Anda di halaman 1dari 3

Hikayat Merong Mahawangsa

Riqko Nur Ardi Windayanto


19/439512/SA/19656

Hikayat Merong Mahawangsa merupakan karya sastra Melayu klasik yang mengisahkan
sejarah masuknya Islam di kawasan Kedah, Malaysia, dan kehidupan para sultan di sana
(Kemendikbud, 2009). Fang (2011) mengemukakan bahwa di antara sekian banyak karya sastra
sejarah, Hikayat Merong Mahawangsalah yang jauh menyimpang dari karya sejarah. Winstedt
mengemukakan bahwa hikayat ini dapat diterima sebagai bagian dari karya sastra sejarah karena
menyertakan silsilah raja-raja Kedah dan meminjam kata-kata pendahuluan dari Sejarah Melayu
yang disusun pada tahun 1912. Hikayat ini dikatakan “menyimpang” karena dalam
penyusunannya dilakukan secara tradisional dengan memasukkan banyak mitos dan cerita fiktif.
Tradisionalitas tersebut tampak, misalnya, melalui penceritaan sejarah kuno Kedah sebelum
Islam masuk. Selain itu, ada pula penceritaan putra yang lahir dari buluh betung dan putri yang
lahir dari buih, gajah sakti yang memiliki raja, dan seterusnya. Hal ini merupakan cerita rakyat
yang masih diceritakan oleh rakyat setempat (Fang, 2011).
Judul yang berupa kata Merong Mahawangsa tidak berasal dari bahasa Arab atau
Melayu, melainkan bahasa Siam, yang berarti ‘naga pembesar negeri harimau’. Di sisi lain,
Merong Mahawangsa sendiri merupakan raja pertama sekaligus pendiri negeri Kedah.
Keturunannya yang ketujuh, Rajaj Phra Ong Mahawangsa, memeluk agama Islam. Tranformasi
agama tersebut menentukan relasi antara Kesultanan Kedah dengan Kerajaan Siam. Konon,
Kesultanan Kedah berada di bawah kerajaan tersebut. Namun, sebaliknya, Hikayat Merong
Mahawangsa melukiskan bahwa raja-raja Siam merupakan keturunan dari sultan-sultan Kedah.
Akibat tidak terima dengan fakta yang dibangun oleh fiksi atau karya sastra tersebut, Kerajaan
Siam melancarkan peperangan terhadap Kedah pada tahun 1821 M. Ming (dalam Republika,
2009), seorang ahli sastra Melayu dari Singapura, menjelaskan bahwa dalam peperangan
tersebut, pasukan Siam berhasil merangsek masuk, lantas menemukan dan membakar Hikayat
Merong Mahawangsa—naskah yang asli.
Dengan merefleksikan pada peristiwa tersebut, Siti Hawa M. Salleh, seorang ahli sastra
Melayu, memperkirakan bahwa Hikayat Merong Mahawangsa yang asli ditulis pada tahun 1800-
1820 M. Namun, beberapa peneliti lain memperkirakan bahwa naskah ini diciptakan pada tahun
1660-an karena masyarakat Melayu Kedah telah mengenal tulisan sejak 1625 M. Dengan
terbakarnya naskah asli, sekaligus kuatnya tradisi lisan dan tulisan pada Masyarakat Melayu, teks
Hikayat Merong Mahawangsa tidak berhenti beredar. Akan tetapi, banyak salinan yang ditulis
oleh sejumlah orang pada akhir abad ke-18 dalam rangka kepentingan dan tujuannya masing-
masing. Tentu saja, penyalinan tersebut juga dipengaruhi oleh daya ingat dari masing-masing
penyalin. Dengan timbulnya pelbagai penyalinan, Hikayat Merong Mahawangsa memiliki
banyak salinan naskah, tetapi yang berhasil “direkam” berjumlah delapan versi. Deskripsi dari
masing-masing versi atau varian akan coba diuraikan pada pembahasan tulisan berikut.
Pendeskripsian naskah-naskah versi atau varian merupakan tahap observasi pendahuluan
yang harus dilakukan oleh seorang peneliti ketika akan meneliti teks atau naskah (Istanti, 2013).
Tulisan ini mencoba mendeskripsikan salinan-salinan naskah Hikayat Merong Mahawangsa
dengan berpijak pada tujuh belas kerangka berupa aspek-aspek yang harus dideskripsikan dari
naskah: (1) judul naskah, (2) tempat penyimpanan, (3) nomor naskah, (4) ukuran halaman, (5)
jumlah halaman, (6) jumlah baris, (7) panjang dan lebar baris, (8) huruf, (9) bahasa, (10) kertas,
(11) cap kertas, (12) pengarang, penyalin, tempat dan tanggal penulisan naskah, (13) keadaan
naskah, (14) pemilik dan pemerolehan naskah, (15) gambar: ilustrasi dan iluminasi, (16)
sinopsis, dan (17) catatan lain.

1. Hikayat Merong Mahawangsa versi W. Maxwell yang terkenal dengan Ms. Maxwell 16.
Naskah ini tersimpan di Perpustakaan Royal Asiatic Society, London. Naskah ini disalin oleh
Muhammad Nuruddin bin Ahmad Rajti pada 2 September 1889 M di Pulau Pinang dengan
panjang 207 halaman. Di halaman 207 terdapat keterangan tertentu.
2. Hikayat Merong Mahawangsa versi Ms. Maxwell 21 yang merupakan koleksi pertama
milik W. Maxwell. Naskah ini ditulis sepanjang 149 halaman tanpa penomoran angka di
setiap halamannya, dan telah diserahkan ke Perpustakaan Royal Asiatic Society, London. Di
dalamnya terdapat tanda tangan Maxwell dan catatan Singapore, 1884 M.
3. Hikayat Merong Mahawangsa atau Sejarah Negeri Kedah. Naskah ini ditulis di
Kampung Sungai Kallang, Singapura. Di dalamnya tercatat tahun 1876 M. Salinan manuskrip
ini disimpan di Perpustakaan Bodleian, Universiti Oxford, England.
4. Sjadjarah Negeri Kedah atau Hikayat Merong Mahawangsa, yang dikenal dengan versi
von de Wall, No. 201. Naskah salinan ini ditemukan oleh von de Wal ketika ia di Riau.
Sayangnya, naskah yang konon disimpan di Perpustakaan Museum Pusat, Jakarta, Indonesia,
ini dinyatakan hilang. Tidak banyak data tentang versi ini, ditambah lagi hilangnya manuskrip
ini semakin menyempurnakan kekosongan datanya.
5. Hikayat Merong Mahawangsa versi R.J Wilkinson, dicetak batu dalam tulisan Arab-
Melayu berukuran fulskap oleh Kim Sik Hian Press, No. 78, Penang Street. Versi ini disalin
pada 2 Rajab 1316 H bertepatan dengan 16 November 1898 M oleh Muhammad Yusuf bin
Nasruddin di Pulau Pinang.
6. Hikayat Merong Mahawangsa versi Sturrock yang diterbitkan dalam Journal of The
Royal Asiatic Society, Straits Branch (JRASSB) No. 72, Mei 1916 M di halaman 37-123,
yang dicetak menggunakan tulisan Rumi (tulisan romawi). Tidak banyak yang bisa dijelaskan
mengenai versi ini, karena minimnya data yang diperoleh.
7. Hikayat Merong Mahawangsa versi Logan yang merupakan koleksi J.R Logan, kini
tersimpan di Perpustakaan Nasional Singapura dengan nomor arsip qMR 8999, 2302 HR.
tidak ada keterangan mengenai siapa penyalin manuskrip versi ini dan di mana disalin.
Naskah ini ditulis dengan tinta hitam di atas kertas laid Inggris, berukuran 29 cm x 18 cm,
dengan tulisan romawi yang rapi dan cantik. Kemungkinan penyalin manuskrip ini adalah
seorang yang ahli menulis. Kendati terlihat rapi, kadang-kadang tulisannya berubah kasar dan
tidak rapi karena begitu panjangnya karya ini. Di bagian atas halaman tertulis J.R Logan,
pemilik manuskrip.
8. Hikayat Merong Mahawangsa koleksi Thomson. Menurut J.T. Thomson, ia memperoleh
manuskrip ini di Pulau Pinang. Naskah ini muncul tahun 1984 yang disimpan oleh cicitnya
di London. Namun, tidak banyak diketahui perihal manuskrip ini, karena belum terbuka untuk
umum.

Manuskrip Hikayat Merong Mahawangsa versi R.J. Wilkinson saat ini masih tersimpan dengan
baik di Muzium Negeri Kedah, di Alor Setar. Selain disimpan di Muzium itu, manuskrip ini juga
disimpan dalam bentuk digital di situs www.ftsm.ukm.my. Manuskrip ini bertuliskan huruf
Arab-Melayu dengan hiasan bunga-bunga cantik di bagian pinggirnya. Manuskrip versi ini
terdiri dari 113 halaman dengan ukuran 13 cm x 8.4 cm. Naskah ini dicetak oleh Kim Sik Hian
Press. Cetakan yang lebih baru dibuat oleh Yayasan Karyawan dan Penerbit Universiti Malaya,
Kuala Lumpur berbentuk buku. Cetakan baru itu dibuat dalam rangka penerbitan buku kajian dan
analisis Siti Hawa Haji Salleh terhadap hikayat ini. Buku berikut salinan manuskrip di
belakangnya terbit pada tahun 1998.

Manuskrip lainnya, MS. Maxwell 16 dan 21, tersimpan dengan baik di Royal Asiatic Society,
London. Tidak diketahui kondisi dan deskripsi kedua manuskrip tersebut karena tidak ditemukan
data fisik maupun digital yang memuat tentang manuskrip versi ini. Demikian pula
manuskrip Hikayat Merong Mahawangsa, versi Aj. Sturrockdan versi Von de Wall, keduanya
tidak dapat diungkapkan karena ketiadaan data tentang keduanya.

1612 M
https://www.biodiversitylibrary.org/item/130712#page/79/mode/1up

Anda mungkin juga menyukai