Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

Disebelah utara kota Kudus dengan jarak 18 km, terdapat desa bernama Colo. Desa Colo ini
terletak dilereng bukit Muria, yakni salah satu bukit dari beberapa puncak di Gunung Muriayang
tingginya 1600 meter lebih. Diatas bukit Muria itulah letaknya makam Raden Umar Sa’id atau yang
lebih kita kenal dengan nama Sunan Muria.
Makam Sunan Muria, sampai sekarang masih ramai dikunjungi para wisatawan lokal maupun
nonlokal. Adapun tradisi serta mitos yang berkembang dimasyarakat Colo mengenai Sunan Muria
merupakan suatu hal yang wajar. Setiap wilayah tentu saja memiliki tradisi-tradisi tertentu yang
menjadi ciri khas daerah tersebut.
Pada makalah kali ini, saya akan menjelaskan mengenai fenomena kebudayaan masyarakat
Colo sendiri yakni menyangkut beberapa tradisi dan mitos yang berkembang di masyarakat. Semoga
makalah ini, bermanfaat untuk kita semua.

RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja fakta dan legenda mengenai Sunan Muria?
2. Bagaimana makna simbolik dan spirit ketokohan Sunan Muria ?
3. Apa saja Tradisi dan Mitos yang berkembang di masyarakat?

PEMBAHASAN
A. Sunan Muria, antara Fakta dan Legenda
Umar Hasyim menyatakan bahwa diantara sejarah pari Walisongo ditanah jawa, tokoh Sunan
Muria adalah yang termasuk sedikit bahan-bahan cerita yang berhubungan dengan riwayat hidupnya,
meskipun tidak seberapa tebal, namun menurut pengalaman Umar Hasyim selama meneliti beberapa
tokoh Walisongo, penelitian terhadap Sunan Muria termasuk yang paling berat dan lama
penggarapannya. Dalam pengumpulan sumber tertulis yang memuat kisah Sunan Muria yang dilakukan
selama 2 setengah tahun, Umar Hasyim dalam pengakuannya merasa apa yang dilakukan juga masih
sebagai penelitian rintisan untuk dikembangkan oleh peneliti lain. Hal ini disebabkan sumber yang
terbatas, dan dari sumber tersebut banyak kontroversi dan kontradiksi mengenai silsilah dan keturunan
Sunan Muria sehingga sukar untuk melakukan kompromi. [1]
Didalam bukunya, Umar Hasyim kemudian memberi kesimpulanbahwa:
1. Sunan Muria adalah putera Sunan Kalijaga.
2. Dengan sunan Kudus, Sunan Muria adalah iparnya.
3. Dengan Sunan Giri, Sunan Muria adalah keponakannya, (jadi, Sunan Giri adalah pak Ciliknya Sunan
Muria).
4. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah Pak Dhe ataupun paman (tiri)nya Sunan Muria, karena kedua
wali diatas itu kakaknya Siti Muthmainnah ( Ibu Tirinya Sunan Muria).
5. Dengan demikian, maka Sunan Ampel adalah kakek (tiri) nya Sunan Muria, karena Sunan Bonang,
Sunan Drajad dan Siti Muthmainnah itu putranya Sunan Ampel.
6. Sunan Ngudung adalah mertua Sunan Muria karena Dewi Sujinah, istri dari Sunan Muria adalah Puteri
dari Sunan Ngudung.
7. Sunan Gunung Jati juga Pak Dhe (tiri) nya Sunan Muria, karena dengan istri Maulana Is-haq yang lain
(Puterinya Bathoro Katong Adipati Kediri), Maulana Is-haq mempunyai tiga putra antara lain Sunan
Gunung Jati.[2]

Sunan Muria Sebagai Mubaligh dan Seniman


Para walisongo tidak dapat dipisahkan dengan dakwah Islamiyah, karena memang beliau-
beliaulah peletak dasar batu pertama dari penyiaran agama Islam di tanah Jawa. Demikian pula Sunan
Muria, beliau juga sebagai mubaligh yang menyiarkan agama Islam disekiar gunung Muria. Dalam
rangka menyiarkan agama Islam itu beliau juga menggunakan berbagai kepandaian dan keterampilan
dibidang kesenian, maka kecuali sebagai mubaligh, beliau juga sebagai seniman yang menggunakan
kesempatan didalam dakwahnya itu dengan alat kesenian.
Sebagai mubaligh, setiap wali dari walisongo mempunyai daerah sendiri-sendiri didalam
menjalankan perasinya dalam rangka menyiarkan agama Islam. Dalam hal ini, Sunan Muria
memilih sekitar gunung Muria, yakni pantai Utara daerah Jepara. Tayu, Pati, Juana, Kudus dan
dilereng-lereng Gunung Muria. Hal-hal yang dapat meyakinkan hypotesa ini hanyalah terbukti di
daerah-daerah tersebut hingga sekarang terdapat banyak tempat-tempat yang ada hubungannya dengan
dunia dongeng atau legenda yang ada sangkut-pautnya dengan Sunan Muria, meskipun dalam dunia
dongeng. Banyak terdapat pula dan makam-makam yang konon dahulu mempunyai cerita maupun
“dongeng” yang ada sangkut pautnya dengan Sunan Muria. Memang beliau suka berdakwah ditempat-
tempat atau desa-desa yang jauh dari pusat keramaian kota. Beliau suka menyendiri dan menjadikan
tempat yang tenang itu sebagai tempat berdomisili.
Diantara para walisongo terdapat dua golongan pendapat yang mencerminkan falsafah hidup
mereka didalam menghadapi rakyat yang menjadi obyek dakwah. Dua golongan itu masing-masing
dipimpin oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Giri. Sunan Kalijaga dkk (yakni Sunan Bonang, Sunan Muria,
Sunan Kudus, dan sunan Gunung Jati) cara dakwahnya lebih moderat, dengan cara yang lunak. Tetapi
golongannya Sunan Giri dkk (yakni Sunan Ampel dan Sunan Drajat) ingin meluruskan agama Islam
sesuai dengan aslinya menurut dalil dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul tanpa mau berkompromi dengan
ajaran bid’ah, Khurafat, tahayyul, adat istiadat Hindu-Budha Animisme dan Dinamisme.
Golongan pertama disebut aliran Tuban atau aliran Abangan. Golongan kedua disebut aliran
Putihan. Selanjutnya, untuk prakteknya, dolongan kedua ( golongan Sunan Giri ) lebih suka mendekati
kaum ningrat dan kaum hartawan. Tetapi golongan aliran Tuban (golongan Sunan kalijaga) lebih suka
mendekati rakyat jelata yang pada masa itu masih dianggap kaum sudra oleh kaum ningrat. [3]

B. Makna Simbolik dan Spirit Ketokohan Sunan Muria


1. Ajaran Sunan Muria dalam Konteks Kekinian
Sesuai dengan arti kata sunan yang berasal dari istilah sinuhun atau susuhunan yang berarti sangat
dihormati. Sunan Muria adalah sosok kharismatik bagi masyarakat pengagumnya. Ia diyakini wali
(kekasih Allah) yang memiliki karomah tersendiri. Namanya disebut-sebut dengan penuh kehormatan ,
Kanjeng Sunan Muria. Kanjeng berasal dari kata Kang Jumenengyang berarti raja/pemimpin, memiliki
makna bahwa sosok Sunan Muria dijunjung dan dihormati sebagai tokoh panutan bahkan ajaran-
ajarannya mengilhami kehidupan mansyarakat sampai saat ini. Sunan Muria juga dikenal sebagai guru
Sufi yang sederhana dan dekat dengan rakyat.
Selain itu tangga menuju makam Sunan Muria yang berjumlah kurang lebih 432 anak tangga
seolah mengajarkan bahwa segala tujuan dan cita-cita tidak akan terwujud jika seseorang tidak pernah
berusaha melangkahkan kakinya (mewujudkannya). Menapaki satu demi satu tangga ibarat perjalanan
dalam proses kehidupan yang pada akhirnya akan sampai pada tujuan akhir kehidupan. Mungkin
seolah-olah kebetulan, jumlah 432 jika masing-masing dijumlahkan , 4+3+2 maka akan diperoleh
angka 9, angka keramat yang menjadi simbol Wali Songo.[4]
Sebelum kita membahas mengenai apa saja tradisi yang terdapat di Makam Sunan Muria, yang
mana terdapat banyak sekali ritual tertentu. Kita harus tahu dulu apa makna dari kata ritual itu.
Ritual[5] merupakan transformasi simbolis dari pengalaman-pengalaman yang tidak dapat
diungkapkan denga tepat oleh media lain. Karena berasal dari kebutuhan primer manusia. Maka ia
merupakan kegiatan yang spontan dalam arti betapapun peliknya, ia lahir tanpa niat, tanpa disesuaikan
dengan suatu tujuan yang disadari, pertumbuhannya tanpa rancangan, polanya benar-benar alamiah.
Ritual mengungkapkan perasaan dalam arti logis ketimbang psikologis. Ia bisa memiliki apa
yang oleh Aristoteles disebut sebagai ‘nilai cathartic’ tetapi itu bukan merupakan khasnya, ia semata-
mata merupakan suatau artikulasi perasaan. Hasil akhir dari ari artikulasi yang demikian itubukan suatu
emosi yang sederhana, tetapi suatu sikap yang kompleks dan permanen.
3. Upacara Tradisi di Makam Sunan Muria[6]
a) Upacara Ganti Luwur
Upacara Ganti LuwurSunan Muriasemula dilaksanakan setiap 10 Muharram. Akan tetapi sejak
tahun 1960an oleh juru kunci pada waktu itu, dirubah pelaksanaannya pada tanggal 15 Muharram
dengan alasan bahwa tanggal 10 Muharram bertepatan dengan haul sunan Kudus dan haulmbah
Mutamakin di Kajen Pati.
Bersamaan dengan kegiatan haul, diadakan pula upacara ganti luwur yang digunakan untuk
mengganti luwur lama dengan luwurbaru. Istilah ganti luwur digunakan pada tahun 1988-an,
sebelumnya pengelola dan masyarakat menggunakan istilah “salin luwur”.
b) Guyang Cekathak
Musim kemarau yang berkepanjangan biasanya menyebabkan bencana kekeringan melanda
kawasan Pantura Jawa Tengah. Memasuki puncak kemarau atau orang jawa menyebutnya
sebagai mangsa ketiga, warga yang tinggal di lereng Pengunungan Muria, Kabupaten Kudus,
menggelar tradisi Guyang Cekathak, yang merupakan ritual memohon agar hujan turun. Menurut
perhitungan orang jawa, mangsa ketiga dimulai pada 25 Agustus sampai dengan 24 September.
Upacara tradisi ini biasanya diselenggarakan pada hari Jumuah Wage bulan September, atau yang
penting hari Jumuah Wage musim Kemarau atau mangsa ketiga .
Ritual diawali dengan membawa cekathak, atau pelana kuda, peninggalan Sunan Muria dari
kompleks Masjid Muria menuju mata air Sendang Rejoso, menurut cerita turun temurun, Sendang
Rejoso dahulu adalah tempat wudlunya Sunan Muria. Hal ini masuk akal karena Sendang Rejoso
adalah satu-satunya mata air yang letaknya dekat dengan Masjid Sunan Muria. Selama ini disendang
Rejoso masih dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mandi, mengisi gentong peninggalan Sunan Muria.
Tradisi ini semula dilakukan untuk mengajak masyarakat disekitar Gunung Muria untuk
melestarikan sumber air yang berada disebelah utara masjid Sunan Muria, tepat di lereng hutan Gunung
Muria. Dimata air ini cekathak kemudian dicuci. Usai dicuci air sendang kemudian dipercik-percikkan
kepada warga, sebagai ungkapan kebahagiaan bahwa sendang yang menopang masih tetap
memancarkan air. Tradisi Guyang Cekathak merupakan salah satu kearifan lokal, untuk melestarikan
alam dilereng Gunung Muria.
Guyangatau ngguyang dalam bahasa Jawa berarti memandikan, dan Cekathakadalah istilah
orang Kudus untuk meyebut pelana Kuda yang terbuat dari Kayu. Tradisi Guyang Cekathaksendiri
adalah ritual yang rutin dilakukan warga, pada masa Sunan Muria.
Usai ritual pencucian pelana, acara dilanjutkan selametandan makan bersama dengan lauk khas
desa, yakni sayur-mayur yang dipadu dengan parutan kelapa, opor ayam, dan gulai kambing. Makanan
ditutup dengan minum dawet khas Kudus, yang melambangkan harapan warga agar turun hujan.
c) Parade Sewu Kupat
Rutinitas masyarakat desa Colo setelah perayaan hari raya Idul Fitri tepatnya pada tanggal 7
syawal selalu menggelar acara parade sewu kupat di Taman Ria. Acara tersebut sudah dimulai pada
tahun 2007 lalu, dan masih dilestarikan dan menjadi tradisi setiap tahunnya.
Beberapa gunungan kupat dan juga lepet yang dikumpulkan dari warga sekitar serta hasil
pertanian lainnya kemudian diarak mulai dari makam Sunan Muria untuk didoakan terlebih dahulu
oleh para kyai, Ulama’ dan masyarakat. Lalu berangkat menuju Taman Ria Colo dengan berjalan kaki
sejauh 800 meter.
Warga masyarakat sekitar saling berebut dan meyakini bahwa kupat dan lepet tersebut memiliki
keberkahan tersendiri. Begitu juga penuturan dari Bapak Joni Awang Ristihadi, Kepala Desa Colo yang
merupakan Kepala Desa termuda di Kudus bahwasanya acara tersebut bertujuan untuk meningkatkan
paket wisata di Desa Colo yang merupakan kawasan yang ramai dikunjungi para wiasatawan yang
hendak berziarah ke Makam Sunan Muria, selain itu untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya budaya kupatan tersebut, selain itu juga dijadikan moment untuk saling bermaaf-maafan
karena masih nuansa lebaran (Sumber: Wawancara bersama Bp. Joni Awang Ristihadi, Kepala Desa
Colo. Jum’at 12 Juni 2015).
Selain beberapa tradisi yang berkembang di masyarakat, ada juga beberapa mitos yang
berkembang di masyarakat colo sendiri, namun tidak ada salahnya jika kita sedikit
menyinggung mengenai apa mitos itu sendiri.Mitos berasal dari emosi dan latar belakang emosionalnya
mengilhami semua hasilnya dengan warna yang khusus. Manusia primitif bukan kurang memiliki
kesanggupan untuk memahami berbagai perbedaan empiris dari sesuatu. Tetapi dalam konsepsinya
tentang alam dan kehidupan semua perbedaan ini dihilangkan oleh perasaan yang lebih kuat: keyakinan
yang dalam terhadap solidaritas kehidupan yang fundamental dan tidak terelakkan, yang menjembatani
keseragaman dan variasi bentuk-bentuk tunggal, kelihatannya merupakan suatu perkiraan umum dari
pemikiran mitos.
Cassirer juga menyatakan bahwa mitos adalah dunia yang dramatis, sebuah dunia tindakan,
kekuatan, kekuasaan yang saling bertentangan, apapun yang dilihat atau dirasakan dikelilingi oleh
suasana khusus, suasana gembira atau suka cita, kesedihan, kegairahan, kegembiraan atau depresi.
Disini kita tidak dapat membicarakan “sesuatu” sebagai yang mati atau sebagai bahan yang tidak perlu
ditanggapi. Semua obyek bersifat ganda, bersahabat atau bermusuhan, familiar atau tidak, memikat dan
menjemukan, menjijikkan dan menakutkan.
Melalui mitos, manusia tidak hanya “menjelaskan” dunia mereka tetapi secara simbolis juga
menampilkannya kembali. Mitos memiliki cara lain dalam melihat dunia, suatu cara yang
mengungkapkan kesatuannya bersama dengan keterlibatan emosional manusia dan partisipasi
didalamnya. Mitos adalah ungkapan serius tentang pertalian dengan dunia. “Dalam mitos dan dengan
menggunakan citra mitos, terdapat eksternalisasi pengarahan “batin” emoi manusia ketika dia melihat
dunia., daya penerimaannya terhadap dorongan yang berasal dari “luar”, komunalitas substansi yang
meleburnya kedalam totalitas kedirian.[7]
4. Mitos Buah Pari Joto, Pakis Haji dan Air Gentong Keramat Sunan Muria
A. Buah Pari Joto[8]
Buah Pari Joto, berukuran sebesar biji kacang tanah yang berwarna merah muda pada saat masih
muda dan berwarna kehitaman jika sudah masak, rasanya getir kemasaman. Mengandung unsur kimia
berupa saponin, kardenilin, flavonoid, tanin, nutrisi dan vitamin Bg. Semuanya baik untuk membantu
pembentukan otak janin. Mitos tentang Pari Joto tersebar luas ke jagad nusantara. Ia dielu-elukan si
sebagai salah satu “warisan” Sunan Muria. Sejarah lisan yang berkembang, konon, pada saat istri
beliau. Dewi Sujinah, mengandung putrinya yang kelak diberi nama Dewi Ayu Nawangsih, Nyai
Sujinah tiba-tiba ingin memakan buah yang rasanya masam, atau yang hari ini kita mengenalnya
dengan istilah “nyidam” atau “ngidam”.
Saat itu, gunung Muria yang kaya keanekaragaman hayati menyajikan berbagai jenis tumbuhan
yang sekiranya dapat mengobati ngidam sang istri. Sunan Muria memerintahkan para santrinya untuk
mencari buah dihutan pegunungan Muria yang sekiranya buah itu memiliki ciri dan rasa seperti yang
dikehendaki sang istri. Para santri berangkat melakukan pencarian ketengah hutan. Tak lama
kemudian, mereka pulang dengan membawa buah Pari Joto.
Kisah lain, masih tentang Pari Joto, konon ia adalah buah mistik yang berasal dari “kompol”
gunung Margojembangan, nama salah satu gunung di pegunungan Muria, letaknya disebelah utara
puncak gunung Muria.
Buah Pari Joto buahnya orang hamil. Biasanya dimakan oleh ibu yang tengah nyidam. Menurut
mitos yang beredar, jika makan buah Pari Joto ini, jika anaknya nantinya laki-laki, Insya Allah akan
ganteng dan sholih, dan jika perempuan, Insya Allah akan cantik dan sholihah (wawancara dengan Siti
Amti’ah yang tengah hamil 2 bulan, 17 Mei 2015).
Buah Pari Joto memang berkhasiat membantu perkembangan janin didalam kandungan. Buah
ini dipercaya dapat menjadikan bayi yang dalam kandungan berkembang sempurna, baik fisik maupun
psikis. Secara fisik, yang dikatakan oleh Siti Amti’ah memang benar adanya. Dan secara psikis buah ini
dipercaya berkhasiat untuk perkembangan otak dan watak calon bayi, sehingga kelak ia terlahir, akan
mendewasa sebagai pribadi yang cerdas dan berkarakter saleh ataupun shalehah.
a) Pari Joto, Komunikasi Budaya dan Makna Spiritual
Mitologi buah Pari Joto begitu populer, merasuk hingga kalangan masyarakat lintas daerah,
lintas budaya bahkan lintas ideologi. Kenyataan ini telah menjelaskan bahwa Pari Joto tidak hanya
memiliki kekuatan mistik seperti terekam dalam imajinasi masyarakat. Ia juga telah menjadi salah satu
media komunikasi budaya sekaligus metode penyampaian muatan dakwah khas sunan Muria.
Pari Joto menjadi tali kesinambungan semangat dakwah sunan Muria, yang dalam laporan
Umar Hasyim (1985), sunan Muria merupakan kelompok Walisongo “aliran” moderat atau “abangan”.
Maksudnya sunan Muria adalah dari Walisongo yang mengembangkan metode dakwah aliran Tuban,
yang bersemangat moderat, dekat dengan rakyat jelata, dan penuh toleransi.
Titik semangat dakwah yang kultural dan merakyat itu terjadi apik melalui mitos dari buah Pari
Joto. Ia terbukti mampu menjadi irisan budaya masyarakat luas, tanpa menuai perdebatan . Di dukung
mitos keramat dan khasiat alamiahnya, buah Pari Joto mampu menjadi “benda multikultural” yang
diamini dan bahkan menjadi bagian hidup masyarakat luas selayak air zam-zam bagi masyarakat
muslim lintas ideologi.[9]
Suanan Muria, memahami setangkai Pari Joto tidak terbatas benda konsumsi. Pari Joto bagi
Sunan Muria ia pahami sebagimana sebagai tanda kuasa cipta kreatif Allah untuk menebar rahmat. Pari
Joto adalah rizki sebagaimana potensi alam lainnya. Di dalam Pari Joto tersimpan tanda kekuasaan
Allah, sekaligus juga menjelaskan sifat rahmat (kasih sayang Allah).
b) Pari Joto dan Pesan Ibadah
Pari Joto, buah keramat ini sejatinya kaya nutrisi semangat kemanusiaan. Kita perlu
mengupasnya dengan kerangka ushul fikih untuk mengeluarkan nutrisi yang dikandungnya. Pari Joto
dipercaya memiliki khasiat dapat memberi manfaat alam untuk perkembangan dan pembentukan sel
otak janin dalam kandungan. Pari Joto secara faktual melampaui sisi mitologisnya sebagai buah
keramat. Selain bertuah dapat mendukung kualitas fisik keturunan, pari joto juga mengandung berbagai
nutrisi dan vitamin yang dapat membantu pembentukan jaringan otak pada janin. Artinya, pari joto
secara alamiah memiliki fungsi-nya menciptakan kualitas keturunan, baik secara fisik maupun psikis.
Sedikitnya Pari Joto memuat dua maslahat, yakni hifd al nasl (menjaga dan memperbaiki keturunan)
dan hifd al aql (menjaga dan meningkatkan kualitas otak pada janin). Jika demikian, maka Pari Joto
adalah mitologi berwawasan ekorolegi bernuansa fikih.
Keyakinan Parijoto sebagai buah bernutrisi spiritual diperkukuh oleh kisah Rosul yang
menganjurkan mengonsumsi jintan hitam sebagai ikhtiar untuk menyembuhkan segala macam
penyakit.[10]
B. Pakis Haji
Pakis haji merupakan konstruk mitologis Sunan Muria seperti halnya Pari Joto, masyarakat
percaya bahwa pakis haji adalah jenis tumbuhan khas Muria yang dipercaya
mendapatkan tsawab berkah kealian Sunan Muria. Ia diyakini memilikin keramat mistik-alamiah dapat
mengusir tikus.
Umumnya Pakis Haji digunakan untuk mengusir tikus perumahan. Karena khasiat keramatnya,
ia menjadi salah satu komoditas dagang wisata Muria, dijajakkan disepanjang tangga menuju makam
Sunan Muria. Untuk layak jual, kayu ini cukup dikupas kulitnya, sehingga tampak motif batik.
Umumnya motif batik ini berwarna cokelat berbentuk jajar genjang tak beraturan, dengan motif titik
dibagian dalamnya, sementara bagian dasarnya berwarna putih tulang kecoklatan. Jika dilihat dari
kejauhan, batang Pakis Haji nampak seperti Ular Pyton. Karena motif batiknya menyerupai motif kulit
Ular Pyton.
Penggunaan Pakis Haji dengan tujuan menguir tikus perlu memerhatikan beberapa hal,
diantaranya (1) batangnya harus dikupas, sehingga motif batik yang menyerupai motif kulit Ular Pyton
itu nampak. (2) kayu Pakis Haji diletakkan ditemapat tersembunyi, jika diareal pesawahan, baiknya
diletakkan ditempat yang sekiranya tidak tampak oleh orang yang lewat, atau jika digunakan di
perumahan, sebaiknya diletakkan ditempat tersembunyi.
Kepercayaan masyarakat pada tuah mistik Pakis Haji terilham atas cerita lisan bahwa konon,
suatu ketika mewabah hama tikus yang merusak sawah padi Masyarakat Muria, sehingga mengancam
gagal panen. Berbagai cara telah dilakukan untuk membasmi hama tikus ini, namun hasilnya tetap
nihil. Tikus-tikus liar itu tetap melahap padi-padi petani. Masyarakat akhirnya mengadukan masalah ini
kepada Sunan Muria. Singkat kisah, Sunan Muria memberi ide masyarakat untuk menggunakan pohon
Pakis Haji untuk mengusir tikus.[11]
C. Air Gentong Keramat
Usai berziarah dari pusara Sunan Muria, pengunjung akan melewati ruangan tertutup dengan
desain melingkar. Puncak dari rute ini adalah ruang khusus tempat pengambilan air gentong keramat.
Rute keluar-masuk areal makam sunan Muria sengaja didesain dengan mengarahkan rute perjalanan
pengunjung sampai dilokasi gentong keramat disamping pintu keluar. Tujuannya agar pengunjung
dapat mengambil air gentong keramat secara leluasa setelah usai ritual ziarah.
Ritual pengambilan air gentong memang didesain pada urutan terakhir, dari sederet ritual
sejarah lainnya, agar pengambilan air dilakukan setelah peziarah melakukan ritual. Air keramat ini
diposisikan sebagai ritual terakhir peziarah setelah memanjatkan doa, sehingga berkah doa yang
dipanjatkan dalam ritual ziarah di makam sunan Muria mengalir ke air yang diambil dari gentong
keramat peninggalan beliau.
Pengunjung yang meminum air gentong ini tujuannya untuk ngalap barokahe mbah Sunan
Muria, masyarakat juga percaya bahwa air gentong keramat peninggalan sunan Muria bisa dijadikan
obat segala macam penyakit, selain itu bisa juga menyehatkan badan, ada juga pengunjung yang
membasuh mukanya dengan air ini, mereka percaya bahwa air dari gentong ini bisa memberi aura
positif bagi peminumnya.( Wawancara dengan Bp. Subhan, salah satu dari Punggawa YM2SM
sekaligus Tokoh Masyarakat 16 Mei 2015)
Beberapa peziarah mengaku menyempatkan diri untuk mengambil air gentong keramat sebagai
buah tangan sepulang ziarah. Mereka sengaja membeli botol berukuran besar yang dijual disepanjang
jalan menuju Makam sunan Muria.
Mitos air gentong keramat ini berkisah bahwa Sunan Muria yang masa hayatnya selalu menyediakan
air untuk konsumsi dan bersuci (thaharah). Sang Sunan menampung air didalam gentong berukuran
besar. Gentong ini pada mulanya diletakkan di mbelek (mata air) Rejoso, sekitar 300 meter sebelah
timur laut dari makam sunan Muria.
Konon, ia berasal dari mbelek Laren, letaknya disekitar petilasan Syaikh Syadzali , dekat
dengan sebuah makam yang diyakini sebagai makam Mbah Laren. Air dari mbelek Laren ini di usung
oleh salah seorang abdi atau pembantu di padepokan Sunan Muria bernama Nyi Ageng Ratu, Konon,
pada saat memindahkan air dari mbelek Laren ke Sendang Rejoso, Nyai Ageng Ratu
menggunakan kendit (kain panjang untuk menggendong). Pada saat menggendong, kendit itu
tersangkut disebuah anak gunung, sehingga gunung tersebut patah (tugel). Hingga sekarang, jejak
tersebut masih ditemukan di daerah pegunungan Muria bernama gunung tugel.
Menurut versi cerita ini, gentong yang sekarang dapat disaksikan dilokasi makam Sunan Muria
itu adalah gentong peninggalan Sunan Muria asli. Pengurus makam atau yang biasa disebut YM2SM
(Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria) memasang papan informasi bertuliskan “Gentong Keramat
Peninggalan Sunan Muria” . Tulisan ini merupakan versi kedua yang telah diganti. Bebarapa tahun
sebelumnya, tulisan yang dipasang bukan “Gentong Keramat Peninggalan Sunan
Muria” melainkan “AirGentong Keramat Peninggalan Sunan Muria”. Penggantian papan nama ini
karena menurut pengurus makam, nilai kekeramatan yang sebenarnya ada pada gentong, bukan airnya.
Gentong tersebut dipercaya sebagai peninggalan Sunan Muria. Air yang sekarang dibagikan kepada
peziarah adalah air dari mata air dari mata air mbelek Laren yang disalurkan melalui pipa.
Sedangkan sebagian masyarakat menganggap bahwa gentong ini dapat mengeluarkan air
dengan sendirinya dari dindingnya. Namun, karena pada kepengurusan masa silam (tidak diketahui
pasti masa kepengurusannya), gentong ini pernah “dijual”, sehingga gentong ini enggan mengeluarkan
air. Singkatnya, sebagian masyarakat menduga bahwa faktor hilangnya kekeramatan gentong itu karena
praktik komersialisasi air, meskipun praktik yang mereka anggap menjual air keramat itu tidak dalam
bentuk jual beli, melainkan uang sedekah yang dianjurkan khusus kepada para peziarah yang ingin
mengambil air gentong.
Ada juga versi lain yang menyebutkan bahwa gentong ini tidak pernah habis meskipun tidak
pernah diisi air, bukan karena ia dapat mengeluarkan air dengan sendirinya,. Gentong ini sejak zaman
dahulu diisi satu kali setiap tahunnya, yakni pada tanggal 1 Muharram. Karena gentong ini berukuran
sangat besar dan pada waktu silam para peziarah terbilang masih sepi, sehingga debet air yang hanya
diisi satu tahun sekali itu dapat mencukupi kebutuhan semua peziarah dalam waktu setahun.
Karenanya, banyak orang menyanngka bahwa gentong ini dapat mengeluarkan air dengan sendirinya.
Gentong ini memiliki bentuk dan ciri yang dapat dikatakan berbeda dari sewajarnya ukuran
gentong pada umumnya. Kira kira gentong ini berdiameter sekitar 1 sampai 1,5 meter dan tinggi
sekitar 1,2 meter dan ditanam dibawah tanah dan hanya sebagian kecil yang tampak dari atas.
Ruangan tempat gentong ini tepat berada di bawah lantai ruangan kembar. Ruang kembar ini
pada mulanya hanya digunakan untuk acara tertentu seperti haul. Namun, pengurus YM2SM ini
menggunakan ruangan ini sebagai rute masuk ke makam sunan muria. Pertama kali jalur ini dibuka,
rute yang diambil melewati salahsatu titik yang tepat berada diatas ruangan gentong. Selang waktu
yang tak begitu lama, lantai ruang kembar yang tepat diatas ruang gentong retak secara misterius.
Masyarakat sekitar mengaitkan kejadian ini dengan keberadaan ruangan gentong yang berada dibawah
rute perjalanan masuk ke makam. Pengurus makam mengganggap kejadian ini sebagai pertanda nilai
keramat gentong, sehingga tidak sepantasnya berjalan dengan posisi tepat diatas ruangan gentong.
Akhirnya pihak pengurus berinisiatif untuk memindahkan rute tersebut. [12]
Gentong dikuras setiap setahun sekali pada malam 1 asyuro karena sebagai penghormatan pada
bulan yang sangat mulia dalam islam itu. Menguras gentong makam adalah salahsatu dari sederet
tradisi yang dilakukan menjelang haul atau buka luwur kanjeng sunan muria (Sumber: wawancara
bersama Bapak samiyono selaku petugas penjaga gentong, 16 Mei 2015)
Selain air gentong makam sunan muria, situs air keramat lainnya yang dalam lingkaran mitos
makam sunan muria adalah “air tiga rasa”. Situs air ini terletak di kawasan makam Syaikh Syadzili.
Lokasi makam ini berada sekitar 2km di sebelah utara makam sunan muria, di pisahkan dua bukit dan
satu sungai besar. Letak situs air ini berada di sebuah lereng terjal, beberapa meter dari tempat yang
dipercaya sebagai makam Syaikh Syadzili.
Air tiga rasa bersumber dari tiga mata air yang saling berdekatan, hanya berjarak sekitar 20 cm.
Tiga sumber mata air ini mengeluarkan air yang beda rasanya, sehingga disebut air tiga rasa. Tidak
jelas rasa yang pasti dari ketiga air ini, karena banyak orang yang mengaku merasakan air ini dengan
rasa yang berbeda. Sebagian mengatakan air ini terasa seperti soda agak kemasaman, sebagian yang
lain mengatakan air ini terasa masam seperti perisa buah asam. Ada yang mengatakan bahwa rasa dari
ketiga sumber air ini berbeda satu sama lain, namun ada juga yang mengatakan rasa ketiga air ini tidak
berbeda.
Selain diminati pengunjung karena rasanya yang unik, mereka juga percaya bahwa air ini
mengandung keramat yang dapat mendatangkan manfaat kebaikan bagi yang meminumnya. Seperti
halnya air gentong muria, air tiga rasa juga diambil oleh peziarah untuk dijadikan buah tangan.
Awalnya, datang musafir dari Irak yang ingin berguru dengan Sunan Muria namanya Syaikh Hasan
Syadzili. Syaikh Hasan Syadzili diperintah oleh Kangjeng Sunan Muria untuk pergi ke daerah rejenu.
Lama kelamaan, Syaikh Syadzili memiliki banyak santri dan membangun mushola yang dibawahnya
terdapat sumber mata air. Beredar kabar, bahwa air tersebut dapat menghidupkan orang yang sudah
meninggal. Karena telah disalahgunakan oleh masyarakat dan dikhawatirkan menjadi musyrik beliau
memutuskan untuk menutup sumber mata air tersebut. Lalu muncul tiga mata air yang sampai saat ini
disebut air tiga rasa. Dan, sampai sekarang pengunjungpun masih berdatangan (wawancarabersama
Bapak Sami’un selaku penjaga makam Syaikh SyadziliRejenu)
a) Air Gentong Keramat dan Kebaikan Alam
Konseptualisasi air dalam mitologi gentomg keramat Sunan Muria memunculkan simbol-
simbol kultural, spiritual sekaligus simbol ilmiah tentang manfaat kebaikan air. Pertama, simbol
kultural, secara kultural, air gentong keramat menjadi mitos pemersatu sekaligus yang membentuk
cara pandandan pola laku kultural masyarakat Muria terhadap air. Air gentong ini dikemas dalam kode
budaya dan ritus sedemikian rupa sehingga menyatu dan menjadi bagian dari praktik kultural
masyarakat Muria pada khususnya dan para peziarah. Praktik budaya ini terekam dari tradisi
mengambil air genong keramat sebagai laku konsumtif sekaligus tradisi konservasi air. Tradisi
konsumtif mewujud dalam hasrat konsumsi masyarakat atas air gentong keramat, bagaimana mereka
mengorbankan banyak hal untuk mendapatkan air keramat ini.
Dalam laku konsumtif ini terdapat simbol-simbol budaya konsumtif yang memberi pesan
tertentu, misalnya batasan pengambilan air yang ditetapkan oleh pengurus makam sunan Muria,
sehingga para peziarah tidak dapat mengeksploitasi air secara berlebihan. Pesan ekologis dalam budaya
konsumsi ini adalah pelajaran menghemat air dan budaya konsumsi air bersih.
Simbol budaya lainnya, air gentong ini menyimpan pesan tentang paradigma kebutuhan hakiki
dalam mengonsumsi air. Ketiganya, baik seruan hemat air, pola hidup bersih dalam mengonsumsi air
dan prinsip kebutuhan hakiki ini memberikan gambaran, bagaimana seharusnya manusia belajar
mentradisikan konsumsi air secara arif.
Kedua, simbol spiritual. Secara spiritual, mitologi air gentonh keramat ini adalah adalah
simbol-simbol imajiner-kritis yang mengandung paradigma spiritual dalam mengkonstruksi dan
memperlakukan air. Air adalah benda suci yang memiliki nilai dan kekuatan spiritualnya. Air,
sebagaimana air gentong keramat sunan Muria adalah benda yang menjadi penyambung imajinasi
spiritual manusia kepada Tuhan-Nya, selain air itu sendiri telah merupakan potensi aktual yang bersifat
spiritual. Simbol-simbol spiritualitas ini terekam dalam konseptualisasi air gentong sebagai air keramat
yang mendapat berkah dari Sunan Muria, dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit, memberi
manfaat kebaikan seperti mencegah penyakit, membersihkan dari kotoran jiwa dan memberikan
menfaat untuk kecerdasan.
Air gentong Muria ini laksana zam-zam lokal bagi masyarakat Muria. Sebagaimana zam-zam
diterjemahkan Rosulullah sebagai air yang menyimpan sejuta kebaikan dan manfaat. Kesamaan atau
setidaknya kemiripan kode simbolik spiritual dalam air zam-zam dan air gentong Muria adalah
inspirasi spiritual Islam tentang air sebagai benda spiritual. Ia berguna bagi aktifitas religius, ekologis,
kesehatan bahkan kepentingan konsumtif-ekonomis. Dari arah inilah air diterjemahkan sebagai benda
agama.
Ketiga, simbol ilmiahkonsep simbol ilmiahdalam mitologi air gentong ini terletak pada
multifungsinya sebagaibenda spiritual, medis, dan juga alamiah. Ketika masyarakat Muria dan para
peziarah percaya bahwa air gentong Sunan Muria adalah air keramat, menyembuhkan penyakit,
membersihkan jiwa dan berbagai manfaat kebaikan alam lainnya. Simbol ilmiah ini mendapat
legitimasinya, sebagaimana temuan Masaru Emoto (2006) bahwa air dapat mentransformasi segala
pesan yang masuk kedalam dirinya, sehingga dapat membentuk kualitas fisik dan kualitas manfaatnya.
Jika air mendapatkan stimulus yang baik, misalnya berupa pujian, perkataan baik atau do’a tertentu,
maka air akan memunculkan kristal yang indah. Sebailknya, jika air mendapatkan stimulus yang buruk
seperti umpatan, kata-kata kasar atau kalimat yang buruk, maka kristal air akan memudar dan berubah
menjadi bentuk yang sangat buruk.
Setidaknya temuan ini dapat menjelaskan mengapa air murni yang dibacakan doa kepada Allah
untuk penyembuhan penyakit atau untuk maksud kebaikan lainnya, maka air dapat menyembuhkan
penyakit atas izin Allah juga. Demikian halnya dengan kasus air gentons Sunan Muria, ketika ia
mendapatkan stimulus yang baik berupa doa, harapan, dan i’tikad baik dari pemercaya mitos
kekeramatannya , maka air itu akaan mentransformasi diri menjadi kebaikan-kebaikan seperti
diharapkan darinya, begitu pula sebaliknya.[13]
Teladan sosok sunan Muria yang dermawan ini dijelaskan pengurus YM2SM dengan tradisi
sedekah kepada masyarakat sekitar dan peziarah pada moment tertentu, diantaranya adalah pada saat
perayaan ritual khaul sunan Muria, saat hari raya idul adha dan hari tasyakuran desa (sedekah bumi)
desa Colo yang biasanya dilakukan pada bulan Dzulhijjah. Pada moment ini, pihak pengurus yayasan
menyediakan beberapa ekor kerbau dan kambing untuk disembelih dan dimasak (kecuali pada moment
idul adha). Daging yang sudah dimasak disajikan bersama nasi putih yang dikumpulkan dari sedekah
masyarakat desa sekitar. Pada saat khaul, para peziarah berbondong untuk berebut nasi berkah ini,
sebagian mereka makan ditempat , sebagian yang lain dibawa pulang untuk dijadikan oleh-oleh. Pada
suasana khaul, pemandangan berebut nasi berkah itu sudah menjadi lumrah dan mentradisi di
lingkungan makam sunan Muria. Para peziarah percaya bahwa nasi ini memiliki berkah yang dapat
memberikan manfaat kebaikan untuk dirinya dan keluarganya.
Penelitian Mengenai Agama dan Masyarakat Daerah
Adapun yang dimaksud dengan masyarakat daerah dalam bahasa Inggris
disebut communityadalah masyarakat yang mendiami daerah tertentu, berinteraksi memakai pola dari
sistem budaya yang sama, dan diikat oleh adat istiadat yang disepakati bersama. Masyarakat daerah
biasanya bersifat homogen, artinya tidak terlalu banyak variasi dalam bidang-bidang kehidupannya.
Menurut para peneliti, situasi tekno-ekonomi setempat, keadaan sosial, dan kerangka budaya
memberi pengaruh terhadap tipe keberagamaan masyarakat tersebut. Maka dapatlah diasumsikan
bahwa budaya lokal mempengaruhi pola-pola perwujudan keberagamaan orang Sunda yang ada di
pantai utara pulau Jawa berbeda dengan keberagamaan orang Sunda yang berada di pegunungan
selatan pulau jawa. Keberagamaan masyarakat Sunda di Jawa Barat berbeda dengan keberagamaan
masyarakat Minang di Sumatera Barat, walaupun mereka sama-sama menganut Islam Sunni. Begitu
juga ukuran-ukuran norma etika, moralitas, dan kriteria kebaikan akan berbeda antara masyarakat
disuatu daerah dan masyarakat yang berada didaerah yang lain.[14]
Tujuan Penelitian Sosiologi Agama
Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian Sosiologi Agama yang didasarkan pada
pendekatan ilmu sosial atau pengetahuan budaya memgenai berbagai masalah seperti yang telah
disebutkan seputar tradisi dan mitos tentang Sunan Muria dalam konteks kekinian. Hasil penelitiannya
bisa digunakan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) mengenai kemungkinan yang terjadi akiabt
kegiatan atau keputusan pejabat pemerintah atau pejabat agama, atau akibat rencana pembangunan
yang menyebabkan perubahan di mayarakat yang beragama. Pengetahuan tentang kondisi masyarakat
pemeluk agama sangat diperlukan bagi orang yang akan menerapkan suatu kebijakan pada suatu
masyarakat, misalnya dalam menerangkan keluarha berencana (KB), melakukan inovasi bercocok
tanam, dan memperkenalkan suatu produk obat baru.[15]
Fenomena Kebudayaan
Tiada orang yang menyangkal bahwa fenomena kebudayaan adalah suatu yang khas insani.
Kebudayaan menyinggung daya cipta bebas dan serba ganda dari manusia dalam alam dunia. Dari alam
buta maupun dari gairah hewani tidak diharapkan karya budaya. Pun pula tidak dari roh yang
transenden terhadap dunia maddi. Manusialah pelaku kebudayaan. Ian menjalankan kegiatannya untuk
mencapai sesuatu yang berharga baginya, dan dengan demikian kemanusiaannya menjadi lebih nyata.
Melalui kegiatan kebudayaan, sesuatu yang sebelumnya hanya merupakan kemungkinan belaka,
diciptakan baru. Tetapi jelaslah bahwa kebudayaan tidak tambah menjadi berharga oleh tambahan
segala rupa hal berharga tanpa tata-susunan. Dari julah kemungkinan tak terbatas yang terbentang
didepan manusia dia harus memilih. Dalam memilih ini, bersama dengan mengabaikan itu tampaklah
gaya dan arah usahanya serta corak kebudayaannya.
Budaya Membutuhkan Etika
Bahwa didalam alam maupun budaya, tersembunyilah bahasa, ditulis pula oleh tokoh reformasi
calvin demikian: manusia dalam menelaah alam dan budaya manusia mengambil jarak dari budaya
tersebut. Inilah yang dalam bahasa Jerman disebut “Innerweltliche Askese” (bertapa dalam dunia)
Sehubungan dengan itu Hoenderdaal menyimpulkan budaya utu bagaimana pun merupakan
bagian dari kehidupan manusia, baik sebagai hal yang berharga sehingga manusia dikejarnya maupun
sebagai yang tak berharga sehingga harus dijauhinya. Budaya dalam hal ini mirip dengan Tuhan, yang
kita dekati akan tetapi jika kita gegabah memandangnya sebagai sesama kita,maka sikap ini akan
mengancam kelestarian kita sendiri.[16]
KESIMPULAN
Sunan Muria adalah putra dari Sunan Kalijaga, ibunya bernama Dewi Sarah dan istrinya
bernama Dewi Sujinah yang merupakan kakak kandung Sunan Kudus. Putranya bernama pangeran
santri. Nama kecil sunan Muria adalah Raden Umar Saidi, Raden Said, Raden Prawata. Disebut Sunan
Muria karena wilayah syiar Islamnya meliputi lingkungan Gunung Muria. Karya dari Sunan Muria
diantaranya tembang sinom, dan kinanthi.
Diantara tradisi yang berkembang antara lain Buka luwur yang dilaksanakan setiap tahunnya
pada tanggal 15 Muharram dilanjut acara haul kanjeng Sunan Muria dengan pembagian nasi berkah.
Selain itu ritual Ngguyang Cekathak yakni pencucian pelana kuda milik Sunan Muria untuk
melestarikan sumber air yang berada disebelah utara masjid Sunan Muria. Ada juga Parade Sewu kupat
yang menjadi icon kebudayaan Desa Colo.
Masih ada mitos yang berkembang di masyarakat Colo sampai saat ini antara lain mengenai
Pari Joto, Pakis Haji dan juga Air Gentong keramat Sunan Muria.
DAFTAR PUSTAKA
Muryono, Widi. 2014. Napak Jejak Pemikiran Sunan Muria, LPS Fikro: Kudus.
Hasyim, Umar.1983. Sunan Muria Antara Fakta dan Legenda, Menara: Kudus
Widodo, Sutejo. 2014. Sunan Muria Today, Tigamedia Pratama: Semarang
Widagdho, Djoko. 1994. Ilmu Budaya Dasar, Bumi Aksara: Jakarta
F. O’dea, Thomas. 1994. Sosiologi Agama, Raja Grafindo Persada: Jakarta
Kahmad, Dadang. 2002. Sosiologi Agama, PT Remaja Rosdakarya: Bandung
Bekker. 1984. Filsafat Kebudayaan, Kanisius: Yogyakarta
[1]Sutejo K. Widodo, Sunan Muria Today, tigamedia Pratama: Semarang, 2014. Hlm 5
[2]Umar, hasyim, Sunan Muria Antara Fakta dan Legenda, Menara Kudus: Kudus, 1983. Hlm 34

[3] Ibid. Hlm 63-64


[4]Sutejo K. Widodo, op. Cit. Hlm 64-65
[5]Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1994. Hlm 76-77
[6]Sutejo K. Widodo, op. Cit. Hlm 28-34

[7]Thomas F. O’dea, op. Cit. Hlm 80-81.

[8]Widi, Muryono, Napak Jejak Pemikiran Sunan Muria, LPS Fikro: Kudus, 2014. Hlm 30-33
[9]Ibid. Hlm 32-33
[10]Ibid. Hlm 115
[11] Ibid Hlm 41-42
[12] Ibid. Hlm 52-56
[13] Ibid Hlm 59-62
[14]Dadang, kahmad, Sosiologi Agama, PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 2002. Hlm 106
[15]Ibid. Hlm 112
[16]Djoko, Widagdho, Ilmu Budaya Dasar, Bumi Aksara: Jakarta, 1994. Hlm 36

Anda mungkin juga menyukai