ILMU SEJARAH
SURAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam perjalanan dagangnya para saudagar tersebut tidak hanya datang untuk
berdagang saja tetapi juga ada yang menetap dan tinggal di wilayah Kerajaan dan
berakulturasi dengan orang-orang pribumi di Majapahit. Interaksi yang terjadi tersebut
menghasilkan suatu peradaban baru di Majapahit. Salah satu bukti dari akulturasi adalah
berkembangnya kepercayaan Islam di Majapahit pada masa tersebut, sedangkan yang
berkembang pesat pada masa tersebut adalah kepercayaan Hindu-Budha. Paham Islam
yang masuk ke Majapahit dibawa oleh saudagar-saudagar yang datang baik dari India,
Cina, maupun Arab sendiri. Kemajuan pemikiran penguasa Majapahit pada masa
tersebut sudah terbukti dengan adanya kluster pemukiman yang berada di wilayah
kerajaan, salah satu bukti dari kluster pemukiman itu adalah Komplek Makam Troloyo.
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui perkembangan kehidupan masyarakat di Majapahit pada masa itu
dengan salah satu bentuk hasil akulturasi kebudayaan Islam dengan Hindu-Budha di
Majapahit dengan bukti Komplek Makam Troloyo yang berada di Dusun Sidodadi,
Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.
2. Sebagai salah satu pemenuhan tugas mata kuliah Sejarah Indonesia Lama
C. Manfaat Penilitian
1. Mahasiswa mampu mengetahi dan memahami sejarah keberadaan makam Troloyo
siapa tokoh-tokoh yang dimakamkan di pemakaman Troloyo
2. Sebagai salah satu referensi pembelajaran Sejarah Indonesia Lama dalm bentuk hasil
kebudayaan Kerajaan Majapahit pada masa lampau khususnya dalam hasil
akulturasi kebudayaan islam dengan bukti komplek makam Troloyo
BAB II
ISI LAPORAN
Komplek situs Makam Troloyo adalah salah satu bukti sejarah kebesaran
Majapahit dalam perkembangannya yang berkaitan mengenai interaksi dengan bangsa
luar Majapahit. Kompleks Makam Troloyo. Situs ini terletak di Dusun Sidodadi, Desa
Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Untuk mencapai situs ini
dapat ditempuh dari perempatan Trowulan kearah selatan sejauh ± 2 km. Jika bersama
rombongan menggunakan bus akan masuk ke tempat parkir yang jaraknya lumayan
dekat dari lokasi makam. Kemudian naik ojek dengan ongkos 3000 rupiah atau bisa
berjalan saja yang mungkin hanya butuh waktu 5 menit sampai di lokasi.
Dahulu komplek makam Troloyo berupa sebuah hutan, seperti hutan pakis yang
terletak lebih kurang 2 kilometer di sebelah selatannya. Peneliti pertama kali P.J. Veth,
hasil penelitiannya diterbitkan dalam buku “Java II”pada tahun 1878. Kemudian L.C.
Damais, seorang sarjana berkebangsaan Perancis,hasil penelitiannya dibukukan dalam
“Etudes Javanaises I”; “Les Tombes Musulmanes datees de Tralaya” yang dimuat dalam
BEFEO (Bulletin de Ecole francaise D’extrement-Orient); dan “Tome XLVII Fas. 2.
1957”. Menurut Damais angka-angka tahun yang terdapat di komplek makam Troloyo
yang tertua berasal dari abad XIV dan termuda berasal dari abad XVI.
Situs Troloyo merupakan salah satu bukti keberadaan komunitas muslim pada
masa Majapahit. Nisan di makam Troloyo menjadi tonggak sejarah Islam di pulau Jawa.
Pada nisan di makam Troloyo tertulis tahun 1366M, 1370M, 1407M, 1418M, 1427 M,
1467 M, dan 1475M. Ditulis dengan aksara Kawi dengan penanggalan Saka. Terdapat
pula nisan dengan tahun 1469M dan 1533M yang ditulis dengan Aksara Arab dengan
penanggalan Hijriah. Hal ini membuktikan bahwa makam tersebut milik orang muslim
Jawa bukannya orang asing.
Adanya komunitas muslim ini disebutkan pula oleh Ma-Huan dalam bukunya
“Ying Yai-Sing Lan” yang ditulis pada tahun 1416 M. Dalam buku “The Malay Annals
of Semarang and Cirebon” yang diterjemahkan oleh H. J. E. de Graaf disebutkan bahwa
utusan-utusan Cina dari Dinasti Ming pada abad XV yang berada di Majapahit
kebanyakan muslim. Sebelum sampai di Majapahit, muslim Cina yang bermahzab
Hanafi membentuk masyarakat muslim di Kukang (Palembang), barulah kemudian
mereka bermukim di tempat lain termasuk wilayah kerajaan Majapahit.
Pada masa pemerintahan Suhita (1429-1447 M), Haji Gen Eng Cu yang diberi
gelar A Lu Ya (Arya) telah diangkat menjadi kepala pelabuhan di Tuban. Selain itu, duta
besar Tiongkok bernama Haji Ma Jhong Fu ditempatkan di lingkungan kerajaan
Majapahit. Dalam perkembangannya, terjadi perkawinan antara orang-orang Cina
dengan orang-orang pribumi. Jadi dapat disimpulkan bahwa ketika Majapahit masih
berdiri orang-orang Islam sudah diterima tinggal di sekitar ibu kota.
Ada dua buah kelompok atau komplek pemakaman, yakni sebuah komplek
terletak di bagian depan (tenggara) dan sebuah lagi di bagian belakang (barat laut).
Makam di bagian depan diantaranya kelompok makam petilasan Wali Sanga, kemudian
di sebelah barat daya dikenali dengan sebutan Syekh Maulana Ibrahim, Syekh Maulana
Sekah, dan Syech AbdulKadir Jailani sertaSyekh Jumadil Kubro. Sedang di utara masjid
terdapat makam Syech Ngudung atau Sunan Ngudung yang dipercaya oleh masyarakat
sekitar, jika berziarah ke makamnya maka akan mendapatkan jodoh. Kompleks makam
di bagian belakang meliputi: bangunan cungkup dengan dua makam yaitu Raden Ayu
Anjasmara Kencanawungu, kemudian terdapat pula kelompok makam yang disebut
Makam Tujuh atau Kubur Pitu, antara lain:
1. Makam yang dikenal dengan nama Pangeran Noto Suryo, nisan kakinya berangka
tahun dalam huruf Jawa Kuno 1397 Saka (1457 M) ada tulisan arab dan lambang
Surya Majapahit.
2. Makam yang dikenal dengan nama Patih Noto Kusumo, berangka tahun 1349 Saka
(1427 M) bertuliskan Arab yang tidak lengkap dan lambang surya.
3. Makam yang dikenal dengan sebutan Gajah Permodo angka tahunnya ada yang
membaca 1377 Saka tapi ada yang membaca 1389 Saka, hampir sama dengan
atasnya.
4. Makam yang dikenal dengan sebutan Naya Genggong, angka tahunnya sudah tidak
terlihat, pembacaan ada dua kemungkinan, yaitu tahun 1319 Saka atau tahun 1329
Saka serta terpahat tulisan Arab kutipan dari surah Ali Imran 182 (Damais, 1850).
5. Makam yang dikenal sebagai Sabdo Palon, berangka tahun 1302 Saka dengan pahatan
tulisan Arab kutipan surah Ali Imran ayat 18.
6. Makam yang dikenal dengan sebutan Emban Kinasih, batu nisan kakinya tidak
berhias. Menurut Damais, pada nisan kepala bagian luar berisi angka tahun 1298
Saka.
7. Makam yang dikenal dengan sebutan Polo Putro, nisannya polos tanpa hiasan.
Menurut Damais. pada nisan kepala dahulu terdapat angka tahun 1340 Saka pada
bagian luar dan tulisan Arab yang diambil dari hadist Qudsi terpahat pada bagian
dalamnya.
Sebagian dari nisan-nisan pada Kubur Pitu tersebut berbentuk lengkung kurawal
yang tidak asing lagi bagi kesenian Hindu. Melihat kombinasi bentuk dan pahatan yang
terdapat pada batu-batu nisan yang merupakan paduan antara unsur-unsur lama dan
unsur-unsur pendatang (Islam) nampaknya adanya akultrasi kebudayaan antara Hindu
dan Islam. Sedangkan apabila diperhatikan adanya kekurangcermatan dalam penulisan
kalimah-kalimah thoyyibah dapat diduga bahwa para pemahat batu nisan nampaknya
masih pemula dalam mengenal Islam.
Dulu makamnya berada di hutan Troloyo, di sekitar desa sudah ada.Yang pertama
membangun, memperkenalkan dan mengangkat nama makam ini yaitu Kyai Haji Ismail
ulama dari Kecamatan Suko dan beliau yang membuka kegiatan pertama ziarah maupun
dan juga adanya haul. Pada awalnya masyarakat tidak peduli, tetapi orang dari luar
merawat makam ini, berawal dari santri dengan seadanya itu pertama diadakan Hadrah,
pengajian umum, tahlil bersama-sama itupun dari biaya sendiri setiap tahun berkembang
dan berkembang akhirnya diteruskan oleh desa dan kegiatan itu dilanjutkan sampai
sekarang ini dan pemerintah daerah juga masuk untuk istilahnya memperbesar kegiatan
ini agar semakin berkembang pengunjungnya. Makam ini bahkan sudah direnofasi degan
dibantu pemerintah daerah yang mulai peduli akan adanya situs di daerah ini. Yang
datang bukan saja dari Indonesia bahkan dari luar negri Singapore, Malaysia dan Brunei.
BAB III
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan akulturasi budaya pada saat itu terjadi dengan baik, sebagai
contoh kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu-Budha terlihat pada nisan
dari makam Troloyo, pernyataan tersebut dapat dibuktikan dengan adanya lambang
kerajaan Majapahit pada salah satu nisannya. Agama islam masuk di Indonesia dengan
membawa corak-corak baru dalam budayanya yang sekarang juga mengakar pada
budaya Kejawen. Pengaruh Islam pada masa itu dibawa oleh niagawan Cina yang
beragama Islam dan singgah di kawasan Troloyo. Seperti biasa, selagi mereka berniaga,
para pedagang Cina itu juga turut mengembangkan Islam di kerajaan Majapahit.
Sehingga pada daerah Troloyo ditemukan 7 situs pemakaman yang identik dengan
lambang kerajaan Majapahit dan tatanan dari makam yang berupa Lengkung Kurawal
yang tidak asing lagi bagi kesenian Hindu.Kedatangan Syeikh Maulana Jumadil Kubro di
Troloyo memiliki tujuan untuk menyebar luaskan ajaran islam yang notabene waktu itu
masyarakat Trowulan menganut agama Hindu-Budha.
Dengan cara halus yaitu dengan membantu permasalahan di kerajaan Majapahit
serta masyarakat lingkungan kerajaan islam mulai diterima dan tidak sedikit yang
mengikuti ajaran yang dibawa oleh Syeikh Maulana Jumadil Kubro. Dampak terhadap
masyarakat dengan masuknya agama Islam antara lain mengubah pola pikir masyarakat
yang awalnya berdasarnya magis mulai berubah menjadi pola piker islam walaupun tidak
sepenuhnya menghilangan pola pikir lama dan proses dari semua itu tidak cepat. Dengan
nama besar ulama-ulama yang dimakamkan di Troloyo membuat masyarakat
beranggapan bahwa dibalik nama besar ulama pasti memiliki kekuatan magis masing-
masing yang dipercaya masyarakat setempat maupun peziarah yang berkunjung. Cerita
yang beredar di masyarakat dari dahulu hingga sekarang mengakar sebegitu kuat, itu
semua juga karena adanya kedatangan tokoh penting Indonesia untuk berziarah yang
membuat masyarakat semakin meyakini mitos tersebut.
LAMPIRAN
Hasil wawancara dengan Bapak Darsono selaku Juru Kunci Makam Troloyo
S : Sejak kapan makam ini ada dan peziarah itu sendiri berasal dari mana?
D : Peziarah yang datang ke makam ini bukan hanya dari sekitar daerah Mojokerto
saja, tetapi juga banyak dari luar kota bahkan hingga orang yang berasal dari
luar Pulau Jawa datang untuk berziarah di sini
S : Apa bapak sendiri juga sering malakukan ziarah di makam ini?
D : Saya biasanya datang untuk ziarah dua hari Sabtu sekali, itu dilakukan saat
kepentingan jamaah. Namun untuk kepentingan pribadi, jika ada waktu luang
saat malam hari
S : Apakah ada batasan waktu berziarah di makam ini?
D : Makam Troloyo selalu dibuka 24 jam dan selalu ramai didatangi pengunjung
terutama pada hari besar Islam dan malam Jumat Legi dan malam Jumat
Kliwon
Hasil wawancara dengan Bapak Joko selaku Peziarah
Wawancara dengan Bapak Darsono (juru kunci Makam Troloyo) pada hari Kamis, 12 Mei
2016 pukul 22.30 WIB
Wawancara dengan Bapak Dwi Prabowo (Peziarah makam Djumadil Kubro) pada hari
Kamis, 12 Mei 2016 pukul 22.30 WIB
Wawancara dengan Bapak Joko (Peziarah makam Kencono Wungu) pada hari Kamis, 12 Mei
2016 pukul 22.45 WIB
b. Di Jawa Timur candi berada di belakang berkaitan dengan kondisi politiknya yang
lebih mengutamakan usaha ekspansifnya meliputi: Penataran, Gapura Bentar (tidak
memiliki atap), Gapura Paduraksa (memiliki atap), bangunan suci; berbahan dasar batu
bata merah; konsepnya cenderung Hindu dengan bercirikan terdapat tiga tingkatan
candi-candi kecil yang menggambarkan tiga dunia yaitu burloka, buvarloka, dan
swaloka, masing-masing candinya berjumlah 5 yang merupakan 5 unsur alam (panca
mahabuta). Atap dari candi di Jawa Timur merupakan perpaduan dari beberapa
tingkatan, tidak ada mekara dan pintu serta relung hanya ambang, relief dari candi
Jawa Timurpun timbul sedikit saja dan lukisannya simbolis seperti wayang, serta candi
umumnya menghadap ke Barat.
Ada beberapa situs candi di Trowulan tetapi hanya akan membahas beberapa situs saja.
Situs-situs tersebut adalah sebagai berikut:
1.Candi Brahu
Candi Brahu terletak di Dukuh Jambu
Mente, Desa Bejijong, Kecamatan
Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Nama
Brahu dihubungkan dan diperkirakan
berasal dari kata “Wanaru” atau “Warahu”,
yaitu nama sebuah bangunan suci yang
disebutkan di dalam prasasti tembaga
“Alasantan” yang ditemukan sebelah barat
dari Candi Brahu. Prasasti ini dibuat pada tahun 861 Saka atau tepatnya 939 M atas
perintah raja Mpu Sindok dari Kahuripan. Ada yang berpendapat bahwa Candi Brahu
merupakan bangunan suci yang dibangun oleh Mpu Sindok sebagai wujud pemindahan
ibukota dari Tamyang (Nganjuk) ke Trowulan. Sebelum berpindah dari ibukota dari
Tamyang ke Trowulan ibukota kerajaan dipindahkan terlebih dahulu di Surabaya
tepatnya di bantaran sungai Porong.
Berkaitan dengan sungai Porong, Airlangga pernah membagi kerajaan menjadi dua
yaitu
Jenggala yang beribukota di barat Brantas atau dinamakan Dahanapura/Kediri.
Dinamakan Dahanapura karena kota tersebut pernah dibakar oleh Airlangga karena di
kota tersebut telah terjadi wabah dan penduduk kota tersebut diungsikan oleh
Airlangga. Filosofi Dahanapura belum diketahui karena pada masa Kediri terdapat
bahasa yaitu Kediri kuadrat yang terkenal pada masa Jayabaya.
Panjalu beribukota di Timur Brantas (Tarik Sidoarjo Porong).
Pada awalnya Airlangga memberikan tahta mahkota kepada dewi Kili Suci. Akan
tetapi Dewi Kili Suci tidak mau karena dia seorang perempuan sehingga dia memilih
menjadi seorang pertapa yang akhirnya melahirkan agama Karsyan.
Candi Brahu merupakan candi Budha, hal didasarkan oleh adanya penemuan-
penemuan di sekitar kompleks candi yang semuanya menunjukkan ciri-ciri ajaran Budha.
Walaupun tak satupun arca Budha yang didapati di sana, namun gaya bangunan serta
profil atas stupa yang terdapat di sisi tenggara atap candi menguatkan dugaan bahwa
Candi Brahu memang merupakan candi Budha.
Sebagaimana umumnya bangunan purbakala lain ditemukan di Trowulan, Candi
Brahu juga terbuat dari bata merah dengan sistem gosok. Akan tetapi, berbeda dengan
candi yang lain, bentuk tubuh Candi Brahu tidak tegas persegi melainkan bersudut
banyak, tumpul dan berlekuk. Bagian tengah tubuhnya melekuk ke dalam seperti
pinggang. Lekukan tersebut dipertegas dengan pola susunan batu bata pada dinding barat
atau dinding depan candi. Atap candi juga tidak berbentuk prisma bersusun atau segi
empat, melainkan bersudut banyak dengan puncak datar.
Kaki candi dibangun bersusun dua, kaki bagian bawah setinggi sekitar 2 m
mempunyai tangga di sisi barat, menuju ke selasar selebar sekitar 1 m yang mengelilingi
tubuh candi. Dari selasar pertama terdapat tangga setinggi sekitar 2 m menuju ke selasar
kedua. Di atas selasar kedua inilah berdiri tubuh candi. Di sisi barat, terdapat lubang
semacam pintu pada ketinggian sekitar 2 m dari selasar kedua. Diduga dahulu terdapat
tangga naik dari selasar kedua menuju pintu di tubuh candi, namun saat ini tangga
tersebut tidak ada lagi, sehingga sulit bagi pengunjung untuk masuk ke dalam ruangan di
tubuh candi. Di kaki, tubuh maupun atap candi tidak didapati hiasan berupa relief atau
ukiran. Hanya saja susunan bata pada kaki, dinding tubuh dan atap candi diatur
sedemikian rupa sehingga membentuk gambar berpola geometri maupun lekukan-
lekukan yang indah.
2. Gapura Bajangratu
Gapura Bajangratu merupakan
gapura yang berbentuk paduraksa
(gapura yang memiliki atap). Gapura ini
berbahan utama dari batu bata merah
dan batu andesit sebagai peyangga atap.
Tangganya terdiri dari perpaduan antara
bata merah yang terletak di bawah
dengan batu andesit yang diletakkan di
atas bata merah. Hal ini berkaitan
dengan meresapnya bata merah terhadap air karena Gapura Bajangratu merupakan
tempat suci maka bangunan ini tidak boleh sampai tergenang oleh air. Arkeolog Sri
Soeyatmi Satari menduga nama Bajangratu ada hubungannya dengan wafatnya raja
Jayanegara yaitu raja kedua dari Majapahit, karena kata “bajang” berarti kerdil atau
kecil. Menurut kitab Pararaton dan cerita rakyat, Jayanegara dinobatkan tatkala masih
berusia bajang atau masih kecil, sehingga gelar Ratu Bajang atau Bajangratu melekat
padanya. Tetapi ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa nama Bajangratu
melekat pada diri Jayanegara karena di Majapahit hanya dia satu-satunya raja yang
meninggal dalam usia muda yaitu pada tahun 1328 Masehi tanpa seorang istri dan
seorang anak. Gapura Bajang Ratu memiliki tiga fungsi yaitu sebagai berikut:
a. Sebagai pintu masuk ke bangunan suci
b. Sebagai tempat untuk memperingati wafatnya raja Jayanegara pada tahun 1328
Masehi
c. Sebagai tempat untuk mengadakan untuk mengadakan upacara Sradha yaitu upacara
untuk memperingati wafatnya raja setelah 12 tahun.
Gapura Bajangratu mengahadap ke timur-barat dengan bentuk dan hiasan di sisi
utara dan dan selatan yang dibuat mirip dengan kedua sisinya. Di sebelah kanan dan kiri
Gapura Bajangratu terdapat sayap yang melambangkan sebagai pelepasan arwah. Pada
masing-masing sisi yang mengapit anak tangga terdapat hiasan singa dan binatang
bertelinga panjang. Pada dinding kaki candi, mengapit tangga, terdapat relief Sri Tanjung
yang menceritakan mengenai Dewi Uma yang dituduh selingkuh oleh suaminya
kemudian dia bunuh diri dan sebelum bunuh diri dia berpesan bahwa apabila darahnya
masuk ke dalam air yang berbau amis maka dia terbukti berselingkuh tetapi jika
darahnya masuk ke dalam air yang wangi maka dia tidak terbukti berselingkuh, karena
dia belum waktunya untuk meninggal oleh Wisnu yang di dalam relief tersebut berwujud
ikan maka Dewi Uma dititiskan ke dunia. Kemudian di kiri dan di kanan dinding bagian
depan, mengapit pintu, terdapat relief Ramayana yang digambarkan dengan seekor kera
yang membunuh raksasa, kera itu Hanoman sedangkan raksasa itu adalah Rahwana. Di
pintu candi terdapat relief kepala Kala yaitu binatang untuk menolak roh jahat. Relief
kepala Kala ini dengan sikap tangannya mudra yaitu sikap tangan dan ibu jari yang
diindikasikan bahwa di dunia ini hanya ada dua pilihan yaitu baik dan buruk. Ada
beberapa perbedaan antara Kala di Jawa Timur dan di Jawa Tengah yaitu sebagai
berikut:
a) Kala di Jawa Timur lengkap dengan dagu sedangkan di Jawa Tengah hanya sampai
pada bagian rahang. Perbedaan ini dapat dilihat dalam gambar di bawah ini
Kala Jawa Timur Kala Jawa Tengah
b) Kala di Jawa Timur terpisah dengan makara sedangkan di Jawa Tengah Kala menjadi
satu dengan makara maka dari itu sering dinamakan Kalamakara.
Berkaitan dengan fungsinya sebagai pintu masuk ke bangunan suci sampai
sekarang belum ada penemuan bangunan suci untuk pendharmaan raja Jayanegara di
sekitar Gapura Bajang Ratu. Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa Gapura ini
sudah mewakili bangunan suci. Hal ini berkaitan dengan adanya kesamaan bangunan
Gapura Bajang Ratu dengan yang ada di Bali yaitu Kori Agung yang berfungsi sebagai
penghubung antara bangunan utama dan bangunan depan. Ada juga yang berpendapat
bahwa Gapura Bajangratu ini belum selesai, hal ini dikaitkan dengan adanya beberapa
kolom yang masih kosong di bagian sisi candi yang biasanya dijadikan sebagai tempat
untuk relief.
3. Gapura Wringin Lawang
Gapura Wringin Lawang merupakan
gapura yang berbentuk bentar atau gapura
yang tidak memiliki atap. Gapura Wringin
Lawang berorientasi mengarah ke Gunung
Penanggungan. Hal diakibatkan karena dalam
Kitab Tantu Pagelaran disebutkan gunung
Himalaya seolah-olah dipindahkan ke pulau
Jawa kemudian dipindah-pindah dari Jawa
Barat ke Jawa Timur hingga akhirnya ujungnya bertemu di Penanggungan di mana
Penanggungan merupakan gunung yang paling ujung dan dianggap sebagai tempat
bersemayamnya para dewa. Gapura ini berfungsi sebagai pintu masuk menuju kompleks
bangunan suci. Para peneliti memperkirakan gapura ini dibangun pada abad ke 14.
Masyarakat biasa menyebutnya gapura lanang dan wadon.
4. Candi Tikus
Candi Tikus merupakan bangunan petirtaan. Hal ini terlihat dari adanya miniatur
candi di tengah bangunannya yang melambangkan Gunung Mahameru, tempat para dewa
bersemayam dan sumber segala kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari
pancuran-pancuran/jaladwara yang terdapat disepanjang kaki candi. Air ini dianggap sebagai
air suci Amrta, sumber segala kehidupan.
Candi Tikus ditemukan pada tahun 1914 oleh seorang penduduk yang kemudian
dilaporkan kepada Bupati Mojokerto saat itu, yaitu R.A.A. Kromodjojo Adinegoro.
Penemuan tersebut diawali dengan laporan penduduk bahwa di daerah tersebutterjangkit
wabah tikus yang bersarang disebuah gundukan. Ketika gundukan dibongkar ternyata di
dalamnya terdapat sebuah candi yang kemudian disebut Candi Tikus. Karena sejarah
penemuan inilah hingga sekarang banyak petani, baik dari daerah sekitar Mojokerto maupun
luar kota yang sawahnya diserang hama tikus dating ke tempat ini untuk memperoleh air
candi yang dipercaya dapat mengusir hama tikus.
Bangunan Candi Tikus berdiri pada permukaan tanah yang lebih rendah dari daerah
sekitarnya, yaitu lebih kurang sedalam 3,5 m. Oleh karena itu, untuk mencapai lantai dasar
candi harus menuruni tangga masuk yang berada di sisi utara yang merupakan pintu masuk
candi. Orientasi Candi Tikus adalah menghadap ke uatara dengan azimut 200.
Candi Tikus berdenah bujur sangkar dengan ukuran 22,5 x 22,5 m, serta tinggi dari
lantai sampai puncak candi adalah 5,20 m. Bahan bangunannya didominasi oleh bata, sedang
batu andesit digunakan untuk pancurannya. Dinding Candi Tikus dibuat berteras untuk
menahan tanah sekitarnya. Pada dinding bagian bawah serta batur candi inilah terdapat
pancuran yang seharusnya berjumlah 46 buah, namun kini tinggal 19 buah, sementara yang
lain tersimpan di Museum Trowulan. Adapun bentuk jaladwara/pancurannya ada dua macam
yaitu padma/lotus dan makara. Makara merupakan perubahan bentuk tunas-tunas yang keluar
dari bonggol teratai, sedangkan padma merupakan teratai itu sendiri.
Pada dinding utara bagian bawah di kiri-kanan tangga masuk terdapat bilik berupa
kolam berukuran sama: panjang 3,5 m, lebar 2 m dan tinggi 1,05 m. pintu masuknya
mempunyai tangga, terletak di dinding sebelah selatan berukuran lebar 1,2 m. Dinding utara
kolam terdapat pancuran masing-masing berjumlah 3 buah.
Seluruh pancuran air dahulu mendapat pasokan air melalui saluran yang terdapat
dibagian selatan, yaitu di belakang candi induk, sementara saluran pembuangan terletak di
lantai dasar. Bangunan induk terletak di tengah, kakinya menempel pada teras bawah dinding
selatan. Struktur bangunan induk terdiri dari kaki, tubuh dan atap. Kaki candi berdenah segi
empat berukuran panjang 7,75 m, lebar 7,65 m dan tinggi 1,5 m. Pada bagian kaki ini
terdapat saluran air tertutup mengelilingi kaki, lebar 17 cm dan kedalaman 54 cm, berguna
untuk memasok air ke pancuran-pancuran di sepanjang kaki candi.
Tubuh candi berdenah bujur sangkar berukuran 4,8 x 4,8 m. Di sisi barat, utara dan
timur menempel pada bagian luar tubuh candi terdapat menara semu, masing-masing
berjumlah 5 buah. Di atas tubuh candi terdapat 4 buah menara berukuran 0,84 x 0,80 terletak
pada tiap sudutnya. Menara yang paling besar berdiri di tengahnya berukuran 1 x 1,04 m
serta tinggi 2,76 cm. Kepuncak menara-menara ini telah hilang, hingga tidak diketahui
dengan pasti bentuknya. Menara-menara ini melambangkan Gunung Mahameru sebagai pusat
makro kosmos. Candi Tikus dipugar pada Tahun Anggaran 1984/1985 sampai dengan
1988/1989. Tentu, pemugaran ini dilakukan dengan ekstra hati-hati agar tak berseberangan
dengan tampilan asli. Kini, masyarakat bisa melihat Candi Tikus sebagai aset wisata sejarah
yang kaya sentuhan estetika.
Candi Tikus diperkirakan dibangun pada abad ke-13 atau abad ke-14. Candi ini
dihubungkan dengan keterangan Mpu Prapanca (1385 M) dalam kitab Nagarakretagama,
bahwa pada pupuh 27 dan 29 menyebutkan adanya tempat untuk pemandian (petirtaan) raja
yang dikunjungi Hayam Wuruk dan keterangan yang menyebutkan adanya upacara-upacara
tertentu yang dilaksanakan di kolam-kolamnya. Arsitektur bangunan melambangkan kesucian
Gunung Mahameru sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Menurut kepercayaan Hindu,
Gunung Mahameru merupakan tempat sumber air Tirta Amerta atau air kehidupan, yang
dipercaya mempunyai kekuatan magis dan dapat memberikan kesejahteraan, dari mitos air
yang mengalir di Candi Tikus dianggap bersumber dari Gunung Mahameru.
MUSEUM MAJAPAHIT
Di museum Majapahit terdapat berbagai macam jenis peninggalan pada masa kerajaan
Majapahit, seperti peninggalan dari tanah liat, batu, dan logam. Di bagian pintu masuk
museum kita akan melihat peta yang menggambarkan pemukiman Majapahit beserta tempat-
tempat peninggalannya; dan terdapat peta kanal-kanal Majapahit yang memiliki ukuran yang
macam-macam, dugunakan sebagai irigasi, tranportasi perdagangan, dan pertahanan. Juga
terdapat kesenian yang menjadi ciri khas Majapahit yaitu Surya Majapahit, yang
diimplementasikan menjadi lambang kerajaan Majapahit. Dalam sistem lokapalaka
diimplementasikan dalam dewatanawasanga, yaitu 8 dewa minor yang mengelilingi Siwa
sebagai sentral, Wisnu terletak disebelah utara, dan Brahma disebelah selatan. Surya
Majapahit letaknya berada di atap candi dan dibawahnya terdapat lingga-yoni. Terdapat
gambaran situs peninggalan Majapahit, seperti Candi Brahu, petirtaan Candi Tikus, gapura
Candi Bajang Ratu, pemukiman Kedhaton, Candi Wringin Lawang, dll.
KOLEKSI LOGAM
Kesenian yang terdapat di Majapahit seperti seni kriya, seni tempa, dan seni cetak. Di dalam
koleksi logam ini dapat ditemukan berbagai macam koleksi yang digunakan untuk upacara
keagamaan, kehidupan sehari-hari, pertunjukkan. Kesenian di Majapahit berhubungan
dengan tiga hal yaitu agama, sosial, dan ekonomi. Koleksi Benda Cagar Budaya berbahan
logam yang dimiliki Pusat Informasi Majapahit dapat diklasifikasikan dalam beberapa
kelompok seperti: koleksi mata uang kuno, koleksi alat-alat upacara seperti bokor, pedupaan,
lampu, cermin, guci dan genta serta koleksi alat musik.
a. Blencong merupakan tempat lampu sorot dalam pertunjukkan wayang kulit (waringgit
atau haringgit), yang biasanya berupa gunungan atau garuda.
b. Lampu, digunakan sebagai alat penerangan dan untuk kegiatan upacara keagamaan,
terbuat dari perunggu dan bahan bakar yang digunakan adalah minyak dari jarak dan
kelapa.
c. Hiasan pintu, motif yang paling banyak ditemukan adalah flora dan fauna. Flora dan
fauna menggambarkan konsep kosmolodi, yaitu perpaduan antara mikrokosmos dan
makrokosmos (penggabungan antara dunia manusia dan alam semesta).
d. Perlengkapan binatang, yang digunakan sebagai hiasan untuk binatang sapi, kuda, dan
lain-lain.
e. Pendukung keseharian, biasanya terbuat dari tanah liat tetapi juga ada yang terbuat
dati logam seperti sendok sayur, gayung, dan teko yang digunakan sebagai pendukung
keseharian masyarakat Majapahit.
f. Uang logam, digunakan sebagai pendukung perekonomian masyarakat Majapahit.
Terdapat tiga jenis uang logam yaitu kepeng merupakan mata uang yang berhubungan
dengan Cina dan paling banyak digunakan dengan bukti dominasi penemuan puluhan
ribu bahkan ratusan ribu uang kepeng di daerah Trowulan; gobok merupakan mata
uang lokal yang besar dengan motif wayang kulit; dan ma merupakan mata uang yang
berhubungan dengan Cina tetapi penggunaannya lebih sedikit dibangding uang
kepeng. Dan ketiga jenis mata uang tersebut semua berlaku di Majapahit sebagai alat
pembayaran yang sah.
g. Alat perhiasan menandakan bahwa masyarakat Majapahit tingkat sosialnya tinggi.
h. Prasasti alasantan, ditemukan di dekat candi Bhrau ditulis pada masa Mpu Sindok
yang berangka tahun 939 M, terbuat dari perunggu ditulis dengan huruf Jawa Kuno
dan digunakan dalam acara keagamaan seperti pemujaan. Isinya berupa pembebasan
pajak tanah sima.
i. Alat musik, digunakan sebagai sarana upacara keagamaan dan pertunjukkan
sendratari.
j. Keris merupakan senjata tradisional yang digunakan masyarakat Majapahit, dan
terkenal pada abad ke 13-15. Juga terdapat parang dan bilah tombak.
k. Sarana upacara agama. Terdapat pedupaan; bejana berkaki (untuk membakar dupa);
dewi tara (konteks Budha sebagai media pemujaan); cermin (untuk upacara
keagamaan), tidak memiliki kaca sehingga apabila digunakan untuk berhias hanya
digosokkan sehingga mengkilat karena terbuat dari perunggu yang mudah mengkilat;
genta (untuk mengiringi pembacaan mantra atau doa).
l. Sumur, terdapat 3 jenis sumur di Majapahit yaitu jobong (untuk irigasi), datar
langsung (untuk sehari-hari), dan kotak (terletak didekat bangunan suci, untuk acara
keagamaan).
m. Ilmu astronomi. Masyarakat Majapahit sudah mengenal ilmu astronomi, di
masyarakat Jawa dalam menghitung tahun saka menggunakan rasi bintang. Sehingga
dapat dilihat pengetahuan masyarakat sudah tinggi.
Dalam masyarakat Majapahit mengenal empat agama yang berkembang yaitu Hindu, Budha,
Karsyan, dan Islam. Dalam kitab Negarakertagama di Majapahit hanya mengenal tiga agama
saja yaitu Hindu, Budha, dan Karsyan. Karsyan atau resi merupakan agama yang melakukan
pertapaan, dalam perkembangannya menjadi lairan kepercayaan kejawen. Dalam pararaton di
Majapahit sudah mengenal agama Islam sehingga jumlah agama yang berkembang ada 4
macam. Dalam agama Hindu terdapat lembaga yang bertanggung mengurusi agama yaitu
Dharmadyaksaring Kasaiwan, sedangkan dalam agama Budha terdapat Dharmadyaksaring
Kasogatan. Dalam agama resi terdapat saptaresi (7 orang yang menyebarkan agama), salah
satunya arkasia (Siwa sebagai mahaguru) sehingga menghadap ke selatan. Agama resi ini
bermula dari Dewi Kilisuci (anak Airlangga) yang menolak doberi tahta oleh ayahnya,
sehingga bertapa di gua selopangleh Kediri dan lahirlah karsyan.Islam berkembang di
Majapahit dengan bukti ditemukakannya makam tujuh pada abad ke 14 nisan berangka tahun
1937 Saka. Sehingga kerajaan Majapahit menjadi kerajaan multikultur.
KOLEKSI ISLAM
a. Nisan Siti Fatimah binti Maimun yang berangka 1802 M, menggunakan huruf suffi
terjemahan tulisan dalam surat Ar Rohman ayat 27-29, berasal dari Timur Tengah.
Masyarakat di Majapahit dibagi dalam tiga macam yaitu pribumi yang beragama
Hindu-Buddha, Thionghoa yang beragama Islam dan Timur Tengah yang beragama
Islam.
b. Terdapat gambaran atau potret masyarakat pada masa Majapahit yang
menggambarkan kehidupan masyarakat yang ditemukan di Trowulan.
c. Nisan Troloyo yang terdapat kalimat syahadat atau toyyibah, lambang surya
majapahit, dan angka tahun Jawa, tidak dituliskan nama sehingga aliran agama Islam
yang berkembang adalah hanafi.
d. Prasasti dari kayu, piring, logam dan keramik. Prasasti merupakan dokumen yang
dituliskan pada lempengan-lempengan tertentu, bertulis dengan huruf Jawa Kuno atau
Pallawa yang memuat aturan perundang-undangan. Prasasti pada abad 4-7
menggunakan huruf pallawa, abad 7-14 menggunakan huruf Jawa Kuno, dan bahasa
yang digunakan adalah Kawi, jawa Kuno, dan Sansekerta.
Gb. Arca Dewa Surya dan Nadiswara Gb. Arca perwujudam Dewa Siwa
Gb. Arca Dewa Ganesha Gb. Arca Dewi Tara Gb. Sapta Resi
Selain arca para dewa, terdapat arca terakota yang merupakan arca terakota laki-laki
dan perempuan. Keduanya menggambarkan keadaan laki-laki dan perempuan zaman
Majapahit, baik berupa tatanan rambut, pakaian, dan alas kaki. Bagi pakaian seorang
perempuan, dibedakan menjadi dua yaitu pakaian untuk perempuan yang belum menikah dan
sudah menikah. Jika belum menikah mereka menggunakan kemben dan yang sudah menikah
menggunakan kemben yang disertai kain. Bentuk rambut juga berbagai macam, ada yang
sanggul samping ada juga yang sanggul tengah. Perempuan sering menggunakan perhiasan
sebagai status mereka. Sedangkan laki-laki, tidak ada perbedaan antara laki-laki yang sudah
menikah dan yang belum, pakaian biasanya berbeda karena kedudukan pangkat mereka.
Laki-laki yang bekerja sebagai tentara perang berbeda dengan laki-laki yang berprofesi
sebagai pengraji, dan lain sebagainya.
Selain arca terakota laki-laki dan perempuan, terdapat pula arca terakota wajah orang
asing dan anak-anak. Majapahit adalah negara agraris dengan sektor perdagangan yang maju,
sehingga tidak heran jika Majapahit didatangi para pedagang asing dari berbagai negara,
mulai dari Cina, Arab dan India. Maka semuanya itu diabadikan dalam arca terakota wajah
asing yang memiliki ciri fisik yang berbeda-beda. Selain terakota wajah asing, ada pula arca
terakota anak yang menggambarkan bentuk-bentuk anak zaman Majapahit dulu, bentuk muka
dan fisik anak tidak sepenuhnya suku Jawa, hal ini karena pengaruh kedatangan bangsa asing
ke tanah Majapahit. Para pedagang asing yang mengunjungi Majapahit sebagain ada yang
menetap lama di Majapahit dan ada yang tidak. Bagi mereka yang menetap lama tersebut
kemudian tinggal dan berkeluarga di tanah Jawa. Maka terjadi percampuran keturunan dari
Jawa dan warga negara Asing. Arca terakota anak sering digambarkan sebagai seorang anak
yang memiliki pipi yang besar dan berpostur gendut dengan hanya memakai celana
bertelanjang dada bagi seorang anak laki-laki, dan kemben bagi anak perempuan.
Berikut gambar arca terakota tersebut :
Gb. diding Majapahit yang diukir Gb. Jamban Air untuk alat minum
Gb. ventilasi udara yang diukir Gb. tempayan sebagai wadah air Gb. hiasan rumah
Situs Lantai Segi Enam yang terletak di Dusun Kedaton, Sentonorejo, Trowulan,
Mojokerto, Jawa Timur.
Diperkirakan situs ini adalah bagian dari pemukiman di masa Kerajaan
Majapahit.Selain itu, ditemukan pula dinding-dinding bangunan yang diperkirakan menjadi
sebuah rumah tinggal pada masa Majapahit. Situs ini berada di bawah tanah. Jika dilihat dari
bentuknya, kemungkinan besar berbeda dengan yang ada di dekat museum Majapahit.
Sumber:
I Made Kusumajaya, dkk. Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan.
Museum Trowulan: Mojokerto.
http://jejak-bocahilang.com, diakses tanggal 3 juni 2016, pukul 14.00 WIB
http://setapakkecil.com. diakses tanggal 3 juni 2016, pukul 14.10 WIB
https://kabuttipisblog.wordpress.com/2015/11/16/masa-majapahit-sudah-gunakan-tegel-segi-
enam/diakses tanggal 3 juni 2016, pukul 19.10 WIB