Anda di halaman 1dari 8

Asal Usul Suku Jawa

Oleh : Hidayatul Maulida

Jika kita membahas asal usul suku Jawa, maka bisa dibilang kita sedang
membahas asal usul orang Indonesia secara keseluruhan. Hal ini disandarkan
kepada penemuan fosil dari homo erectus yang dikenal juga dengan nama
Manusia Jawa oleh Eugene Dubois, seorang ahli anatomi dari Belanda pada
tahun 1891 di Trinil, Ngawi. Fosil tersebut diperkirakan berumur mencapai
700.000 tahun, sehingga ia termasuk dari salah satu spesies manusia kuno
yang pernah ditemukan.

Kurang lebih sekitar 40 tahun kemudian, ditemukan lagi fosil lainnya,


yang jika dilihat dari perkakas yang juga ditemukan, diperkirakan fosil ini lebih
muda dari fosil sebelumnya, yakni baru berumur kurang lebih 150.000 tahun.

Versi Pertama

Menurut versi pertama, nenek moyang masyarakat Jawa adalah orang


purba yang berasal dari Austronesia, sebuah spesies yang diperkirakan berasal
dari Taiwan yang bermigrasi ke pulau Jawa pada tahun 1500 dan 1000
sebelum masehi.

Versi Kedua

Versi kedua menyatakan, bahwa asal mula orang Jawa berasal dari
daratan Indochina yang datang dari tanah Kamboja atau Laos. Ada
kemungkinan juga berasal dari Vietnam.

Versi Ketiga
Ada rumor juga yang mengatakan bahwa orang Jawa merupakan
keturunan orang dari tanah Pasundan yang berkawin-campur dengan para
pendatang dari India atau dari Indochina.

Sedangkan menurut beberapa tulisan, baru pada pertengahan abad 3 M, orang


Jawa mulai menempati pulau Jawa. Ditandai dengan hadirnya sebuah kerajaan
Taruma pada abad 4. Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah
berdiri di wilayah barat pulau Jawa pada abad 4 hingga abad 7 M. Kerajaan
Taruma termasuk salah satu kerajaan tertua di wilayah Indonesia yang
meninggalkan catatan sejarah.

Kepercayaan Orang Jawa Sebelum Masuknya Agama

Situasi kehidupan religius masyarakat di Tanah Jawa sebelum


datangnya Islam sangatlah heterogen. Kepercayaan import maupun
kepercayaan yang asli telah dianut oleh orang Jawa. Sebelum Hindu dan
Budha, masyarakat Jawa prasejarah telah memeluk keyakinan yang bercorak
animisme dan dinamisme.

Pandangan hidup orang Jawa adalah mengarah pada pembentukan


kesatuan numinous antara alam nyata, masyarakat, dan alam adikodrati yang
dianggap keramat. Di samping itu, mereka meyakini kekuatan magis keris,
tombak, dan senjata lainnya. Benda-benda yang dianggap keramat dan
memiliki kekuatan magis ini selanjutnya dipuja, dihormati, dan mendapat
perlakuan istimewa.

Suku Jawa pada Masa Hindu-Budha

Kepercayaan kuno yang dianut oleh suku Jawa adalah animisme dan
terus berlanjut seperti itu hingga datang para pembawa agama Hindu dan
Budha ke Tanah Jawa melalui perdagangan dengan orang-orang
India. Masyarakat Jawa lebih mudah tertarik dengan agama yang dibawa oleh
mereka lantaran filosofi agama Hindu-Budha bisa menyatu dengan filosofi
orang Jawa lokal yang unik.
Kedu dan Kewu adalah tempat berkumpulnya kultur suku Jawa yang
terdapat di lereng Gunung Merapi yang sekaligus menjadi jantung dari
Kerajaam Medang Bhumi Mataram. Beberapa dinasti kuno lainnya, seperti
Sanjaya dan Syailendra juga menggunakan tempat itu sebagai pusat
pemerintahan mereka.

Ketika Mpu Sendok memerintah, pada abad 10, ibu kota kerajaan dipindahkan
ke dekat Sungai Brantas. Kejadian ini yang dipercaya juga sebagai sebab
pergeseran pusat kebudayaan dan politik suku Jawa. Diperkirakan,
perpindahan ini disebabkan oleh erupsi vulkanik dari Gunung Merapi, tapi ada
juga yang mengatakan bahwasannya perpindahan pusat pemerintahan ini
disebabkan oleh serangan dari Kerajaan Sriwijaya.

Perkembangan suku Jawa mulai bangkit lagi ketika Kertanegara menjadi


raja dari Kerajaan Singosari pada awal abad ke-13. Raja yang senang
memperluas wilayah ini melakukan ekspedisi besar-besaran ke Madura, Bali,
Kalimantan dan Sumatera, yang pada akhirnya, Kerajaan Singosari berhasil
menguasai perdagangan di selat Malaka, menyusul kekalahan Kerajaan
Melayu.

Kedigdayaan Kerajaan Singosari terhenti pada tahun 1292 M ketika


pecahnya pemberontakan oleh Jayakatwang yang berhasil membunuh
Kertanegara. Pada akhirnya, Jayakatwang sendiri dibunuh oleh anak dari
Kertanegara, yaitu Raden Wijaya. Dan Raden Wijaya inilah yang kelak
mendirikan salah satu kerajaan terbesar di Nusantara kala itu, Kerajaan
Majapahit.

Masuknya Islam ke Tanah Jawa

Sebelum Islam masuk ke tanah Jawa, sebagaimana yang kita telah


paparkan di atas, mayoritas masyarakat Jawa telah menganut agama Hindu-
Budha. Namun, seiring dengan waktu berjalan, tidak lama kemudian Islam
masuk ke Jawa melewati Gujarat dan Persi dan ada yang berpendapat
langsung dibawa oleh orang Arab.
Kedatangan Islam di Jawa dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan
kubur bernama Fatimah binti Maimun serta makam Maulana Malik Ibrahim.
Saluran-saluran Islamisasi yang berkembang ada enam yaitu: perdagangan,
perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik.

Era Walisongo (Sembilan Wali Allah) adalah era berakhirnya dominasi


Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan
Islam. Walisongo adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di
Jawa peranan Walisongo sangat besar dalam mendirikan kerajaan Islam di
Jawa.

Di pulau Jawa, penyebaran agama Islam dilakukan oleh Walisongo. Wali


ialah orang yang sudah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri
kepada Allah. Dengan usaha dakwah mereka, para wali ini kemudian
mendapatkan posisi strategis di kalangan istana. Merekalah orang yang
memberikan pengesahan atas sah tidaknya seseorang naik
tahta sekaligus penasihat sultan.

Karena dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar


sunan alias susuhunan (yang dijunjung tinggi).

Kesembilan wali tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim). Inilah wali yang pertama datang
ke Tanah Jawa pada abad ke-13 dan menyiarkan Islam di sekitar Gresik,
Jawa Timur. Dimakamkan di Gresik, Jawa Timur.
2. Sunan Ampel (Raden Rahmat). Menyiarkan Islam di Ampel, Surabaya,
Jawa Timur. Beliau merupakan perancang pembangunan Masjid Demak.
3. Sunan Drajad (Syarifudin). Beliau adalah wali sekaligus anak dari Sunan
Ampel. Menyiarkan agama di sekitar Surabaya. Ia dikenal sebagai
seorang sunan yang sangat berjiwa sosial.
4. Sunan Bonang (Makdum Ibrahim). Beliau juga anak dari Sunan Ampel.
Menyiarkan Islam di Tuban, Lasem, dan Rembang. Beliau terkenal
sangat bijaksana.
5. Sunan Kalijaga (Raden Mas Said/Jaka Said). Murid Sunan Bonang.
Menyiarkan Islam di Jawa Tengah. Seorang pemimpin, pujangga, dan
filosof. Menyiarkan agama dengan cara menyesuaikan dengan
lingkungan setempat.
6. Sunan Giri (Raden Paku). Menyiarkan Islam di Jawa dan luar Jawa, yaitu
Madura, Bawean, Nusa Tenggara, dan Maluku. Menyiarkan agama
dengan metode bermain.
7. Sunan Kudus (Jafar Sodiq). Menyiarkan Islam di Kudus, Jawa Tengah.
Seorang ahli seni bangunan. Hasilnya ialah Masjid dan Menara Kudus.
8. Sunan Muria (Raden Umar Said). Menyiarkan Islam di lereng Gunung
Muria, terletak antara Jepara dan Kudus, Jawa Tengah. Sangat dekat
dengan rakyat jelata.
9. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Menyiarkan Islam di Banten,
Sunda Kelapa, dan Cirebon. Seorang pemimpin berjiwa besar.

Kerajaan Islam Masa Lalu

Ketika Majapahit mengalami banyak permasalahan tentang siapa yang


menjadi penerus, beberapa perang sipil terjadi dan membuat Majapahit
kehilangan kekuatan mereka sendiri. Ketika Majapahit mulai runtuh, pulau Jawa
juga mulai berubah dengan berkembangnya Islam.

Maka keruntuhan Majapahit ini menjadi momentum bagi kesultanan


Demak untuk menjadi kerajaan yang paling kuat. Kesultanan Demak ini
nantinya juga memainkan peranan penting dalam menghalau kekuatan kolonial
Portugis yang datang. Dua kali Demak menyerang Portugis ketika para kaum
Portugis menundukkan Malang.

Demak juga dikenal dengan keberanian mereka menyerang aliansi


Portugis dan Kerajaan Sunda. Kesultanan Demak kemudian dilanjutkan oleh
Kerajaan Pajang dan Kesultanan Mataram, dan perubahan ini juga memaksa
pusat kekuatan berpindah dari awalnya ada di pesisir Demak menuju Pajang di
Blora, dan akhirnya pindah lagi ke Mataram tepatnya di Kotagede yang ada di
dekat Yogyakarta sekarang ini.
7 Filosofi Hidup Suku Jawa

1. Urip Iku Urup (Hidup itu harus menyala/bermanfaat)Filosofi ini


menggambarkan sifat dasar sebagian besar orang Jawa yang senang
berbagi atau memberikan manfaat kepada orang lain.
2. Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara (Manusia hidup di
dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan
kesejahteraan, serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan
tamak).Inilah filosofi yang dipakai oleh orang-orang Jawa yang
melahirkan sifat tenang dan tidak suka dengan kerusuhan.
3. Ojo Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman
(Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk
memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi).Sebetulnya
filosofi ini sangatlah penting, namun sayangnya sudah banyak
ditinggalkan kecuali oleh kakek-nenek kita dahulu.
4. Ojo Kuminter Mundak Keblinger, Ojo Cidro Mundak Ciloko (Jangan
merasa paling pandai agar tidak salah arah, jangan suka berbuat curang
agar tidak celaka).Salah satu filosofi yang paling berharga yang
mengarahkan (sebagian besar) keturunan orang Jawa agar tidak
sombong dan licik.
5. Wong Jowo Kwi Gampang Ditekak-tekuk (Orang Jawa itu luwes).Bukan
berarti mereka mudah dikendalikan, akan tetapi lebih karena mereka
adalah orang-orang yang luwes dan mudah bergaul dengan beragam
masyarakat yang ada.
6. Mangan Ora Mangan Sing Penting Ngumpul (Makan tidak makan yang
penting kumpul).Filosofi yang sangat terkenal ini menunjukkan sifat suka
bergotong-royong.
7. Nrimo Ing Pandum (Menerima Pemberian Dari Yang Kuasa).Inilah ciri
khas orang-orang Jawa, yaitu Nrimo. Maksudnya, mereka adalah orang-
orang yang sangat pandai bersyukur atas apa saja yang diberikan oleh
Tuhan.

Sifat serta Karakter Masyarakat Jawa Kebanyakan


Sebagian besar masyarakat Jawa hingga kini masih tetap mengamalkan
filosofi mereka sehingga kita pun bisa mengenali sifat dan karakter mereka
yang khas. Karakter orang Jawa diidentikkan dengan sikap sopan, segan,
pemalu serta menjaga etika bicara. Dalam keseharian masyarakat Jawa,
mereka sangat menjunjung tinggi sifat Andap Asor terhadap orang yang lebih
tua. Andap Asor adalah adab ketika berbicara yang memiliki tingkatan-
tingkatan, melihat siapa lawan bicaranya.

Pemalu

Masyarakat Jawa juga umumnya cenderung sering menyembunyikan


perasaannya. Mereka akan menampik penawaran yang ditawarkan dengan
lemah lembut demi menjaga perasaan orang yang memberi. Contoh lainnya,
apabila mereka bertamu, orang Jawa tidak akan mencicipi hidangan yang
disediakan hingga dipersilakan oleh tuan rumah. Karena sikap ini, terkadang
mereka rela mengorbankan kehendak atau keinginan hati.

Sopan

Ketika berbicara, masyarakat Jawa akan sangat menjunjung tinggi etika.


Seseorang yang lebih muda ketika berbicara dengan orang tua atau yang lebih
mulia harus menggunakan bahasa kromo inggil, yaitu bahasa Jawa halus.
Sedangkan bahasa yang dipakai ketika berbicara dengan orang seumuran atau
lebih muda adalah bahasa ngoko atau bahasa Jawa biasa.

Gotong-Royong

Salah satu ciri khas yang sulit dilepaskan dari pribadi orang-orang Jawa
adalah sifat gotong royong atau saling membantu sesama masyarakat,
terutama tetangga. Apabila kita berkunjung ke desa-desa, kita akan dengan
mudah mendapati orang-orang yang memiliki sifat ini. Terkadang, apabila ada
tetangga mereka yang hendak membangun rumah, mereka tidak akan segan
ikut membantu sekalipun tidak dibayar, begitu juga sebaliknya.
Terima Apa Adanya

Sifat inilah yang membuat orang-orang dari berbagai suku mengincar


wanita-wanita Jawa sebagai calon pendamping hidup. Selain karena berbagai
aspek lainnya, sifat menerima apa adanya inilah yang menjadi daya tarik
tersendiri. Hal ini sangat berpengaruh dalam proses perjalanan rumah tangga
karena istri yang memiliki sifat mudah menerima, terutama dalam hal ekonomi,
tidak akan menjadi beban pikiran sang suami.

sumber:
1. [Makalah] Islam Masuk ke Tanah Jawa, oleh: Mohammad Bahrul Ulum,
Suwaibatul Islamiyah,RohmatulIzzah.
2. portalsejarah[dot]com.

Anda mungkin juga menyukai