, yaitu: ”Kami putra-putri Indonesia mengaku:
Bertanah air satu, tanah Air Indonesia, Berbangsa satu, bangsa Indonesia, Menjunjung bahasa
persatuan yaitu bahasa Indonesia (dari bahasa Melayu).”  

Pada masa ini pula Inggeris  dan Belanda menetapkan Indonesia dan termasuk Riau dan
kepualauan Riau menjadi jajahan Belanda sedangkan Singapura dan Semenanjung Malaysia
menjadi jajahan Inggris dari perjanjian London tahun 1824 M.  Secara geopolitik terjadi
pemisahan Indonesia dan Semenanjung serta Singapura. Akan tetapi secara geocultural
Semenanjung dan Indonesia tetap menumbuhkan-kembangkan kebudayaan  Melayu.Secara
khusus Riau dan kepulauan Riau senantiasa menjadi melahirkan berbagai unsur Kebudayaan
Melayu berkembang seperti bahasa,sastra,adat,kesenian dan sebagainya.

Bahasa Indonesia yang asalnya dari  bahasa Melayu baku dari Riau yang telah di-pergunakan
dalam berbagai pertemuan di Indonesia, terutama dalam memusyawarahkan kepentingan rasa
persatuan dan kesatuan menuju Indonesia merdeka. Perwujudan lebih kongrit/gamblang lagi
bahwa dalam salah satu pasal uud 1945 dikatakan bahwa bahasa Nasional ialah bahasa
Indonesia. Masa ini negeri Melayu di Indonesia sejak 17 Agustus 1945 menjadi Negara
Republik Indonesia (NKRI) dengan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara.
Sementara di negeri Melayu di Tanah Semenanjung mencapai kemerdekaan pada 31 Juli
1957.    

Kebudayaan Melayu mulai kemerdekaan diproklamasikan sudah mendapat tempat yang jelas
seperti tertuang pada UUD 1945. Namun ciri-cirinya belum dirumuskan sebagaimana
mestinya. Tetapi kesepakatan ialah bahwa kebudayaan Indonesia “Bhineka Tunggal Ika,
berbeda-beda tetapi tetap satu jua.” Secara konstitusi, Melayu merupakan salah satu bagian
dari ratusan suku dan bahasa daerah. Sayangnya, bahwa Melayu yang identik dengan bahasa
Indonesia, hanya dijadikan sebagai bahasa ibu bagi pendukungnya. Namun tidak dipelajari di
sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Akibatnya bahasa Melayu tidak
berkembang,namun sebagai bahasa daerah senantiasa dipelihara oleh masyarakatnya.

4.Riau dan kepulauan Riau sebagai pusat pengembangan Kebudayaan Melayu

Riau sebagai pusat kemaharajaan Melayu yang Islami sejak kurun 16 M telah mampu
mengembangkan sikap dan prilaku masyarakatnya sehingga menjadi jati dirinya dalam
berbagai aspek.

a.Bahasa dan Sastra

Pengaruh perkembangan agama Islam kepada kehidupan sehari-hari orang Melayu semakin
mendalam. Dalam kehidupan masyarakat semakin menonjol nilai-nilai keislaman. Walaupun
memang di sebagian wilayah ciri-ciri nilai yang telah berurat berakar pada orang asli tetap
kentara pada setiap perilaku masyarakat

Budaya Melayu melalui bahasanya yang agung seperti dimaklumi telah menjadi lingua franca
di Nusantara sekurang-kurangnya sejak enam abad yang lalu. Budaya Melayu menjadi bahasa
penghubung antara berbagai suku bangsa di Nusantara dan dari pulau-pulau di Pasifik dan
Madagaskar. Budaya Melayu menurut Jan Hungger Van Linschoten yang mengunjungi
Indonesia pada pertengahan abad 16 M  telah masyhur dan dianggap bahasa yang sehormat-
hormatnya dan sebaik-baiknya dari segala bahasa di Timur (Hasyim, 1985).

Pengaruh Islam pada budaya Melayu seperti dipergunakannya Aksara Arab-Melayu, Arab
Gundul, Huruf Jawi pada karya tulis Melayu. Karya tulis berupa naskah Melayu yang ribuan
banyaknya (6000-10.000) sudah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Naskah Melayu itu
menyangkut kerjaan-kerajaan seperti Kerajaan Samudera Pasai, Melaka, Banten, Demak,
Mataram, Riau-Johor-Pahang dan Lingga. Diantara beberapa naskah Melayu itu ada Hikayat
Pasai, Hikayat Petani, Hikayat Johor, Hikayat Siak, dan sebagainya.

Karya tulis itu merupakan karya para ulama dan sastrawan Islam, baik sebagai karya ilmiah
maupun karya sastra. Tujuan penulisan naskah ini sebagai media dakwah islamiyah di
Kepulauan Nusantara. Perkembangan Islam di Jawa telah dipelopori oleh Wali Songo
sehingga Islam menjadi agama pada kerajaan-kerajaan di Banten, Demak, dan Mataram.
Sunan Kalijaga mengembangkan Islam dengan wayang sebagai media utamanya melalui
pertunjukan wayang dengan memasukkan kriteria-kriteria ajaran Islam. Sultan sebagai
pemimpin kerajaan sekaligus pemimpin agama sehingga kepatuhan rakyat kepada
pimpinannya sama dengan ketaatan kepada Tuhan. 

Dalam bidang sastra ditemukan besarnya peranan agama Islam dalam pembinaan dan
peningkatan martabat sastra Melayu. Para ulama Tasauf telah menghasilkan karya besar
dalam membina dan mengembangkan kesusastraan Melayu sehingga mencapai martabat
yang tinggi dalam lingkungan sastra dunia. Mereka diantaranya adalah Syeckh Hamzah
Fansuri yang hidup pada abad 11 M (17 M), Syamsudin Sumatrani, Syekh Nurrudin Ar
Raniry, dan Syekh Adurauf Syahkuala (Ismail Husein, 1984). Pada abad ke-19 M terkenal
pula Raja Ali Haji dari Riau dengan berbagai karya terkenalnya seperti Gurindam 12 yang
antara lain berbunyi :
Pasal Pertama :

Barang siapa mengenal yang empat


Maka dia itulah orang yang makrifat

Barang siapa mengenal Allah


Suruh dan tegahnya tiada mengalah
 
Barang siapa mengenal diri
Telah mengenal Tuhan yang bahari

Barang siapa mengenal akhirat


Tahulah dia dunia melarat.

Pasal Keempat :
Barang siapa meninggalkan sembahyang
Seperti rumah tidak bertiang

Barang siapa meninggalkan puasa


Tidaklah dapat dua tamasa

Barang siapa meninggalkan zakat


Tiada bertanya beroleh berkat
Barang siapa meninggalkan haji
Tidaklah dia menyempurnakan janji

Raja Ali Haji dengan karyanya yang lain Thammarat Al-Muhammah, Tuhfat Al Nafis,
Silsilah Melayu dan Bugis, Kitab Pengetahuan Bahasa, dan sebagainya telah menunjukkan
motivasi manusia dan hubungan mereka dengan Tuhan (Andaya dan Matheson, 1993). Tahfat
Al Nafis tema tanggung jawab manusia tampak menjiwai teks tesrebut. Kehendak Allah yang
membatasi kebebasan seseorang menentukan sejarah, tetapi faktor-faktor yang membentuk
episode yang spesifik dan menentukan lika-liku hubungan manusia dengn sesamanya adalah
manusia sendiri. Tuhfat menyatakan pula bahwa kelemahan manusia dan pembangkangan
terhadap hukum Allah merupakan penyebab segala konflik dan bencana yang menghinggapi
masyarakat.

Kitab Pengetahuan Bahasa menyebutkan perilaku yang benar dinyatakan menurut perintah
ajaran Islam. Dengan bimbingan agama manusia lebih tinggi derajatnya dari makhluk lain di
dunia dan mendekatkan kepada Tuhan, shat-malu (rendah hati), ilmu (pengetahuan), dan akal
(nalar) dapat dipelihara. Dalam kitab ini termuat “Loghat wafiha abuab”, yaitu suatu kitab
tentang bahasa Melayu dan di dalamnya beberapa bab antara lain disebutkan “Allah”, yaitu
“Isim Al Zat”, yakni nama Tuhan kita yang maha besar dan maha mulia. Dialah tuhan kita
yang wajib alwujud yakni adanya mustahil tiadanya (Hamzah Yunus, 1986). “Manusia” (Alip
Insan), yaitu makhluk yang dijadikan Allah dari pada tidak kepada ada. Jasadnya dijadikan
terdiri dari empat anasir, yaitu api, angin, air dan tanah.

Sebagai seorang muslim yang baik, Raja Ali Haji percaya bahwa zaman keemasan perubahan
manusia telah ada semenjak zaman Nabi dan guru-guru yang masyhur, tetapi kemudian nilai
kehidupan menjadi semakin menurun. Manusia tidak sanggup menghentikan kerusakan yang
tidak terelakkan ini, tetapi dapat memperlambat prosesnya dengan berpegang teguh pada
ajaran leluhur, mempertahankan tradisi masa lalu, dan menjauhi inovasi.

Dalam Tharnmarat al Mahammah, Raja Ali Haji antara lain mengatakan dengan tegas
seorang raja yang melalaikan agamanya dengan kata dan perbuatan, tidak dapat diterima
sebagai penguasa lagi. Hal ini seperti disebutkan dalam ungkapan, “Raja adil raja disembah,
Raja lalim raja disanggah”.

b. Adat Istiadat
Adapun adat Melayu di Riau dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu ”Adat sebenar adat”,
“Adat yang diadatkan”, dan “Adat yang teradat”.
1) Adat sebenar adat
Dimaksud dengan adat sebenarnya adat adalah prinsip adat Melayu yang tak dapat di ubah-
ubah. Prinsip tersebut tersimpul dalam “Adat Bersandikan Syarak”. Ketentuan-ketentuan adat
yang bertentangan dengan hukum syarak tak boleh dipakai. Hukum syaraklah yang dominan.
Di dalam berbagai ungkapan dinyatakan :

Adat berwaris kepada Nabi


Adat berkalifah kepada Adam
Adat berinduk ke Ulama
Adat bersurat dalam kertas
Adat tersirat dalam sunnah
Adat dikukung Kitabullah
Itulah adat yang tahan banding
Itulah adat yang tahan asak

Dasar adat Melayu menghendaki sandaran-sandarannya kepada sunnah Nabi dan Al-Quran.
Prinsip itulah yang tidak dapat di ubah alih, tidak dapat dibuang, apalagi dihilangkan. 
     
2) Adat yang diadatkan
Adat yang diadatkan adalah adat yang dibuat oleh penguasa pada suatu kurun waktu dan terus
berlaku jika tidak diubah oleh penguasa berikutnya. Adat ini dapat berubah sesuai dengan
perkembangan zaman dan situasi yang mendesak. Dapatlah disamakan dengan “peraturan
pelaksanaan” dari sesuatu ketentuan adat. Perubahan itu terjadi untuk menyesuaikan diri
dengan perkembangan zaman dan perkembangan pandangan dari pihak penguasa seperti kata
pepatah, “Sekali air bah, Sekali tepian berubah”. Dalam ungkapan adat selalu dijumpai kata-
kata berikut :

Adat yang diadatkan


Adat yang turun dari raja
Adat yang datang dari datuk
Adat yang cucur dari penghulu
Adat yang dibuat kemudian 

3) Adat yang teradat


Adat ini merupakan konsensus bersama yang dirasakan cukup baik sebagai pedoman
menentukan sikap dan tindakan dalam menghadapi setiap peristiwa dan masalah-masalah
yang dihadapi oleh masyarakat. Konsensus itu dijadikan pegangan bersama, sehingga
merupakan kebiasaan turun temurun. Oleh sebab itu, adat dengan teradat inipun dapat
berubah-ubah sesuai dengan nilai-nilai baru yang berkembang  kemudian. Tingkat adat nilai-
nilai baru yang berkembang kemudian disebut sebagai “tradisi”. Di dalam ungkapan adat
disebut sebagai berikut :

Adat yang teradat


Datang tidak bercerita
Pergi tidak berkabar
Adat disarung tidak berjahit
Adat berkelindan tidak tersimpul
Adat berjarum tidak berbenang
Yang tebawa burung lalu
Yang tumbuh tidak ditanam
Yang kembang tidak berkuntum
Yang bertunas tidak berpucuk
Adat yang datang kemudian
Yang diseret jalan panjang
Yang betenggek disampan lalu
Yang berlabuh tidak bersauh
Yang berakar berurat tunggang
Itulah adat sementara
Adat yang dapat dialih-alih
Adat yang dapat ditukar salin (Wan Ghalib, 1985).

c. Kesenian
Salah satu jenis kesenian dalam kebudayaan Melayu adalah teater. Teater Melayu seperti
Mak Yong dan Mendu terungkap kepercayaan yang dalam dari orang Melayu kepada yang
Maha Pencipta. Mak Yong adalah bentuk kesenian yang dikaitkan dengan pemujaan
Ma’Hyang atau The Mother Spirit, yaitu pemujaan dengan Dewi Sri atau Dewi Padi (Julianti
L. Parani, 1986). Seni lakon Mendu memiliki persamaan dengan lakon Ramayana. Seni lakon
ini memainkan satu cerita, yakni Hikayat Dewa Mendu. Sikap hidup mengakui adanya
kekuasaan Tuhan yang Maha Kuasa seperti diungkapkan:

Tegak alif
Lurus tabung
Sejauh-jauh perjalanan
Pulang pada yang satu jua
Kaya benda tinggal di dunia
Kaya iman di bawa mati (Depdikbud, 1985).

Isi cerita biasanya berkisar melakonkan kisah-kisah raja-raja, jin dan marabang, peri
desemaraki dengan lawak jenaka (BM Syam, dkk, 1985). Salah satu pengaruh Islam yang
sangat besar yang meresap dalam kesenian yang seakan-akan menghapus budaya Hindu dan
Budha sebelumnya, yakni Kesenian Zapin (Gambus), Khasidah, Rodat (Barodah), dan Zikir
Barat adalah pengaruh dari kebudayaan Islam tersebut (Tengku Luckman Sinar, SH, 1990).
Pada kesenian Melayu Riau tercermin pula pada arsitektur seperti pada arsitektur
pemakaman, mesjid, dan bangunan lainnya. Unsur-unsur kubah pada mesjid dan pemakaman
seperti terdapat di pemakanan dan Mesjid Penyengat mempunyai 17 menara sebagai lambang
dari 17 rakaat sembahyang sehari semalam. Unsur kesenian bela diri seperti silat
mengandung ajaran agama Islam. Mereka yang mengikuti silat harus mampu menerapkan
kalimat-kalimat Tuhan pada setiap gerak langkahnya.
 
d. Islam sebagai alam pikiran Orang Melayu
Sebagaimana telah diuraikan pada masa tumbuh dan berkembang Islam di nusantara bahwa
pengaruhnya meliputi bahasa dan sastra, adat-istiadat, dan kesenian orang Melayu. Kondisi
itu memberi ciri kepada Melayu: beragama Islam, berbahasa Melayu dan beradat istiadat
Melayu. Mengingat orang Melayu dengan ciri ini, maka pandangan hidup secara Islam lebih
banyak diuraikan. Dengan demikian, alam pikirannya tentu tidak terlepas dari sudut
pandangan Islam.

1). Manusia dengan Tuhan


Orang Melayu sebagai kumpulan manusia-manusia yang telah menggunakan daya, cipta, rasa
dan karsanya telah melahirkan budaya Melayu. Menurut pandangan, orang Melayu dalam
pertumbuhan dan perkembangannya dari sejak adanya telah mengakui bahwa ada kekuatan di
luar kekuasaan manusia itu. Pandangan seperti ini dikenal dengan animisme dan dinamisme.
Menurut mereka kekuasaan Sang Pencipta itu disimbolkannya kepada berbagai bentuk yang
terdapat dalam alam raya ini, seperti batu, pohon (animisme) dan di lain pihak mereka
memandang roh manusia mempunyai kekuatan (dinamisme). 
Mereka mengakui dan mempercayai kekuasaan lebih tinggi yang lebih dikenal dengan
Tuhan, yang bagi Orang Melayu disebut Allah. Orang Melayu telah menganut agama Islam,
adalah orang yang taat dalam menjalankan ajaran Allah yang terdapat dalam Al-Quran,
Hadits yang dibawakan oleh para Imam, Ulama dan Guru Agama sebagai sumber dalam
kehidupan beragama. Manusia yang taat itu akan menjadi manusia yang mampu
mengendalikan diri dengan (akal dan pikirannya) untuk selalu berbuat baik.dalam kehidupan
sehingga hubungan manusia dengan alam yang diinginkan adalah keharmonisan
hubungannya dengan Tuhan, Alam semesta dan  sesama manusia serta  dalam diri manusia
itu sendiri.

2). Manusia dengan Lingkungan Masyarakatnya


Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individu
tidak bisa hisup sendirian tetapi hidup berkelompok. Kelompok manusia yang paling kecil
disebut keluarga dan kelompok besar disebut bangsa. Orang Melayu dalam ungkapan-
ungkapan yang bermakna menunjukkan sikap hidup kemanusiaan, persatuan, musyawarah,
keadilan sosial. (Depdikbud, 1985). Ungkapan tersebut seperti dimuat dalam Gurindam 12
pasal keduabelas :
Raja bermufakat dengan menteri
Seperti kebun berpagar duri

Betul hati kepada raja


Tanda jadi sembarang kerja
Hukum adil kepada rakyat
Tanda raja beroleh inayat… (Sejarah Riau, 1977).

Raja Ali Haji telah menekankan konsep idealnya dalam Thammarat al-Muhammah dan
Intizam Wazaif Al-Malik tentang masyarakat. Menurutnya pada kedua karya tersebut, bahwa
fungsi negara dan kewajiban utama masyarakat adalah menciptakan iklim yang mendorong
pelaksanaan agama yang wajar, sehingga tiap orang dapat melaksanakan tugas spritualnya
dan mempersiapkan dirinya untuk hari kiamat.

Inilah sebabnya Tuhan mengangkat raja-raja yang harus memberi teladan dengan tingkah
laku yang terpuji dan membantu manusia mempersiapkan diri bagi dunia yang akan tiba. Raja
hendaknya mampu membedakan yang baik dan yang buruk, karenanya pula merekalah yang
meletakkan aturan-aturan bagi masyarakat. Raja Ali Haji menggunakan pula konsep ideal
tantang raja dalam politik praktis. Di bawah pemerintahan raja yang baik, negaranya pun
menjadi sejahtera.

Menjadi tugas generasi sekarang untuk mempelajari, berlomba dengan para orang saleh yang
telah pergi dan menjaga masyarakat sebagaimana telah dibina raja-raja bijaksana. Dengan
adanya raja yang bijaksana itulah dapat diwujudkan persatuan antara Suku Melayu dan Bugis
dalam suatu sumpah setia untuk penyelenggaraan pemerintahan di Kerajaan Riau-Lingga
yang akhirnya mampu dicapai masa kejayaan yang gemilang dan sejahtera. Perwujudan
persatuan ini sangat penting dan ini suatu nilai yang telah berkembang dalam masyarakat
Melayu, dan menjadi milik dari bangsa yang perlu terus dibina demi kemajuan bangsa kita.
Orang Melayu beruntung dipimpin oleh orang-orang yang berilmu yang diperolehnya, ilmu
dan akal sebagai karunia Allah. Lewat kebijaksanaan mereka, perdamaian dapat
dikembalikan lagi dengan dilaksanakannya sumpah setia. Pandangan dan alam pikiran yang
diungkapkan mereka yang berilmu dan berakal itu tentang manusia dan masyarakatnya akan
menunjukkan nilai-nilai budaya Melayu tentang persatuan, perdamaian, kesejahteraan untuk
setiap orang yang telah tumbuh dan berkembang yang akan menjaga khasanah bagi budaya
bangsa kita.

3). Manusia Dengan Alam


Manusia dengan alam saling membutuhkan dalam kelangsungan hidupnya. Manusia ciptaan
Tuhan tersebut seperti Orang Melayu dalam menyampaikan pesan seperti terungkap dalam
tradisi tulisan dan lisan selalu menggunakan gelaja alam dan isi alam, yaitu :

Berbapak ke langit, Beribu ke bumi


Laut sakti, Rantau bertuah
Kecil laut, besar laut, laut juga namanya.
Tuah ayam terletak di kakinya
Tuah hamba sahaya tergantung kepada tuannya
Tuah negeri ditentukan oleh rajanya.

Artinya    :    Kalau seseorang mau bahagia, berusahalah sendiri, jangan menggantungkan
nasibnya kepada orang lain. Sebab bila sudah menjadi hamba sahaya orang lain hidupnya
akan tergantung kepada majikannya.

Menengok angin pada pohon


Melihat tingkah pada telatah
Artinya:    Dari segala atau tanda yang tergambar dari perbuatan se-seorang dapat diketahui
tabiat dan perangainya. 

Yang hanyut buih, yang tenggelam lunas


Yang bergerak dayung, yang terkembang layar
Yang bijaksana orang.
Artinya    :    Bahwa segala sesuatu benda itu sudah tertentu kebiasaan dan kegunaannya.

Alam gaib dan alam nyata merupakan dua ujud alam menurut pandangan orang Melayu.
Pandangan tentang alam gaib merupakan pengakuan, kepercayaan tentang adanya kekuasaan
di luar kekuasaan manusia. Kekuasaan itu sering pula dimanifestasikan kembali kepada
gejala dan isi alam semesta tersebut. Alam gaib itu dapat menimbulkan pengaruh buruk dan
pengaruh baik kepada manusia. Untuk dapat berujudnya kekuasaan itu apakah yang naik atau
yang buruk, melalui manusia tertentu seperti disebut dukun/bomo/pawang dipandang
mempunyai kemampuan dalam memasuki alam gaib.

Masuknya kebudayaan asing, pengaruh ke luar kepulauan kita seperti pengaruh Hindu-
Budha, Islam dan Barat telah memberikan pengaruh kepada perkembangan kebudayaan kita.
Namun nilai-nilai tradisional tetap menampakkan peranannya dalam masyarakat. Sementara
itu peranan Islam, baik sebagai agama maupun sebagai kebudayaan telah memberikan ciri
tersendiri kepada kebudayaan Melayu. Pandangan orang Melayu menjadi pandangan menurut
Islam, yaitu alam dunia dan akhirat.

Raja Ali Haji sebagai tokoh kebudayaan Melayu pernah mengatakan bahwa masuknya
kebudayaan Barat dan nilai-nilai non Islam menimbulkan masalah modernisasi dan tantangan
bagi masyarakat Melayu. Ia yakin bahwa perubahan terhadap adat istiadat tradisional akan
berakibat kerusakan masyarakat (Andaya dan Matheson, 1983). Alam nusantara yang
merupakan kepulauan, termasuk wilayah kebudayaan Melayu, pen-duduknya menjadi pelaut
dan mata pencahariannya sebagai pedagang, serta menjadikan bahasa Melayu sebagai lingua
franca. Karena itu, pula bahasa Melayu menjadi bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di
Nusantara atau Dunia Melayu.

Mengingat bahasa merupakan alat untuk mengungkapkan pikiran, maka pada masanya
bahasa Melayu telah menentukan tingkat perkembangan orang Melayu terutama kejayaan
yang dicapai sekitar abad ke-19 berkat jasa para cendikiawannya yang dipelopori oleh Raja
Ali Haji dengan karya-karyanya di berbagai bidang. Bahkan Andaya dan Matheson (1963),
menyebutkan sebagai sejarawan, sastrawan, agamawan Islam, hukum, pemerintahan dan
sebagainya.

Dengan demikian, berkat pandangan Orang Melayu yang tajam terutama para
cendikiawannya, maka peranan alam bagi kepentingan manusia selalu memberikan dorongan
kuat untuk tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai budaya dalam masyarakat.

4). Manusia sebagai Pribadi


Manusia senantiasa terdiri dari jasad/jasmani dan rokhani/jiwa. Kesatuan yang utuh dari
manusia itu membedakannya dari makhluk lain (hewan). Di dalam rokhani manusia terdapat
nafsu yang mendorong manusia untuk berbuat yang baik atau yang buruk. Pengendali nafsu
menurut pandangan agama Islam adalah iman dan taqwa. Manusia yang mampu
mengendalikan kehendak berbuat buruk/jahat terbentuklah manusia berkepribadian.
Orang Melayu dengan lingkungan masyarakatnya taat sebagai penganut Islam, telah
membentuk manusianya menjadi manusia yang bersikap sesuai dengan ajaran Islam. Orang
Melayu halus budi bahasanya dan sopan, gemar musik, dan cenderung saling menyayangi,
gema ungkapannya, tau diri, tau balas budi, duduk-duduk berguru, tegak-tegak bertanya.
Sikap Orang Melayu yang berkepribadian mengandung sikap harga diri (marwah) yang
merdeka. Harga diri ditumbuhkan melalui pembinaan akhlak. Harga diri bagi Orang Melayu
dapat diklasifiksikan, yaitu harga dalam pandangan diri sendiri, masyarakat, dan harga diri
menurut pandangan Tuhan.

Harga diri yang dapat diamati adalah harga diri menurut pandangan masyarakatnya dan hal
ini memberi pengaruh besar dalam kehidupan sosial. Orang Melayu memandang harga diri
dan kemerdekaan amat besar harganya. Manusia akan kehilangan harga diri melakukan
perbuatan dosa besar (murtad, berzina, judi, minum-minuman keras dan durhaka kepada ibu-
bapak, gila, kehilangan kesadaran) akan dikucilkan dari masyarakat, terusir dari suku,
kampung/desanya. 

Disamping itu dikenal pula perbuatan sikap/sifat yang menurunkan harga diri seperti berkata
cabul, bergunjing, loba (tamak, serakah), memfitnah, pelit dan sebagainya.

Mereka yang menurun harga dirinya berarti tidak mempunyai martabat dalam bergaul sosial.
Mereka yang memiliki martabat dan penghargaan yaitu mereka yang berakhlak mulia (ulama,
pemuka adat, guru dan sebagainya) serta pemimpin lainnya.

Raja Ali Haji berpendapat bahwa mereka yang sangat dipengaruhi nafsu (nafsu negatif),
sombong, congkak, angkuh dan sebagainya, akan memperoleh kerugian dalam hidupnya.
Misalnya yang bersangkutan tidak akan berhasil menjadi pemimpin, tidak disenangi orang
banyak, dan akan memperoleh bencana. Dalam Gurindam 12 pasal 2 diungkapkan:

Apabila terpelihara mata


Sedikit cita-cita

Apabila terpelihara kuping


Kabar yang jahat tidaklah damping

Bersungguh-sungguh memelihara tangan


Dari pada segala berat dan ringan  (Sejarah Riau, 1977).
Mereka yang mampu mengendalikan hawa nafsunya dengan kekuatan iman dan taqwa  akan
berhasil menjalankan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat. Di bawah raja yang baik,
negaranya pun menjadi sejahtera. Orang Melayu berpandangan pula bahwa manusia yang
mempunyai harga diri akan teguh dalam pendirian, berakhlak mulia, selalu disiplin,
pemberani, dan sebagainya. Harga diri juga dapat terjamin bila menghindari memakan yang
haram tetapi memakan yang halal.

Orang Melayu berpandangan bahwa semua rezeki datangnya dari Tuhan walaupun rezekinya
tidak datang dengan sendirinya. Rezeki yang halallah yang akan dicari untuk dapat menjamin
kehidupan dirinya, keluarga, anak-cucu dan diredhoi Tuhan. Apabila termakan rezeki yang
haram bagi orang Malayu akan menjadi siksaan, hati tidak tentram. Hal ini bisa dipulihkan
bila minta ampun pada Tuhan, tobat pada Tuhan.

Di samping itu, orang Melayu berusaha untuk mencari rezeki dan bila sampai pada takaran
untuk berzakat akan dilaksanakan. Bahkan berzakat merupakan kebanggaan tersendiri.
Begitu pula memberi sedekah merupakan kebiasaan yang terus berlangsung pada Orang
Melayu. Kebiasaan ini merupakan sifat tolong-menolong, yang kaya selalu membantu si
lemah. Ungakapan yang sering terdengar, “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”, “Ke
bukit sama mendaki, ke lurah (jurang) sama menurun”.

Sifat seperti itu merupakan ciri khas yang masih ada dalam masyarakat Melayu, yang lebih
dikenal dengan rasa kekeluargaan. Hidup rukun dan damai menjadi idaman dari orang
Melayu. Kehidupan seperti itu hendaknya terwujud baik di dunia maupun di hari kemudian. 

Sehubungan dengan itu, orang Melayu berusaha untuk melaksanakan perintah Tuhan dan
meninggalkan segala larangannya melalui ibadah yang diperintahkan. Oleh karena itu idaman
Orang Melayu adalah menjadi manusia saleh, yaitu taat pada Tuhan dengan menjalankan
segala perintahNya dengan ikhlas dan khusuk. Sebagai ummat muslim, orang Melayu selalu
menjaga hubungannya dengan Tuhan dan dengan manusia (Hablum minna Allah dan Hablum
minannas) serta dengan makhluk yang lain termasuk menjaga alam.

Dengan demikian, Orang Melayu dalam hidupnya memandang keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan telah menjadi kebiasaan yang berlangsung secara turun-temurun dari sejak
dulu. 

5.Nilai-Nilai luhur Kebudayaan Melayu


Nilai-nilai luhur kebudayaan Melayu  masih dapat disaksikan pada masyarakat di
Riau,khasnya juga di negeri-negeri di selat Malaka pula telah  menunjukkan keberadaannya
sangat berperan kepada wilayah Melayu di Nusantara lainnya.Kondisi itu dapat diikuti uraian
selanjutnya.

Adanya ungkapan adat yang menyatakan: ”Adat bersendi Syara’, syara’ bersendikan
kitabullah”, bermakna bahwa adat bersumber dari ajaran agama yang bertuang dalam kitab
suci Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah. Ajaran Islam menjadi dasar dalam kehidupan
masyarakat, jenis adat ini disebut dengan adat sebenar adat. Adat itu tidak lekang oeh panas
dan tidak lapuk oleh hujan. Allah berfirman: ”Bertolong - tolonganlah kamu untuk menuju
kebaikan dan taqwa ” (QS. Al – Maidah: 2)    

Dari ungkapan adat yang bersumber dari ajaran Islam itu, maka telah melahirkan nilai-nilai
luhur dalam kehidupan orang Melayu. Nilai-nilai ini masih menjadi pegangan kuat sebagian
besar masyarakat Melayu dalam menjalankan kehidupan mereka sehari-hari. Nilai-nilai yang
dimaksud anatara lain nilai filosofis/etis, politis, ekonomis, yuridis, sosial, dan kultural.
        
Nilai filosofis/etis: menjadi ciri khas dari adat dan disebut juga nilai kesusilaan, yaitu ajaran
baik dan buruk yang mengandung nilai moral. Dalam adat dikenal dengan ungkapan: ”Anak
dipangku, kemenakan dibimbing, kemenakan seperintah mamak dan mamak harus
bertanggung jawab membimbing anak, cucu, dan  kemenakan ”. Anak, cucu dan kemenakan
yang melanggar akan memperoleh sanksi ada yang besar dan ada yang ringan.

Nilai politis: kekuasaan bagi Orang Melayu bersumber dari ukuran baik dan buruk. Ukuran
baik dalam budaya Melayu dapat dianggkat dari ungkapan Hangtuah, ”Tuah sakti hamba
negeri, esa hilang dua terbilang, patah tumbuh hilang berganti takkan melayu hilang dibumi,
raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah”. Kekuasaan yang tidak sesuai dengan
ketentuan ajaran agama Islam, maka akan mendapat sanggahan dari masyarakat dan jalannya
pemerintahan akan mendapat hambatan dan kesulitan. Kekuasaan yang didasarkan pada
ajaran agama Islam dilandasi oleh musyawarah untuk mufakat. Landasan utamanya tercermin
dalam ungkapan: ”Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Rubuh”. 

Nilai ekonomis: Bersumber dari potensi alam yang dapat di manfaatkan sebesar- besarnya
untuk rakyat. Hal ini sebagaimana tertera dalam ungkapan: ”Kehutan berbunga kayu, ke laut
berbunga pasir, kesawah berbunga emping”.

Nilai Yuridis: adat yang mempunyai hukum-hukum yang disebut dengan hukum adat yang
meliputi hukum tentang tanah, warisan, perkawinan, dan sebagainya.    

Nilai sosial: ukuran baik untuk hidup bersama dan bekerjasama yang ditunjukkan dengan
adanya sistem hidup kekerabatan dan resam masyarakat menjadi pegangan utama yang
terdapat dalam ungkapan: ”Berat sama dipikul, Ringan sama dijinjing dan ke bukit sama
mendaki, ke lurah sama menurun”. Artinya masyarakat hidup bersuku-suku atau
berkelompok, tidak individualisme atau tidak nafsi-nafsian

Nilai Kutural: dapat dikaji dari fungsi para pemangku adat. Misalnya penghulu memegang
amanah, mentri (monti) menjalankan amanah, dubalang memelihara dan mengawasi amanah,
tuo kampung mengurus anak, cucu, dan kemenakan supaya meneruskan dan menjalankan
amanah dalam hidup berkurun (kampung), tinggal memelihara dan menjaga rumah adat.
Nilai ini dipegang teguh oleh seluruh pemangku adat.

Nilai-nilai yang telah dijabarkan diatas merupakan pegangan dan pedoman hidup bagi orang
Melayu, terutama dalam menghadapi kondisi masa kini dan tantangan/cabaran  masa depan.

6.Kondisi dan Potensi  Kebudayaan Melayu menghadapi cabaran gelobalisasi


Melayu sebagai budaya selama 15 abad telah menunjukkan keunggulannya seperti terlihat
dari jati diri yang dimilikinya sampai berkuasanya Barat di dunia Timur. Dalam menghadapi
masuknya budaya Barat itu budaya Melayu senantiasa mampu bertahan seperti terlihat
hingga saat ini bahwa pendukung budaya Melayu tetap dapat dibedakan sikap dan
perilakunya. Dalam klasifikasinya antara budaya tradisional dan budaya modern, budaya
Melayu yang cenderung bertahan bisa dikatakan tergolong kepada budaya tradisional.
Dimana kalau ada nilai-nilai budaya baru yang tumbuh tidak serta merta langsung diterima,
tetapi disaring dan ditimbang –timbang sehingga kebudayaan itu  mengalami apa yang
disebut kebudayaan  transisional. 
        
Periode transisional ini masih dalam proses. Sebagian telah mampu menunjukkan ciri-ciri
budaya modern dan sebagian masih berada dalam alam tradisional. Dalam menghadapi
perkembangan Iptek yang canggih dewasa ini dan masa depan, perlu ada usaha dan langkah-
langkah nyata, agar budaya Melayu yang tradisional tadi mampu memenuhi tuntutan zaman
dan modernisasi yang melanda dunia.

Budaya Melayu dengan berbagai aspek yang dimiliki telah mampu meningkatkan daya nalar
dan karya masyarakat pendukungnya. Kekayaan budaya tersebut pada masa lampau dan kini
tersebar di wilayah yang luas. Naskah-naskah Melayu terdapat di berbagai belahan dunia
(Asia, Afrika, Eropa, dan Australia,) terutama di 28 negara dengan jumlah naskahnya
sebanyak 4.000 - 10.000 buah. Kekayaan yang dimiliki itu tentu secara tidak langsung pula
telah menjadi milik masyarakat yang mempelajarinya.
Kalau kita cermati selama dua dasawarsa belakangan ini, telah terjadi perkembangan dan
kemajuan yang luar biasa di Asia Tenggara/Nusantara di mana mayoritas orang Melayu
hidup dan bertempat tinggal. Perubahan ke arah kemajuan itu bukan saja pada aspek-aspek
yang elementer, tetapi juga pada segi-segi yang mendasar seperti perubahan struktur dan
basis-basis ekonomi, perubahan dalam komposisi penduduk yang bisa menikmati pendidikan
tinggi dan managerial skill, serta perubahan ke arah semakin berakumulasinya sumber-
sumber daya ekonomi pada kelompok etnis tertentu.

Perubahan kuantitatif dan kualitatif tersebut, pada sisi lain tidak diikuti, setidak-tidaknya
dalam kasus Riau dan Indonesia, oleh perubahan dan kemajuan orang Melayu. Orang Melayu
seperti tidak bisa berpartisipasi dan memanfaatkan perubahan dan peluang-peluang yang
tumbuh itu, bahkan sebaliknya cenderung semakin tergusur ke pinggir (menjadi masyarakat
marjinal). Ironisnya, ketergusuran itu terutama dari basis-basis ekonomi, semakin dirasakan
sangat dahsyat karena kekuasaan politik ikut berperan di dalamnya.

Kekuasaan politik yang seharusnya bersifat protektif terhadap kepentingan ekonomi, ternyata
dalam kenyataannya ikut berperan dalam memperlebar kesenjangan sosial ekonomi itu
sendiri. Hal itu paling tidak disebabkan dua hal. Pertama, kebijaksanaan pembangunan yang
terlalu berorientasi pada pertumbuhan dan ekonomi global. Kedua, birokrasi negara terlanjur
dibebankan oleh tugas untuk menyukseskan strategi pembangunan yang berorientasi
pertumbuhan dan outward looking. Akibatnya, birokrasi negara yang sudah kuat cenderung
menjadi alat kepentingan ekonomi, karena sumber-sumber daya ekonomi sudah terlanjur
dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu saja. 
        
Ketertinggalan orang Melayu ini diperkirakan pada dasawarsa mendatang akan semakin
meluas kalau tidak ada kebijaksanaan politik yang sedikit protektif terhadap mereka. Hal ini
disebabkan seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa basis-basis ekonomi utama dan
dominan berada dalam kendali orang luar. Sebagaimana “hukum besi” ekonomi, mereka
yang memiliki sumber daya ekonomi cenderung sumber daya itu akan semakin berakumulasi.
Sebaliknya mereka yang tidak mempunyai akan semakin tertinggal dan miskin. Kendala yang
bersifat struktural ini akan semakin keras menggusur orang Melayu ke pinggir, karena akan
bertemu dengan kendala-kendala kultural yang mengikat secara inheren dalam dirinya.

Setuju atau tidak, fakta memperlihatkan bahwa memang ada kendala-kendala psikologis bagi
orang Melayu untuk maju. Walaupun banyak bantahan terhadap apa yang disebut dengan
mitos “pribumi malas”, namun dalam kadar tertentu tidak dapat kita pungkiri sepertinya
orang Melayu memang kurang gesit dan gigih dalam berjuang untuk maju dibandingkan etnis
lain di Asia Tenggara/Nusantara.. 

Kita setuju dengan pendapat bahwa sebelum kolonial datang, orang Melayu sudah maju serta
menjadi pedagang yang handal dan perantau yang telah menjelajahi manca-negara. Tetapi,
kenyataan sekarang ini, dunia orang Melayu tidak begitu meng-gembirakan. Orang Melayu
masih bergelut dengan kemiskinan, sementara orang lain telah semakin jauh maju. Kenyataan
pahit ini harus kita terima dengan lapang dada dan harus kita antisipasi dengan rasional.

Pengantisipasiannya tidak bisa dilakukan lagi dengan apologi. Kita tidak bisa untuk menutupi
ketertinggalan kita saat ini dengan cara mengagungkan kebesaran dan kemajuan masa
lampau. Antisipasi yang bersifat apologia itu bukan saja tidak rasional, melainkan juga tidak
memecahkan inti permasalahan yang sebenarnya. Malahan jawaban seperti itu akan membuat
kita akan semakin jauh tertinggal, sementara orang lain semakin berorientasi ke masa depan.

Kebesaran dan kemajuan yang pernah dipunyai orang Melayu pada masa lampau seharusnya
kita jadikan cambuk untuk mewujudkan hal yang sama di masa depan. Kita perlu studi
tentang masa lampau untuk belajar darinya, bukan untuk membesarkan hati, menutup
kepedihan yang dirasakan saat ini. Kepedihan yang kita rasakan sebagai komunitas yang
tertinggal sekarang dibandingkan dengan komunitas lain, tidak bisa kita tutupi dengan
nostalgia kebesaran dan kemajuan komunitas di masa lampau, melainkan hanya bisa melalui
tindakan rasional dan konsepsi yang relevan dengan akar permasalahan dan tantangan yang
dihadapi.

7.Kebudayaan Melayu menghadapi Cabaran masa depan 


Cabaran masa depan yang sangat cepat dan tragis bagi kebudayaan Melayu Nusantara yang
Islami perlu diantisipasi sesuai dengan pengalaman sejarah orang Melayu itu.

Dalam segala aspek  kehidupan : ekonomi, politik, sosial, dan budaya cenderung mengarah
kepada hal-hal yang bersifat universal. Jika hal itu akan dihadapi oleh orang Melayu,
sebenarnya tidak merupakan sesuatu yang baru. Orang Melayu sudah sejak dahulu terbiasa
dengan tantangan/cabaran  seperti terlihat dalam sistem pelayaran dan perdagangan. Sistem
kekuasaan/pemerintahan telah pula dijalankan dengan prinsip- prinsip demokrasi. 

Pada abad/kurun ke-14 hingga 16, misalnya orang Melayu telah menjalankan kekuasaan yang
dikenal dengan masa Kemaharajaan ( Imperium) Melayu. Demikian pula halnya masa
kejayaan Kemaharajaan Melayu Riau-Johor telah terbina sistem kemasyarakatan yang
menganut azas gotong- royong dan kekeluargaan, seperti ditunjukkan dari  ungkapan, ”Berat
sama dipikul, ringan sama dijinjing, dan kelurah sama menurun, kebukit sama mendaki”.
Laksamana Hangtuah telah pula mengeluarkan semboyan seperti diatas telah disebutkan :
”Patah tumbuh hilang berganti, Esa hilang dua terbilang, Takkan Melayu hilang di bumi”.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa jelas nilai-nilai Melayu senantiasa akan lestari sepanjang
masa. Oleh karena itu, para pendukung budaya Melayu tidak perlu terlalu berkecil hati jika
pada suatu masa ada kemunduran, sebab masa kejayaan akan datang. Hal ini terwujud bila
para pendukung budaya itu senantiasa berbuat dan memelihara nilai-nilai yang ada sebaik-
baiknya. Jika perlu dipergunakan sifat lenturnya budaya Melayu dalam menghadapi berbagai
permasalahan yang terjadi. Pepatah menyebutkan ”Jika sesat di ujung jalan, kembali
kepangkal jalan”. 

Ungkapan ini memberi petunjuk kepada kita bahwa tidak selamanya kita akan benar dalam
menjalanan hidup ini. Pada satu kali kita pasti akan mengalami kesulitan, kesalahan, dan
sebagainya. Pangkal jalan itu tentulah nilai-nilai luhur yang dianut masyarakat pendukung
budaya Melayu. Dengan demikian, kita yakin bahwa nilai-nilai yang dimiliki budaya Melayu
akan mampu menghadapi masa depan, dengan syarat para pendukungnya setia dan loyal
kepada nilai-nilai yang dimilikinya.

Perkembangan zaman menentukan corak dan ragam nilai-nilai yang menjadi anutan manusia
dan masyarakatnya. Orang Melayu dengan nilai-nilai yang telah dimilikinya sejak masa
prasejarah sampai ke masa kini telah tumbuh berkembang sesuai dengan kebutuhannya dan
senantiasa dapat adaptif dengan perkembangan yang terjadi. Oleh karena itu, orang Melayu
dengan nilai-nilai luhur, terutama sejak menganut Islam dan diwarisi dari zaman ke zaman,
akan tetap sesuai dan cocok dalam menghadapi segala kecanggihan yang berlangsung.

Semua harapan bisa terwujud asal warganya selalu mampu mengembalikan sikap dan
perilakunya kepada nilai-nilai luhur yang telah dimiliki sebelumnya dan mudah- mudahan
selalu berguna sebagai penapis masuknya pengaruh yang bertentangan dengan
nilai/kepribadian masyarakat pada masa depan. Dengan demikian, jati diri manusia Melayu
sebagai warisan nilai-nilai luhur dari zaman ke zaman, akan selalu menjadi pegangan para
pendukungnya.

Berkat penemuan yang berakar dari sistem logika yang terwujud dalam perbendaharaan
bahasa, seperti dikenal adanya logika komputer dengan penggunaan bahasa Inggris. Dengan
logika itu dikembangkan teori-teori yang menganut pendekatan analisis sistem. Dalam
hubungan ini tentu perlu dikembalikan kepada kemampuan bahasa Melayu yang sekarang ini
sudah menjadi bahasa nasionalisme Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Bahasa
tersebut dapat dipahami oleh sebagian besar penduduk di Asia, Thailand, Sri Lanka,
Malagasi. Bahkan di Ausrtalia, Bahasa Melayu dipelajari sebagai  bahasa kedua oleh para
peajar dan mahasiswanya.

Dengan pencapaian itu, muncul pertanyaan apakah bahasa Melayu mampu sebagai bahasa
ilmu pengetahuan? Jawabannya masih menjadi pertentangan para ahlinya. Sebagian pendapat
mengatakan bahasa Melayu dapat menjadi bahasa modern. Persoalan ini kita serahkan kepada
ahlinya. Namun yang menjadi tugas kita adalah menunjukkan data tentang masa depan
dengan berbagai variabel yang mengkutinya.

Perkembangan masa depan dengan proses globalisasinya akan melahirkan berbagai nilai baru
yang mungkin tidak cocok dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat pendukung budaya
Melayu. Masalahnya tentu pada mewarisi atau tidaknya nilai-nilai Melayu kepada generasi
akan datang. Akan tetapi, dari usaha dan langkah-langkah yang telah ditempuh selama ini,
kita berkeyakinan bahwa generasi yang akan datang akan mampu menyerap nilai-nilai nenek
moyangnya guna kelangsungan hidup sebagai manusia yang tunduk pada ajaran agama Islam.
Sebagaimana kita maklumi bersama, Islam merupakan agama yang sempurna, dan karena itu
mengandung segala kebutuhan manusia di dunia maupun akhirat.Seperti Islam mengajarkan :
Islam Rakhmatan Lil’alamin,yaitu memberi Rakhmad kepada Alam semesta

Unsur lain dari budaya Melayu seperti kesenian telah sama-sama kita saksikan bahwa seni
budaya Melayu senantiasa mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman dan rasa
kenyataan ini dapat dilihat dari seni arsitektur Melayu yang telah mampu memberikan ciri
khas dari bangunan modern. Demikian pula halnya dengan seni musik, tari, tarik suara
Melayu telah memberikan kesan indah dan menyenangkan para peminatnya untuk dinikmati
secara baik.

8.Penutup

Potensi dan kondisi Kebudyaan Melayu  berperan besar sebagai bingkai dari Kebudayaan
Nusantara  yang inti pokoknya kebudayaan Melayu pula.Dalam perjalanannnya kebudayaan
yang sifanya dinamis itu mengalami pasang naik-dan pasang surut, beriak dan
bergelomabang yang sudah tentu  memerlukan penyesuaian dengan arus dan  lajunya proses
perubahan zaman yang berlangsung.terutama dalam cabaran gelobalisasi.Untuk itu segala
pihak dan komponen masyarakat Melayu kiranya harus peduli terhadap kondisi kebudayaan
Melayu itu.

Provinsi Riau sebelum dimekarkan dengan provinsi Kepulauan Riau telah menetapkan
Rencana pembangunannya yang dikenal dengan Visi dan Misi pembangunan Riau:
”Mewujudkan Riau sebagai pusat Perekonomian dan Kebudayaan Melayu  di Asia Tenggara
pada 2020,” .Dalam merealisasikan visi dan misi itu telah dilaksanakan berbagai
program,diantaranya mewajibkan aksara Melayu, Arab Gundul dipelajri di sekolah-
sekolah,mengadakan sekretariat bersama Lembaga Adat Melayu se Sumatra dan berperan
serta pula dalam organisasi Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI).Organiasi ini diharapkan
akan memadukan / mengukuhkan jarti diri Melayu yang Islami itu.Termasuk akhir-akhir ini
dibentuk Majelis Bahasa Malaysia,Berunei Darussalam dan Indonesia yang setiap tahun
melakukan pertemuan, demikian pula diadakan pertemuan Persatuan Sejarah Malaysia
dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI),di Malaysia bentuk pula Yayasan Ikatan
Rakyat Malaysia Indonesia (YIRMI) ,pengasas Tan Sri Dr.Rais Yatim,yaitu mempererat
hubungan rakyata Indonesia dan Malaysia, wadah ini perlu dimanfaatkan untuk kukuh dan
lestarinya hubungan silaturahim antara kedua bangsa ini,amin

Apabila nilai-nilai luhur kebudayaan Melayu diteruskan kepada generasi penerusnya secara
sistemik  maka kebudayaan Melayu yang bermula di Riau-Johor selanjutnya berkembang 
menjadi Kemaharajaan Johor-Riau-Lingga dan Pahang sudah tentu kebudayaannya sebagai
Bingkai  Kebudayaan Nusantara dan  tetap  menjadi identitas / jatidiri masyarakatnya,
kebudayaan itu   akan kukuh dan lestari   dan harapannya mampu menghadapi  cabaran
gelobalisasi  yang semakin deras dan laju itu..  Masyarakat Nusantara Insyaallah senantiasa
akan berkembang dan maju seperti kata Hang Tuah yang  berkeyakinan pada kurun-kurun
terdahulu dengan ungkapannya : ”Takkan Melayu hilang dibumi.”
Perlu diingatkan pula seperti ungkapan berikut: 

Kain buruk penyapu lantai,            Selasih namanya batu,


Lantai dibuat dari papan,            Batu dibuat jadi permata
Yang buruk  adalah bengkalai,             Terima kasih kepada Yang satu
Jangan dibiasakan  bercerai-berai;          Semoga hidup budaya Nusantara
                                           
Pisang emas bawa berlayar            
Masak sebiji didalam peti                 Kayu dibelah jadi dua
Hutang emas boleh dibayar               Dibakar menjadi bara
Hutang budi dibawa mati                  Melayu Budaya Nusantara
Menjadi cipta –rasa kita bersama
                            
Daftar Pustaka
Abu Hasan Sham. 1977. Beberapa Aspek Dari Sejarah Melayu, Utusan Publications &
Distributors, Kuala Lumpur. 1988. 
Diskusi Peristiwa-Peristiwa Dari Hikayat Hang Tuah, Sarjana Entreprise, Kuala Lumpur.
Andaya, BW & Virginia Matheson. 1986. Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, Grafiti, Jakarta.
Ahmad Jelani Halimi, 2006,Perdagangan dan Perkapalan Melayu di Selat Melaka, abad ke-15
hingga ke 18 Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur;
Arenawati. 1973. Silsilah Melayu dan Bugis-Raja Ali Haji, Pustaka Antara, Kuala Lumpur.
Budisantoso, Prof. Dr., dkk. 1986. Masyarakat Melayu  Riau dan Kebudayaannya, Pemda
provinsi Riau, Pekanbaru.

Bambang Budi Utomo dan Nik Hasan Suhaimi Nik Abdul Rahman,2009,Inskripsi Berbahasa
Melayu di Asia tenggara,Institut Alam dan Tamadun Melayu,UKM,43600
Bangi,Selangor,Darul Ehsan; 
Bukhari Al-Jauhari,1992,diselenggarakan oleh Khalid M.Hussain,Taj,Us –Salatin,Dewan
Bahasa dan Pustka,Kementrian Pendidikan Malaysia,Kuala Lumpur;
Dahlan Mansoer, Mohd. 1979. Pengantar Sejarah Nusantara, Dewan Bahasa dan Pustaka,
Kementerian Pelajaran Malaysia, Kuala Lumpur.
Dudung Abdurahman. 2007. Metodologi Sejarah, Ar Ruz Media, Yogyakarta.;
Haji Buyong Adil. 1971. Sejarah Johor, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran
Malaysia, Kuala Lumpur;
Hamzah Yunus R.alih aksara,2001,Naskah-Naskah Kuno Riau, atas kerjasama Maklumat
kebudayaan Melayu Riau,Pulau Penyengat,dengan Yayasan Social Cheveron dan texaco
Indonesia,Pekanbaru;.
Hall. DGE. 1981. Sejarah Asia Tenggara, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur.
Ismail Husein. 1981. Sejarah Pertumbuhan Bahasa Kebangsaan Kita, Dewan Bahasa dan
Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, Kuala Lumpur.
Imam Ghazaly. 1977. Ihya Ulumiddin (Jiwa Agama), Pustaka Indonesia, Medan.
Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah, Jurusan Sejarah UGM, Yogyakarta.
Liaw Yock Fang,Dr.,Editor,Prof.K.Toha Sarumpaet,Ph.D:2011,Sejarah Kesusastraan Melayu
Klasik,Yayasan Pustaka Obor Indonesia,Jakarta;
Mejelis Ilmu Brunei Darussalam. 2007. Menjana Masyarakat Beraqidah, Aqidah Kukuh
Membawa Berkat, Himpunan Kertas kerja Seminar Motivasi Masyarakat Beraqidah Majelis
Ilmu.
Muchtar Lutfi, Drs.dkk,1977, penyunting,Sejarah Riau,Pemerintah Daerah provinsi Riau,
Pekanbaru;
Mohd.Arof Ishak,2009,Tamadun Alam Melayu,versi  Bahasa Melayu dengan tambahan
berazaskan buku asal ”The Malay Civilization”,Persatuan Sejarah Malaysia Kuala Lumpur;
Maidment,Richard,Colin Mackerras,editor,1998,Culture and Society in the Asia Pacific,The
Open University,London and New York; 
Panuti. M.M. Sudjiman. 1982. Adat Raja-Raja Melayu, Universitas Indonesia, Jakarta.
Rosihan Anwar. 1967. Raja Kecil – Bajak Laut di Selat Melaka (Sebuah Novella Sejarah),
Penerbit Indira, Jakarta.
Raja Ali Haji,Dikaji dan diperkenalkan oleh Virginia Matheson Hooker,1998,Tuhfat Al-
Nafis,Yayasan Karyawan dan Dewan Bahasa dan Pustaka,Kuala Lumpur;
Sartono Kartodirdjo, 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Slamet Mulyono, Prof. Dr. 1981. Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi, Yayasan Idayu,
Jakarta.
______________. 1982. Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara, Balai Pustaka, Jakarta.

Soekmono. Drs. R. 1984. Pengantar Sejarah Kebudayaan-Kebudayaan Indonesia I, Penerbit


Kanisius, Yogyakarta;
Samad Ahmad,A,1986,Sulatussalatin (Sejarah Melayu),Dewan Bahasa dan
Pustaka,Keentrian Pendidikasn Malaysia<Kuala Lumpur;
Syed Nasir bin Ismail,Pengarah Dewan Bahasa dan Pustaka,1967,Hikayat Merong
Mahawangsa,Kuala Lumpur;
Suwardi, Prof. MS., 1991. Budaya Melayu Dalam Perjalanannya Menuju Masa Depan,
Yayasan Penerbit MSI-Riau, Pekanbaru. 
2008. Dari Melayu ke Indonesia, Peranan Kebudayaan Melayu Dalam Memperkokoh
Identitas dan Jati Diri Bangsa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
2006. Pemutahiran Adat Kuantan Singingi, Alaf Riau, Pekanbaru. 
________________, 2008, Pengaruh Islam kepada Budaya Melayu: Pandangan Hidup dan
Pola Pikir, makalah pada seminar di Pekanbaru.
________________,2005, Raja Alim Raja Disembah: Eksistensi Kebudayaan Melayu dalam
Menghadapi Era Global. Alaf Riau, Pekanbaru;
_______________,dkk,2011,Hukum Adat Melayu Riau,Alaf Riau bekerjasama
LAMR,Pekanbaru
_______________,2012 Perantauan dari Sumatra ke Semenanjung Malaysia,manuskrip,
CenPris USM Penang-Malaysia; 
_______________,2013,Potensi Melayumenjadi perkasa untuk menghadapi ancaman
Gelobalisasi Sumbangan Makalah Pada Konferensi Guru Besar Indonesia (KGB) ke 5
                13-14 September 2013 di Jogyakarta; 
_______________,2013,Diaspora Melayu –Perantauan dari Riau ke Tanah Semenanjung,
Pustaka Pelajar Jogyakarta, dan Alaf Riau Pekanbaru;

Anda mungkin juga menyukai