Anda di halaman 1dari 2

Nama : Galih Wisnubrata

NIM : C0514022

Review Buku Perlawanan Kaum Petani

Judul : Perlawanan Kaum Tani

Pengarang : James. C. Scott

Penerjemah : Sajogyo

Tahun Terbit : 1993

Penerbit : Yayasan Obor Indonesia

Perlawan sehari hari petani adalah bentuk paling umum dari bentuk perlawanan dari
penindasan. Ini terdiri dari ketidakpatuhan, pencurian, pura-pura tidak tahu, fitnah, pembakaran,
sabotase, dll. Buku Perlawanan Kaum Tani mengusung tema serupa dengan buku sejatanya
orang-orang kalah. Namun demikian, buku ini bukan terjemahan langsung dari buku Scott,
melainkan terjemahan kumpulan artikel Scott yang disunting oleh Prof. Sajogyo. Ia
membuktikan bahwa apa yang disebut sebagai ‘kepasrahan kaum tani’ bukanlah benar-benar
kepasrahan, melainkan aksi-aksi perlawanan anonim dalam diam yang berlangsung setiap
harinya, yang bahkan telah menjadi suatu subkultur. Dan bahkan setelah kedatangan kolonial
para petani merubah bentuk perlawananya dari yang semula hanya dalam bentuk yang “halus”
berubah menjadi sebuak bentuk yang radikal. Pembrotakan-pembrontakan tersebut biasanya di
pimpin oleh elit-elit petani seperti kaum ulama. Sehingga jika dalam buku senjata orang-orang
kalah perlawanan kaum tani masih dalam bentuk yang tidak terstruktur sedangkan setelah petani
mendapat pemimpin mereka sudah tidak lagi melakukan secara sendiri-sendiri tetapi lebih
terorganisir.

Hubungan patron-klien menjadi lebih rumit, dikarenakan petani yang dulunya terlindungi
oleh hak lungguh berubah dengan adanya pembayaran upah dan pajak dan disini patron lebih di
untungkan. Selain itu adanya kewajiban menggarap lahan di luar lahan garapan petani juga
menambah beban petani. Petani yang dulu tidak mengenal sistim uang juga berubah dengan
datangnya kolonial. Situasi yang mengkonfrontasi masyrakat miskin di Sedaka adalah setelah
semua bagian dari perjuangan terlihat terlalu dramatis, efek perkembangan kapitalis di
pedesaan; hilangnya akses ke alat-alat produksi (proletarisasi), hilangnya pekerjaan
(marjinalisasi) dan pendapatan, dan hilangnya apa rasa hormat dan diakuinya klaim sosial yang
yang lebih rendah dari sebelumnya. Jika demikian, para petani miskin Sedaka menemukan
dirinya banyak dibedakan dari kaum masyarakat lain. Hambatan tenang petani miskin dalam
kasus ini dapat ditelusuri ke dua alasan: satu menyangkut sifat perubahan berhadapan dengan
orang miskin serta sifat komunitas mereka sementara kekhawatiran lain efek dari penindasan.
Bentuk perlawanan di Sedaka mencerminkan kondisi dan keterbatasan yang ditimbulkan oleh
kolonial.

Ketika para petani tidak mempunyai kekuatan untuk radikal, mereka cenderung
melakukan perlawanan pasif yaitu melarikan diri ke tempat yang baru atau tidak terjangkau,
melakukan pembakaran dan bumi hangus, melakukan penyamunan terutama pada orang-orang
kaya dan elit sampai penghindaran pajak.

Anda mungkin juga menyukai