TRADISIONAL
SEJARAH DAN TEORI ARSITEKTUR II
RTA 3224
Suku Melayu (bahasa Melayu: Melayu Jawi: )ويالمadalah sebuah kelompok etnis dari
orang-orang Austronesia terutama yang menghuni Semenanjung Malaya, Sumatra bagian timur,
bagian selatan Thailand, pantai selatan Burma, pulau Singapura, Borneo pesisir termasuk Brunei,
Kalimantan Barat, dan Sarawak dan Sabah pesisir, dan pulau-pulau kecil yang terletak antara lokasi
ini - yang secara kolektif dikenal sebagai Alam Melayu. Lokasi ini sekarang merupakan bagian dari
negara modern Malaysia, Indonesia, Singapura, Brunei, Burma dan Thailand.
Meskipun begitu, banyak pula masyarakat Minangkabau, Mandailing, dan Dayak yang
berpindah ke wilayah pesisir timur Sumatra dan pantai barat Kalimantan, mengaku sebagai orang
Melayu. Selain di Nusantara, suku Melayu juga terdapat di Sri Lanka, Kepulauan Cocos (Keeling)
(Cocos Malays), dan Afrika Selatan (Cape Malays).
Nama "Malayu" berasal dari Kerajaan Malayu yang pernah ada di kawasan Sungai Batang
Hari, Jambi. Dalam perkembangannya, Kerajaan Melayu akhirnya takluk dan menjadi bawahan
Kerajaan Sriwijaya. Pemakaian istilah Melayu-pun meluas hingga ke luar Sumatera, mengikuti
teritorial imperium Sriwijaya yang berkembang hingga ke Jawa, Kalimantan, dan Semenanjung
Malaya. Jadi orang Melayu Semenanjung berasal dari Sumatera.
Berdasarkan prasasti Keping Tembaga Laguna, pedagang Melayu telah berdagang ke seluruh
wilayah Asia Tenggara, juga turut serta membawa adat budaya dan Bahasa Melayu pada kawasan
tersebut. Bahasa Melayu akhirnya menjadi lingua franca menggantikan Bahasa Sanskerta. Era
kejayaan Sriwijaya merupakan masa emas bagi peradaban Melayu, termasuk pada masa wangsa
Sailendra di Jawa, kemudian dilanjutkan oleh kerajaan Dharmasraya sampai pada abad ke-14, dan
terus berkembang pada masa Kesultanan Malaka sebelum kerajaan ini ditaklukan oleh kekuatan
tentara Portugis pada tahun 1511.
Masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-12, diserap baik-baik oleh masyarakat
Melayu. Islamisasi tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat jelata, namun telah menjadi corak
pemerintahan kerajaan-kerajaan Melayu. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut ialah Kesultanan Johor,
Kesultanan Perak, Kesultanan Pahang, Kesultanan Brunei, dan Kesultanan Siak. Kedatangan
kolonialis Eropa telah menyebabkan terdiasporanya orang-orang Melayu ke seluruh Nusantara, Sri
Lanka, dan Afrika Selatan. Di perantauan, mereka banyak mengisi pos-pos kerajaan seperti menjadi
syahbandar, ulama, dan hakim.
Dalam perkembangan selanjutnya, hampir seluruh Kepulauan Nusantara mendapatkan
pengaruh langsung dari Suku Melayu. Bahasa Melayu yang telah berkembang dan dipakai oleh
banyak masyarakat Nusantara, akhirnya dipilih menjadi bahasa nasional Indonesia, Malaysia, dan
Brunei.
Etimologi
Ptolemy (90 - 168 M) dalam karyanya Geographia mencatat sebuah tanjung di Aurea
Chersonesus (Semenanjung Melayu) yang bernama Maleu-kolon, yang diyakini berasal dari Bahasa
Sanskerta, malayakolam atau malaikurram. Berdasarkan G. E. Gerini, Maleu-Kolon saat ini merujuk
pada Tanjung Kuantan atau Tanjung Penyabung di Semenanjung Malaysia.
Orang Gunung
Pada Bab 48 teks agama Hindu Vuya Purana yang berbahasa Sanskerta, kata Malayadvipa
merujuk kepada sebuah provinsi di pulau yang kaya emas dan perak. Disana berdiri bukit yang
disebut dengan Malaya yang artinya sebuah gunung besar (Mahamalaya). Meskipun begitu banyak
sarjana Barat, antara lain Sir Roland Braddell menyamakan Malayadvipa dengan Sumatera.
Sedangkan para sarjana India percaya bahwa itu merujuk pada beberapa gunung di Semenanjung
Malaysia.
Kerajaan Malayu
Dari catatan Yi Jing, seorang pendeta Budha dari Dinasti Tang, yang berkunjung ke
Nusantara antara tahun 688 - 695, dia menyebutkan ada sebuah kerajaan yang dikenal dengan Mo-Lo-
Yu (Melayu), yang berjarak 15 hari pelayaran dari Sriwijaya. Dari Ka-Cha (Kedah), jaraknyapun 15
hari pelayaran. Berdasarkan catatan Yi Jing, kerajaan tersebut merupakan negara yang merdeka dan
akhirnya ditaklukkan oleh Sriwijaya.
Berdasarkan Prasasti Padang Roco (1286) di Sumatera Barat, ditemukan kata-kata bhumi
malayu dengan ibu kotanya di Dharmasraya. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan
Malayu dan Sriwijaya yang telah ada di Sumatra sejak abad ke-7. Kemudian Adityawarman
memindahkan ibu kota kerajaan ini ke wilayah pedalaman di Pagaruyung.
Petualang Venesia yang terkenal, Marco Polo dalam bukunya Travels of Marco Polo
menyebutkan tentang Malauir yang berlokasi di bagian selatan Semenanjung Melayu. Kata "Melayu"
dipopulerkan oleh Kesultanan Malaka yang digunakan untuk membenturkan kultur Malaka dengan
kultur asing yakni Jawa dan Thai. Dalam perjalanannya, Malaka tidak hanya tercatat sebagai pusat
perdagangan yang dominan, namun juga sebagai pusat peradaban Melayu yang berpengaruh luas.
Melayu Indonesia
Secara ras atau rumpun bangsa, Melayu di Indonesia dibedakan menjadi dua kelompok yaitu
Melayu Deutero dan Melayu Proto.
Melayu Deutero adalah rumpun Melayu Muda yang datang setelah Melayu Proto pada
Zaman Logam sekitar lebih kurang 500 SM. Rumpun yang masuk gelombang kedua ini
meliputi suku bangsa Melayu, Aceh, Minangkabau, Sunda, Jawa, Manado,[butuh rujukan]
yang
bermukim di pulau Sumatra, Jawa, Bali, Madura, dan Sulawesi.
Melayu Proto adalah rumpun Melayu Tua yang datang kali pertama pada masa lebih kurang
1500 SM meliputi suku bangsa Dayak, Toraja, Sasak, Nias, Batak, Kubu dll. yang bermukim
di pulau Kalimantan, Sulawesi, Nias, Lombok, dan Sumatra.
Adapun golongan lain yang bukan termasuk rumpun Melayu namun tetap termasuk bangsa di
Indonesia yaitu rumpun Melanesia yang bermukim di bagian wilayah timur Indonesia. Meskipun
demikian, istilah Melayu yang digunakan di Indonesia lebih mengacu pada arti suku bangsa yang
lebih spesifik sehingga Melayu yang ada tidak termasuk suku bangsa Jawa yang merupakan suku
bangsa mayoritas.
Berikut ini uraian suku Melayu di wilayah Indonesia:
Suku Melayu (Muslim) di Indonesia menurut sensus tahun 2000 terdiri dari:
Melayu Tamiang
Melayu Palembang, dalam sensus 1930 tidak digolongkan suku Melayu.
Melayu Bangka-Belitung, pada sensus 1930 tidak digolongkan suku Melayu
Melayu Deli
Melayu Riau
Melayu Jambi
Melayu Bengkulu
Melayu Pontianak
Melayu Sambas
Adat
Banyak orang keliru mengartikan adat, terutama generasi muda. Adat diartikan sama dengan
kebiasaan lama dan kuno. Kalau mendengar kata adat, maka yang terbayang dalam khayalan adalah
orang tua berpakaian daerah, upacara perkawinan, atau upacara-upacara lainnya. Oleh karena itu,
jangan heran jika media massa pun sering keliru, sehingga pakaian daerah disebut pakaian adat atau
rumah yang berbentuk khas daerah disebut rumah adat. Tegasnya, apa yang berbentuk tradisional
dianggap adat.
Dalam Ensiklopedi Umum, kata “adat” diartikan sebagai:
Aturan-aturan tentang beberapa segi kehidupan manusia yang tumbuh dari usaha orang dalam
suatu daerah yang terbentuk di Indonesia sebagai kelompok sosial untuk mengatur tata tertib tingkah-
laku anggota masyarakatnya. Di Indonesia, aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia itu menjadi
aturan hukum yang mengikat dan disebut hukum adat (Yayasan Kanisius, 1973).
Pengertian adat di sini sangat terbatas, karena hanya berupa aturan-aturan tentang beberapa
segi kehidupan. Hal ini berbeda dengan pendapat Prof. Dr. J. Prins yang mengatakan, “De adat
overheerste tot voor kort alle terrein van het leven juist wat de plichtenleer idealiter beoogt te doen”
(Prins, 1954). Pendapat Prins ini lebih mendekati pengertian yang sebenarnya, karena ia mengatakan
bahwa adat meliputi semua segi kehidupan dan hanya untuk jangka waktu yang singkat.
Ensiklopedi Indonesia memberikan uraian yang lebih panjang, tetapi sulit untuk diambil
kesimpulan. Kata adat berasal dari bahasa Arab urf dan Islam telah memberikan corak khusus dalam
ketentuan-ketentuan adat dalam lingkungan pemeluk agama Islam.
Pengertian adat di Riau sendiri adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah-laku dan
hubungan antara anggota masyarakat dalam segala segi kehidupan. Oleh karena itu, adat merupakan
hukum tidak tertulis dan sekaligus sebagai sumber hukum. Sebelum hukum Barat masuk ke
Indonesia, adat adalah satu-satunya hukum rakyat yang kemudian disempurnakan dengan hukum
Islam, sehingga disebut “adat bersendikan syarak”. Menyatunya adat Melayu dengan hukum syarak
diperkirakan terjadi setelah Islam masuk ke Malaka pada akhir abad ke-14, sebagaimana diungkapkan
Tonel (1920):
Adat Melayu pada mulanya berpangkal pada adat-istiadat Melayu yang digunakan dalam
negeri Tumasik, Bintan, dan Malaka. Pada zaman Malaka, adat itu menjadi Islam karena rajanya pun
telah memeluk Islam.
Ketentuan-ketentuan hukum syarak telah dianggap sebagai adat yang dipatuhi oleh anggota
masyarakat, sehingga sukar untuk membedakan ketentuan-ketentuan yang berasal dari adat murni dan
ketentuan-ketentuan yang berasal dari hukum syarak.
Maka segala adat-istiadat Melayu itu pun sah menurut syarak Islam dan syariat Islam. Adat-
istiadat itulah yang turun-temurun berkembang sampai ke negeri Johor, negeri Riau, negeri Indragiri,
negeri Siak, negeri Pelalawan, dan sekalian negeri orang Melayu adanya. Segala adat yang tidak
bersendikan syariat Islam salah dan tidak boleh dipakai lagi. Sejak itu, adat-istiadat Melayu disebut
adat bersendi syarak yang berpegang kepada kitab Allah dan sunah Nabi.
Dalam bagian lain juga dikatakan:
Adapun negeri Indragiri setelah Raja Narasinga masuk Islam sebab dimenantukan oleh
Sultan Mahmudsyah, Sultan Malaka, maka raja itu pun dirajakan di Indragiri. Mulanya ia ditolak
oleh orang Indragiri, namun karena kedatangan orang Talang di sana yang mengangkatnya sebagai
raja, maka mufakatlah mereka membuat perjanjian. Perjanjian itu menyatakan bahwa orang Talang
mengaku sebagai rakyat Indragiri. Raja pun memberi tahu mereka tentang adat Melayu, sehingga
mereka mufakat untuk memakai adat itu kala mereka hidup di dalam negeri Indragiri. Di dalam
kampungnya, mereka tetap memakai adat mereka. Dengan demikian asal mula adat di negeri Siak
dan negeri Pelalawan itu adalah dari Johor jua. Apabila Raja Kecik menjadikan dirinya raja di
negeri Siak yang disebut Buantan, maka adat itulah yang dipakainya, yang kemudian diwariskan ke
semua anak cucunya, dan daerah taklukannya (Tonel, 1920).
Walaupun kutipan-kutipan di atas diambil dari naskah tulisan tangan yang belum diterbitkan,
tetapi keterangan tersebut dapat dipercaya, karena kenyataan yang dijumpai memang demikian.
Adat Melayu di Riau dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu adat sebenar adat, adat yang
diadatkan dan adat yang teradat.
a. Adat Sebenar Adat
Adat sebenar adat adalah prinsip adat Melayu yang tidak dapat diubah-ubah. Prinsip tersebut
tersimpul dalam “adat bersendikan syarak”. Ketentuan-ketentuan adat yang bertentangan
dengan hukum syarak tidak boleh dipakai lagi dan hukum syaraklah yang dominan. Dalam
ungkapan dinyatakan:
Jikalau hamba rakyat atau siapa juga tiada dikecualikan orangnya hendak menghadap atau
datang ke balai tiada boleh berkain gumbang seperti yang tersebut dalam “Ingat Jabatan” bahagian
yang kesebelas pada pasal lima, maka jika berkain gumbang kuasa Penghulu Balai menghalaunya
dikecuali jikalau orang terkejut di tengah jalan karena hendak meminta pertolongan kepada polisi apa-
apa kesusahannya.
Ungkapan-ungkapan yang dikemukakan di atas adalah “adat yang diadatkan”. Berdasarkan
uraian di atas terlihat bahwa adat mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan kemajuan
zaman. Seorang tokoh ideal di zaman Malaka ialah orang yang telah memenuhi empat sifat dan empat
syarat. Empat sifat dan empat syarat itu di zaman Kerajaan Riau telah disempurnakan oleh Raja Ali
Haji dengan Gurindam Dua Belas yang terdiri dari dua belas pasal dan tiap-tiap pasal
menggambarkan beberapa sifat baik dan tidak baik. Ukuran sopan-santun pada zaman Kerajaan
Malaka telah berkembang pada zaman Kerajaan Siak Sri Indrapura yang menetapkan bahwa semua
pejabat kerajaan diharuskan berpakaian sesuai perkembangan zaman, yaitu baju kot dan seluar
pantalon.
Dalam perjalanan sejarah adat-istiadat Melayu, “adat yang diadatkan” mengalami berbagai
perubahan dan variasi. Hampir dapat dipastikan bahwa adat ini merupakan adat yang paling banyak
ragamnya, sesuai dengan wilayah tumbuh dan berkembangnya. “Adat yang diadatkan” yang terdapat
di daerah Riau beragam, karena di daerah Riau pernah terdapat kerajaan-kerajaan yang tersebar dari
kepulauan sampai ke hulu-hulu sungai. Setiap kerajaan tentu mempunyai corak dan variasinya yang
disesuaikan dengan kondisi dan latar belakang sejarah, serta pengaruh yang masuk ke sana.
Jika “adat yang diadatkan” di seluruh wilayah Provinsi Riau dibahas secara mendalam, akan
dijumpai perbedaan dan persamaan antara kerajaan-kerajaan tersebut. Akan tetapi, perbedaannya
hanya terbatas dalam masalah “tingkat adat” saja, sedangkan “adat sebenar adat” tetap sama.
Demikian pula dengan ketentuan-ketentuan dalam upacara, seperti dalam upacara nikah kawin,
upacara yang menyangkut daur hidup, dan sebagainya.
c. Adat yang Teradat
Adat ini merupakan konsensus bersama yang dirasakan baik, sebagai pedoman dalam
menentuhan sikap dan tindakan dalam menghadapi setiap peristiwa dan masalah-masalah
yang dihadapi oleh masyarakat. Konsensus itu dijadikan pegangan bersama, sehingga
merupakan kebiasaan turun-temurun. Oleh karena itu, “adat yang teradat” ini pun dapat
berubah sesuai dengan nilai-nilai baru yang berkembang. Tingkat adat nilai-nilai baru yang
berkembang ini kemudian disebut sebagai tradisi.
Pelanggaran terhadap adat ini sanksinya tidak seberat kedua tingkat adat yang disebutkan di
atas. Jika terjadi pelanggaran, maka orang yang melanggar hanya ditegur atau dinasihati oleh
pemangku adat atau orang-orang yang dituakan dalam masyarakat. Namun, si pelanggar tetap
dianggap sebagai orang yang kurang adab atau tidak tahu adat. Ketentuan adat ini biasanya tidak
tertulis, sehingga pengukuhannya dilestarikan dalam ungkapan yang disebut “pepatah adat” atau
“undang adat”. Apabila terjadi kasus, maka diadakan musyawarah. Dalam musyawarah digunakan
“ungkapan adat” yang disebut “bilang undang”.
Dari uraian dapat disimpulkan bahwa ketentuan-ketentuan adat yang lebih dikenal sebagai
hukum tidak tertulis telah diwariskan dalam bentuk undang-undang, ungkapan, atau pepatah-petitih.
Tutur-Kata
Dalam bertutur dan berkata, banyak dijumpai nasihat, karena kata sangat berpengaruh
bagi keselarasan pergaulan, “Bahasa menunjukkan bangsa”. Pengertian “bangsa”
yang dimaksud di sini adalah “orang baik-baik” atau orang berderajat yang juga
disebut “orang berbangsa”. Orang baik-baik tentu mengeluarkan kata-kata yang baik
dan tekanan suaranya akan menimbulkan simpati orang. Orang yang menggunakan
kata-kata kasar dan tidak senonoh, dia tentu orang yang “tidak berbangsa” atau
derajatnya rendah.
Bahasa selalu dikaitkan dengan budi, oleh karena itu selalu disebut “budi bahasa”.
Dengan demikian, ketinggian budi seseorang juga diukur dari kata-katanya..
Oleh karena kata dan ungkapan memegang peran penting dalam pergaulan, maka
selalu diberikan tuntunan tentang kata dan ungkapan agar kerukunan tetap terpelihara.
Tinggi rendah budi seseorang diukur dari cara berkata-kata. Seseorang yang
mengeluarkan kata-kata yang salah akan menjadi aib baginya, seperti kata pepatah
“Biar salah kain asal jangan salah cakap”.
Sopan-Santun Berpakaian
Dari pepatah “Biar salah kain asal jangan salah cakap” juga tercermin bahwa salah
kain juga merupakan aib. Dalam masyarakat Melayu, kesempurnaan berpakaian
menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya budaya seseorang. Makin tinggi
kebudayaannya, akan semakin sempurna pakaiannya. Selain itu, sopan-santun
berpakaian menurut Islam telah menyatu dengan adat.Orang yang sopan, pakaiannya
akan sempurna, tidak bertelanjang dada, dan lututnya tidak terbuka
Orang Melayu sejak dahulu sudah mengenal mode, terbukti dengan adanya berbagai
jenis pakaian, baik pakaian pria maupun wanita. Demikian pula perhiasan sebagai
pelengkap berpakaian. Melayu mengenal penutup kepala bagi lakilaki yang disebut
“tengkolok” atau “tanjak” dengan 42 jenis ikatan.
Pakaian daerah atau pakaian tradisonal Melayu bermacam-macam dan cara
memakainya pun disesuaikan dengan keperluan. Cara berpakaian untuk ke pasar, ke
masjid, bertandang ke rumah orang, atau ke majelis perjamuan dan upacara ada
etikanya sendiri-sendiri. Sebagai intermezo, penulis sajikan beberapa ungkapan
mengenai pakaian (Effendy, 1985):
Seperti yang telah penulis ungkapkan pada bagian depan, Kerajaan Siak Sri Indrapura
telah menetapkan cara berpakaian bagi para pejabat yang bekerja di balai (kantor) dan
cara berpakaian rakyat yang datang ke balai dalam Babul Qawa‘id. Dari uraian
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pergaulan orang Melayu di Riau,
kesopanan berpakaian tidak boleh diabaikan.
Kerangka acuan adab dan sopan-santun dalam pergaulan adalah norma Islam yang
sudah melembaga menjadi adat. Di dalamnya terdapat berbagai pantangan, larangan,
dan hal-hal yang dianggap “sumbang”. Pelanggaran dalam hal ini menimbulkan aib
besar dan si pelanggar dianggap tidak beradab.
Terdapat beberapa sumbang, yaitu sumbang dipandang mata, sumbang sikap, dan
sumbang kata yang pada umumnya disebut “tidak baik”. Karakter anggota
masyarakat dibentuk oleh norma-norma ini. Dengan demikian tercipta pola sikap
dalam pergaulan, seperti sikap terhadap orang tua, terhadap ibu bapak, terhadap
penguasa atau pejabat, terhadap orang sebaya, terhadap orang yang lebih muda,
antara pria dan wanita, bertamu ke rumah orang, dalam upacara, dan sebagainya.
Banyak ungkapan yang kita jumpai di dalam masyarakat Melayu yang digunakan
sebagai tuntunan, di antaranya sebagai berikut (Effendy, 1985):
Karena begitu banyaknya ungkapan, maka tidak mungkin jika semuanya dikemukakan di sini.
Yang jelas, dalam masyarakat Melayu Riau etika pergaulan sangat dipentingkan. Karakteristik Orang
Melayu sangat identik dengan kesopanan dalam pergaulan dimana bisa kita lihat dalam sebuah karya
sastra melayu :
Hidup sekandang sehalaman
tidak boleh tengking-menengking
tidak boleh tindih-menindih
tidak boleh dendam kesumat
dan Orang Melayu sangat identik dengan sikap gotong royong yang dapat dilihat pada :
Rumah Adat Melayu Riau Selaso Jatuh Kembar saat ini lebih banyak digunakan sebagai Balai
Pertemuan, oleh karna itu tidak lagi dapat dikategorikan sebagai rumah tinggal. Bangunan ini
memiliki ciri khas Selasar yang lebih rendah dibandingkan ruang tengah sebagai tempat berkumpul
sehingga mendapatkan julukan Selasar yang jatuh (turun), selain itu setiap komponen arsitektural
bangunan rumah adat Melayu Riau memiliki nilai yang lebih dari sekedar komponen bangunan saja,
tetapi juga memiliki arti dan filosofi yang mendalam. Komponen yang dimiliki oleh rumah adat
Melayu Riau terdiri dari :
1. Atap
Atap rumah adat Melayu Riau terdiri dari silangan pada perabung (ujung atap) dan kaki atap,
dua bagian ini melengkung ke atas, namun lengkungan ujung perabung harus selalu lebih kuat
dibandingkan kaki atap. Hiasan pada perabung atap disebut Sulo Bayung (Selembayung) dan kaki
atap disebut Sayok Layangan. Sulo Bayung memiliki arti yang mendalam tentang hubungan manusia
dan penciptanya, manusia yang mengarungi kehidupan mengalami berbagai cobaan yang kadang
menghanyutkan dan dapat membawa manusia kedalam lembah yang kelam, bentuk atap menyerukan
kepada pemiliknya agar tidak melupakan ibadah sehingga pada akhir kehidupannya dapat kembali
kepada penciptanya dalam keadaan yang suci. Sayok Layangan biasanya memiliki berbagai jenis
ornamen, salah satunya adalah bulan sabit yang bermakna memberikan penerangan, penerangan ini
diharapkan dapat menyinari seisi rumah dalam berbagai aspek kehidupan yang dijalaninya.
Material atap yang dahulu digunakan oleh masyarakat Melayu Riau adalah daun Rumbia
yang di ikatkan pada tulang atap menggunakan tali dari rotan, sedangkan perabung yang berat dipasak
pada atap dengan menggunakan nibung. Material ini merupakan material yang mudah didapatkan di
daerah Riau, dengan penggunaan material ini membuat rumah penduduk terhindar dari sengatan
panasnya matahari yang biasa di alami oleh Masyarakat Melayu Riau karna secara geografis Riau
terletak tepat pada garis katulistiwa, berbeda dengan atap seng atau genteng yang digunakan oleh
masyarakat pada saat ini.
Material utama sebuah Loteng adalah papan dari kayu keras seperti Merbau, yang kuat
meskipun lebih tipis dibandingkan Lantai. Potongan papan untuk loteng juga lebih kecil dibandingkan
lantai dan bertumpu pada rangka yang dibuat dibawah atap.
3. Lobang Angin
Lobang Angin yang lebih kita kenal sebagai Ventilasi merupakan bagian dari rumah yang
dibuat untuk mengalirkan udara baik dari dalam rumah keluar, maupun dari luar rumah kedalam.
Lobang angin pada rumah adat Melayu Riau mengambil bentuk simetris seperti persegi delapan,
enam, empat atau lingkaran, bentuk simetris ini dipengaruhi oleh keyakinan agama Islam yang
dimiliki masyarakat Melayu. Lobang angin biasanya terdapat pada bagian atas pintu atau jendela
rumah. Lobang Angin dibuat dari kayu sungkai, sama seperti yang dipergunakan untuk Pintu dan
Jendela.
4. Dinding
Dinding rumah adat Melayu Riau tidak seperti rumah-rumah pada saat ini, dinding rumah
adat Melayu Riau pada zaman dahulu dibuat miring 20' hingga 30'. Kemiringan ini secara teknis
memberikan aerodinamika pada rumah-rumah adat Melayu Riau yang terletak dipinggiran sungai dan
laut yang berangin cukup kencang. Atap rumah yang menjulang dan dinding yang miring membelah
angin keatas dan kebawah rumah, angin yang menuju atas rumah dibuang ke langit dan bagian bawah
terbuang lewat kolong rumah. Bentuk ini juga diyakini terinspirasi dari kapal hal ini terbukti dengan
hiasan pada kaki dinding yang mirip perahu atau lancang.
Pada bagian rumah tertentu seperti pada rumah Bubung Panjang, dinding dibuat sebatas bahu
orang duduk bersila. Dinding rumah direkatkan pada Jenang, dalam merapatkan dinding bagian yang
cekung dimasukkan kedalam bagian yang lurus sehingga papan itu benar-benar tidak tembus cahaya
atau angin. Pada bangunan rumah adat bagi pemuka masyarakat digunakan teknik Lidah Pian yakni
penyusunan papan dengan papan yang lain saling bertemu rapat dan berhimpit, menggunakan kayu
keras dan tidak berserabut.
Khususnya pada Rumah Lontik, dinding dibuat dua lapis, bagian dalam dan bagian luar.
Meskipun bagian luar rumah dindingnya miring, pada bagian dalam tetap dibuat lurus, dinding-
dinding tersebut tidak menggunakan rangka dinding, tetapi diletakkan pada balok kayu yang di Purus
tempat menanam dinding dan disebut Jenang. Bagian depan balok tersebut dibuat melengkung ke atas
dan jika disambung diberi ukiran sehingga bentuknya seperti perahu.
5. Lantai
Pada bagian utama lantai bangunan rumah adat Melayu Riau dibuat sangat rapat, sedangkan
pada bagian dapur dibuat agak jarang. Lantai yang terbuat dari kayu Nibung diletakkan pada bagian
belakang rumah atau kamar mandi dan tempat-tempat yang sering terkena air.
Lantai sebagian besar dibuat dari kayu meranti, medang, atau punak. Susunannya dibuat
sejajar dengan Rasuk dan Melintang diatas Gelegar yang ujungnya dibatasi oleh Bandul. Ketinggian
lantai biasanya ditentukan berdasarkan tinggi tiang rumah dengan rasio 20cm hingga 60cm.
Berbeda dengan rumah adat Melayu pada umumnya, rumah adat Pondok Pisang Sesikat
menggunakan lantai yang terbuat dari kulit kayu
6. Bendul
Bendul merupakan batas ruangan dan batas lantai yang terbuat dari kayu yang tidak boleh
bersambung karna berfungsi sebagai penguat dan pengikat pada ujung-ujung lantai.
7. Pintu
Pintu disebut juga dengan Ambang atau Lawang. Pada bangunan rumah adat Melayu Riau
pintu dibagi menjadi dua jenis, yang pertama adalah pintu yang menguhubungkan bagian dalam
rumah dengan bagian luar rumah, yang kedua adalah pintu yang menghubungkan bagian-bagian
dalam rumah. Pintu yang menghubungkan bagian kamar-kamar didalam rumah disebut pula dengan
Pintu Malim atau Pintu Curi, pintu ini berfungsi sebagai jalan yang digunakan terutama jika ada tamu
di ruang utama sehingga pengguna pintu tersebut tidak perlu berlalu lalang didepan tamu. Pintu
tersebut hanya dapat digunakan oleh orang rumah atau keluarga terdekat.
Pintu merupakan panel yang terbuat dari kayu pilihan dan diberi ornamen tertentu dan
terdapat Lobang Angin pada bagian atasnya, sedangkan pada bagian bawahnya diberi kisi-kisi agar
anak-anak tidak terjatuh.
8. Jendela
Dalam bahasa Melayu, Jendela disebut Tingkap atau Pelinguk yang bentuknya mirip dengan
pintu dengan satu atau dua daun jendela yang diberi kisi-kisi dan diberi panel setinggi 30cm hingga
40cm. Tinggi Jendela dari Lantai biasanya dibuat berdasarkan ergonomi atau adat istiadat daerah
setempat.
9. Tangga
Tangga rumah adat Melayu Riau biasanya dibuat berjumlah ganjil sesuai dengan tinggi atau
rendahnya rumah tersebut dari permukaan tanah, rumah yang memiliki anak Tangga berjumlah 5 anak
tangga merepresentasikan 5 rukun Islam. Pada tangga terdapat tiang tangga yang berbentuk persegi
atau bulat yang biasanya dilengkapi dengan tangan Tangga dan diberi ornamen berupa kisi-kisi larik
atau Papan Tembus.
Tangga rumah adat Melayu biasanya terletak pada samping rumah untuk menghindari
pandangan langsung menuju rumah, namun banyak pula rumah adat yang meletakkannya di bagian
depan rumah.
Anak tangga dan tangan tangga biasanya dibuat dari kayu Nibung atau kayu keras lainnya
yang tahan terhadap serangan cuaca, terutama air karna pada saat air pasang atau musim penghujan
yang menyebabkan ketinggian air sungai bertambah, tangga akan sering terendam oleh air.
Pada permulaan anak tangga dimulai dengan batu, atau kayu keras yang disandingkan pada sebelah
kanannya dengan Tempayan (wadah) air untuk mencuci kaki bagi yang akan memasuki rumah.
10. Tiang
Bentuk Tiang rumah adat Melayu merepresentasikan berbagai filosofi, tiang-tiang rumah adat
tersebut biasanya berbentuk persegi 4, 6, 7, 8, 9 Persegi 4 dan 8 melambangkan 4 atau 8 penjuru
angin, dengan harapan rumah tersebut mendapatkan rezeki dan berkah dari berbagai penjuru, persegi
6 melambangkan Rukun Iman dalam ajaran Islam dengan harapan penghuni rumah tersebut dapat
konsisten menjalankan perintah Agama, sedangkan persegi 7 melambangkan 7 tingkatan Surga dan
Neraka dan persegi 9 disebut dengan Tiang Rangkaye yang menunjukkan kemampuan ekonomi
pemiliknya.
Banyaknya Tiang utama pada rumah menandakan luasnya rumah tersebut, tiang-tiang
biasanya dipancang dengan jarak 3 meter. 4 Tiang paling utama pada rumah adat Melayu Riau yang
berbentuk persegi panjang disebut Tiang Seri, sedangkan Tiang yang terletak diantara Tiang Seri pada
bagian depan rumah disebut Tiang Penghulu atau Tiang Tuo, jumlah Tiang Utama pada dasarnya
hanya 24 buah yang disusun 4 X 6. Jumlah selain Tiang Utama boleh ditentukan sendiri oleh yang
mendirikan rumah yang biasanya tetap berjumlah genap.
Setiap Tiang rumah tidak boleh ada sambungan hingga keujung atas tiang dan menggunakan
kayu Kulim, Tembesu, Resak dan Punak yang merupakan jenis-jenis Kayu Keras.
Tiang-tiang rumah biasanya memiliki panjang dari tanah hingga lantai mulai dari 1 meter hingga 2.5
meter, ketinggian lantai yang ditunjang oleh tiang-tiang ini merespon posisi rumah dari bibir sungai
atau laut, semakin dekat dengan laut atau sungai maka semakin tinggi pula rumah tersebut. Rumah
adat Melayu Riau yang bertiang rendah disebut dengan rumah Bagan sedangkan rumah adat yang
digunakan untuk tempat tinggal sementara atau mencari ikan disebut dengan Rumah Sudung-sudung.
Pada Rumah Pondok Pisang Sesikat Tiang rumahnya juga dibuat Tinggi dan digunakan untuk
beristirahat sementara di Ladang, rumah ini juga disebut dengan Pondok Ladang.
11. Tutup Tiang
Tutup tiang adalah pengunci Tiang-tiang penyangga rumah, Tutup Tiang yang
menghubungkan Tiang-Tiang Seri disebut Tutup Tiang Panjang, sedangkan yang menghubungkan
tiang-tiang lain disebut Tutup Tiang Pendek.
12. Kolong Rumah
Kolong rumah selain merupakan hasil dari respon arsitektural rumah adat Melayu Riau
terhadap kondisi geografisnya, juga memiliki berbagai fungsi seperti tempat menyimpan berbagai
stok seperti kayu bakar untuk memasak pada musim panas. Selain itu pada saat sungai surut, kolong
rumah juga menjadi bengkel untuk memperbaiki dan menyimpan perahu atau sampan.
13. Rasuk dan Gelegar
Rasuk dapat dikatakan sebagai pasak, yang berbentuk persegi dan menembus tiang,
dibeberapa tempat di Riau disebut juga dengan nama Gelegar Jantan atau Gelegar Induk, Gelegar juga
disebut sebagai Rasuk Anak dan dipasang melintang Rasuk Induk yang terbuat dari Tembusu, Kayu
Resak atau Kulim. Rasuk yang besar disebut dengan Rasuk Induk dan yang kecil adalah Rasuk Anak.
14. Jenang
Fungsi utama Jenang adalah penyambung dinding dan merekatkan Rasuk ke Tutup Tiang dan
diruncing bulatkan ujungnya.
15. Sento
Kayu-kayu yang menguhubungkan antar Jenang disebut Sento, atau disebut juga anak Jenang
yang ukurannya lebih kecil dari Jenang. Kedua ujung Sento dipahatkan kedalam Jenang.
16. Alang
Alang merupakan kayu yang dipasang melintang diatas Tutup Tiang yang berfungsi sebagai
Gelegar Loteng atau balok tarik dibawah kuda-kuda dan berukuran sama dengan Tutup Tiang atau
lebih kecil sedikit.
17. Kasau
Kasau adalah kaki kuda-kuda atap dan dapat difungsikan sebagai pengikat atap
18. Gulung-gulung
Gulung-gulung biasanya berbentuk persegi yang dipasang sejajar dengan tulang bubung dan
diletakkan di atas Kasau.
19. Tulang Bubung
Tulang bubung merupakan kayu yang berbentuk persegi yang menjadi pertemuan ujung Kasau dan
ujung atau sebelah atas. Diatasnya dipasang Peraung yaitu atap yang menjadi penutup ujung atap
paling atas.
20. Singap
Singap juga disebut sebagai Teban Layer atau Bidai. Bagian ini dapat dibuat bertingkat dan dapat pula
difungsikan sebagai Lobang Angin. Pada bagian yang menjorok luar disebut sebagai Teban Layer
atau lantai Alang atau Undan-undan.
Mainan rumah adat Selaso Jatuh Kembar ini merupakan produk yang di desain bukan hanya
menjadi sekedar mainan, tapi juga media bagi kita untuk mengajarkan anak-anak dan penerus kita
tentang berbagai ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh budaya terutama budaya arsitektur Indonesia
yang sangat kaya. Mainan ini merupakan langkah awal mereka mengenal budaya luhur mereka yang
diwariskan untuk dunia, terbuat dari kayu yang merupakan bahan natural dan di finishing dengan
semir kayu tanpa bahan artifisial lainnya sehingga sangat aman untuk menjadi media belajar anak-
anak.
Mari kumpulkan seluruh varian mainan rumah adatnya dan perkaya ilmu pengetahuan anak-
anak kita dengan budaya Indonesia yang luhur
Rumah tradisional Bengkulu termasuk tipe rumah panggung. Rumah panggung ini dirancang
untuk melindungi penghuninya dari banjir. Disamping itu kolong rumah panggung juga dapat
dipergunakan untuk menyimpan gerobak, hasil panen, alat-alat pertanian, kayu api, dan juga berfungsi
sebagai kandang hewan ternak. Bentuk rumah panggung melayu ini terbagi menjadi beberapa bagian,
antara lain :
Bagian atas
SUSUNAN RUANG
Rumah tempat tinggal memilki fungsi dalam kehidupan. Adapun susunan dan fungsi ruang pada
rumah adat melayu Bengkulu ini adalah :
1. Berendo
Tempat menerima tamu yang belum dikenal, atau tamu yang hanya menyampaikan suatu pesan
(sebentar). Selain itu juga dipergunakan untuk relax pada pagi atau sore hari. Bagi anak-anak, berendo
juga sering dipergunakan untuk bermain congkak, karet, dll
2. Hall
Ruang untuk menerima tamu yang sudah dikenal baik, keluarga dekat, atau orang yang disegani.
Ruangan ini juga digunakan untuk tempat cengkrama keluarga pada malam hari, ruangan belajar bagi
anak-anak, dan sewaktu-waktu ruang ini digunakan untuk selamatan atau mufakat sanak family.
3. Bilik gedang
Bilik gedang atau bilik induk merupakan kamar tidur bagi kepala keluarga (suami istri) serta anak-
anak yang masih kecil.
4. Bilik gadis
Biasanya terdapat pada keluarga yang memiliki anak gadis, merupakan kamar bagi si anak gadis.
Selain untuk tidur juga digunakan untuk bersolak. Bilik gadis biasanya berdampingan dengan bilik
gedang, demi keamanan dan kemudahan pengawasan terhadap anak gadis mereka.
5. Ruang tengah
Biasanya dikosongkan dari perabot rumah, dan di sudutnya disediakan beberapa helai tikar bergulung
karena fungsi utamanya adalah untuk menerima tamu bagi ibu rumah tangga atau keluarga dekat bagi
si gadis. Di samping itu juga sering dipakai sebagai tempat belajar mengaji. Bagi keluarga yang tidak
memilki kamar bujang tersendiri, kadang-kadang dipakai untuk tempat tidur anak bujang.
6. Ruang makan
Tempat makan keluarga. Pada rumah kecil biasanya tidak terdapat ruang makan, mereka makan di
ruang tengah. Bila ada tamu bukan keluarga dekat, maka untuk mengajak tamu makan bersama
digunakan hal, bukan di ruang makan.
7. Garang
Tempat penyimpanan tempayan air atau gerigik atau tempat air lainnya, juga dipakai untuk tempat
mencuci piring dan mencuci kaki sebelum masuk rumah atau dapur
8. Dapur
Ruangan untuk memasak
9. Berendo belakang
Serambi belakang, tempat relax bagi kaum wanita pada siang atau sore hari, melepas lelah setelah
mengerjakan tugas, tempat mengobrol sambil mencari kutu.