Anda di halaman 1dari 17

TUGAS ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

KEARIFAN BUDAYA RAKYAT TAU SAMAWA

Disusun Oleh:

Devi Amalia 331610071

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI PELITA BANGSA
BEKASI
2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hari ini kondisi masyarakat menunjukan bahwa hampir 60% di dominasi oleh
budaya luar, mengingat masyarakat sekarang berbeda dengan masyarakat yang
lalu. Perlahan tapi pasti segala bentuk tradisi dalam masyarakat mulai di
tinggalkan. Sumbawa adalah sebuah pulau yang didiami oleh banyak sekali suku
pendatang baik local dan luar. Suku Sumbawa atau Samawa adalah sukubangsa
yang mendiami wilayah bagian barat dan tengah pulau Sumbawa (meliputi
kabupaten Sumbawa dan Sumbawa barat), Suku sumbawa menyebut diri mereka
sendiri sebagai Tau Samawa dan menggunakan bahasa Samawa.

Kesenian yang beragam dan budaya yang unik seakan menambah ke khasan dari
pulau ini. Sebut saja. Mencak .Mencak dapat dikatakan sebagai seni bela diri dan
juga bisa dikatakan sebagai bukan seni bela diri. Tetapi mencak dapat digolongkan
ke dalam seni bela diri tradisional. Mencak itu seperti yang dikatakan oleh orang
bugis adalah kentao, sedangkan kentao merupakan kenbang atau rangkaian-
rangkaian dari gerakan seni bela diri itu.

Mencak atau seni bela diri tradisional pertama kali dibawa oleh orang bugis
makasar sebelum terbentuknya KSB ini yang dulunya dinamakan puarea atau
kepiteng jepara.
Mencak atau seni bela diri tradisional dulunya dibawa ke pulau Sumbawa oleh 4
oran, yaitu Andi Tupu, Mapaita, Daeng Masiki dan Labuan teratai. Mereka datang
ke Sumbawa ini menggunakan perahu. Setiap berlabu di atas kapal mereka
bersenang-senang sambil menggunakan gong gendang sebagai irama sambil
bermain mencak. Setelah sampai, mereka berlabu di muara Labuan Sumbawa.
Dulunya pulau Sumbawa adalah kepunyaan orang bugis. Lama-kelamaan orang
bugis makasar membesarkan pulau Sumbawa dengan membuat istana datuk yang
dinamakan balatua atau bala kembar. Setelah istananya selesai mereka
mengadakan pesta datuk di istananya sambil mengadakan mencak di sana. Itulah
yang pertama kali dibawa oleh orang bugis makasar tersebut.

Terfokus pada pendidikan formal A-Z tetapi sedikit melupakan kebudayaan dalam
masyarakatnya, bergaya ala luar dan segala macam bentuknya! Kearifan budaya
lokal boleh jadi saat ini pada suku-suku tertentu mulai menipis karena arus
modernisai dan globalisasi. Tetapi saya harap semoga kedepannya budaya/tradisi
yang ada di daerah Sumbawa dapat di munculkan dan di gali lagi agar kami anak
daerah mengenal identitas daerahnya sendiri sebagai masyarakat yang berbudaya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana kebudayaan rakyat Tau Samawa di Sumbawa?
2. Apa bahasa yang dipakai rakyat Tau Samawa?
3. Bagaimana kepercayaan yang dianut rakyat Tau Samawa?
4. Apa saja macam-macam permainan rakyat Tau Samawa?
5. Bagaimana kerajinan rakyat Tau Samawa?
6. Bagaimana pesta rakyat Tau Samawa?
7. Bagaimana arsitektur tradisional rakyat Tau Samawa?
8. Apa pakaian tradisional Tau Samawa?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui kebudayaan Tau Samawa di Samawa.
2. Untuk mengetahui bahasa yang dipakai rakyat Tau Samawa.
3. Untuk mengetahui kepercayaan yang dianut rakyat Tau Samawa.
4. Untuk mengetahui macam-macampermainan rakyat Tau Samawa.
5. Untuk mengetahui kerajinan rakyat Tau Samawa.
6. Untuk mengetahui pesta rakyat Tau Samawa.
7. Untuk mengetahui arsitektur tradisional rakyat Tau Samawa.
8. Untuk mengetahui pakaian tradisional Tau Samawa.

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Bagi Mahasiswa
• Untuk memperluas wawasan dan pandangan mahasiswa terhadap kearifan
budaya diIndonesia.
• Dapat Ikut serta dalam menjaga dan melindungi budaya yang ada
diIndonesia.
1.4.2 Bagi Institusi
• Dapat dijadikan sebagai materi pembelajaran dan pembuatan tugas makalah
selanjutnya.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Kebudayaan Tau Samawa di Sumbawa NTB


Secara geografis kabupaten Sumbawa terletak pada posisi yang cukup
strategis, yaitu berada pada segi tiga emas kawasan pariwisata antara pulau Bali,
Lombok dan pulau Komodo. Kabupaten Sumbawa juga memiliki kekayaan
sumberdaya alam yang cukup potensial, yaitu berupa lahan pertanian dan
peternakan dan telah ditetapkan sebagai lumbung padi dan daerah pengembangan
ternak di NTB. Di samping itu, juga memiliki kekayaan hutan, flora dan fauna,
mineral, pertambangan emas dan tembaga, industri dan sumber daya kelautan
dengan panjang pantai mencapai 900 km. Luas wilayah darat mencapai 8.493 km2
dan wilayah laut 4912,46 km2. Jumlah penduduk seluruhnya 452.746 jiwa, (laki-
laki 228.717 jiwa dan perempuan 224.029 jiwa). Sedangkan jumlah penduduk asli
(etnis Samawa) mencapai 68,66% selebihnya adalah berasal dari etnis Bali, Sasak
(Lombok), Jawa, Sunda, Madura, Mbojo (Bima/ Dompu), Bugis, Makasar,
Minang, Sumba/ Timor, dan Arab.
Penduduk asli Sumbawa atau yang kemudian dikenal dengan nama Tau
Samawa akan menjadi pokok bahasan. Pada awalnya mereka merupakan para
pendatang yang menemukan daerah baru. Pada saat itu tempat mereka mendarat
dijadikan sebagai tempat bermukim. Kemudian pemukiman mereka berkembang
sampai masuk ke pedalaman. Masuknya mereka ke pedalaman disebabkan
kebutuhan akan lahan pertanian yang subur. Mereka semua berasal dari berbagai
daerah dan memiliki tingkat keahlian dan ilmu pengetahuan yang tinggi dalam
bercocok tanam dan perbintangan. Diantara mereka ada yang berasal dari
Semenanjung Melayu, Aceh, Minang, Banten, Banjar, Jawa, kemudian Sulawesi
melalui pantai selatan, barat, maupun utara.
Namun perpidandahan penduduk ke Sumbawa telah terjadi jauh sebelum
Kerajaan Sriwijaya menguasai sebagian Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya Batu-Buddha diantara Senawang dan Batu Rotok. Sejak saat itu
pulau yang sebelumnya bernama Pulau Nasi berubah menjadi Pulau Sumbawa.
Nama Samawa sendiri berasal dari bahasa Sansakerta yang berarti menunjuk ke
selatan, tempat yang aman tentram, subur makmur. Hal ini mengacu pada salah
satu nama semedi Buddha Sidharta Utama yaitu Samava (yoga atau meditasi
Buddha).
Sejak zaman kuno, Hindu-Buddha, hingga Kesultanan, Daerah Sumbawa
telah menjadi lahan pertemuan antar etnik Nusantara. Akulturasi yang terjadi di
dalam masyarakatnya terjadi secara alami dengan menerima dan diterima dengan
penuh keterbukaan. Pada masa Dewa Batara Sukin dari Kerajaan Dewa Awan
Kuning, wilayah ini masih belum menyatu dan teratur dalam adat istiadat serta
sistem pemerintahannya. Pada saat itu tidak ada perbedaan antara Raja dengan
Menterinya, menteri dengan bawahannya hingga dengan rakyat jelata sekalipun
sama sekali tidak ada perbedaannya. Namun berbagai upaya dilakukan oleh raja
untuk memperbaiki keadaan tersebut. Ini terjadi pada masa Kerajaan Hindu-
Buddha.
Ada hal yang unik dalam masuknya Islam ke Sumbawa, jika pada umumnya
raja memeluk agama Islam terlebih dahulu, kemudian diikuti oleh rakyatnya. Hal
ini tidak berlaku bagi masyarakat Sumbawa, terbukti dengan adanya penemuan
arkeologis yang menyatakan bahwa masyarakat Sumbawa lebih dulu memeluk
Islam dari rajanya. Ketika Islam masuk ke Sumbawa, wilayah ini masih di bawah
pengaruh Majapahit. Namun kondisi ini tidak mengurangi penerimaan mereka
terhadap para pedagang muslim yang sekaligus menyiarkan agama Islam. Pada
saat itu Kerajaan Demak yang merupakan kerajaan Islam sedang berkuasa di
wilayah Jawa. Sehingga ketika Sultan Trenggono wafat, menyebabkan hubungan
yang sulit antara Kerajaan yang ada di Sumbawa. Meskipun Islam diterima oleh
masyarakat, namun para petinggi kerajaan belum bisa menerimanya. Sehingga
penyebaran Islam ini dilanjutkan oleh pedagang dan mubaligh yang berasal dari
Ternate yang telah belajar agama di Gersik, Tuban, dan Demak.
Pada awal tahun 1960-an beberapa Kerajaan yang berada di Wilayah Timur
memeluk islam, dan ini mempermudah proses islamisasi di Sumbawa.
Bergabungnya beberapa kerajaan kecil setelah mereka masuk islam menjadi awal
berdirinya Kerajaan Sumbawa. Kemudian Kerajaan Sumbawa ini bergabung
dengan Kerajaan Gowa, bahkan setelah menaklukan Kerajaan Selaparang kedua
kerajaan tersebut bergabung. Hingga akhirnya Kerajaan yang diberi nama
Kerajaan Gowa tersebut bergabung dengan Kerajaan Tallo dibawah Raja Gowa
Karaeng Tumapa risi Kallonna tahun 1551.
Sumbawa sendiri merupakan salah satu kabupaten terluas yang didiami oleh
salah satu etnik terbesar di Nusa Tenggara Timur yaitu Tau Samawa. Tau Samawa
(yang mengaku dirinya orang Sumbawa), merupakan orang yang lahir, besar, dan
tumbuh di Sumbawa meskipun tidak berdarah asli Samawa. Selama ia merasa
dirinya bagian dari wilayah Sumbawa, maka ia termasuk Tau Samawa. Tau
Samawa telah berhubungan dengan berbagai etnik yang berada di Nusantara sejak
lama. Hal ini menyebabkan terjadinya asimilasi dengan berbagai etnik tersebut
yang kemudian berkembang menjadi Tau Samawa. Meskipun kebudayaan
Samawa sendiri lebih besar dipengaruhi oleh Budaya Bugis dan Makasar jika
dilihat dari beberapa bentuk upacara pada tataran ningrat. Namun dalam kesenian
dan arsitektur tradisionalnya sangat kental dengan pengaruh Melayu. Pengaruh
kebudyaan Jawa yang di bawa oleh Kerajaan Majapahit juga melebur dengan
kebudayaan Samawa.
Tau Samawa mempunyai pedoman dan pegangan dapat dilihat dari berbagai
akitivitas tradisi masyarakat yaitu “ADAT BERSENDIKAN SYARA SYARA
BERSENDIKAN KITABULLAH”. Modernisasi telah membuat nilai-nilai yang
dijunjung tinggi perlahan terkikis. Namun sebenarnya tradisi Samawa tidak benar-
benar hilang secara fisik, karena hal ini telah melekat dalam diri masyarakat
Samawa sendiri.
2.1.1 Ada sepuluh konsep kearifan lokal yang didasari oleh rasa-saleng dalam
masyarakat Samawa:
1. Saleng-sakiki yaitu selalu berbagi rasa satu sama lain, bahwa dalam
keprihatinan pun tidak harus meratapi diri sendiri, tetapi bersama-sama
saling mengatasi dan memecahkan setiap persoalan yang dihadapi.
2. Saleng-pedi (saling mengasihi), adalah sikap berempati terhadap
penderitaan orang lain. Rasa ini tumbuh dari kemampuan saleng-sakiki
dengan sesama orang terdekat kemudian akan meluas kepada siapa saja
orang-orang yang mengalami penderitaan.
3. Saleng-satingi (saling menghormati), terlebih kepada tamu atau siapapun
dia.
4. Saleng-satotang (saling mengingatkan) satu sama lain. Hal ini sesuai dengan
ajaran agama Islam yang dianut mayoritas Tau Samawa.
5. Saleng-sadu (saling-percaya), tumbuh dari dalam lubuk jiwa yang didasari
oleh rasa malu apabila berlaku curang.
6. Saleng-sayang (saling sayang), muncul dari kebiasaan sehari-hari dari rasa
saling percaya mempercayai.
7. Saleng-tulung (saling bantu), sebagai manifestasi dari kebiasaan gotong
royong di masyarakat.
8. Saleng-beme (saling bimbing), saling membina diri antara satu dengan yang
lainnya.
9. Saleng-jango (saling jenguk), tidak hanya menjenguk ketika sakit, namun
ditekankan pada mengembangkan silaturahmi dengan sesama.
10. Saleng-saturet (saling seia sekata), suasana demokrasi dalam dimensi
keluarga dan persaudaraan.
2.2 Bahasa Tau Samawa
Bahasa biasanya dipakai oleh anggota kolektivitas mulai pada lingkungan
keluarga sampai dengan batas lingkungan di mana warga yang merasa dirinya Tau
Samawa berada. Sebelum pemekaran Kabupaten Sumbawa menjadi dua
kabupaten, Bahasa Samawa dipakai mulai dari Empang sampai ke Jereweh.
Dengan demikian masyarakat memunculkan beberapa kelompok bahasa yang
disebut logat (dialek). Bahasa Sumbawa terbagi dalam empat dialek, yaitu
Jereweh, Taliwang, Tongo, dan Sumbawa besar. Dari empat dialek ini terbagi lagi
ke dalam sub-sub dialek. Dialek Jereweh terdiri dari dua sub dialek yaitu, dialek
Beru dan Lalar. Dialek Taliwang terdiri dari tiga sub dialek yaitu, Salet, Meraran,
dan Mantar. Dialek Tongo mempunyai empat sub dialek, Tatar, Singa, Emang, dan
Labangkar. Dialek Sumbawa besar mempunyai tiga sub dialek, Rhe, Seran, dan
Batu Rotok.
Pemakaian Bahasa Samawa cukup luas, sehingga pengaruh antar dialek tidak
bisa dihindarkan. Bahasa Sasak juga berpengaruh terhadap Bahasa Samawa,
dikarenakan letak geografis yang berdekatan. Selain itu pengaruh Bahasa Melayu
juga Jawa masuk ke dalam Bahasa Samawa. Namun, anehnya pengaruh Bahasa
Mbojo tidak ada sama sekali meskipun secara geografis berada dalam wilayah
yang berdekatan dengan Sumbawa. Pada masa kini ada kecenderungan Bahasa
Samawa cepat atau lambat akan punah. Hal itu terlihat dari adanya gejala-gejala
awal, yaitu kecenderungan keluarga Sumbawa memakai Bahasa Indonesia untuk
komunikasi dalam keluarga.
2.3 Kepercayaan Rakyat Tau Samawa (Panyadu Tau Samawa)
Kepercayaan rakyat Tau Samawa ini lebih menjurus kepada takhayul.
Diantara takhayul mereka adalah menyebut tikus yang sedang ribut kawin di
loteng rumah dengan panggilan “daeng”. Mereka percaya kalau mendzalimi tikus
dengan mengejar-ngejar dan membunuhnya dengan perangkap, atau
membakarnya akan menimbulkan akibat yang sangat fatal. Hama tikus akan
merajalela dimana-mana. Untuk mengantisipasinya dengan memelihara kucing
atau menyimpan kotak jangkrik peliharaan di dalam lumbung, sehingga tikus tidak
berani mendekat. Selain itu adapula larangan untuk bersenandung dan bernyanyi
ketika memasak di dapur. Hal ini akan mengakibatkan seorang perempuan menjadi
janda dan dibenci oleh mertua.

2.3.1 Tau samawa juga mengenal tentang takhayul yang berhubungan dengan
alam gaib. Kepercayaan akan mahluk halus dibeberapa tempat di
Sumbawa masih ditemukan. Diantara mahluk halus tersebut, yaitu:
 Kono, dipercaya sebagai penghuni lubuk dan jeram di sungai, dianggap tidak
mengganggu jika tidak diganggu. Beberapa kejadian yang menimpa
masyarakat sering dihubungkan dengan Kono. Misalnya jika ada seseorang
yang tenggelam di sungai, biasanya dihubungkan dengan Kono. Sehingga
orang-orang melarang bermain-main bahkan mandi di sungai menjelang sore.
 Bakiq, dilukiskan sebagai mahluk halus seperti manusia, bedanya tumit kakinya
ke depan sementara jari-jari kakinya ke belakang. Berwajah jelek dan
ditumbuhi bulu seperti monyet. Baqik adalah mahluk halus yang menjaga satwa
di hutan. Jika ada seseorang yang tersesat di hutan, maka mereka percaya yang
melakukannya adalah Baqik. Orang yang tersesat di hutang harus menyebutkan
mantra “monte rangap” dengan keras. Hal ini akan membuat Baqik ketakutan
dan pergi.
 Leak, adalah mahluk penghisap darah yang digambarkan mirip kancil atau
menjangan muda. Leak ini ada dua jenis, leak yang murni penghisap darah dan
leak suruhan yang menyakiti orang atau musuh. Leak penghisap darah akan
berkeliaran di rumah orang yang sedang melahirkan atau para gadis yang
sedang menstruasi. Sementara leak suruhan akan menyakiti orang dengan
santet.

2.4 Permainan Rakyat (Pakedek Tau Samawa)


Setiap bangsa di dunia ini mempunyai permainan tradisional. Berdasarkan
sifatnya permainan dapat dibagi dua, yaitu permanian untuk bermain dan
permanian untuk bertanding. Diantara permanian yang terdapat di Sumbawa
adalah:
Barapan, yaitu berkejaran atau menghalau dengan kecepetan. Barapan ini
dilaksanakan siang hari, antara pukul 10.00 sampai selesai. Arena Barapan
dipersiapkan pada sawah berlumpur dengan ketinggian air sebatas lutut kerbau.
Peserta dan penonton yang mengelilingi arena selalu menjadi tolak ukur
penyelenggaraan, karena akan menjadi kebanggaan bagi penggagas kegiatan
(pemilik sawah). Ini dilakukan karena sebagian besar mata pencaharian penduduk
Sumbawa adalah petani dan peternak.
 Bakaraci, yaitu permainan keras sehingga pemainnya harus kuat dan tahan
terhadap pukulan yang bertubi-tubi. Permainan Bakarci dimainkan oleh dua
orang yang bertanding dengan saling pukul menggunakan rotan atau kayu yang
ditentukan dan hanya dimainkan oleh kaum laki-laki. Jumlah peserta tidak
terbatas, karena permainnya akan berhadapan satu lawan satu sesuai dengan
tantangan. Usia pemain paling muda 21 tahun, dan paling tua 40 tahun.
 Baranek Bawi, yaitu menghantam bagaikan babi menggusur tanah cari umbi
untuk makan. Permainan ini mirip dengan tingkah babi beranak yang marah
kalau diganggu. Permainan ini juga dikenal sebagai tinju ala Sumbawa yang
dilakukan tanpa sarung tinju, sambil mengingat seikat padi kecil di kedua
tangannya. Permainan ini diadakan di musim panen, dalam arena sawah ketika
Mataq-ramai (gotong royong memotong padi). Pelaku permainan ini pemuda
berumur 17 tahun ke atas, maksimal berusia 35 tahun.
 Lontak Batu Asa, merupakan permainan anak-anak dan boleh dimainkan oleh
semua anak dari segala lapisan sosial dalam masyarakat. Perlengkapan yang
digunakan dalam permainan ini hanya berupa kain untuk penutup mata.
Perminan ini terdiri dari dua regu dan masing regu terdiri dari dua orang. Setiap
regu harus bisa menyelesaikan permainan tanpa kesalahan dengan menyentuh
kaki pemain lawan. Jika menyentuk kaki lawan maka dianggap kalah dan akan
mendapat hukuman.
Selain permainan yang disebutkan diatas masih banyak permainan tradisional
yang terdapat di daerah Sumbawa. Ini akan menambah kekayaan kebudayaan
Indonesia. Namun sangat disayangkan dengan masuknya pengaruh globalisasi
dengan masuknya berbagai mainan yang di impor dari luar membuat anak-anak
melupakan permainan ini. Bahkan orang dewasa juga cenderung mulai
meninggalkan permainan tradisional ini. Padahal ini merupakan bagian dari
kekayaan lokal yang harus dilestarikan.

2.5 Kerajinan Rakyat (Kaboto Tau Samawa)


Seperti masyarakat di daerah lain, Tau Samawa juga memiliki hasil kerajinan
sendiri. Hasil kerajinan tersebut semuanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Peralatan makan, pakaian, serta keperluan akan kebutuhan peralatan kerja
dikerjakan secara tradisional, dan tentunya dengan ciri khas yang berbeda. Dari
segi bahan, kerajinan Tau Samawa dikelompokkan dalam empat kelompok besar,
yaitu: tanah liat, bambu dan kayu/ daun, benang dan kain, serta benda logam. Pada
umumnya hasil kerajinan rakyat Tau Samawa tidak dipasarkan. Hal ini
dikarenakan produksinya yang tidak berorientasi kepada bisnis, namun untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri.

2.6 Pesta Rakyat (Basarame Tau Samawa)


Pesta rakyat pada masyarakat Sumbawa pada umumnya ditekankan pada
fungsi-fungsi tertentu berkaitan dengan ekspresi rasa syukur, permohonan dan
harapan, silaturahmi dan gotong royong. Begitu pula Tau Samawa, salah satu
bentuk pesta rakyat Samawa adalah panen raya atau mataq-rame (potong padi).
Luasnya kepemilikan lahan masing-masing keluarga petani Sumbawa
membuatnya tidak mampu bekerja sendiri sekeluarga. Dibutuhkan tenaga bantuan
dari luar kampung sehingga disebar pengumuman akan diadakan mataq-rame.
Pada pesta mataq-rame tidak hanya sekedar memotong padi tetapi dilengkapi pula
dengan berbagai atraksi, permainan dan nyanyiain rakyat. Selain itu pemilik lahan
menyiapkan makanan dan minuman dengan memotong minimal seekor kerbau.
Pesta rakyat lain ada yang besifat sakral seperti pesta Ponan di Desa Poto,
Kecamatan Moyo Hilir. Pesta ini diadakan setelah seluruh wilayah persawahan
selesai ditanami. Pesta Ponan melibatkan tiga desa yang seluruh warga desanya
meyakini dirinya berasal dari nenek moyang yang sama. Pada hari pesta Ponan,
seluruh warga berbondong-bondong datang menuju ke bukit membawa berbagai
macam penganan. Penganan ini diyakini membawa berkah akan mendapat hasil
panen yang berlimpah dan terhindar dari serangan hama. Pesta ini diadakan di
bukit Ponan dengan berkumpul sebentar kemudian berdo’a bersama kemudian
siraman rohani.
Pesta pernikahan atau Pangantan Samawa secara tradisional diawali dengan
pecaran tertutup. Meskipun rumah seorang laki-laki dan perempuan berdekatan,
mereka tidak akan pernah mengutarakan isi hatinya secara langsung. Biasanya
memanfaatkan orang terdekat lewat pengiriman surat atau penyampaian salam
yang dipoles dengan lawas dan pantun.

2.6.1 Proses acara pernikahan Tau Samawa yaitu:


 Babajakan (penjajakan)
 Bakatowan (meminang)
 Basaputes (mufakat)
 Badaq (pemberitahuan kepada calon wanita)
 Nyorong (mengantar dan menyerahkan biaya pernikahan.
 Tama kengkam (masuk pingitan):
 Barodak (luluran)
 Rapancar (berinai)
 Nikah (akad nikah)
 Rame mesaq (kumpul keluarga di rumah calon pengantin)
 Ngireng (mengarak pengantin)
 Tokal basai (duduk bersanding)
 Ngerang (bertandang ke rumah orang tua kedua belah pihak)

2.7 Arsitektur Tradisional (Bale Tau Samawa)


Meskipun pada dasarnya rumah tradisonal masyarakat Sumbawa adalah rumah
panggung. Mereka mempunyai standar utama yang mengacu pada Dalam Loka (Istana
tua peninggalan terakhir dari kesultanan Sumbawa). Dalam hal membangun rumah
masyarakat Sumbawa akan saling membantu, sehingga jika ada yang ingin
membangun rumah maka harus diumumkan kepada pemuka masyarakat dan adat. Hal
ini untuk memudahkan penentuan lokasi dan jumlah pohon yang akan ditebang di
hutan.
Kegiatan membangun rumah ini dilaksanakan berdasarkan urutan yang dibuat
oleh pemuka masyarakat dan adat. Adapun urutan kegiatannya adalah:
1. Marempong (menebang pohon)
2. Barepat (memahat)
3. Siker Tana (berdoa di lokasi bangunan)
4. Sanyata-bola (menyetel bahan bangunan)
5. Bau Lonto (mencari salur bahan pengikat)
6. Marebas (menebang bambu)
7. Nyantek (membuat atap bambu)
8. Sampanang-bale (mendirikan rumah)
9. Entek-bale (naik ke rumah)

Struktur rumah panggung Sumbawa terdiri dari Ruang Luar, sebagai ruangan
untuk menerima tamu, biasanya diberi penyekat sebagai pelindung tempat tidur.
Ruang-Tengaq, adalah ruang utama (keluarga), yang berfungsi sebagai ruang
makan jika ada tamu. Ruang Dalam, berfungsi sebagai tempat menyiapkan
makanan atau dapur sementaram dan sebagai tempat tidur anak perempuan dan
pembantu. Jambang, tambahan dari ruang induk dikhususkan untuk dapur, tempat
gentong air, dan tempat cuci piring. Pekonceng, tempat meresapkan air limbah.
Kandawari, sebagai tempat penyimpanan alat-alat dapur. Biasanya selalu ada
loteng yang berfungsi sebagai gudang, atau sebagai lumbung. Ciri khas rumah ini
adalah bangkung yang merupakan ornamen utama. Umumnya berbentuk cagak
yang disebut layang.
2.8 Pakaian Tradisional (Kre Lamung Tau Samawa)
Disebut pakaian tradisional karena selalu dipakai pada acara dan upacara
tradisional. Secara umum dikalangan masyarakat Sumbawa mengenal pakaian
tradisionalnya secara turun temurun sperti kre-alang, sapu-alang, sapu-batek,
pabasa, dan cilo untuk laki-laki yang tua dan muda. Sedangkan untuk perempuan
dikenal lamung pante, cipo-cila, kida sangeng, dan kre-alang. Secara tradisi,
masyarakat Sumbawa menempatkan pakaian sebagai tolak ukur kesopanan.
Terlihat ketika dalam pertemuan untuk makan bersama mereka akan memakai
tutup kepala. Sikap demikian menunjukkan penghargaan atas rezeki yang
dianugrahkan oleh Allah Swt.
Masyarakat Sumbawa terkenal memiliki kain songket hasil keterampiln para
penenun yang diperoleh akibat persentuhannya dengan kebudayaan masyarakat
Bugis. Songket Sumbawa umumnya menggunakan benang emas, benang perak,
juga benang katun. Yang kita kenal sebagai kain selungka, misalnya, adalah
songket yang menggunakan benang emas dan perak, dan tampilannya menyiratkan
pengaruh kebudayaan Bugis. Jenis lainnya, antara lain, kain tenun motif kotak-
kotak yang disebut mbali pida, dan Seperti halnya saudara mereka di Pulau
Lombok, estetika masyarakat Sumbawa pun melahirkan corak hias simbolis, stilasi
bentuk flora untuk kain perempuan dan penggayaan bentuk fauna atau manusia
pada kain kaum lelaki. Kain songket inilah yang kemudian memberi aksentuasi
yang khas pada pakaian adat masyarakat Sumbawa.
DAFTAR PUSTAKA

Syaifuddin Iskandar Ardiansyah, Konflik Etnis Samawa dengan Etnis Bali: Tinjauan
Sosial Politik dan Upaya Resolusi Konflik, (Sumbawa: Universitas Samawa, 2010),
hlm. 286.
Aris Zulkarnaen, Tradisi dan Adat Istiadat Samawa, (Yogyakarta: Ombak, 2011), hlm.
36-38
Mahsun, Penelitian Dialek Geografis Bahasa Sumbawa, (Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada, 1994), hlm. 41.
Soenyata Kartadarmadja & Sutrisno Kutoyo (ed.), Sejarah Kebangkitan Nasional
Daerah Kebangkitan Nusa Tenggara Barat, (Jakarta: Balai Pustaka, 1979), hlm. 31.
Op.cit., Aries Zulkarnain. Hlm 194
Mila Karmila, Busana Pengantin NTB, (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia,
2010), hlm. 3.

Anda mungkin juga menyukai