Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KEGIATAN KULIAH KERJA LAPANGAN

Dosen Pembimbing : Yedi Efriadi, M.Ag

Kelompok 2 :

1. Khusni Arrakhman 7. Nimas Caesara


2. Musthofia Ulfah 8. Saeful Bahri
3. Khumaeroh 9. Rizki Baehaqi
4. Wafirotul Laila 10. Indah Suryani
5. Erinda Rizka Khaolina 11. Reza Darul Arkam
6. Firda Nur Wakhida

AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2021
A. SITUS TROWULAN

Sejarah situs Trowulan

Situs Trowulan merupakan situs kota (town site, city site atau urban site) yang pernah ditemukan
di Indonesia. Situs yang diduga bekas pusat kerajaan Majapahit ini memiliki luas 11 x 9 Km.
meliputi wilayah kabupaten Mojokerto dan kabupatenJombang. Di kawasan itu terdapat
tinggalan-tinggalan arkeologi yang ditemukan dalam jumlah yang cukup besar dan jenis temuan
yang beraneka ragam. Dari bangunan yang bersifat monumental, seperti candi, petirtaan, pintu
gerbang, fondasi bangunan sampai yang berupa artefak, seperti arca, relief, benda alat upacara,
alat rumah tangga, dll. Peninggalan kuno tersebut telah menarik begitu banyak ahli untuk
meneliti. Peneliti pertama tercatat tahun 1815 adalah Wardenaar yang atas perintah Raffles
melakukan penelitian di daerah Trowulan. Hasilnya terdapat dalam buku “History of Java”
karangan Raffles yang terbit tahun 1817. Peneliti berikutnya adalah WR van Hovell (1849), JFG
Brumund (1854) dan Jonathan Rigg yang hasilnya terbit dalam“Jurnal of The Indian Archipelago
and Eastern Asia”. Pada tahun 1914 R.A.A. Kromojoyo Adinegoro Bupati Mojokerto berhasil
menemukan candi Tikus. Beliau juga merintis pendirian museum Mojokerto dengan koleksi
benda-benda yang berasal dari kerajaan Majapahit yang ditemukan di Trowulan.Kantor
penelitian khusus situs Trowulan juga didirikan oleh Henri Maclaine Pont, seorang insinyur
perkebunan yang punya perhatian besar terhadap kepurbakalaan. Hasil penggalian yang
dilakukan sejak tahun 1921 – 1924 dicocokkan dengan uraian dalam kitab Negarakertagama dan
membuahkan sketsa rekonstruksi Kota Majapahit. Pada era kemerdekaan kegiatan penelitian
dilakukan oleh Dinas Purbakala dan Peninggalan Nasional seksi bangunan di Trowulan sejak
1953. dengan disertai kegiatan pemugaran sebagai bagian dari upaya pelestarian warisan budaya.
Kehadiran Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) sejak tahun 1970 untuk
melakukan penggalian juga telah memberikan andil besar dalam mengungkap kebesaran
Majapahit. (Arnawa I.G.Bagus L, 2004:1-3).Kekayaan warisan budaya yang luar biasa tersebut
belum memperoleh peng-hargaan yang semestinya dari penduduknya. Hal ini antara lain tampak
dari perusakan situs yang diakibatkan oleh kegiatan sehari-hari penduduk. Pembuatan bata merah
dengan bahan baku tanah liat sawah telah menimbulkan kerusakan situs secara luar biasa.
Sekurangnya 300-an industri bata merah yang kini tersebar di kawasan situs Trowulan
(Mundardjito, dalam Kresno Yulianto; 2004: 7). Disamping itu kebiasaan penduduk yang
mencari emas dengan cara menggali lubang kemudian menyaring pasir (Jw. Ngendang) masih
cukup ramai dilakukan. Penggalian untuk mencari bata merah kuno untukdijadikan semen merah
juga masih berlangsung karena permintaan masih cukup tinggi, semua itu menjadi ancaman
serius bagi situs ini. Upaya pencegahan terhadap perusakan situs yang masih berlangsung hingga
saat ini harus segera dilakukan. Kegiatan masyarakat yang dinilai dapat mengancam keamanan
situs perlu segera dipikirkan penggantinya. Keamanan situs menjadi prioritas utama, namun
masyarakat tidak harus kehilangan akses ke situs. Untuk itu, kawasan yang banyak mengandung
deposit barang berharga tersebut harus dapat dimunculkan sebagai sumber daya yang dapat
memberikan manfaat secara berkelanjutan bagi masyarakat. Berkaitan dengan hal di atas,
pariwisata sebagai pilihan bentuk pemanfaatan sumber daya arkeologi merupakan hal yang
cukup menarik dan realistis untuk ditawarkan. Sebagai sistem industri, pariwisata dinilai dapat
memberikan peluang kepada banyak orang untuk berpartisipasi. Selain itu pariwisata concern
terhadap pelestarian obyek karena obyek merupakan komponen utamanya.1

Kondisi Sosial Budaya Majapahit

Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu-Buddha yang terbesar dan yang terakhir di
Jawa diperkirakan terletak di Trowulan pada masa sekarang. Negara agro-maritim ini didirikan
oleh Raden Wijaya di Desa Tarik pada tahun 1294 Masehi. Kerajaan ini berdiri selama kurang
lebih 400 tahun, dan pada waktu pemerintahan raja Hayam Wuruk (1350-1389), Majapahit
mencapai puncak kebesarannya. Namun setelah Hayam Wuruk wafat, kerajaan Majapahit
mundur karena perang perebutan tahta, dan juga karena bencana alam. Menurut penelitian,
Gunung Kelud meletus delapan - sepuluh kali pada masa itu (Sartono & Bandono 1995: 50-53).
Aspek Sosial
Pada masa Kerajaan Majapahit, kehidupan sosial di masyarakat sudah tercipta kondisi tertib,
aman, damai, dan tentram. Dengan adanya kitab kutaramanawa yang digunakan dasar hukum
Kerajaan Majapahit. Peradilan dilaksanakan secara ketat, siapa yang bersalah dihukum tanpa
pandang bulu. Oleh karena itu, tercipta ketertiban dan rakyat pun merasa aman. Kedamaian dan
ketentraman dalam kehidupan masyarakat Kerajaan Majapahit ditandai berkembanganya agama
1
Khoiril Anwar. Potensi Wisata Budaya Situs Sejarah Peninggalan Kerajaan Majapahit di Trowulan Mojokerto.
Laporan Akhir Semester. Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.2009
Hindu dan Buddha yang tumbuh bersama. Dengan kondisi kehidupan yang aman dan teratur,
maka suatu masyarakat akan mampu menghasilkan karya-karya budaya yang bermutu tinggi,
seperti beragam candi dan karya sastra.2
Kehidupan berbudaya pada masa Kerajaan Majapahit berkembang dengan baik. Hal ini
ditandai dengan menghasilkan karya-karya budaya yang bermutu tinggi. Hasil budaya Majapahit
dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yakni berupa banguanan candi dan karya sastra antara lain
sebagai berikut :
Candi
Candi Jabung di Paiton Probolinggo Jawa Timur, Candi Bajangratu di Trowulan
Mojokerto Jawa Timur, Candi Penataran di Bitar, Jawa Timur, Candi Brahu, di Trowulan
Mojokerta Jawa Timur, Candi Tikus di Trowulan Mojokerto Jawa Timur
Kitab
Kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca, Kitab Sutasoma dan Arjuna
Wiwaha karya Empu Tantular, Kitab Pararaton, tidak diketahui Penulisnya.
Agama pada Masa Majapahit

Majapahit banyak meninggalkan bangunan suci serta tempat-tempat suci lainnya, yang
merupakan sisa sarana ritual keagamaan masa itu. Di samping bangunan suci yang disebut candi,
terdapat pula pemandian suci (patīrthān) dan gua-gua pertapaan, serta beberapa pintu gerbang.
Candi-candi pada masa Majapahit ini kebanyakan bersifat agama Śiwa, hanya sedikit yang
bersifat agama Buddha, contoh candi-candi Buddha adalah Candi Jago, Candi Sanggrahan,
Candi Jabung, Candi Bhayalango. Sifat keagamaan ini kita ketahui dari ciri-ciri:
arsitektural candi, jenis arca yang ditinggalkan, serta dukungan bukti data tekstual, misalnya
Kakawin Nāgarakṛtāgama, Kakawin Sutasoma, Kakawin Arjunawijaya, Pararaton, dan
beberapa
berita dari prasasti.3

Multi-agama di Majapahit

2
Tingkatan Ii, ‘Mengenal Kejayaan Kerajaan Maritim Masa Hindu Buddha Uraian’, 2018
<http://rumahbelajar.id/Media/Dokumen/5cff79ecb646044330d686d4/c2ec00b9c77f094bf9baadbf366e4347.pdf
>.
3
Hariani Santiko, ‘Agama Dan Pendidikan Agama Pada Masa Majapahit’, Jurnal AMERTA, Jurnal Penelitian Dan
Pengembangan Arkeologi, 30.2 (2012), 128.
Berdasarkan penelitian kedua jenis data yaitu data artefaktual dan data tekstual dapat
dikemukakan, bahwa pada zaman Majapahit terdapat multi-agama. Dua agama besar yaitu
agama Siwa dari aliran Saiwasiddhanta dan agama Buddha Mahāyana, serta terdapat beberapa
aliran agama Siwa yaitu agama Siwa Bhairawa, agama Siwa yang dikembangkan oleh para ṛsi,
pemujaan lingga, kemudian terdapat pula agama Waisnawa, agama lokal, dan lain sebagainya.
Corak hindu budha
Agama Saiwasiddhanta pada awalnya berkembang di India Selatan, kemudian berkembang di
Jawa sejak pemerintahan raja Siṇḍok dari dinasti Iśana pada abad 10. Namun ajaran
Saiwasiddhanta yang berkembang di Jawa ini mempunyai banyak perbedaan dengan
Saiwasiddhanta India Selatan, karena Saiwasiddhanta di Jawa sangat dipengaruhi filsafat
Upanisad dan filsafat Samkhya (Goris 1926; Subadio 1971). Kitab ajarannya dikenal dengan
nama Tutur dan yang tertua adalah Tutur Bhuwanakosa yang disusun pada masa pemerintahan
Siṇḍok (Goris 1926; Mishra 1991).
Agama Saiwasiddhanta ini terus berkembang sampai Majapahit runtuh, dan merupakan agama
resmi kerajaan. Raja-raja Majapahit memeluk agama Saiwasiddhanta, kecuali ratu
Tribhuwanotunggadewi ibu Hayam Wuruk, memeluk agama Buddha Mahayana. Tetapi
sebaliknya agama Buddha Mahayana yang berkembang pesat di masa kerajaan Mataram Kuno,
pada periode Jawa Timur mengalami kemunduran, hal ini antara lain diperlihatkan oleh jumlah
bangunan suci agama Buddha pada masa awal periode Jawa Timur sangat jarang. Perubahan
baru terjadi pada masa Singasari, karena seorang rajanya yaitu raja Keṛtanagara yang beragama
Buddha Tantrāyana, berusaha merangkul penganut agama Siwa yang sudah tentu tidak sedikit
jumlahnya. Kṛtanagara berusaha mempertemukan agama Siwa dan agama Buddha dengan
mengembangkan konsep Śiwa-Buddha, yang mengatakan bahwa baik Śiwa, Buddha, maupun
tokoh-tokoh dewa tertinggi lainnya, sebagai Mahādewa (Kenyataan/ Realitas Tertinggi) yang
tidak berbeda karena menjadi tujuan pūja dari berbagai agama. Baik agama Śiwa maupun agama
Buddha tetap eksis dengan penganut masing-masing yang menjalankan upacara sesuai ajaran dan
aturan agama mereka, demikian pula mereka masih tetap memiliki bangunan-bangunan suci
tersendiri. Agama Śiwa dan agama Buddha menjadi agama resmi di Majapahit, 2 pejabat
keagamaan yaitu dharmādhyaksa ring kaśaiwan dan dharmādhyaksa ring kasogatan terdapat
dalam struktur birokrasi pusat kerajaan Majapahit.4

4
Santiko.
Terdapat juga agama Waisnawa yang memuja dewa Wisnu. Namun Wisnu di Jawa bukan dewa
tertinggi dan tidak pernah menjadi agama resmi kerajaan seperti halnya agama Śiwa. Wisnu
dipuja sebagai dewa pelindung (īṣṭādewatā) oleh para raja dan pahlawan, sesuai dengan tugas
Wisnu sebagai dewa pelindung dunia.
Corak Islam

Menurut Nagarakretagama, pada tahun 1365, kerajaan Campa mempunyai hubungan


persahabatan dengan Majapahit. Pada waktu itu, Campa diperintah oleh Che Bong Nga, orang
besar di Campa berkat kejayaannya dalam peperangannya melawan Dai Viet dari tahun 1361
sampai 1390. Masa pemerintahannya bertepatan dengan masa pemerintahan Dyah Hayam
Wuruk di Majapahit, yakni
dari tahun 1351 sampai 1389. Baik jalannya sejarah maupun masa keruntuhannya, kerajaan
Campa hampir mirip dengan kerajaan Majapahit. Che bong Nga digantikan oleh Ngaut Klaung
Wijaya yang memerintah Campa dari tahun 1400 sampai 1441 dan mengambil nama abhiseka
Indrawarman pada tahun 1422. Dia Berjaya menyelamatkan negaranya dari ancaman Dai Viet,
namun sepeninggalnya, timbullah perang saudara. Dalam masa tiga puluh tahun semenjak
matinya Indrawarman, Campa diperintah oleh lima orang raja dari pelbagai dinasti, ganti
berganti melalui peperangan, yang melemahkan kedudukan negara, sehingga ketika pada tahun
1471 diserang oleh bangsa Vietnam, kerajaan Campa runtuh dan sejak itu diduduki oleh bangsa
Vietnam, dan tidak pernah bangun lagi.
Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi memberitakan bahwa pada permulaan abad ke-15,
Raja Brawijaya dari Majapahit kawin dengan putri Campa, seorang Muslim, yang juga bergelar
putri Dwarawati. Karena putri Campa itu meninggal pada tahun 1448 seperti tercatat pada batu
nisannya di Trawulan maka dia meninggalkan Campa kira-kira pada zaman pemerintahan
Indrawarman. Tetapi, tak ada tanda-tanda yang menunjukkan adanya agama Islam di Campa
sebelum tahun 1471, sehingga berita tentang putri Campa di atas tidak cocok dengan epigrafi
Campa, sehingga merupakan persoalan yang tidak gampang pemecahannya. Dan yang
mendirikan dinasti Ming sejak jatuhnya dinasti Yuan pada tahun 1368, jelas menyatakan bahwa
pada tahun 1370 Campa mengadakan hubungan persahabatan dengan Cina. Hubungan
persahabatan meningkat pada permulaan abad ke-15 dalam pemerintahan Kaisar Yung-lo berkat
aktivitas duta keliling Cheng
Ho. Campa merupakan pelabuhan penting dan dijadikan pangkalan untuk melancarkan aktivitas
Cheng Ho ke daerah-daerah di Asia Tenggara. Kiranya persoalan putri Campa perlu
dihubungkan
dengan aktivitas duta keliling Cheng Ho, yang jelas seorang pemeluk agama Islam.
Masa kerajaan Majapahit (1923_1478)18 dalam konfigurasi kekhalifahan besar di dunia
Islam adalah sezaman atau berada pada masa kekhalifaan Islam di Andalusia (711-1492),
Mamalik di Mesir (1250-1517), Safawi di Iran (1252-1736), Mughol di India (1482-1858), dan
Utsmani di Turki (1290-1924). Sementara itu kerajaan-kerajaan Islam yang berada di Nusantra
dan sezaman dengan masa Majapahit adalah Samudra Pasai (1207-1524). Hal tersebut penting
dikemukakan, karena erat kaitannya dengan aspek dan variabel masuknya Islam ke Majapahit
(Jawa) dan pola pendidikan Islam yang akan dibahas nanti. Karena disinyalir komunitas Islam
telah berada di dalam lingkar kekuasaan kerajaan Majapahit pada akhir abad ke-13, ditandai
dengan banyaknya
makam Islam di Tralaya (sebelah selatan bekas istana Majapahit) nisan tertua bertahun 1376 dan
nisan termuda 1611. Meski begitu, sangat sedikit sekali ilmuwan atau sumbersumber lain yang
membicarakan secara khusus pendidikan Islam pada masa Majapahit. Bagaimana pendidikan
tersebut memproduk kader ulama dan kader politisi dalam menjaga keberlangsungan Islam dan
merubah karakter kawula Majapahit dari Hindu-Budha dan memberi nilai Islam.
Mengingat masa akhir kerajaan Majapahit merupakan titik balik dari kerajaan-kerajaan di
Nusantara yang tergabung dalam satu hegemoni panji Majapahit menjadi kerajaan-kerajaan kecil
yang berdiri sendiri-sendiri, demikian pula masa akhir kerajaan Majapahit merupan titik balik
dari kerajaan-kerajaan di Nusantara yang banyak bercorak Hindu-Budha menjadi kerajaan-
kerajaan bercorak Islam.5

Kondisi Geografis
Trowulan, sebuah desa yang terletak sekitar 10 km di sebelah barat daya kabupaten Mojokerto,
propinsi Jawa Timur, oleh kalangan ahli arkeologi dianggap sebagai bekas pusat kerajaan
Majapahit. Anggapan tersebut belum dapat dinyatakan secara lebih tegas, namun dapatlah
dinyatakan bahwa pada suatu kurun waktu tertentu, Trowulan pernah menjadi pusat dari kerajaan

5
Raden Wijaya. Pendidikan Islam Masa Majapahit Dan Dakwah Syekh Jumadil Kubro. Jurnal Pendidikan Agama
Islam Volume 03, Nomor 01, Mei 2015 Hal 58-80
Tersebut. Anggapan bahwa Trowulan adalah bekas pusat kerajaan Majapahit juga didasarkan
pada banyaknya temuan yang berupa fondasi, candi dan gapura, saluran air berikut waduknya,
umpak
Batu, serta barang pakai sehari-hari seperti: tembikar, keramik, koin, bandul jala dan lain-lain.
Temuan seperti itu ternyata memiliki jangkauan sebaran yang sangat luas bukan hanya sebatas
wilayah Trowulan, tetapi sampai Bekek di sebelah utara, Pakis di selatan, Brangkal di timur dan
Jombang di sebelah barat.
Situs Trowulan saat ini termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Trowulan dan
Kecamatan Sooko. Kabupaten Mojokerto, Propinsi Jawa Timur. Luasnya Situs Trowulan
menyebabkan para ahli arkeologi dan sejarah kuno Indonesia percaya bahwa di tempat tersebut
dahulu pernah berdiri kota yang relatif besar dari periode Majapahit. Temuan arkeologi yang
dijumpai tersebar luas di dalam wilayah situs mengarah pada suatu kesimpulan bahwa situs
Trowulan dahulu merupakan pemukiman, semacam kota besar pada masanya. Penentuan letak
ibu kota Majapahit ini juga diungkapkan oleh Slamet Muljana bahwa pada tahun 1416 seorang
ulama Cina bernama Ma Huan ikut serta dalam rombongan Laksamana Cheng Ho yang
berkunjung ke Majapahit. Dalam karyanya yang berjudul Ying-yai Sheng-lan, Ma Huan
menyajikan uraian geografi tentang empat kota utama di Majapahit yakni Tuban, Gresik,
Surabaya dan Majapahit. Keterangan tersebut menggambarkan bagaimana orang dapat mencapai
ibukota Majapahit dari Surabaya. Uraian itu dapat dijadikan pegangan untuk menetapkan letak
ibu kota Majapahit.
Daerah Trowulan ditinjau dari kondisi geografisnya mempunyai kesesuaian lahan sebagai daerah
pemukiman perkotaan. Hal tersebut didukung oleh topografi yang landai, material penyusun
yang berupa endapan fluvio vulkanik (memiliki daya dukung yang kuat/stabil, subur), drainase
sebagian besar baik, air tanah relatif dangkal dengan potensi sedang-besar, dan bebas dari proses
geomorfik dari arah selatan.
Kondisi geografis fisikal Trowulan pada masa kerajaan Majapahit tidak jauh berbeda dengan
keadaan masa sekarang. Akibat berlangsungnya proses geomorfik, sudah barang tentu telah
mengalami perubahan tetapi perubahan tersebut belum menghilangkan kenampakan pada masa
lampau. Perubahan yang terjadi adalah proses pengendapan dan erosi pada alur-alur sungai.
Pengendapan bahan vulkanik juga pernah terjadi akibat letusan gunung api Kelud yang terjadi
berulang kali. Lapisan bahan vulkanik tampak pada profil tanah hasil penggalian di dataran
Pendopo Agung, lantai dan fondasi Kedaton dan candi Tikus. Lokasi pusat kerajaan Majapahit
yang berada dalam beberapa pengaruh sistem geologi, yaitu sistem gunung api (Anjasmoro,
Welirang, Penanggungan, dan Kelud) dan sistem aliran sungai Brantas dengan cabang dan anak
sungainya. Sistem tersebut telah melahirkan berbagai bentuk bentang alam seperti pegunungan,
kipas alluvial sebagai dataran yang menghasilkan bahanbahan baku seperti batu, pasir, kerikil,
dan tanah laterit yang subur sehingga menghasilkan air yang melimpah, tetapi juga mengandung
proses-proses dinamika sistem yang kadang-kadang dapat berupa bencana alam, seperti letusan,
banjir, aliran lumpur dan pasir. Saat ini, Trowulan menjadi sebuah kota yang memiliki banyak
situs peninggalan yang berupa artefak dari jaman kerajaan Majapahit, sehingga ratarata hasil
temuannya berasal dari jaman kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit terkenal dengan
pemanfaatan tanah liat yang digunakan untuk menunjang kebutuhan kehidupan sehari-hari baik
untuk peralatan rumah tangga maupun kebutuhan ritual keagamaan dan membuat bangunan yang
sifatnya monumental ataupun bangunan rumah tinggal.
Diskursus Runtuhnya Majapahit
Pengetahuan mengenai sebab-musabbab keruntuhan Majapahit selama ini menjadi simpangsiur
penuh kontroversi yang layak untuk diperbincangkan dalam diskursus akademik terutama pada
kalangan akademisi dan sejarawan maka dari itu ada beberapa versi dalam membahas tentang
diskursus runtuhnya majapahit antara lain sebagai berikut :
Versi Pendukung Cerita Runtuhnya Majapahit Diserang oleh Girindrawardhana
a. Versi temuan Dr. Kroom
Versi pengetahuan sejarah peristiwa runtuhnya Majapahit oleh karena diserang pasukan
Girindrawardhana dikemukakan sejarawan Kroom dalam bukunya Javansche Geschiedenis
sebagaimana dikutip oleh Hasyim. Kroom menyatakan bahwa yang menyerang Majapahit alias
Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) adalah Girindhrawardhana itu sendiri. Prabu Kertabhumi tewas
dalam keraton atas serangan Girindhrawardhana Bupati Kaling/Kediri (1478 Ma). Selanjutnya
pada tahun 1498 Prabu Girindhrawardhana tewas dibunuh oleh Prabu Udara sehingga mahkota
kerajaanpun jatuh ke tangan Prabu Udara. Melihat situasi seperti ini para wali mendukung Raden
Patah untuk mengambil kembali mahkota tersebut dari Prabu Udara karena mahkota tersebut
adalah milik ayahnya Raden Patah, yaitu Prabu Kertabhumi alias Brawijaya V. Dipihak lain
Prabu Udara bersekongkol dengan Portugis 1512, padahal pada 1511 Raden Pati Unus telah
menyerang Portugis di Malaka. Akibat serangan itu Pati Unus wafat di medan pertempuran
melawan Portugis di Malaka. Pada tahun 1517 Demak menyerang Prabu Udara, dan jatuhlah
Majapahit ke tangan Demak.
Versi H.J. de Graaf
De Graaf21 menjelaskan bahwa Kertabhumi atau Brawijaya V setelah kalah perang dengan
Girindrawardhana, dan Girindrawardhana telah ditaklukkan oleh Demak dibawa oleh Raden
Patah setelah perlawanan Majapahit ke Demak, dan diperlakukan sangat hormat oleh Raden
Patah, karena Prabu Kertabhumi sendiri adalah ayah kandung Raden Patah. Majapahit tidak
dibumi hanguskan karena itu diduduki kembali oleh orang-orang Jawa non-Islam. Pendapat H.J.
de Graaf agaknya yang lebih masuk logika akal sehat dalam perspektif kekuasaan Jawa. Karena
runtuhnya Majapahit secara otomatis menimbulkan konversi kekuasaan dari Majapahit yang
becorak Hindu-Budha menuju Demak yang bercorak Islam. Seketika runtuhnya Majapahit
seketika itu-pula kekuasaan di tanah Jawa yang menjadi super-ordinat (penguasa) hanyalah ada
satu kerajaan, yaitu Demak. Jika ada kerajaan-kerajaan lain masih berdiri itu berarti berada
dalam garis kekuasaan Demak. Singkatnya, H.J. de Graaf ingin menyampaikan bahwa Majapahit
runtuh adalah karena serangan Girindrawardhana. Namun pada akhirnya, Girindrawardhana
telah ditaklukan oleh Demak.
Versi Pendukung Cerita Runtuhnya Majapahit karena Diserang Demak
a. Versi Serat Darmogandul
Versi yang paling kuat menyatakan bahwa Majapahit runtuh diserang oleh Demak adalah dari
penjelasan Serat Darmogandul terbitan Keluarga Soebarno tanpa tahun terbit. Berdasarkan ejaan
tulisannya dipastikan serat tersebut ditulis sebelum tahun 1970-an karena masih mempergunakan
ejaan lama. Dalam Serat Darmogandul secara tegas disebutkan bahwa Raden Patah dengan
dibantu Dewan Wali yang secara besar-besaran menyerang dan menaklukkan Majapahit. Padahal
Raja Demak (Raden Patah) tidak lain adalah putra kandung dari Prabu Kertabhumi sendiri.
Kenapa sampai hati berani melengserkan kekuasaan ayahnya sendiri hanya karena sang Prabu
masih beragama Budha. Sang Prabu tidak mau masuk kedalam ajaran Rasul. Majapahit dianggap
menghambat Islamisasi di tanah Jawa karena sang Raja masih kafir. Padahal Prabu Kertabhumi
selama hidupnya tidak pernah memusuhi dakwah dan perkembangan Islam di tanah Jawa.
Bahkan Prabu membantu segala kebutuhan Raden Patah dan Sunan Ampel dalam
mengembangkan padepokan dan perguruan Islam di tanah Jawa. Pesan-pesan keberatan dan
bernada perlawanan inilah yang ingin disampaikan dalam Serat Darmogandul.
Padangan-pandangan versi pendukung cerita Majapahit runtuh karena serangan Raden Patah
Demak sebagaimana penjelasan Serat Darmogandul di atas juga tidak lantas tanpa kritik.
Sungguh tidak dapat diterima logika akal jika Raden Patah dan Demak yang dianggap
menyerang Majapahit Brawijaya V yang tidak lain adalah ayah Raden Patah. Kemudian setelah
Raden Patah mampu menaklukan Majapahit, Brawijaya V diboyong ke Demak oleh Raden
Patah. Majapahit selanjutnya diduduki oleh Girindrawardhana yang tidak lain adalah ipar Raden
Patah. Pemikiran yang seperti ini juga tidak masuk logika karena mengangkat pengganti
Brawijaya V dengan Girindrawardhana yang berbeda ideologi dengan Demak adalah sebuah
konsekuensi yang sangat besar bagi Demak di kemudian hari. Secara politis, hal ini juga akan
dapat menimbulkan perseteruan dengan kekuasaan Demak.
Versi Babad Jaka Tingkir
Cerita pendukung bahwa Majapahit dalam pemerintahan Prabu Brawijaya V runtuh diserang
oleh pasukan Demak adalah dalam versi Babad Jaka Tingkir. Menurut penuturan sumber Babad
Jaka Tingkir ketika pasukan Majapahit terdesak oleh pasukan Demak, Prabu Brawijaya V
beserta sepertiga priyayi (bangsawan) Majapahit mengungsi ke Gunung Lawu sambil
memindahkan Keraton Majapahit ke Gunung Lawu. Tugas mengungsi itu hanya bagi mereka
yang telah lanjut usia, sedangkan yang muda tetap tinggal dan diperintahkan untuk memeluk
agama Islam. Mereka yang karena kesadaran sendiri memeluk Islam berarti sudah beriman.
Beruntunglah mereka yang ditinggalkan, karena tidak ikut moksa lantaran mereka sudah beralih
dari agama Budha ke agama
Islam. Dengan keruntuhan Majapahit, maka lenyap tatanan agama Budha. Kisah ini disajikan
dalam sangkala Sirna Ilang Kertaning Bhumi 1400 Saka atau 1478 M. Selanjutnya Raden Patah
dinobatkan sebagai Raja Demak dengan sangkala “Api Padam Disiram Sang Raja” (1403
Saka/1481 M).
Menurut cerita Babad Jaka Tingkir, dikisahkan bahwa Prabu Brawijaya V menyepi ke Gunung
Lawu dan selanjutnya moksa lenyap sudah keluar dunia yang ditandai dengan candra sangkala
Sirna Ilang Kertaning Bhumi 1400 Saka. Moksa dalam hal ini menurut tinjauan Florida (2003)
adalah dalam Bahasa Jawa Kuno muksa berarti “lenyap atau hilang dari pandangan” sedang
moksa dalam bahasa Sansekerta berarti “pembebasan diri yang terakhir dari ikatan daur
kelahiran kembali ke dunia”. Dalam penggunaan bahasa Jawa modern kata kerja muksa berarti
naik ke surga secara jasmaniah dan rohaniah (meninggal dunia). Dalam penaklukan Majapahit
tersebut Prabu Brawijaya V lari ke Gunung Lawu dan moksa/ meninggal dunia di sana. Artinya,
pasca moksa tidak ada yang perlu diceritakan lagi tentang sepak terjang Brawijaya V, apalagi
sampai diboyong ke Demak, tentunya akan bertentangan dengan cerita dalam Babad Jaka
Tingkir tersebut.

Artefak Trowulan
Akitivitas ekskavasi atau penggalian terhadap sebuah situs akan memberikan banyak manfaat
terhadap ilmu pengetahuan khususnya sejarah dan kebudayaan. Penggalian yang dilakukan akan
banyak menghasilkan bendabenda temuan yang berupa artefak. Artefak yang ditemukan bisa
berupa bangunan maupun benda-benda lepas atau benda yang berdiri sendiri terlepas dari sebuah
bangunan.
Artefak terakota di Trowulan terdiri dari artefak bangunan dan artefak lepas sebagaimana yang
akan diulas dalam penelitian ini. Artefak lepas yang berupa terakota di Trowulan banyak yang
berbentuk figur-figur baik binatang maupun manusia. Jenis-jenis temuan, antara lain adalah
celengan, bermacam bentuk celengan yang ditemukan di situs Trowulan, diantaranya bentuk
babi atau celeng (bahasa Jawa), domba, kura-kura dan gajah. Adapula berbentuk manusia baik
figur anak kecil dan mungkin juga orang dewasa dengan variasi tinggi antara 3-30 cm. Badan
celengan dihias dengan motif garis-garis yang melingkari badannya dan hiasan ombak diantara
garis-garis itu. Lubang untuk memasukkan mata uang terletak di bagian atas pada pusat
lingkaran atau di bagian tepi. Jenis mata uang yang ditabung kemungkinan besar adalah kepeng
atau logam. Hal ini didasarkan pada temuan-temuan uang kepeng di dekat celengan dan
perbandingan antara ukuran mata uang dengan ukuran lubang pada celengan untuk memasukkan
uang. Jenis mata uang logam Cina yang ditemukan di Trowulan berasal dari periode Dinasti
Tang, Ming dan Qing, dengan temuan terbanyak dari dinasti Song (abad X-XIII).
Temuan ini menunjukkan bahwa tradisi menabung telah berlangsung pada masa Majapahit, dan
mata uang tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar dalam dunia dagang, tetapi juga sebagai
sebuah
Nilai. Tradisi menabung mencerminkan kepercayaan masyarakat pada kondisi ekonomi yang
cukup stabil dalam struktur masyarakat yang relatif kompleks. Dalam konteks Majapahit, tingkat
kompleksitas masyarakatnya dilihat dari intensitas kontak hubungan ekonomi dengan bangsa
lain. Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa negara-negara yang pernah menjalin hubungan
dengan kerajaan Majapahit antara lain India, Kamboja, Cina, Vietnam, Champa, Persia, Arab,
Gujarat, dan Melayu. Temuan-temuan artefak yang berwujud terakota mendominasi temuan di
daerah Trowulan, yang diidentifikasi oleh para ahli bahwa temuan tersebut berasal dari periode
Majapahit, hal ini juga ditegaskan bahwa di Trowulan dan sekitarnya yang dipercaya sebagai
situs bekas pusat kerajaan Majapahit, telah ditemukan keramik-keramik tidak berglasir (terakota)
dalam jumlah melimpah. Bentuknya bermacam-macam antara lain berupa bata, genteng,
miniature bangunan, patung-patung kecil, jobong (dinding sumur), bak air, pipa air serta
berbagai jenis wadah. Temuan-temuan tersebut ditemukan bersama-sama dengan keramik dari
Cina, Vietnam, dan Thailand yang kebanyakan berasal dari abad XIII-XV M. Waktu itu
Majapahit mempunyai hubungan baik dengan negaranegara penghasil keramik asing tersebut.
Atas dasar hal tersebut dapat dipastikan bahwa sebagian besar keramik tidak berglasir di
Trowulan memang hasil karya seniman atau pengrajin Majapahit dan bukan dari masa sebelum
atau sesudah Majapahit.
Seperti beberapa contoh jenis temuan sebagai berikut:

Patung Babi/Celeng
(Koleksi Pusat Informasi Majapahit, foto: Prima Yustana, 2008)
Peralatan sehari-hari
(Koleksi Pusat Informasi Majapahit, foto: Nimas . 2021)

Patung Kepala Terakota (diduga sebagai wajah Patih Gadjah Mada)


(Koleksi Pusat Informasi Majapahit, foto: Prima Yustana, 2009)

Sumur pada masa Majapahit/jobong


(Koleksi Pusat Informasi Majapahit, foto: Reza 2021)

Nisan Fatimah Binti Maimun


(Koleksi Pusat Informasi Majapahit, foto: Reza. 2021)

Arca Terakota Trowulan Laki-laki


(Koleksi Pusat Informasi Majapahit, foto: Nimas. 2021)
Arca manusia
(Koleksi Pusat Informasi Majapahit, foto: Reza. 2021)

Surya majapahit
(Koleksi Pusat Informasi Majapahit, foto: Reza . 2021)
Naskah Sumpah amukti palapa
(Koleksi Pusat Informasi Majapahit, foto: nimas. 2021)

B. MASJID CHENG HOO SURABAYA

Seperti yang kita ketahui keberadaan masjid Cheng Ho didirikan untuk menghormati dan
mengenang sejarah perjalanan Laksamana Cheng Ho di Indonesia. Dilihat dari bangunan, arsitek
dan ornamenn – ornamennya, masjid chengho sangat unik dan memiliki ciri khas tersendiri.
Masjid chengho dengan berbagai ornamennya merupakan simbol dari ekspresi keberagamaan
etnis muslim tionghoa untuk meneguhkan identitas keislamannya dan ketionghoannya. Oleh
karena itu, penelitian ini difokuskan pada ekspresi keberagamaan etnis Tionghoa di Surabaya
dan jember dengan tiga rumusan masalah yaitu bagaimana tipologi etnik tionghoa jamaah masjid
chengho di Jember dan Surabaya.6

Masjid Cheng Hoo merupakan sebuah Masjid pertama di Indonesia yang dikenal dengan sebutan
nama muslim Tionghoa, nama Masjid Ini merupakan bentuk penghormatan kepada Laksamana
Cheng Hoo, yang merupakan seorang Laksamana Cina yang beragama Islam. Ia melakukan
perjalanan ke kawasan Asia Tenggara dengan mengemban beberapa misi yakni menyebarkan
ajaran agama Islam melalui jalur perdagangan di bumi Nusantara. Oleh sebab itu Masjid Cheng

6
Muhibbin, Ali Hasan Siswanto, (KEBERAGAMAAN ETNIS MUSLIM TIONGHOA DI JAWA TIMUR; Studi Terhadap
Jamaah Masjid Cheng Hod di Jember dan Surabaya), FENOMENA, Vol. 18 No. 1 April 2019, hal. 1
Hoo memiliki ciri khas tersendiri yaitu dengan bangunan yang bernuansa etnik dan antik ini
cukup menonjol dibanding bentuk masjid – masjid pada umumnya di Indonesia. Dengan
arsitektur khas Tiongkok yang didominasi warna hijau, merah dan kuning menambah khazanah
kebudayaan di Indonesia.

Pada bagian depan bangunan utama terdapat ruangan yang dipergunakan oleh imam untuk
memimpin sholat dan khotbah yang sengaja dibentuk seperti pintu gereja. Pada sisi kanan Masjid
terdapat relief Muhammad Cheng Hoo bersama armada kapal yang digunakannya dalam
mengarungi Samudera Hindia. Relief ini memiliki pesan kepada muslim Tionghoa di indonesia
pada khususnya agar tidak risih dan sombong sebagai orang Islam. 7 Halaman masjid sebelah
timur (depan) masjid terdapat sebuah lapangan yang cukup luas, yang juga merupakan fasilitas
dari lembaga pendididkan yang berada di PITI, yang digunakan untuk keperluan perluasan shalat
dan juga bagian yang lain untuk tempat parkir yang akan menuju yayasan. Halaman sebelah
selatan masjid juga terdapat sebuah taman bermain untuk anak-anak Play Grup dan Taman kanak
– kanak, juga terdapat tempat berwudlu dan kamar kecil. Letak lembaga pendidikannya tepat
didepan sebelah selatan masjid, dan dibelakang lembaga pendidikan tersebut terletak kantor
yayasan PITI dan sebuah kantin kecil. Rancangan awal Masjid Cheng Hoo Indonesia ini diilhami
dari bentuk Masjid Niu Jie di Beijing yang dibangun pada tahun 996 Masehi. Kemudian
pengembangan desain arsitekturnya dilakukan oleh Ir. Azis Johan (anggotan PITI Bojonegoro)
dan di dukung oleh tim teknis: HS. Willy Pangestu, Donny Asalim,SH., Ir. Tony Bagyo serta Ir.
Rachmat Kurnia dari jajaran pengurus PITI Jawa Timur dan pengurus Yayasan Haji Muhammad
Cheng Hoo Indonesia (YHMCHI).8

 Seni bangunan masjid cheng ho

Adapun manfaat dibangunnya Masjid Cheng Hoo ini untuk menjadikan organisasi PITI tetap
eksis, Sebab mereka harus terus menerus bergumul untuk melepaskan diri dari kondisi yang

7
Choirul Mahfud, (Peran Masjid Cheng Hoo: Jalan Sutra Baru, Hubungan IndonesiaCina dalam Identitas Budaya
Islam), Jurnal Islam Indonesia Vol. 08, No.01, Juni 2014, hal. 24.

8
Muhibbin, Ali Hasan Siswanto, (KEBERAGAMAAN ETNIS MUSLIM TIONGHOA DI JAWA TIMUR; Studi Terhadap
Jamaah Masjid Cheng Hod di Jember dan Surabaya), FENOMENA, Vol. 18 No. 1 April 2019, hal. 8.
muallaf (lemah) dari segi pemahaman ajaran Islam, tetapi juga lemah dari pemahaman
berorganisasi yang baik. Oleh karena itu PITI sangat membutuhkan orang – orang yang ahli
dalam kedua bidang tersebut. Memang pada realitasnya, unsur Arab dan Cina yang telah
mempengaruhi konsep bangunan masjid di Indonesia sudah sejak beberapa abad lalu.
Di abad modern ini, masyarakat Indonesia tetap mengadopsi dan memadukan unsur – unsur
asing tersebut sebagai konsep arsitektur masjid. Proses akulturasi dalam kebudayaan
Indonesia itu timbul karena masyarakat dihadapkan pada suatu kebudayaan asing (Arab –
Cina), sehingga lambat laun unsur kebudayaan asing ini diterima dan diolah dalam
kebudayaan sendiri. Hal tersebut nampak pada seni bangunan masjid – masjid Indonesia,
terutama Masjid Cheng Hoo. Meskipun perpaduan yang saling bertolak belakang tersebut
tidak merubah fungsi utama masjid sebagai tempat beribadah bagi umat Islam.

Masyarakat muslim global disatukan oleh masjid – masjid, namun tempat – tempat ibadah
berjemaah ini juga menampilkan keanekaragaman budaya dan sejarah umat muslim. Masjid
Cheng Hoo Surabaya merupakan masjid pertama berarsitektur Tiongkok yang didirikan oleh
PITI (Pimpinan Iman Tauhid Islam d/h Persatuan Islam Tionghoa) pertama kali dibangun
di Indonesia untuk mengenang kedatangan Laksamana Cheng Hoo. Masjid Cheng Hoo
Pandaan gaya arsitekturnya mengadopsi bentuk dan desain bangunan Masjid Cheng Hoo
Surabaya yang telah lebih dulu menjadi ikon pariwisata. Tetapi berbeda dengan masjid
yang ada di Surabaya yang berukuran 21x11m dengan lahan yang terbatas, masjid di
Pandaan ini justru sebaliknya.Masjid ini berada di lahan yang sangat luas sekitar 1 hektar
dan bangunannya juga sangat besar dan megah. Ukuran keseluruhan masjid dua lantai ini
adalah 50 x 50m.9

9
Hermita Titisari, Salamun, (Masjid Cheng Hoo Surabaya Seni Bangunan, Ornamen, Dan Kaligrafi), Jurnal
Pendidikan Seni Rupa, Volume 3 Nomor 3 Tahun 2015, Hal. 30 – 31.
Foto masjid Cheng Hoo Surabaya

(Sumber : Google gambar masjid cheng hoo surabaya, 19 Juni 2021 pukul 13.57 WIB)

 Ornamen Masjid Cheng Hoo Surabaya

Masjid Cheng Hoo Surabaya mempunyai keunikan dalam seni bangunan yang kental akan
nuansa Tiongkok hingga mampu menarik wisatawan untuk singgah. Masjid ini terbagi menjadi
dua bagian yakni ruang sholat dan ruang wudhu. Ornamen pada masjid mempunyai
keunikan tersendiri dibandingkan dengan masjid – masjid lainnya, terdapat pola elemen hias
arabesk dari bahan kayu jati yang terdapat di atas pintu mihrab. Untuk membedakan liwan
wanita dan liwan pria dibatasi dengan ketinggian lantai dan railing tralis yang bermotif sulur
– sulur tanaman. Pada plafon terdapat ornamen yang dilukis geometris dengan warna
hijau, biru, merah, dan coklat muda. Terdapat pula relief Laksamana Cheng Hoo beserta
armada pada samping kanan masjid.

Jika dibandingkan Masjid Cheng Hoo Pandaan lebih dominan menggunakan ornamen
geometris dengan bidang segi empat dan lingkaran yang mengalami pengulangan pola dengan
warna emas dan merah pada jalusi, hiasan dinding serambi masjidnya dan pada ruang Sholat
hanya pada dinding dan atap masjid. Dan ornamen yang mengelilingi pada dinding ruang
sholatnya memiliki kemiripan detail ornamen dengan Masjid Cheng Hoo. Surabaya hanya saja
berbeda paduan warna. Pada Masjid Cheng Hoo Surabaya kebanyakan menggunakan ornamen
geometris, sulur – sulur tanaman, dan patra Tionghoa yang sederhana pada tiap elemen
bangunan dan elemen interiornya. Meskipun Masjid Cheng Hoo Surabaya hanya berukuran
21x11meter, ornamen yang terdapat pada elemen interior dan elemen bangunannya lebih
detail dibandingkan Masjid Cheng Hoo yang berada di Pandaan. Berikut adalah contoh ornamen
– ornamen dalam masjid Cheng Hoo Surabaya :

Ornamen kuda kuda dalam seni arsitektur masjid cheng hoo Surabaya

(Sumber foto : Google gambar masjid cheng hoo surabaya, 19 Juni 2021 pukul 13.57 WIB)
Plafon utama masjid Cheng Hoo Surabaya

(Sumber foto : Google gambar masjid cheng hoo surabaya, 19 Juni 2021 pukul 13.57 WIB)

Tiang bangunan Masjid Cheng Hoo Surabaya

(Sumber foto : Google gambar masjid cheng hoo surabaya, 19 Juni 2021 pukul 13.57 WIB)

 Kaligrafi Masjid Cheng Hoo Surabaya

Kaligrafi – kaligrafi yang ada di Masjid Cheng Hoo banyak yang bergaya kaligrafi Islam
Raihani seperti gaya kaligrafi kebanyakan masjid pada umumnya. Pada tembok Masjid Cheng
Hoo terdapat keunikan yang ditimbulkan oleh kaligrafi bergaya Raihani berukuran besar
yang dipadukan dengan jendela berbentuk lingkaran nampak seperti jendela bangunan
Tiongkok dan terbuat dari besi terdapat pada papan nama masjid terdapat pula kaligrafi
China bergaya : Kursif Script (xingshu). Seperti namanya menunjukkan, ini adalah versi kursif
gaya Reguler.10

Contoh kaligrafi dalam Masjid Cheng Hoo Surabaya

(Sumber foto : Google gambar masjid cheng hoo surabaya, 19 Juni 2021 pukul 14.41 WIB)

Papan nama Masjid Cheng Hoo Surabaya

10
Hermita Titisari, Salamun, (Masjid Cheng Hoo Surabaya Seni Bangunan, Ornamen, Dan Kaligrafi), Jurnal
Pendidikan Seni Rupa, Volume 3 Nomor 3 Tahun 2015, Hal. 31 – 32.
(Sumber foto : Google gambar masjid cheng hoo surabaya, 19 Juni 2021 pukul 14.41 WIB)

C. SUNAN AMPEL
Latar Belakang Sunan Ampel
Sunan Ampel adalah salah seorang wali di antara Walisongo yang menyebarkan ajaran
Islam di Pulau Jawa. Beliau lahir pada tahun 1401 di Campa. Campa adalah satu negeri kecil
yang terletak di Vietnam, sementara Raffles menyatakan bahwa Campa terletak di Aceh yang
kini bernama Jeumpa.

Sunan Ampel adalah putra Syekh Ibrahim As-Samarqandy yang dimakamkan di Tuban.
Ibrahhim Asmarakandi merupakan putrah Syekh Jumadil Kubro. Walau demikian, terdapat pula
sebagian riwayat yang menyatakan bahwa Sunan Ampel merupakan anak dariMaulana Malik
Ibrahim (menantu Sultan Champa dan ipar Dwarawati).11

Dalam catatan Kronik Tiongkok dari Klenteng Sam Po Kong, Sunan Ampel dikenal
sebagai Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng – yaitu seorang Tionghoa (suku Hui
beragama Islam mazhab Hanafi) yang ditugaskan sebagai Pimpinan Komunitas Tionghoa di
Champa oleh Sam Po Bo. Sedangkan Yang Mulia Ma Hong Fu -adalah menantu Haji Bong Tak
Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit, sedangkan Haji
Gan En Cu juga telah ditugaskan sebagai kapten Tionghoa di Tuban. Haji Gan En Cu kemudian
menempatkan menantunya Bong Swi Hoo sebagai kapten Tionghoa di Jiaotung (Bangil).[1][2]
Namun, catatan Kronik Tiongkok dari Klenteng Sam Po Kong ini diragukan kebenarannya
karena merupakan propaganda Belanda untuk mengaburkan sejarah Indonesia.[3] Dalam Serat
Darmo Gandhul, Sunan Ampel disebut Sayyid Rahmad merupakan keponakan dari Putri
Champa permaisuri Prabu Brawijaya yang merupakan seorang muslimah.

Raden Rahmat dan Raden Santri adalah anak Makhdum Ibrahim (putra Haji Bong Tak
Keng), keturunan suku Hui dari Yunnan yang merupakan percampuran bangsa Han/Tionghoa
dengan bangsa Arab dan Asia Tengah (Samarkand/Asmarakandi). Raden Rahmat, Raden Santri
dan Raden Burereh/Abu Hurairah (cucu raja Champa) pergi ke Majapahit mengunjungi bibi
mereka bernama Dwarawati puteri raja Champa yang menjadi permaisuri raja Brawijaya. Raja
11
Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT
LKiS Pelangi Aksara. hlm. 63
Champa saat itu merupakan seorang muallaf. Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden Burereh
akhirnya tidak kembali ke negerinya karena Kerajaan Champa dihancurkan oleh Kerajaan Veit
Nam.Jejak dakwahnya sunan ampel amat terkenal, mulai dari peninggalan Masjid Agung Demak
hingga ajaran Moh Limo yang disesuaikan dengan kondisi masyarakati kawasan Surabaya itu,
dakwahnya dimulai dengan mendirikan pesantren Ampeldenta, ia mendidik kader-kader
penyebar Islam. Dakwah Islam Sunan Ampel juga melalui jalur politik. Dalam buku Atlas Wali
Songo (2016) yang ditulis Agus Sunyoto, Sunan Ampel menjabat sebagai penguasa Surabaya
menggantikan penguasa sebelumnya, Arya Lembu Sura meninggal.

Sunan Ampel juga menjalin jaringan dakwah dan kekerabatan melalui perkawinan putra-
putri penyebar Islam dengan penguasa Majapahit. Di Demak yang merupakan wilayah dakwah
Sunan Ampel, bersama dengan Raden Patah dan penguasa wilayah setempat, ia mendirikan
Masjid Agung Demak. Nama Sunan Ampel diabadikan menjadi nama salah satu dari empat tiang
masjid tersebut.Dari sisi keluarganya, Sunan Ampel memiliki dua istri, yaitu Nyai Ageng Manila
atau Ni Gede Manila, putri Tumenggung Wilatika dan Mas Karimah, putri Ki Wiro Suryo. Dari
dua istrinya itu, Sunan Ampel memiliki tujuh anak, termasuk Maulana Makdum Ibrahim (Sunan
Bonang) dan Syarifuddin (Sunan Drajat). Sunan Ampel diperkirakan meninggal pada 1481 di
Demak. Ia dimakamkan di sebelah barat masjid Ampel, Surabaya.12

Taktik dan Strategi Dakwah Sunan Ampel


Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Ampel menggunakan cara pendekatan kultur
kebudayaan karena masih banyak masyarakat yang menganut kuat kepercayaan lama. Sehingga
mengunakan budaya yang sudah dikenal masyarakat dan mengisinya dengan ajaran Islam. Cara
pendekatan dakwah Sunan Ampel di Jawa dengan cara menyesuaikan diri, menyerap, bersikap
pragmatis dan menempuh cara yang berangsur-angsur.
Sunan Ampel mengembangkan pendidikan pesantren dengan kecerdasan dan kedalamaan
ilmu agama yang dimilikinya. pesantren di masa itu memakai mandala-mandala Hindhu-Budha
yang pengaruhnya masih terlihat sampai saat ini. Langkah yang di tempuh Sunan Ampel ini
merupakan langkah persuasi–edukatif dalam proses perkembangan Islam terhadap masyarakat

12
Suryanegara, Ahmad Mansur. "Api Sejarah, jilid 1." Bandung, Salamadani (2012).
setempat agar masyarakat setempat mudah untuk menerima nilai-nilai Islam. Dan berbagai
istilah yang digunakanpun masih berkaitan dengan ritual-ritual Hindhu-Budha.13
Sunan Ampel pernah menarik perhatian banyak orang dari segala penjuru dengan
mengubah nama sungai Brantas dengan nama Kali Emas dan pelabuhan Surabaya pun diganti
nama juga dari Jelangga Manik menjadi pelabuhan Tanjung Perak. Dengan nama Emas dan
Perak inilah yang menyebabkan banyak orang yang berbondong-bondong datang ke Surabaya
untuk mencari Emas dan Perak. Pada waktu orang-orang yang mencari Emas dan Perak itu
datang ke Surabaya, waktu itulah yang digunakan Sunan Ampel untuk memberikan pengertian
dan memperkenalkan Islam.14
Sunan Ampel juga mendidik kaderkader Ulama yang siap berdakwah di dareah
pendalaman Jawa. Dalam penyebaran para ulama yang memungkinkan untuk melakukan
dakwah, Sunan Ampel memberikan satu strategi dalam rangka berdakwah. Adapun langkah-
langkah yang harus ditempuh ketika itu adalah: pertama, membagi wilayah inti kerajaan
Majapahit sesuai hirarki pembagian wilayah negara bagian yang ada yang meliputi Sembilan
wilayah, yakni ibukota Majapahit di Trowulan, Daha, Blambangan, Matahun, Tumapel,
Kahurupan, Lasem, Wengker, dan Panjang. Para kader ulama yang akan dikirim ke negara-
negara bahawan Majapahit yang memungkinkan dimasuki. Kedua, sistem dakwah dilakukan
dengan pengenalan ajaran Islam melalui pendekatan persuasive yang berorientasi pada
penanaman akidah Islam yang disesuiakan dengan situasi dan kondisi yang ada. Ketiga,
melakukan “perang Ideologi” untuk memberantas mitos dan nila-nilai dogmatis yang
bertentangan dengan akidah Islam, di mana pura ulama harus menciptakan mitos dan nilai-nilai
tandingan baru yang sesuai dengan Islam. Keempat, berupaya dalam melakukan pendekatan
kepada tokoh-tokoh yang dianggap mempunyai pengaruh di suatu tempat, dan berusaha
menghindari konflik. Kelima, berusaha menguasai kebutuhankebutuhanpokok yang sangat
dibutuhkan masyarakat, baik itu kebutuhan yang bersifat material maupun spriritual.15

D. SUKU TENGGER BROMO

13
Agus Sunyoto, Sejarah Perjuangan Sunan Ampel, hal. 52
14
Ibid, hal. 53
15
Nur Hamiyatun, peranan sunan ampel dalam dakwah islam dan pembentukan
Masyarakat muslim nusantara di ampeldenta, vol 5 no 1, 2019, hal. 50-51
A. DINAMIKA KEHIDUPAN MASYARAKAT SUKU TENGGER DIBALIK
KEGIATAN PARIWISATA
Indonesia merupakan negara yang yang memiliki beraneka ragam suku dan budaya, baik dari
sabang sampai Merauke. Kebudayaan tersebut menjadi salah satu hal yang peling kompleks
mengenai kepercayaan, kesenian, serta berbagai kebiasaan yang didapatkan manusia. Pada suatu
masyarakat memiliki adat dan struktur social, yang tergolong berbeda dengan masyarakat umum
lainnya, yang dimana masih adaya suku, adat dan tradisi yang dijalankan turun temurun sehingga
menjadi ciri khas dari masing-masing kebudayaan, dan mempunyai perlindungan hukum dan
adat hukum.

Gunung bromo sendiri mempunyai destinasi wisata yang luar biasa, hamparan pasir yang
dikelilingi dengan berbagai jajaran gung-gunung dan pemandangan alam yang indah. Keindahan
gunung Bromo lah yang mengundang para wisatawan untuk datang berwisata, situasi inilah yang
dimanfaatkan untuk menambah pendapatan bagi masyarakat sekitar sana. Biasanya mereka
berjualan di area sekitar gunung Bromo dan hasil perkebunan bias dijual ke wisatawan.

Masyarakat sana juga berprofesi menyewakan dan menjadi supir jeep bagi wisatawan yang ingin
menuju Kawasan Gunung Bromo, dan sebagian dari mereka berdagang souvenir, menyewakan
kuda dan lain sebagainya, karena sektor pariwisata disana juga berkembang sangat pesat.
Masyarakat suku tengger memiliki empat macam agama, yakni Budha, Kristen, Hindu, dan
Islam. Meskipun agama mereka yang di anut berbeda-beda tetapi mereka tetap menghormati satu
sama lain, mereka juga tidak meninggalkan tradisi leluhurnya, menurut mereka agama adalah
keyakinan pada sang pecipta, sedangkan tradisi tengger merupakan cara mereka menghormati
leluhurnya.

Kehidupan masyarakat suku tengger tidak jauh dari kegiatan pariwisata, dan hal ini berpengaruh
pada masyarakat Tengger baik dari segi ekonomi, budaya bahkan kehidupan social mereka. Oleh
karena itu dinamika pada kehidupan social pada suku tengger yang dipengaruhi dari segi
pariwisata yang bias mengubah kehidupan masyarakat menjadi lebih dikenal oleh masyarakat
luar daerah bahkan luar kota. Sehingga dapat meningkatkan perekonomian dan juga bias
mengenalkan budaya yang mereka miliki.16

B. Keturunan Pengungsi dari Majapahit


Meskipun tidak banyak Kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru memiliki data
keperbukalaan dan kesejarahan yang dapat mengungkap siapa dan bagaimana kehidupan orang
Tengger. Prasasti batu yang pertama kali ditemukan pada tahun 851 saka (929M), menyebutkan
bahwa sebuah desa bernama Walandhit, yang terletak dikawasan pegunungan Tengger adalah
sebuah tempat suci yang dihuni oleh hulun hyang yakni orang yang menghabiskan hidupnya
sebagai abdi dewata. Prasasti kedua yang ditemukan masih dalam abad yang sama, menyatakan
bahwa di Kawasan ini penduduknya melakukan peribadatan yang berkiblat kepada Gunung
Bromo dan menyembah dewa yang bernama Sang Hyang Swayambuwa, atau yang dalam agama
Hindu dikenal sebagai Dewa Brahma.
Nama walandhit disebut juga oleh Prapanca, seseoarang punjangga kenamaan dari
kerajaan Majapahit dalam Kakawin Nagarakertagama. Walandhit adalah nama sebuah tempat
suci yang sangat dihormati oleh kerajaaan majapahit. Di tempat ini bermkim kelompok
beragama Budha dan saiwa.kemungkinan besar walindhit pada waktu itu merupakan salah satu
mandala yang dipimpin oleh seorang dewa guru. Dewa guru adalah seaorang Sidhapandita
(pendeta yang sempura ilmunya) yang memimpin sebuah madala. Mandala adalah sebuah tempat
tinggal pendeta hutan atau tempat yang sangat jauh dari keramaian, yang biasanya disebut
Wanasrama. Tempat ini juga dihuni oleh para resi atau kaum pertapa yang hidup mengasingkan
diri.
Hubungan antara orang Waladhit degan agama Hindu bukan hanya terlihat dari prasasti
kuno yang telah ditemukan, tetapi juga dari naskah-naskah kuno yang ditulis pada zaman
majapahit. Dalam naskah Tantri kamandala, misalya, segara wedhi atau laut pasir digambarkan
sebagai jalan lintasan arwah manusia yang harus disucikan dahulu sebelum naik ke kahyangan.
Proses penyucian tersebut juga digambarkan dalam mantera entas-entas, sebuah adat suku
Tengger. Dalam upacara adat ini api penyucian dari Dwa Siwa dan Dewi Uma digunakan untuk
menyucikan arwah manusia agar sang arwah dapat naik ke kayangan. Sebelum diberangkatkan

16
Khotimatul hikmah, Siti Rofiatul Sazjiyah, Tutik Sulistyowati. Dinamika kehidupan Masyarakat Suku Tengger
Dibalik Kegiatan Pariwisata Bromo, vol.4 no.2 juli 2020
sang arwah harus ditempatkan di dalam kuali Maron yang merupakan simbolisasi dari kawah
Gunung Bromo.
Orang Tengger sendiri menyakini bahwa nama Tengger berasal dari paduan dua suku
kata terakhir dari naa nenek moyang mereka, yaitu Rara Anteng (TENG) dan Jaka Seger (GER).
Rara Anteng dipercaya sebagai putri Raja Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit dan Jaka Seger,
putra seorang Brahmana yang bertapa di dataran tinggi Tengger. Di samping itu, orang Tengger
juga menegaskan bahwa kata Tengger mengacu kepada pengertian Tangering Budi Luhur (tanda
Keluhuran Budi Pekerti).
C. Upacara adat Tengger
1. Upacara Kasada, perayaan Kasada atau hari raya Kasada atau Kasodoan yang
sekarang di sebut Yadnya kasada, adalah hari raya kurban orang Tengger yang
diselenggarakan pada tanggal 14,15, atau 16 bulan Kasada, yakni pada bulan
punama sedang menampakkan wajahnya di lazuardi biru. Hari raya kurban ini
merupakan pelaksanaan pesan leluhur orang Tengger yang bernama Raden
Kusuma alias Kyai Kusuma alias Dewa Kusuma, putra bungsu Rara Anteng dan
Jaka Seger, yang telah merelakan dirinya menjadi kurban demi kesejahteraan
ayah dan ibu, serta para saudaranya. Kasodoan merupakan sarana komunikasi
antara orang Tengger dengan Hiyang Widi Wasa dan roh-roh halus yang menjaga
Tengger. Komunikasi itu dilakukan oleh Dukun Tengger, pewaris aktif tradisi
Tengger.
2. Upacara Karo, perayaan Karo atau hari raya Karo orang Tengger yang jatuh pada
bulan ke-2 kelender Tengger (bulan Karo) sangat mirip dengan perayaan lebaran
atau hari raya Fitri yang dirayaan umat Islam. Pada hari tersebut orang-orang
saling berkunjung ke sanak saudara, dan tetangga umtuk memberikan ucapan
selamat Karo dan bermaaf-maafan. Upacara ini berlangsung selama satu sampai
dua inggu. Selama perayaan tersebut biasanya mereka menyembelih ternak-ternak
mereka untuk dinikmati dagingnya. Bagi keluarga yang kurang mampu
pengadaan ternak yang akan disembelih dilakukan secara patungan.
Bagi orang Tengger, hari raya ini sangat ditunggu-tunggu, perayaan yang hamper dua minggu
tersbut merupakan sat yang penuh suka cita dan oesta pora, seolah-olah orang Tengger ingin
menembus seluruh kecapean dan kejenuhan kerja seharian penuh ladang yang mereka jalani
selama satu tahun. Seluruh masyarakat Tengger dari yang tua, muda, besar-kecil Hindu, Kristen,
Budha, maupun Islam menyatu dalam suka cita perayaan Karo. Hari Karo akan semakin meriah
apabila hasil panen orang Tengger bagus.
3. Upacara Unan-Unan, upacara ini disenggarakan sekali dalam sewindu. Sewindu
dalam suku Tengger bukan 8 tahun melainkan 5 tahun. Upacara ini bermaksud
untuk membersihkan desa dari gangguan makhluk halus dan menyucikan para
arwah yang belum sempurna agar bias kembali kea lam asal yang sempurna, yaitu
Nirwana. Kata Unan-Unan berasal dari Tuna “rugi” maksudnya upacara ini dapat
melengkapi kekurangan-kekurangan yang di perbuat selama satu windu. Dalam
acara ini masyarakat Tengger menyembelih kerbau sebagai kurban.
4. Upacara Entas-Entas, bermaksud untuk menyucikan roh orang yang telah
meninggal dunia pada hari ke 1000 agar dapat masuk surge. Biaya upacara ini
sangat mahal karena penyelenggara harus mengadakan selamatan besar-besaran
dengan menyembelih kerbau. Sebagian dagingnya dimakan dan sebaian
dikurbankan.
5. Upacara Puja Mubeng, biasanya di selenggaran pada bulan kesembilan atau
Panglong Kesanga yaitu hari kesembilan sesudah bula purnama. Semua
masyarakat berkeliling desa Bersama dukun mereka sambal memukul ketipung.
Upacara ini bermaksudkan untuk membersihkan desa dari gangguan dan bencana.
Perjalanan di akhiri dengan makan Bersama di rumah dukun dan makanan
tersebuut sumbangan dari warga.
6. Upacara Kelahiran, upacara ini dilakukan ketika bayi yang berada dalam
kandungan berusia 7 bulan, yang bersangkutan mengadakan selamatan nyayut
atau upacara sayayut. Maksudnya agar si bayi lahir dengan selamat dan lancar.
Setelah bayi lahir dengan selamat yang bersangkutan mengadakan upacara Sekul
brokahun. Ari-ari yang disebut “teman” di dimpan didalam tempurung, kemudian
ditaruh di sanggar. Pada hari ketuju atau kedelapan setelah kelahiran yang
bersangkutan mengadakan cuplak puser yakni pada pusar yang sudah kering dan
akan lepas. Upacara ini dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang masih
tersisa di tubuh bayi agar bayi selamat. Pada waktu diberi nama, keluarga bayi
mengadakan selametan jenang abang dan jenang putih (bubur merah dan bubur
putih). Maksudnya untuk memohon keselametan. Upacara kekerik di adakan
setelah bayi berumur 40 hari. Dalam upacara ini lidah bayi dikerik dengan daun
ataupun rumput ilalang. Maksud upacara ini adalah agar kelak sang anak pandai
berbicara. Rangkaian upacara kelahirang yang ke enam adalah among-among,
yang dilaksanakan setelah bayi berumur 44 hari. Maksud dari upacara ini adalah
agar bayi terbebas dari gangguan roh jahat. Bayi tersebut harus di lindungi yaitu
diberi mantra pada waktu ia sudah membalik dirinya (tengkurap)
7. Upacara tuger kuncung atau tugel Gombak diselenggarakan oleh orang Tengger
ketika anak mereka berusia 4 tahun. Rambut bagian depan anak yang
bersangkutan dipotong agar ia senantiasa mendapat keselamatan dari Hyang
Widhi wasa.
8. Upacara perkawinan orang tengger dilaksanakan berdasarkan perhitungan waktu
yang ditentukan oleh dukun yang harus sesuai dengan saptawara atau pancawara
kedua calon pengantin, selain menggunakan saptawara dan pancawara, dukun
juga menggunakan perhitungan nashi berdasarkan sandang (pakaian), pangan
(makanan), lara (sakit), dan pati (kematian). Hari perkawinan harus menghindari
lara dan pati. Jika terpasa jatuh pada lara dan pati, harus diadakan upacara ngepras
yaitu membuat sajian yang telah diberi mantra oleh dukun dan kemudian
dikurbankan. Agar tetap selamat, mereka yang hari perkawinannya jatuh lara dan
pati harus melaksanakan upacara ngepras setiap tahun. Puncak dari upacara
perkawinan adalah upacara walagara , yakni akad nikah yang dilaksanakan oleh
dukun. Dalam upacara walagara dukun membawa secawan air yang dituang
kedalam prasen, diaduk dengan menggunakan pengaduk yang terbuat dari janur
atau daun pisang dan kemdian diberi mantra. Selanjutnya mempelai perempuan
mencelupkan jarinya ke dalam air tersebut dan mengusapkannya pada tungku,
pintu, serta tangan para tamu, dengan maksud agar para tamu memberi doa restu.
9. Upacara kematian, diselenggarakan gotong royong. Para tetangga memberi
bantuan perlengkapan dan keperluan untuk upacara penguburan. Bantuan
spontanitas tersebut berupa tenaga, uang, beras, kain kafan, gula, dan lain-lain
yang di sebut nglawuh. Setelah dimandikan mayat diletakkan di atas balai-balai
kemudian dukun memercikkan air suci dari prasen kepda jenayah sambal
mengucapkan doa kematian. Sebelum kuburan digali, dukun lebih dulu
menyiramkan air dalam bumbung yang telah diberi mantra. Tanah yang disiram
air itulah yang kemudian digali untuk liang kubur. Mayat orang tengger
dibaringkan dengan kepala membujur ke selatan kea rah gunung Bromo. Petang
harinya keluarga mengadakan selamatan. Orang yang telah meninggal digantikan
dengan boneka yang disebut bespa, yang terbuat dari bunga dan dedaunan. Bespa
diletakkan di atas balai-balai Bersama berbagai macam sesajian.
10. Upacara Barikan, diadakan setelah gempa bumi, bencana alam, gerhana, atau
peristiwa lainnya yang mempengaruhi kehidupan orang tengger.
11. Upacara Lilewet, yaitu upacara kesejahteraan keluarga. Upacara ini diadakan di
setiap rumah penduduk. Dalam upacara ini dukun memberikan mantra seluruh
bagian rumah termasuk pekarangan rumah agar terhindar dari mala petaka.
Tempat-tempat yang diberi mantra antara lain seperti pintu, dapur, tanping,
sigiran, dan empat penjuru pekarangan. Sebelum upacara liliwet diadakan
biasanya orang Tengger didak menggarap ladangnya.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Khoiril. 2009. Potensi Wisata Budaya Situs Sejarah Peninggalan Kerajaan Majapahit di
Trowulan Mojokerto. Laporan Akhir Semester. Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Birsyada, Muhammad Iqbal. 2016. ‘Legitimasi Kekuasaan Atas Sejarah Keruntuhan Kerajaan
Majapahit Dalam Wacana Foucault’, Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 24.2
311

Hamiyatun, Nur, 2019. Peranan Sunan Ampel Dalam Dakwah Islam Dan Pembentukan
Masyarakat Muslim Nusantara Di Ampeldenta, vol 5 no 1,
Hermita Titisari, Salamun. 2015. (Masjid Cheng Hoo Surabaya Seni Bangunan, Ornamen, Dan
Kaligrafi). Jurnal Pendidikan Seni Rupa, Volume 3 Nomor 3

Ii, Tingkatan. 2018. ‘Mengenal Kejayaan Kerajaan Maritim Masa Hindu Buddha Uraian’,
<http://rumahbelajar.id/Media/Dokumen/5cff79ecb646044330d686d4/c2ec00b9c77f094bf9
baadbf366e4347.pdf>

Muhibbin, Ali Hasan Siswanto, (KEBERAGAMAAN ETNIS MUSLIM TIONGHOA DI JAWA


TIMUR; Studi Terhadap Jamaah Masjid Cheng Hod di Jember dan Surabaya),
FENOMENA, Vol. 18 No. 1 April 2019, hal. 1
Mahfud, Choirul. 2014. (Peran Masjid Cheng Hoo: Jalan Sutra Baru, Hubungan IndonesiaCina
dalam Identitas Budaya Islam), Jurnal Islam Indonesia Vol. 08, No.01

Santiko, Hariani. 2012. ‘Agama Dan Pendidikan Agama Pada Masa Majapahit’, Jurnal
AMERTA, Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Arkeologi, 30.2

Slamet, Muljana. 2005. Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di
Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara.
Sunyoto, Agus. Sejarah Perjuangan Sunan Ampel

Suryanegara, Ahmad Mansur. 2012 "Api Sejarah, jilid 1." Bandung, Salamadani
Wijaya, Raden. 2015. Pendidikan Islam Masa Majapahit Dan Dakwah Syekh Jumadil Kubro.
Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 03, Nomor 01
Yustana, Prima, ‘Oleh : Prima Yustana’, 2011
https://doi.org/10.21580/ws.24.2.974

Anda mungkin juga menyukai