Anda di halaman 1dari 6

TUGAS AKHLAK DAN BUDIDAYA BUTON

NAMA : NALISA

KELAS :E

NIM : 20650168

TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DAYANU IKHSANUDDIN
BAUBAU 2021
Mengenal tenun khas Buton

Tenun merupakan teknik dalam pembuatan kain yang dibuat dengan menggabungkan
benang secara memanjang dan melintang sehingga membentuk motif tertentu. Kain tenun
biasanya terbuat dari serat kayu, kapas, sutra, dan lainnya. Salah satu kain tenun khas
Indonesia ialah tenun Buton.

Kerajinan tenun dari Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, biasanya menggambarkan


objek alam yang mereka temukan di sekitarnya. Tenun Buton juga kaya akan warna-warna.
Inilah yang menjadi kekhasan kerajinan tenun tersebut. Motifnya pun bermacam-macam, ada
yang bercorak ramai dan sudah mengalami penyesuaian dengan zaman, ada juga yang
diambil dari corak kuno. Salah satu corak yang cukup tua ialah motif salur besar dan kecil
yang berselang-seling.

Kerajinan tenun dari Kabupaten Buton, biasanya menggambarkan obyek alam yang
mereka temukan di sekitarnya. Tenun Buton juga kaya akan warna yang menjadi ciri
khasnya. Oleh masyarakat Buton, kerajinan tenun ini dianggap mampu menjadi perekat sosial
antar sesamanya, di mana pun mereka berada. Selain itu kain tenun tersebut juga bisa
menggambarkan suatu kejadian yang kerap dikenang. Salah satunya dapat anda lihat dalam
motif Betano Walona Koncuapa, warna abu-abu halus yang melayang-layang
menggambarkan hasil pembakaran semak saat membuka ladang. Ada juga yang fungsinya
sebagai penunjuk strata sosial dalam masyarakat Buton seperti motif Kasopa yang sederhana,
biasa dipakai oleh perempuan kebanyakan. Ada pula motif yang lebih rumit, Kumbaea, yang
didominasi warna perak dan biasanya dipakai oleh perempuan dari golongan bangsawan
dengan gelar Wa Ode.

Kain Tenun Buton digunakan dalam setiap upacara adat dan ritual keagamaan.
Menurut masyarakat Buton, jika kain tenun tersebut tidak disertakan dalam setiap upacara
adat dan ritual maka hakikat dan nilai dari upacara dan ritual tersebut dinilai kurang sakral.
Selain sebagai perekat sosial, tenun Buton juga dianggap mampu menjadi identitas diri,
karena bagi orang Buton, pakaian tidak hanya sebagai pelindung tubuh dari terik matahari
dan dinginnya malam. Misalnya hanya dengan melihat pakaian yang dikenakan oleh
perempuan Buton, kita bisa mengetahui status pernikahan juga strata sosialnya.

Lekatnya tenun bagi masyarakat Buton membuat mereka merasa perlu


melestarikannya. Sebab itu, warga asli Buton biasanya telah diajarkan cara menenun sedini
mungkin. Bahkan konon keluarga kerajaan dan para bangsawan pun mahir menenun.
Budaya Suku Buton

Suku Buton adalah suku bangsa yang menempati wilayah Sulawesi Tenggara tepatnya
di Kepulauan Buton. Suku Buton juga dapat di temui dengan Jumlah yang Signifikan di Luar
Sulawesi Tenggara Seperti di Maluku Utara, Kalimantan Timur, Maluku, dan Papua.

Seperti suku-suku di Sulawesi kebanyakan, suku Buton juga merupakan suku pelaut.
Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok Nusantara dengan menggunakan
perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang
dapat memuat barang sekitar 150 ton.

Secara umum, orang Buton adalah masyarakat yang mendiami wilayah kekuasaan
Kesultanan Buton. Daerah-daerah itu kini telah menjadi beberapa kabupaten dan kota di
Sulawesi Tenggara diantaranya Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Selatan,
Kabupaten Buton Tengah, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten
Bombana, Kabupaten Muna, dan Kabupaten Muna Barat. Selain merupakan masyarakat
pelaut, masyarakat Buton juga sejak zaman dulu sudah mengenal pertanian. Komoditas yang
ditanam antara lain padi ladang, jagung, singkong, ubi jalar, kapas, kelapa, sirih, nanas,
pisang, dan segala kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

Orang Buton terkenal pula dengan peradabannya yang tinggi dan hingga saat ini
peninggalannya masih dapat dilihat di wilayah-wilayah Kesultanan Buton, diantaranya
Benteng Keraton Buton yang merupakan benteng terbesar di dunia, Istana Malige yang
merupakan rumah adat tradisional Buton yang berdiri kokoh setinggi empat tingkat tanpa
menggunakan sebatang paku pun, mata uang Kesultanan Buton yang bernama Kampua, dan
banyak lagi. Jika melihat dari Sejarah Suku Buton dan asal usulnya dapat diketahui dengan
mengungkapkan lebih dahulu sejarah kedatangan Sipanjonga dan kawan-kawannya, yang
dikenal dalam sejarah wolio dengan nama Kesatuannya “Mia Pata Mianan” yang artinya
“empat orang” lebih jelasnya dimaksudkan dengan empat pemuka yaitu Sipanjonga, Simalui,
Sijawangkati dan Siuamanajo. Dan dengan berpegang pada buku silsilah dari Raja-raja di
Wolio, keempat orang tersebut konon menurut riwayat berasal dari tanah Semenanjung Johor
(Malaysia) pulau Liya Melayu, di mana tibanya di Buton dapat diperkirakan berkisar akhir
abad ke 13 atau setidaknya pada awal abad ke 14. Perkiraan tibanya Sipanjonga dan kawan-
kawannya.

Dalam tahun 1275 bertolaklah satu tentara kertanagara dari pelabuhan Tuban. Tentara
itu mendarat di daerah muara sungai Jambi dan: rebut daerah itu, yang lalu dijadikan daerah
takluk bagi kerajaan Singosari. Dalam waktu 10 tahun saja, jajahan kerajaan Jawa itu telah
dapat diluaskan sampai kedaerah hulu sungai jambi. Didirikanlah kembali kerjaan Melayu
lama didaerah itu, tetapi sebagai negara bagian pada kerajaan Singosari. Raja Melayu
dijadikan Raja takluk kepada Baginda Kertanagara. Kerajaan Melayu menjadi penting
kedudukannya, sehingga dalam abad ke 14 seluruh Sumatra kerapkali disebut juga melayu.

Suatu kumpulan karya, yang di dapat orang di daerah jambi, atas perintah Kertanagara
diangkut ke melayu dalam tahun 1286. Maksud kertanagara telah jelas, yaitu mendirikan satu
kerajaan Jawa di Sumatra tengah, yang akan menjadi pusat kebudayaan Jawa dipulau itu.
Kerajaan Jawa yang di Sumatra itu merupakan suatu bahaya yang besar sekali bagi Sriwijaya.
Akan tetapi Sriwijaya terlalu lemah untuk mencegah maksud Kertanagara itu. Kekuasaan
Sriwijaya telah runtuh pada segenap pihak. Dibagian Utara Semenanjung Malaka. Sebagian
dari daerah Sriwijaya telah direbut kerajaan Siam yang baru saja berdiri. Di Aceh pun telah
mulai pula timbul kerajaan baru, umpamanya kerajaan Perlak dan Kesultanan Samudra Pasai.
Kerajaan baru itu telah menjadi kerajaan islam (yang pertama di Indonesia). Perhubungannya
dengan Sriwijaya hampir tidak ada lagi. Kerajaan Pahang pun yang terletak di Semenanjung
Malaka, rupanya telah menjadi daerah takluk juga pada kerajaan Singosari, yang telah sejak
lama mengakui kekuasaan tertinggi dari Sriwijaya, rupanya terlepas pula dalam zaman itu
dan telah menjadi bagian kerjaan Singosari.

Sipanjonga dan teman-temannya serta pengikut-pengikutnya, sebagai seorang raja di


negerinya, yang termasuk di dalam kerjaan Sriwijaya, mengetahui kedudukan Sriwijaya
sudah demikian lemahnya, Ia mengambil kesempatan untuk meninggalkan kerajannya
mencari daerah lain untuk tempat tinggalnya dan Untuk dapat menetap sebagai seorang raja
yang berkuasa dan tibalah mereka di Pulau Buton.

Tibanya Sipanjonga dengan kawan-kawan tidak bersama-sama dan tidak pula pada suatu
tempat yang sama dan rombongannya terdiri dalam dua kelompok, dengan tumpangan
mereka yang disebut dalam zaman “palulang”.

Kelompok pertama Sipanjonga dengan Sijawangkati sebagai kepala rombongan


mengadakan pendaratan yang pertama di Kalaupa, suatu daerah pantai dari raja tobo-Tobo,
sedangkan Simalui dan Sitamanajo mendarat di Walalogusi (kira-kira kampung Boneatiro
atau di sekitar kampung tersebut Kecamatan Kapontori sekarang). Pada waktu pendaratan
pertama itu Sipanjonga mengibarkan bendera kerajaannya pada suatu tempat tidak jauh dari
Kalampa, pertanda kebesarannya. Bendera Sipanjonga inilah yang menjadi bendera kerajaan
buton yang disebut “tombi pagi” yang berwarna warni, “longa-longa” bahasa wolionya.

Di kemudian tempat di mana pengibaran bendera tersebut dikenal dengan nama


“sula” yang sampai sekarang masih dikenal, terdapat di dalam desa Katobengke Kecamatan
Wolio, tidak jauh lapangan udara Betoambari. Kemudian maka keempat pemuka tersebut di
atas yang membuat dan meninggalkan sejarah dan kebudayaan wolio, sedangkan kerajaan
yang pada zamannya pernah menjadi kerajaan yang berarti, dan merekalah pula yang
mengawali pembentukan kampung-kampung, yang kemudian sesuai dengan
perkembangannya menjadi kerajaan dan inilah yang dimaksudkan dengan kerajaan Buton,
yang sebagai Rajanya yang pertama Ratu I Wa Kaa Kaa.

Di tempat pendaratannya tersebut Sipanjonga dan kawan-kawannya membangun


tempat kediamannya yang lambat laun menjadi sebuah kampung yang besar, yang tidak lama
setelah pendaratannya itu Rombongan Simalui dan Sitamanajo bersatu kembali dengan
Sipanjonga di Kalampa. Oleh karena letak tempat tinggal dari Sipanjonga dekat pantai
bukanlah suatu hal yang tidak mungkin terjadinya gangguan-gangguan keamanan, terutama
sekali dari bajak laut yang berasal dari Tobelo Maluku – masyuurnya gangguan keamanan
dari apa yang dikenal dengan tobelo, demikian di takuti sehingga menjadi akta menakuti
anak-anak dari kalangan orang tua dengan “jaga otobelo yitu” artinya “awas tobelo itu”.
Untuk mengindarkan diri dari gangguan keamanan Sipanjonga dan rakyatnya meninggalkan
Kalampa menuju arah gunung yang tidak jauh dari tempatnya itu kira-kira 5 km dari tepi
pantai di tempat yang baru inilah Sipanjonga dan rakyatnya bermukim. Karena di tempat
yang baru itu masih penuh dengan hutan belukar maka untuk membangun tempat kediaman
mereka ditebasnya belukar-belukar itu, yang pekerjaan menebas itu dalam bahasa wolionya
dikatakan “Welia”. Inilah asal nama “Wolio” dan tempat inilah pula yang menjadi tempat
pusat kebudayaan Wolio ibu kota kerajaan.

Diriwayatkan lebih jauh bahwa pada waktu Sipanjonga dan teman-teman menebas
hutan belukar di tempat itu didapati banyak pohon enau. Terlebih di atas sebuah bukit
bernama “Lelemangura” Rahantulu – Di tempat ini diketemukan putri Raja Wa Kaa Kaa.
Lelemangura bahasa Wolio terdiri dari anak kata “lele” dan “mangura”. Lele berarti tetap dan
mangura mudah. Ini mengandung makna kiasan terhadap putri Wa Kaa Kaa yang karena
ditemukan dan dianggap sebagai bayi dalam arti “diberi baru menerima, disuap lalu
menganga dan hanya menangis dan tertawa yang dikenalnya”. Tujuan hakekatnya supaya
tetap diingat bahwa Raja adalah “anak” dari Betoambari Bontona Peropa dan Sangariarana
Bontona Baluwu Siolimbona pada keseluruhannya

Bukit inilah yang kemudian masyur dengan sebutan Lelemangura. Salah seorang
teman dari Sipanjonga yang bernama Sijawangkati mendapatkan enau dan dengan diam-diam
ia menyadap enau itu. Ketika yang empunya enau yang bernama Dungkungeangia datang
menyadap enaunya, didapatinya enaunya sudah di sedap orang yang tidak diketahuninya.
Timbullah marahnya. Dipotongnya sebatang kayu yang cukup besar. Melihat potongan
batang kayu itu, timbul dalam pemikirannya betapa besar dan kuat orang yang memotong
kayu itu namun tidak menimbulkan rasa takut pada diri Sijawangkati. Untuk mengimbangi
potongan kayu itu, dipotongnya rotan yang panjangnya satu jengkal yang cukup besar juga,
kemudian batang rotan itu disimpulnya. Karena kekuatan simpulan pada batang rotan itu,
hampir tidak kelihatan, kemudian diletakkannya di atas bekas potongan batang kayu itu.
Tentu orang yang menyadap enau saya ini adalah orang yang sakti dan mungkin bukan
manusia biasa.

Suatu waktu secara kebetulan keduanya bertemu di tempat itu. Maka terjadilah
perkelahian yang sengit, yang sama-sama kuat. Masing-masing tidak ada yang kalah. Pada
akhirnya keduanya karena sudah kepayahan berdamai. Mufakatlah keduanya untuk hidup
damai dan saling membantu dan bagi anak cucu mereka dikemudian akan hidup di dalam
alam kesatuan dan persatuan. Dengan adanya perdamaian sijawangkai Dungkusangia tersebut
maka negeri tobe-tobe masuk dan bersatu dengan Wolio. Letak negeri tobe-Tobe itu dari
tempat tinggal Sipanjonga +7 KM.

Dapat dijelaskan disini bahwa Dungkusangia dimaksudkan menurut keterangan


leluhur adalah berasal dari Cina yang selanjutnya dalam buku silsilah bangsawan Buton
dikatakan asal “fari” asal “peri”. Menurut Pak La Hude (Sejarawan) dikatakan orangnya amat
putih, sama halnya dengan putihnya isi kelapa yang dimakan fari (binatang semacam
serangga).

KEGIATAN MASYARAKAT

Kegiatan masyarakat Kande-kandea atua dalam bahasa Indonesia artinya makan- makan ,
merupakan adat istiadat yang hingga kini masih dijaga oleh masyarakat Buton Sulawesi Tenggara .
Acara Kande-kandea ini merupakan adat istiadat masyarakat Buton yang setiap tahun dilaksanakan
usai perayaan hari raya Idhulfitri biasanya dilaksanakan sepuluh hari setelah lebaran . Diacara ini
disajikan puluhan talang makan ( nampan yang berisi makanan ) yang dijaga gadis suku Buton yang
berpakaian adat Buton lengkap dengan riasannya . Mereka nnti yang akan menyuapi para tamu yang
akan hadir .

Tradisi ini suda menjadi ikon dan festival budaya Buton setiap tahunnya yang hingga kini
masih terjaga . Saat festival , masyarakat Buton maupun wisatawan dalam maupun luar negeri akan
berbondong-bondong untuk menghadiri tradisi makan bersama ini . Selain itu juga , sebagai acara
sambutan para pahlawan negeri yang kembali dari medan perang dengan membawa kemenangan
sebagai wujud syukur .

Hingga saat ini tradisi Kande-kandea terus digelar sebagai bentuk pelestarian budaya .

Anda mungkin juga menyukai