1. Kafoluku
Kafoluku yaitu peserta yang dimasukkan dalam tempat yang telah
dikemas khusus rewmapt karia yang disebut suo khusus bagi putri-putri raja
dan songi untuk golongan masyarakat umum. Prosesnya adalah sebagai
berikut:
1. Pembacaan doa oleh imam Kota Muna yang disertai dengan dulang.
2. Dimandikan dengan air yang telah dibacakan doa oleh imam air terdiri atas
dua tempat yaitu oe modaino dan oe metaano.
3. Perangakat yang dimasukkan ke dalam kaghombo atau pingitan yaitu :
1. Dua buah palangga (tempat yang dibuat dari lidi pohon aren dalam bentuk
anyaman)
2. Padjamara (lampu tradisional Muna) yang tidak dinyalakan
3. Polulu (kampak) Kandole
4. Bongsano Bea (kuncup bunga pinang dan kuncup bunga kelapa
5. Jagung dan umbi-umbian yang merupakan simbolik kehidupan
6. Kapas dan benang swebagai bahan sarung
7. Anyaman daun kelapa yang masih muda (Bhale)
8. Tikar yang terbuat dari daun agel (Ponda bale)
9. Kain putih sebagai alas tikar ponda bhale merupakan symbol kesucian
10. Posisi peserta berdasarkan urutan paling kanan adalah peserta dari anak
yang mempunyai hajatan acara dan selankutnya disusul oleh peserta yang
lain.
2. Proses Kabansule
Yaitu proses perubahan posisi yang dipingit. Awalnya posisis kepala
sebelah barat dengan baring menindis kanan selanjutnya posisinya dibalik
kearah timur, ke dua tangan kanan di bawah kepala tindis kiri. Filosofi dari
proses ini adalah perpindahan dari alam Arwah kea lam Aj’san. Kondisi ini
konon katanya diibaratkan pada posisi bayi yang masih berada dalam
kandungan yang senantiasa bergerak dan berpindah arah.
Mengawali proses perpindahan itu ada kegiatan yang dilakukan oleh
para peserta yaitu:
a. Semua peserta kariya dikelilingkan lampu padjamara dan cermin ke kiri
dan ke kanan, ini isyrat bahwa ke depan peserta kariya diharapkan
mendapatkan kehidupan yang terang benderangsedangkan cermin adalah
symbol kesungguhan dan keseriusan dalam menghadapi tangtangan hidup
dimasa depan
b. acara rebut ketupat dan telur yang diambil dari belakang masing-masing
dengan tidak ada batas jumlahnya untuk dimakan.
3. Proses Kalempengi
Kalempengi diawali dengan proses Debhalengke. Yaitu membuka
pintu kaghombo. Pada tahapan ini proses perpindahan dari alam Aj’san kea
lam insani. Para gadis dimandikan kemudian dirapikan rambut dan
keningnya (dibhindu) oleh petugas atau keluarga yang diserahi tugas. Semua
bulu rambut ditada pada piring yang berisi beras dan telur selanjutnya para
peserta kariya siap untuk dirias dengan model pakaian kariya yang disebut
kalempengi.
6. Linda
Setelah rangkaian acara selesai maka pomantoto (pemandu)
melakuan tari Linda sebagai pendahuluan yang kemudian disusul oleh
peserta karia secara berurutan yang dimulai dari putri tuan rumah
(parapu/kopehano)dan seterusnya disusul oleh peserta yang lain secara
bergiliran berdasarka urutan duduknya. Linda ini disebut dengan Linda
setangke kulubea yang artinya hanya memutar dan bergerak di seputar
tempatnya saja. Tari Linda menjadi rangkaian dari pelaksanaan tutura karia
karena: (1) Linda merupakan simbolik dari tari kelahiran kembali, (2) Linda
sebagai tari kemenangan karena dalam proses karia mampu melewati
tahapan demi tahapan.
Pada gadis pingitan yang disebut “ Nekaria/Kasampu Moose” ketika
membawakan tari Linda biasanya diberikan hadiah oeh hadirin dan
undangan yan dilemparkan diatas panggung. Tetapi biasanya penari yang
lebih awal melemparkan samba (Selendang sutra) kepada keluarga dan yang
dilempari wajib mengembalikan samba tersebut disertai hadiah. Proses itu
disebut dengan istilah “Kagholuno Samba” .
Pemaknaan tari Linda yag dipertunjukan peserta karia dapat
dimaknai dalam beberapa aspek yaitu ; (1) Dari aspek estetika bahwa
sebagai perempuan harus mampu menunjukkan kemampuan sesuatu yang
indah dan berseni sebagai lambang keempuan wanita yang menggambarkan
jiwanya yang halus, (2) Dari aspek kejuangan bahwa perempuan yang
dikaria telah mampu melampaui perjuangan melawan hawa nafsu dalam
songi (3) Dari aspek pembentukan keluarga, bahwa dalam pertunjukan tari
Linda yang dilakoni oleh peserta karia bisa terjadi sebagai langkah awal
perkenalan antara laki-laki dengan perempuan untuk kemudian saling jatuh
cinta yang dipertalikan dengan kaghol samba.
7. Kahapui (Membersihkan)
Esok harinya setelah acara kafosampu diadakanlah acara kahapui,
yaitu acara ritual pemotongan pisang yang telah ditanam dan atau disiapkan
dimuka rumah koparapuuno (kopehano). Pada acara ini dilakukan pogala
yang diiringi dengan bunyi gong dan gendang yang berirama perang.
Mengawali acara pagola, maka terlebih dahulu pomantoto memecahkan
periuk (belangah tanah) sabagai aba-aba untuk memulai pagola. Peserta
pagola mereka yang dilatih khusus atau memilki keterampilan silat
tradisional Muna. Para peserta penari pagola dan atau mengaro beraksi dan
saling berebut untuk memotong pisang lebih awal dan cara potonganya
diusahakan satu kali langsung putus.
3. Kesenian Tradisional
Ada banyak sendi-sendi kesenian di daerah Muna, yaitu:
a. Seni Tari
Dari aspek tari daerah, banyak potensi kesenian yang lahir. Salah satu seni
tari yang populer etnik Muna adalah tari Linda. Tari Linda pertama kali
dikenal pada masa pemerintahan Muna La Ode Husain atau Omputo Sangia
sekitar 350 tahun yang lalu. Pada saat itu sang raja hendak melangsungkan
upacara pingitan (karia) bagi putrinya Wa Ode Kamomono Kamba. Karia
adalah suatu prosesi upacara adat yang harus dilalui oleh setiap gadis
remaja. Pada saat itu mereka diajarkan nilai-nilai moral dan keagamaan.
Pada puncak upacara, dipentaskan tari Linda yang diiringi lagu “La
Kadandio”.
Saat ini tari Linda tidak hanya dipakai pada saat upacara adat seperti karia,
tetapi juga sudah menjadi ikon daerah Muna dibeberapa festival yang
dijadikan tangkai lomba, digelar saat perayaan-perayaan daerah, dan
sebagainya. Tari Linda kini menjadi kebanggan masyarakat Muna karena
sudah mampu ,meramba dunia (internasional) misalnya, di Australia, Italia,
Belgia, dan beberapa negara lainnya.
b. Seni Ukir
Salah satu aspek yang menjadi andalan masyarakat etnik Muna adalah seni
ukir atau kerajinan tangan. Masyrakat Muna mempunyai berbagai jenis
ukiran yang terbuat dari kayu jati (gambol). Beragam furniture seperti
meja, kursi, jam dinding, hingga ukiran kuda sebagai symbol Kab. Muna
dapat dijumpai. Para pengrajinnya dapat ditemui hamper di setiap sudut
kota.
4. Permainan Tradisional
Selain kesenian, aspek-aspek budaya yang begitu unggul juga terdapat
di daerah Muna, diantaranya kaghati (layang-layang), kalego,
a. Kaghati
Kaghati adalah layang-layang tradisional masyarakat Muna yang bahan-
bahannya hanya terbuat dari daun gadung/ubi hutan (Discoreahispida) dan
rangkanya terbuat dari bambu. Pada kondisi angin yang
stabil, kaghati dapat terbang di udara selama tujuh hari tujuh malam
(seminggu). Masyarakat Muna percaya bahwa kaghati bukan hanya
permainan di kala senggang, tetapi juga memiliki arti yang dalam dan
sakral.
Kaghati menjadi harapan dan kebanggan masyarakat etnik Muna karena saat
ini, kaghati menjadi ikon Muna di mata dunia. Berbagai festival laying-
layang digelar baik tingkat regional, nasional, maupun internasional dan
menempatkan laying-layang tradisional Muna (kaghati) sebagai ikon
utamanya. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, festival laying-
layang internasional banyak digelar, diantaranya di Muna sendiri
(Indonesia), Prancis, Jepang, Jerman, Malaysia, Brunai Darussalam, Italia,
Belgia, dan sebagainya yang selalu menjadikan laying-layang tradisional
Muna (kaghati) sebagai pemenang dan paling unik dari berbagai sisi dan
kriteria penilaian.
b. Kalego
Kalego adalah salah satu jenis perrmainan tradisional etnik yang sangat
terkenal dikalangan petua-petua kampung. Permainan ini biasanya
dilakukan di sebuah lapangan kecil (tana lapa) misalnya di halaman luas,
lapangan, ataupun di mana saja yang memungkinkan dapat dimainkan.
Permainan ini sangat sederhana yaitu bahannya adakah tempurung kelapa
yang dibelah dua. Kalego dimainkan oleh perempuan dan lelaki yakni dua
orang perempuan dan dua orang laki-laki atau bias juga semuanya laki-laki
atau semuanya perempuan. Letak keunikan permaianan tradisional ini
adalah semua pemain dituntut untuk dapat menggeser tempurung kelapa
hingga mengenai tempurung kelapa yang lain yang sudah diatur dan didesain
sedemikian rupa. Banyak kehebohan dan kelucuan bila kita menyaksikan
permaianan ini. Masyarakat etnik Muna biasa menggelar
permainan kalego ini di acara-acara festival kebudayaan, perayaan adat,
atau senagaja digelar sebagai ajang lomba tahunan.
c. Dopohule
Kata dopohule berasal dari kata dasar “hule” yang artinya gasing.
Permainan ini adalah jenis permainan tradisional musiman bagi sebagian
masyarakat etnik Muna. Hule/gasing ini dibuat dari kayu besi (kusambi)
yang diukir sedemikian rupa sehingga menyerupai corong/kerucut yang khas
dan unik. Hule/gasing ini pada bagian tengahnya dibuat semacam belahan
di mana tali bias dililitkan sehingga ketika dilepas dengan sedikit tarikan
dan tekanan hule dapat berputar dan berthan lama. Oleh masyarakat Muna,
permainan dopohule dimainkan oleh beberapa kaum lelaki. Awalnya
seseorang memutar gasing dan laki-laki lain memutar juga namun
sebelumnya harus mengenai gasing yang diputar oleh orang pertama tadi.
Penentuan pemenang adalah gasing yang dapat berputar dan bertahan lama
atau gasing yang diputar ketika dihantam oleh gasing lain masih tetap
berputar. Permainan ini begitu disenangi kalangan anak-anak saat ini.
d. Dopobhinte
Sebuah permainan tradisional Muna yang banyak dimainkan oleh sekelompok
anak kecil. Permainan ini cukup unik karena mereka memanfaatkan kulit
kerang, batu, dan bambu belah sebagai alat permainannya. Pada mulanya
mereka mengumpulkan kulit kerang terlebih dahulu kemudian menjejerkan
kulit kerang pada bambu belah yang ujung kanan dan kirinya disanggah
dengan batu masing-masing sattu atau dua buah. Selanjutnya, beberapa
anak memegang batu pula sebagai alat untuk melempar bambu belah yang
berisi kulit kerang tadi. Pemenang ditentukan dari banyaknya kulit kerang
yang dikumpulkan oleh anak-anak setelah menjatuhkan kulit kerang yang
ada pada lempengan bambu. Demikian permainan ini berlanjut hingga anak-
anak kehabisan kulit kerang untuk bermain.
e. Doposubha
Jenis permainan ini menggunakan media kayu sebagai alat main. Permainan
ini tidak hanya dikenal oleh anak-anak kecil namun masyarakat dewasa pun
turut memainkan permainan ini. Permainan ini sesungguhnya membawa
dampak positif dan bermanfaat terlebih bagi anak-anak karena permaian ini
melatih kemampuan berhitung anak. Permainan ini dimulai dengan
mengambil sebatang kayu dengan diameter berapa saja (disesuaikan dengan
keinginan). Kayu dipotong dengan dua bagian, pertama sebagai
induknya(dinamai Ibu) kayu dipotong lebih panjang dari bagian kedua yaitu
sebagai anak yang panjangnya kira-kira ukurannya sejengkal tangan. Bila
sudah didapatkan dua bagian kayu, selanjutnya digali tanah tetapi tidak
agak dalam karena sifatnya hanya sebagai penyanggah anak kayu.
Ada tiga (3) tahap untuk mendapatkan poin sampai memenangkan permaian
ini. Pertama, kayu yang dipotong sejengkal tadi (dinamai anak) diletakan di
antara lubang dan dicungkil sejauh mungkin agar tidak tertangkap oleh
penjaganya (anak-anak yang menjadi lawan). Kedua, anak kayu tadi dipukul
sejauh mungkin dengan menggunakan ibu kayu agar tidak tertangkap pula.
Dan ketika penjaga melempar kembali kita sebagai pemain dapat memukul
pantul kembali. Saat anak kayu berhenti, mulailah kita menghitung dengan
ukuran panjang ibu kayu. Dan tahap terakhir, anak kayu dibaringkan pada
ujung lubang, dipukul ujungnya dan dengan menggunakan ibu kayu, anak
kayu dipantul-pantulkan sebanyak mungkin sesuai dengan kesepakatan
hitungan dan dipukul jauh. Semakin banyak pantulan yang kita lakukan
maka sebanyak poin yang akan didapatkan karena masuk pada kategori
kredit poin. Pemenang dari lomba ini adalah yang telah mencapai poin yang
telah ditentukan (biasanya disepakati poin pemenang yaitu 1000, 2000,
5000, 10.000, dan seterusnya). Letak keunikan dari permainan ini adalah
yang kalah mendapat sanksi dari pemenang berupa menggendong pemenang
atau hukuman lain yang telah disepakati sebelumnya.
5. Pakaian Adat
Pakaian adat Etnik Muna saat ini tercermin dari pakaian pengantin
mengingat makin bergesernya nilai-nilai budaya akibat globalisasi. Namun
dengan demikian, nilai-nilai yang tercermin dari suatu pakaian masih
tercermin dari pagelaran adat yang masih tetap diselenggarakan masyarakat
etnik Muna di Sulawesi Tenggara. Berikut adalah pakaian adat etnik Muna
dari aspek pakaian pengantin baik pria maupun wanita.
a. Pakaian Pengantin Pria
Pakaian pengntin pria etnik Muna terdiri atas baju, sarung, dan celana.
- Bhadhu kopo (baju dasar)
Baju dasar pengantin pria disebut baju kopo yang maksudnya adalah baju
yang tidak terbelah pada bagian dada, kecuali mempunyai lubang kepala
sampai bagian atas dada. Baju kopo merupakan baju dasar taua baju dalam
berlengan panjang. Bahan pembuatan baju kopo dari kain yang berwarna
putih.
- Balahadhadha (baju luar)
Di atas baju kopo dipasang pula baju luar yang disebut balahadhadha (baju
yang terbelah pada bagian dada) dan berlengan panjang. Balahadhadha
terbuat dari kain beludru warna hitam. Hiasan pada balahadhadha berupa
renda berwarna perak atau kuning keemasan yang dilekatkan pada kedua
pinggir baju bagian bawah dan pada kedua ujung lengan, serta sekeliling
pinggir bagian bawah baju.
- Salapandi (celana panjang)
Salapandi adalah celana panjang pengantin pria sebagai pasangan baju
balahadhadha. Bahan dan warna salapandi sama dengan bahan dan warna
dengan baju balahadhadha yaitu kain beludru warna hitam. Hiasan pada
celana berupa renda warna kuning cemerlang yang dilekatkan pada
sekeliling ujung celana bagian bawah.
- Botu dan ledha (sarung)
Sarung pengantin pria biasanya berwarna hitam, merah dan kuning yang
dihiasi dengan kotak-kotak yang terbuat dari benang putih cemerlang atau
kuning keemasan sarung semacam ini disebut botu dan ledha.
6. Rumah Adat
Rumah adat etnik Muna atau rumah tempat tinggal masyarakat Muna
pada umumnya disebut lambu. Kata lambu (rumah) mempunyai pengertian
umum sebagai tempat berlindung dari panas/dingin, gangguan binatang
buas (jahat), serta tempat untuk melaksanakan segala kegiatan kehidupan
dengan sebaik-baiknya.
Typologi tempat tinggal dari masyarakat etnik Muna, baik yang
disebut lambu, kaombela, rompo/bhantea, lambu bhalano atau kamali,
berbentuk segi empat. Typology demikian bertolak dari penghayatan budi
dan rasa bahwa manusia terdiri atas muka, belakang, sisi kiri dan kanan.
Rumah adat etnik Muna yang menjadi tempat tinggal umumnya
terdiri atas bagian-bagian yang sebagian masyarakat Muna dikenal sebagai
berikut:
- Sandi, yaitu tempat bertumpunya tiang rumah sehingga ujung tiang tidak
mudah lapuk, biasanya dibuat dari batu yang rata agar tidak bergeser atau
goyang saat menjadi tumpuan.
- Katumbulao, yaitu tiang utama yang duduk pada sandi yang berbentuk
segiempat atau bulat.
- Garaga, yaitu kayu-kayu yang dipasang pada bagian bawah sebagai tempat
tumpuan lantai. Biasanya terbuat dari kayu bulat atau yang dibuat
segiempat lebih kecil dari katumbulao.
- Hale (lantai) yang terbuat dari bamboo, batang pinang, atau kayu-kayu
hutan yang kecil.
- Palengku (tangga rumah) dibuat dari kayu yang tidak mudah lapuk.
- Karondomi (dinding) terbuat dari anyaman bambu yaitu jelaja, anyaman
daun kelapa tua atau papan.
- Kantee, yaitu pembatas yang dipasang pada pintu yang tingginya kurang
lebi satu hasta yang secara simbolis dimaknai bahwa laki-laki tidak boleh
masuk dalam rumah tanpa izin atau rumah tersebut tidak ada laki-laki.
Jadi, kantee sebagai kode adat bertamu.
- Kalonga dan dhanila, yaitu celah atau jendela berbentuk segiempat,
layaknya rumah-rumah pada umumya.
- Ghato (atap) terbuat dari daun nipah atau daun rotan.
- Ghilei (laying-layang rumah) yaitu bagian rumah yang menutupi rumah
yang berbentuk limas, biasanya terdapat di depan atau di belakang rumah.
- Kawuwu (bumbungan rumah) yakni penutup bagian atas rumah
- Saho, yaitu kayu yang berfungsi sebagai tempat atap dipasang.
Rumah adat etnik Muna juga memiliki susunan ruangan, yaitu karete
(halaman rumah), olo-lemangku (ruang tamu), kaodoha (ruang/tempat
tidur), tombi (ruang tambahan/serambi/teras), bhate-bhate (loteng), ghabu
(dapur), ghahu (ruangan atas/langit-langit rumah), ghahu-mburake (celah
pada loteng). Selain itu, rumah adat etnik Muna juga terbagi dalam
bebarapa bagian menurut fungsi sosial atau system sosial yaitu lambu
(rumah masyarakat pada umumnya), lambu bhalano (rumah pejabat), dan
kamali (rumah raja).
c. Kambuse
Kambuse yaitu jenis makanan tradisional etnik Muna yang bahannya
langsung dari jagung hasil panen rakyat setempat. Makanan ini umumnya
standar yakni jagung dicuci bersih lalu direbus hingga matang, selanjutnya
dapat disajikan dengan ikan kering yang dibakar atau digoreng. Namun,
banyak masyarakat Muna mengolah jagung dengan berbagai jenis, yaitu:
- Katumbu, yaitu jagung muda yang diolah dengan cara digiling atau
ditumbuk hingga halus kemudian dicampur dengan gula merah, sedikit
garam dan gula, dan dibungkus dengan daun jagung lalu dikukud hingga
matang. Katumbu biasanya banyak dibuat pada musim-musim tanam
jagung.
- Kapusu, yaitu jagung tua yang dimasak dengan campuran kapur yang
dimasak berkali-kali hingga kulit biji jagung terkelupas dan tampak
membengkak. Biasanya makanan olahan ini dimanfaatkan oleh sebagian
orang untuk dijadikan katumbu juga namun dengan tidak menambahkan
bahan apapun.
- Kambeweno kahitela, makanan ini adalah jenis makanan tradisional yang
bahan utama pembuatannya adalah jagung yang banyak terdapat di daerah
Muna. Cara pengolahannya adalah jagung dimasak dengan kapur sirih,
setelah setengah masak diangkat dan dicuci bersih, giling halus kemudian
dicampur dengan kelapa parut. Selanjutnya dibungkus dengan daun uru,
diikat rapi lalu direbus sampai matang.
e. Sirkaya Kahitela
Makanan ini sangat jarang ditemui pada hari-hari biasa. Masyarakat
etnik Muna biasanya membuat makanan ini pada acara-acara adat misalnya
karia, katoba, kangkilo, kawinan, dan sebagainya. Makanan ini masuk pada
kategori makanan penutup (desert) dengan bahan dasar jagung dan
didukung oleh bahan lainnya yakni gula pasir, telur ayam, susu/santan
kental dan sirup. Langkah pembuatannya yaitu dimulai dengan membuat
caramel dari gula, selanjutnya sisa gulam jagung, susu/santan kental dan
sirup diblender hingga halus. Hasilnya kemudian dituang pada cetakan yang
sudah diisi caramel sebelumnya lalu ditim dalam oven hingga matang.
Setelah dingin dikeluarkan dari cetakan dan siap dihidangkan.
8. Perayaan
Setiap daerah tentu memiliki khasanah budaya yang sangat beragam.
Salah satu aspek yang tidak dapat dipisahkan dari bagian sendi-sendi
kebudayaan ini adalah perayaan yang merupakan bagian dari warisan
budaya bagia suatu daerah. Di Muna sendiri, masyaraktnya masih
mempertahankan nilai-nilai budaya dari sebuah perayaan. Aneka perayaan
yang masih menjadi tradisi/warisan budaya yaitu tobheha(acara panen
padi/jagung), kaago-ago (acara membuka lahan baru),kampua (acara
potong rambut), katisa (musi, tanam), weano wamba(hajatan), dan
sebagainya.
a. Tobheha
Tobheha merupakan perayaan yang digelar masyarakat etnik Muna pada
saat musim panen tiba, baik panen padi maupun jagung. Pada perayaan ini
biasanya masyarakat menggelar aneka permainan kesenian
(modero, kabhanti, kantola, dan sebagainya) baik tradisional maupun
moderen. Di sebagian daerah atraksi perkelahian kuda sangat mendominasi
acara sebagai bagian dari rasa syukur dan kebahagian masyarakat saat
musim panen tiba.
b. Kaago-ago
Kaago-ago merupakan perayaan tradisional masyarakat etnik Muna yang
sarat makna, religiusitas, ritual, penghargaan terhadap leluhur dan
penghuni bumi selain manusia (yang bersifat gaib). Kaago-ago digelar pada
saat masyarakat membuka lahan baru atau juga saat ada penghuni kebun
ada yang sakit. Dalam perayaan ini yang lebih kental adalah nilai-nilai ritual
dan kesakralan sebuah prosesi adat, misalnya ayam sebagai
tumbal, kameko (air sadapan dari pohon enau yang dipercaya sebagai air
minum para jin), mendirikan tiang bambu yang diretakan ujungnya dan
disumpal dengan tempurung kelapa kering dan selanjutnya diikat dengan
kain tiga warna kecil yaitu putih, merah, dan kuning, terakhir dimantrai.
Sampai saat ini, masyarakat masih melestarikan perayaan ini di tengah
himpitan moderenitas dan globalisasi.
c. Kampua
Kampua juga merupakan jenis perayaan yang dihadirkan lain oleh
masyarakat etnik Muna. Secara umum, kampua (acara potong rambut)
dilaksanakan seperti layaknya dalam tradisi aqiqahan. Namun yang lain
adalah ketika prosesi inti kampua selesai, dalam hal ini barasanji dan
pemotongan rambut, maka perayaan berlanjut dengan nuansa kemeriahan.
Ada sesuatu yang berbeda dalam pelaksanaan perayaan ini. Biasanya
kemeriahan dalam kampua akan ada ketika keluarga yang akan menggelar
kampua dikaruniai sepasang anak laki-laki dan perempuan.
Puncak kemeriahan perayaan kampua adalah pada saat selesai shalat
Dzuhur, arak-arakan akan digelar. Semua persiapan mulai dari pohon
pisang, bhengke/geraba (periuk dari tanah liat), kayu yang diikat dan
dibakar ujungnya sebagai ewanga (alat silat), parang dan keris, para penari
hingga seorang sando (tokoh adat perempuan/yang melahirkan anak).
Setelah semua perangkat prosesi selesai, acara arak-arakan pun mulai
digelar di jalan hingga sampai pada batas tempat yang telah ditentukan.
Dalam arak-arakan, yang meriah adalah hadirnya silat Muna yang begitu
khas diringi pukulan gong yang merdu pula. Ketika sampai pada batas
tempat yang telah ditentukan, seorang sandomulai melakukan ritual dengan
mencari sebuah pohon untuk kemudian menggantung pohon pisang dan
kelapa yang ditutup dengan kantofi (anyaman janur yang dibentuk
menyerupai kerucut) sebagai sebuah persembahan dan seorang tokoh adat
laki-laki memanah kantofi yang berisi kelapa tersebut dengan cara meniup
anak panah yang terbuat dari lidi enau ayng dibungkus dengan kapuk
dengan corong bambu kecil sebagai wadah saat anak panah hendak ditiup.
Setelah selesai, selanjutnya digelar acara minum kameko (tuak tradisional
khas Muna) dibawah pohon yang digantungkan kantofi. Ketika prosesi di
batas telah selesai, selanjtnya arak-arakan pulang ke rumah yang
mengadakan acara kampua untuk selanjutnya melakukan proses lain. Ketika
sampai, rombongan arak-arakan mengelilingi rumah sebanyak 3 atau 7 kali
putaran. Selanjutnya pohon pisang yang sudah disiapkan ditanam dihalaman
rumah dan di bawahnya disimpan bhengke/gerabah. Pemain silat kemudian
mengadu silatnya dan memotong pisang serta
memecahkanbhengke/gerabah.
Anak yang diaqiqah selanjutnya didudukan di atas pohon pisang yang sudah
ditebang. Selanjtnya imam kampung mengambil sedikit tanah lalu diusapkan
pada titik-titik tubuh seperti dahi, ketiak, pusat, kaki, dan bagian tubuh
yang lain sebagai bentuk pengenalan terhadap tanah kelahirannya. Setelah
selesai, kemudian digelar acara tari Linda oleh para penari seperti saweran
hingga selesai.
Acara perayaan kampua hingga saat ini masih terjaga ketradisionalannya
karena masyarakat etnik Muna percaya bahwa banyak filosofi, manfaat dan
niali-nilai adat yang khas yang harus tetap dipertahankan.
d. Katisa
Katisa merupakan acara menyambut musim tanam dengan menjalin
kekerabatan sesama masyarakat. Acara katisa secara umum hanpir sama
pelaksanaannya di setiap daerah karena yang dibangun adalah semangat
kegotongroyongan.
e. Weano wamba
Weano wamba yang berarti “asal
kata/bahasa/ucapan”. Weanowamba adalah realisasi dari sebuah nazar
yaitu hajatan, misalnya seseorang yang bernazar bahwa akan menggelar
acara kampua yang meriah jika anaknya lahir nanti, dan sebagainya.
9. Cerita Rakyat
Masyarakat Etnik Muna juga memiliki warisan tradisi cerita rakyat
yang masih terjaga orisinalitasnya karena sudah banyak orang yang
mengenalnya, baik itu dari buku-buku cerita rakyat yang ditulis oleh
masyarakat etnnik Muna sendiri maupun didengar langsung dari orang Muna.
Banyak cerita rakyat daerah yang berkembang yaitu La Sirimbone, Wa
Bunga Bansa Patola dan Wa Sama Samamparia, dan masih banyak lagi cerita
lainnya. Berikut salah satu cerita daerah dari daerah Muna.
10. Agama
Masyarakat etnik Muna menganut agama Islam. Bilapun ada beberapa
etnik yang beragama lain itu dikarenakon faktor lintas etnis atau lintas
agama atau karena pengaruh masuknya beberapa etnik dengan sudut
pandang agama lain berbaur dengan masyarakat Muna. Tetapi dominannya,
masyarakat etnik Muna menganut agama Islam. Hal ini terlihat dari berbagai
bentuk dan pola kebudayaan yang disajikan dalam koridor islami.
http://inaltora.blogspot.com/2017/09/manusia-dan-kebudayaan-etnik-muna.html