Anda di halaman 1dari 25

A.

Situs Makam Troloyo


Makam Troloyo merupakan salah satu situs yang berada di Desa
Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Makam Troloyo
merupakan situs makam dengan corak Islam yang berada pada zaman Kerajaan
Majapahit. Situs Troloyo terkenal sebagai tempat wisata religius semenjak masa
pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan
nama Gus Dur, saat mengadakan kunjungan ziarah ke tempat tersebut. Sejak saat
itu, tempat ini banyak dikunjungi peziarah baik dari Trowulan maupun dari
daerah lain, bahkan dari luar Jawa Timur.
Ketenaran Makam Troloyo ini juga disebabkan karena seringnya
dikunjungi oleh para pejabat tinggi. Selain itu, pada hari-hari tertentu seperti
malam Jumat Legi, haul Syekh Jumadil Qubro, dan Gerebeg Suro di tempat ini
dilakukan upacara adat yang semakin menarik wisatawan untuk datang ke
tempat ini. Situs Troloyo merupakan salah satu bukti keberadaan komunitas
muslim pada masa Majapahit. Situs ini terletak di Dusun Sidodadi, Desa
Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Untuk mencapai situs
ini dapat ditempuh dari perempatan Trowulan kearah selatan sejauh ± 2 km.
Kompleks makam Troloyo ada dua kelompok makam. Di bagian depan
(tenggara) dan di bagian belakang (barat laut). Makam di bagian depan
diantaranya: Kelompok makam petilasan Wali Sanga, Kemudian di sebelah
barat daya dikenali dengan sebutan Syech Mulana Ibrahim, Syech Maulana
Sekah dan Syech Abdul Kadir Jailani. Ada pula Syech Jumadil Kubro. Sedang
di utara Masjid terdapat makam Syech Ngudung atau Sunan Ngudung.
Kompleks makam di bagian belakang meliputi: Bangunan cungkup dengan dua
makam yaitu Raden Ayu Anjasmara Kencanawungu, kemudian terdapat pula
kelompok makam yang disebut Makam Tujuh atau Kubur Pitu yang dikenal
sebagai Pangeran Noto Suryo, Patih Noto Kusumo, Gajah permodo, Naya
Genggong, Sabdo palon, Emban Kinasih dan Polo Putro.
Petilasan Wali Songo dipercaya dahulu dipergunakan para Wali untuk
berembug dalam proses penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Petilasan
tersebut dibentuk sedemikian rupa menyerupai bentuk makam dengan batu nisan
yang tertutup kain. Dalam kompleks petilasan tersebut terdapat Sembilan
makam yang mewakili jumlah wali songo. Kini, kompleks petilasan tersebut
sering dikunjungi banyak orang dari berbagai daerah, baik sekitar mojokerto
maupun dari luar daerah. Tujuan mereka mengunjungi petilasan tersebut
bermacam-macam. Ada yang hanya ingin mencari ketenangan di petilasan
karena tempatnya sangat sunyi dan teduh. Ada pula yang datang karena tujuan
tertentu seperti ingin mendapatkan kekebalan dengan bertapa di tempat tersebut.
Selain itu ada pula pengunjung yang semata-mata hanya ingin berdoa di
petilasan yang dianggap suci tersebut.

Makam-Makam di Kompleks Makam Troloyo


Dahulu komplek makam Troloyo berupa sebuah hutan, seperti hutan
Pakis yang terletak lebih kurang 2 Km di sebelah selatannya. Kepurbakalaan
yang ada di Troloyo adalah berupa makam Islam kuna yang berasal dari masa
Majapahit. Adanya makam kuna ini merupakan bukti adanya komunitas muslim
di wilayah ibukota Majapahit. Kesimpulannya bahwa ketika Majapahit masih
berdiri orang-orang Islam sudah diterima tinggal di sekitar ibu kota. Ada dua
buah kelompok atau komplek pemakaman : sebuah komplek terletak di bagian
depan yakni di bagian tenggara dan sebuah lagi di bagian belakang (barat laut).
Komplek makam yang terletak di sebuah bagian depan berturut-turut sebagai
berikut:
1. Makam yang dikenal dengan nama Pangeran Noto Suryo, nisan kakinya
berangka tahun dalam huruf Jawa Kuno 1397 Saka (= 1457 M) ada tulisan
arab dan lambang ‘surya Majapahit”.
2. Makam yang dikenal dengan nama Patih Noto Kusumo, berangka tahun 1349
Saka (1427 M) bertuliskan Arab yang tidak lengkap dan lambang surya.
3. Makam yang dikenal dengan sebutan Gajah Permodo angka tahunnya ada
yang membaca 1377 Saka tapi ada yang membaca 1389 Saka, hampir sama
dengan atasnya.
4. Makam yang dikenal dengan sebutan Naya Genggong, angka tahunnya sudah
aus, pembacaan ada dua kemungkinan : tahun 1319 Saka atau tahun 1329
Saka serta terpahat tulisan Arab kutipan dari surah Ali Imran 182 (menurut
Damais 1850).
5. Makam yang dikenal sebagai Sabdo palon, berangka tahun 1302 Saka dengan
pahatan tulisan Arab kutipan surah Ali Imran ayat 18.
6. Makam yang dikenal dengan sebutan Emban Kinasih, batu nisan kakinya
tidak berhias. Dahulu pada nisan kepala bagian luar menurut Damais berisi
angka tahun 1298 Saka.
7. Makam yang dikenal dengan sebutan Polo Putro, nisannya polos tanpa
hiasan. Menurut Damais pada nisan kepala dahulu terdapat angka tahun 1340
Saka pada bagian luar dan tulisan Arab yang diambil dari hadist Qudsi
terpahat pada bagian dalamnya.

Beberapa Catatan Penting


Setiap 1 bulan sekali khususnya hari Selasa dipercaya sebagai hari yang
paling afdol untuk berkunjung atau berziarah. Ziarah ini dimaksudkan untuk
mendoakan para tokoh yang dimakamkan di makam Troloyo. Disini muncul
sebuah kepercayaan “barang siapa yang mendoakan wali-walinya Allah pasti
akan dibalas oleh Alloh dengan lebih baik”. Akan tetapi ketika dilihat lebih
dalam lagi, ada perbedaan dari tahun ke tahun dalam hal tujuan berziarah yaitu
ada orang yang datang tidak hanya untuk mendoakan, beberapa di antara mereka
yang datang juga berdoa untuk minta agar dilancarkan keinginannya. Menurut
juru kunci, yang dikuburkan tersebut menjadi perantara lantaran ia adalah ulama
besar, ibaratnya jika ingin bertemu pak camat harus bertemu pak lurah dulu jadi
perantara tersebut akan lebih afdol bagi sebagian orang yang percaya.
Berbicara tentang mendoakan atau berdoa di dalam makam, terdapat
syarat-syarat khusus sebelum masuk ke dalam makam tersebut, yaitu berwudhu,
uluk salam, mendoakan dengan khusyu’, dan membawa bunga (karena
Rosululloh sendiri mnganjurkan untuk membawa bunga setiap pergi ke makam).
Mereka yang datang berziarah biasanya langsung menuju tiga makam
utama, yaitu Makam Mbah Qubro, Sayid Usman Haji, dan Tumenggung Satin
Singomoyo. Ketiganya memiliki keterkaitan. Hubungan antara Mbah Qubro
dengan Tumenggung Satin yaitu Mbah Qubro merupakan orang yang telah
memasukkan Islam Tumenggung Satin yang notabene orang yang awalnya
beragama Hindhu dan mendalami ilmu gaib.
Makam Troloyo ini banyak dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai
daerah, baik dari daerah Mojokerto, maupun dari luar kota seperti Bojonegoro,
Madura, Jakarta, Yogyakarta, Surakarta, bahkan dari luar pulau Jawa seperti
Kalimantan dan Sumatra. Masyarakat percaya bahwa apabila berziarah di
makam Troloyo khususnya Makam Syekh Jumadil Qubro dapat membawa
ketentraman, ketenangan, dan Ridho dari Allah Swt. Makam tersebut ramai oleh
para peziarah setiap harinya, apalagi jika malam Jum’at Legi, dan mayoritas
orang-orang yang berziarah ke Makam Troloyo merupakan orang-orang Islam
yang tergolong Nahdlatul Ulama.
Selain itu, Makam Troloyo memiliki hari-hari besar yakni pada setiap
tanggal 14-15 Mukharam dengan kegiatan Hadroh pada hari pertama lalu hari
kedua adalah menghadirkan hafid dan hafido yang berjumla 100 orang guna
melakukan Khotmil Qur’an dan selanjutnya diselesaikan dengan pengajian
umum. Undangan untuk acara besar di makam Troloyo adalah untuk seluruh
Jawa Timur tanpa kecuali.1

B. Museum Majapahit Trowulan


Sejarah Museum Majapahit Trowulan

Tampak samping Gedung utama Museum Trowulan Mojokerto. Di belakang bangunan gedung
utama terdapat bangunan joglo tanpa dinding yang digunakan untuk menyimpan arca-arca dan
benda-benda peninggalan lainnya. Benda yang disimpan di sini berasal dari jaman Kerajaan
Majapahit, Kerajaan Kahuripan, Kerajaan Kediri, dan juga Kerajaan Singasari.

Pada awalnya Sir Thomas Stanford Raffles, seorang gubernur jendral


Jawa menemukan reruntuhan kota kuno di sekitaran trowulan pada tahun 1811-
1816. Kemudian ia melaporkan temuan-temuan yang tersebar di sekitaran

1
Wawancara dengan Bapak Sunoto, 12 Mei 2016 pukul 23.10.
Trowulan tersebut. Pada waktu itu, wilayah Trowulan masih berupa hutan jati,
sehingga menyulitkan untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam dan
terperinci. Untuk mengatasi penjarahan dan penggalian yang ilegal maka
dibangunlah sebuah gudang sederhana untuk menyipan hasil-hasil temuan
tersebut.
Kemudian pada tanggal 24 April 1924 dibentuklah Oudheeidkundige
Vereeneging Majapahit atau disingkat OVM yang diprakarsai oleh R.A.A
Kromodjojo Adinegoro yang merupakan Bupati Mojokerto serta bekesjasama
dengan seorang arsitek Belanda yang juga berprofesi sebagai arkeolog, yaitu Ir.
Henry Maclaine Pont. OVM merupakan suatu organisasi atau pekumpulan yang
dibentukun untuk meneliti peninggalan-peninggalan Majapahit. Pada saat itu
OVM berkantor disebuah bangunan/rumah yang berada di areal situs trowulan
yang terletak di jalan raya Mojokerto-Jombang (sekarang kantor BP3 Trowulan).
Kantor tersebut digunakan untuk menyimpan hasil dari temuan artefak-artefak
baik melalui cara penggalian,survei, maupun penemuan secara tak sengaja.
Kemudian karena banyaknya temuan-temuan serta dirasa pantas untuk
dipamerka, maka pada tahun 1926 dibangunlah sebuah museum untuk
menyimpan sekaligus memamerkan hasil-hasil temuan yang kemudian dikenal
dengan nama Museum Trowulan. Museum ini terbuka untuk umum dan
didirikan bangunan khusus untuk tempat memamerkan koleksi-koleksi museum.
Ketika masa pendudukan Jepang pada tahun 1942, museum ini sempat
ditutup untuk umum karena Ir. Henry Maclaine Pont ditawan oleh Jepang. Guna
menjaga aset museum tersebut maka pemerintah mengambil alih
pengelolaannya. Semenjak Indonesia merdeka kemudian museum ini dikelola
oleh lembaga Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) yang sekarang
bernama Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur. Lembaga
atau kantor tersebut selain mengelola museum, juga melakukan perlindungan
peninggalan-peninggalan kuno yang tersebar di wilayah Jawa Timur. Sehingga
Museum Trowulan pada akhirnya menampung benda cagar budaya yang rawan
rusak atau hilang di tempat aslinya. Oleh karena itu, koleksi museum semakin
bertambah banyak. Untuk mengatasi hal tersebut kemudian Museum dipindah ke
tempat yang lebih luas berjarak sekitar 2km ke selatan dari tempat semula,
namun masih di areal situs Trowulan. Karena perpindahan tersebut kemudian
Museum tersebut juga berganti nama menjadi Balai Penyelamatan Arca.
Penamaan tersebut didasarkan atas fungsinya, yaitu sebagai tempat
penyelamatan arca dan sejenisnya. Walaupun museum tersebut telah berganti
nama, namun masyarakat masih mengenal dengan nama Museum Trowulan.
Jumlah koleksi Museum Trowulan semakin bertambah banyak pada
tahun 1999 karena adanya pemindahan dan penggabungan koleksi dari Gedung
Arca Mojokerto dengan Museum Trowulan. Penambahan tersebut terutama
berasal dari R.A.A Kromodjojo Adinegoro pada masa sebelumnya yang
disimpan di Gedung Arca Mojokerto. Kemudian perkembangan pada tahun 2008
tepatnya pada tanggal 3 November secara resmi berganti nama dari Balai
Penyelamatan Arca/ sering dikenal dengan museum Trowulan menjadi Pusat
Informasi Majapahit (PIM). Penamaan tersebut didasarkan atas peningkatan
kebutuhan masyarakat akan informasi tentang Majapahit baik oleh peneliti
maupun masyarakat umum.
Walaupun seiring perjalanannya museum ini sering berpindah dan
berganti-ganti nama, namun fungsi dan tujuan dasarnya tetap sama yaitu tetap
sebagai museum dan Balai Penyelamatan Benda Cagar Budaya di wilayah Jawa
Timur.

Koleksi Museum Majapahit Trowulan


Koleksi benda-benda kuno di museum sangat banyak jumlahnya. Mulai
dari benda-benda yang digunakan dalam sistem pertanian, masyarakat, arsitertur
kuno, keagamaan, serta kebudayaan kuno yang sebagian besar merupakan hasil
penemuan sisa-sisa dari zaman Majapahit. Seluruh koleksinya ini sangat berguna
untuk mengetahui keadaan dan kebudayaan masa lalu ketika zaman kerajaan
masih eksis di Indonesia. Seluruh benda koleksi tersebut dipamerkan baik di
dalam gedung pendopo maupun diluar gedung yang masih berada di sekitaran
area museum. Untuk memudahkan dalam meneliti dan mengkaji kemudian
benda-benda koleksi museum ini dibagi-bagi/ diklasifikasikan sesuai jenis dan
kegunaannya, antara lain :
1. Koleksi tanah liat (terakota)
Koleksi tersebut terdiri dari terakota manusia, benda-benda yang digunakan
sebagai alat produksi, alat-alat rumah tangga, serta arsitektur.
2. Koleksi keramik
Koleksi keramik yang terdapat dimuseum ini terdiri dari beragam bentuk
antara lain, guci, teko, piring/mangkok, sendok dan vas bunga. Koleksi
tersebut berasal dari Cina, Thailand, dan Vietnam.
3. Koleksi logam
Koleksi museum yang berupa benda dari bahan logam dibedakan dalam
beberapa kelompok, seperti koleksi mata uang kuno, koleksi alat-alat upacara,
lampu, persenjataan sererti ujung tombak dan keris, serta alat musik yang
terbuat dari logam.
4. Koleksi Batu
Koleksi museum ini yang berbahan batu diklasifikasikan menjadi koleksi
miniatur dan komponen candi, koleksi arca, relief, koleksi Prasasti. Sebagian
besar dari koleksi batu ini telah diteliti, namun juga ada yang belum diteliti
karena kondisi batu yang rusak sehingga menyulitkan para peneliti untuk
meneliti batu tersebut. Terdapat pula benda-benda berupa batu yang berasal
dari masa prasejarah, misalnya kapak lonjing, flakes serta fosil binatang masa
prasejarah.

Beberapa Contoh Koleksi Museum Majapahit Trowulan


1. Surya Majapahit
Surya Majapahit merupakan salah satu
ciri khas kesenian peninggalan Kerajaan
Majapahit yang pada bagian dalamnya
terdapat sembilan dewa penjaga mata angin
yang disebut dengan “Dewata Nawa Sanga”.
Dewa utama yang berada di lingkungan
utama terdiri dari: Siwa (pusat), Iswara
(timur), Mahadewa (barat), Wisnu (utara), Brahma (selatan), Sambhu (timur
laut), Rudra (barat daya), Mahesora (tenggara) dan Sangkara (barat laut).
Sedangkan Dewa Minor berada pada sinar yang memancar yang teardiri dari:
Indra (hujan/petir), Agni (api), Yama (maut), Nrrti (kesedihan), Baruna (laut),
Bayu (angin), Kuwera (kekayaan) dan Isana (kekuatan alam).
2. Sumur Kuna (Batu Bata Lengkung)
Sumur yang
ditemukan di situs
Trowulan ada dua jenis
bahan bakunya, yaitu
sumur dari bahan bata
dan gerabah. Sumur yang
berasal dari bahan bata
berbentuk persegi dan
bundar. Sumur yang
berbentuk persegi menggunakan bata persegi, sedangkan sumur bundar
menggunakan bata lengkung. Sumur yang berasal dari gerabah disebut
jobong.
Berdasarkan fungsinya ada tiga, yaitu sumur bata persegi biasanya
digunakan untuk kegiatan yang bersifat sakral, sumur bata lengkung dan
jobong biasa digunakan untuk keperluan rumah tangga dan pertanian, karena
biasanya ditemukan pada kompleks pemukiman kuna dan persawahan
3. Nisan Fatimah Binti Maimun
Nisan ini menurut Moh. Yamin yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
berisi:
a. Atas nama Allah Tuhan Maha
Penyayang dan Maha Pemurah bagi tiap
makhluk yang hidup di atas bumi.
b. Itu adalah bersifat fana, tetapi wajah
Tuhanmu yang bersemarak.
c. Dan gemilang itu tetap kekal adanya. Inilah kubur wanita yang menjadi
kubur Syahid.
d. Bernama Fatimah Binti Maimun, putera Hibatullah yang berpulang.
e. Pada hari Jum’at ketika Tujuh (malam) sudah berliwat (melewati) bulan
Rajab.
f. Dan pada tahun 475 Hijriyah (1082 Masehi) yang menjadi kemurahan
Tuhan Allah Yang Maha Tinggi bersama pula Rasul-Nya yang mulia.
4. Porselen Asing
Pada zaman dahulu,
masyarakat sudah menggunakan
porselin sebagai perabotan rumah
tangga, seperti piring, mangkuk,
sendok, cupu, buli-buli, vas,
tempayan, botol, ubin dan lain-
lain. Porselin pada saat itu
merupakan barang yang mewah,
karena untuk mendapatkannnya harus impor dari luar negeri. Kondisi itulah
yang dapat kita simpulkan bahwa kerajaan Majapahit sudah melakukan
hubungan dengan luar negeri lewat jalur perdagangan dan politik. Dibuktikan
dengan adanya ke porselen dari asing. Porselen asing yang ditemukan berasal
dari China, Thailand, Kamboja, dan Vietnam.
5. Koleksi Senjata

6. Alat Musik
Salah satu alat
music peninggalan
Majapahit adalah
alat-alat musik
gamelan. Gambaran
tentang jenis-jenis
alat musik gamelan
dapat dilihat dalam
relief candi
Penataran, candi Rimbi dan candi Sukuh. Gamelan pada masa Majapahit
berfungsi sebagai penambah semangat dalam berperang, upacara keagamaan,
untuk dinikmati dan pengiring seni pertunjukkan seperti sendratari, wayang,
lawak dan tandak atau tayub.
7. Situs Pemukiman BPA Majapahit
Situs pamukiman BPA
Majapahit letaknya berada di
selatan Museum Majapahit
yang secara administrasi
masuk desa Trowulan,
Kecamatan Trowulan,
Kabupaten Majapahit.
Bangunan ini merupakan
peninggalan dari perumahan dari masyarakat Majapahit dengan ukuran 5,2 m
dan lebar 2,15 m dengan kapasitas 2-3 orang. Tangga terdiri dari 3 undakan
dengan ukuran panjang 50cm, lebar 50 cm dan tinggi 25 cm pada sebelah
utara. Hal itulah yang dapat disimpulkan bahwa rumah-rumah pada saat itu
menghadap ke utara sekitar 100 ke arah timur laut. Perumahan itu terbuat dari
batu bata merah, atap terbuat dari atap terakota dan di sekeliling rumahnya
terdapat selokan seluas 78 cm. Di sebelah utara timur terdapat halaman
dengan posisi lebih rendah 50 cm dari batur bangunan. Halam utara
diperkeras dengan susunan batu kerakal yang dalam keluasan tertentu
dibingkai segi empat dengan bata-bata yang diletakkan secara horizontal.
Luas halaman utara adalah 6x4 m2. Konsep ini merupakan konsep yang sudah
modern pada saat itu, kerna halaman akan tidak becek pada musim hujan dan
tidak berdebu pada musim kemarau. Pada halaman timur rumah juga
ditemukan sisa-sisa perkerasan dengan kerakal berbingkai sama halnya di
halaman utara dengan luas 10x5 m2. Pada bagian tengah halaman ditemukan
jembangan yang diduga berfungsi sebagai tempat air yang setiap saat
diperlukan orang ketika berada di halaman itu. Di sisi barat dan timur
halaman ini ditanamkan sebuah wadah tembikar. Terdapat pula selokan
terbuka di halaman timur dengan lebar 10-15 cm dengan kedalaman 8-10 cm.
8. Perhiasan

9. Uang kepeng sebagai bukti perekonomian masa Majapahit


Berdaskan bukti-bukti
sejarah dan arkeologis
bahwa Majapahit sudah
melakukan hubungan
perekonomian dalam
halperniagaan baik lokal
maupun regional. Dalam
Ying Yai Sheng Lan
disebut ada beberapa kota
pelabuhan yang berada di bawah kekuasaan Majapahit, yitu Tuban, Gresik
dan Surabaya. Pelebuhan itu sudah dikunjungi oleh pedagang asing seperti
Arab, Persia, Turki, India dan Cina. Selain itu, dalam melakukan
perdagangan, pedagang Majapahit juga melakukan perdagangan ke luar kota,
seperti Banda, Ternate, Ambon, Banjarmasin, Malaka sampai ke kepulauan
Fhilipina. Bukti tersebut tertulis dalam Kitab Nagarakertagama dan termasuk
dalam kategori negeri yang menyerahkan upeti dalam sistem pertukaran
tributari. Pedagang membawa beras dan hasil bumi untuk ditukarkan dengan
barang yang diperlukan seperti keramik, tekstil dan rempah-rempah. Selain
dengan sistem pertukanan (barter/tributari) juga sudah dikenal sistem mata
uang dalam transaksi jual beli. Jenis mata uangnya seperti uang gobog dan
uang ma dari perak dan emas. Selain itu juga kepeng mas dari Dinasti Tang,
Song, Ming dan Qing juga berlaku. Dalam transaksi jual beli sudah mengenal
alat satuan ukur yang terbuat dari terakota dan batu.

10. Lingga dan Yoni


Secara teknis Yoni
merupakan landasan penyalur
air yang digunakan untuk
membasuh Lingga atau arca.
Menurut mitologinya Lingga-
Yoni sangat dipja oleh para
pengikutnya. Yoni merupakan
simbol perempuan atau
kesubuan yang selalu
dikaitkan dengan Lingga. Menurut kepercayaan, dulu terdapat dualisme
yaitu laki-laki dan perempuan. Lingga melambangkan laki-laki atau
pencipta dan di alam agama Hindu dipercaya sebagai manifestasi Dewa
Siwa. Secara umum Lingga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Brahmabhaga
(bagian bawah yang berbentuk segi empat, Visnubhaga (bagian tengah yang
berbentuk segi delapan) dan Civabhaga (bagian atas yang berbentuk
lingkaran).
11. Gajasura Samhara Murti
Gajasura Samhara Murti adalah
salah satu aspek Dewa Siwa dengan
wujud menakutkan atau menyeramkan.
Terdapat delapan aspek Dewa Siwa
dalam Samhara Murti, salah satunya
Gajasuwa Samhara Murti yang berarti
pembunuh Gandarwa berbentuk gajah.
Dalam teks Suprabhedagama,
diceritakan bahwa raja Gandarwa
bernama Andhara akan melarikan Dewi Parwati (iastro Dewa Siwa). Ia
dibantu Gandarwa bernama Nila yang merubah wujudnya menjadi gajah
dengan maksud akan membunuh Dewa Siwa. Akan tetapi, rencanyanya telah
diketahui oleh Virabhadra (putra Dewa Siwa) yang kemudian merubah
wujudnya menjadi singa dan berhasil membunuh Nila. Virabhadra lalu
mempersembahkan kulit gajah (Nila) tersebut kepada Dewa Siwa setelah
peristiwa itu terjadi. Akhirnya DewaSiwa dapat menghancurkan Gandarwa
Andhaka (Gajasura Vadha Murti).
12. Peralatan Rumah Tangga
Masyarakat Majapahit telah
mengenal berbagai macam peralatan
rumah tangga, seperti sendok, piring,
gentong untuk tempat air dan lain-lain.
Baik itu yang berbahan dari tanah liat,
porselin bahkan tembaga.Gambar di
atas merupakan contoh dari gentong
air. Funsinya adalah sebagai
penampungan air yang terletak di
tengah-tengah komplek perumahan Majapahit untuk keperluan bersama-
sama.
C. Candi-Candi di Kawasan Trowulan
1. Candi Brahu
Candi Brahu merupakan salah
satu candi yang terletak di dalam
kawasan situs arkeologi Trowulan,
bekas ibu kota Majapahit. Tepatnya,
candi ini berada di Dukuh Jambu Mente,
Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan,
Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, atau
sekitar dua kilometer ke arah utara dari
jalan raya Mojokerto Jombang. Asal
nama candi ini, yaitu “Brahu”, diduga berasal dari kata wanaru atau warahu.
Wanaru memiliki sebuah arti yakni bangunan suci yang disebut dalam
Prasasti Alasantan. Prasasti tersebut ditemukan tak jauh dari Candi Brahu.
Bangunan Candi Brahu dibangun dengan batu bata merah, menghadap ke
arah barat dan berukuran panjang sekitar 22,5 m, dengan lebar 18 m, dan
berketinggian 20 meter.
Candi Brahu, menurut sebuah riwayat kesejarahan, dibangun pada
masa Kerajaan Mataram kuno, zaman pemerintahan Mpu Sendok. Hal ini
didasarkan bukti prasasti Alasantan yang ditemukan tak jauh dari lokasi
candi. Pada prasasti tersebut, tertulis sebuah tempat yang bernama Wanaru
sebuah nama yang menjadi cikal bakal penamaan candi difungsikan sebagai
tempat suci umat Budha. Prasasti ini, menurut para sejarawan, sudah ada
sejak tahun 939 M. dan, itu dibuat atas perintah Mpu Sendok, penguasa
Kerajaan Kahuripan kala itu.
Candi Brahu dibangun dengan gaya dan kultur Budha. Diperkirakan,
candi ini didirikan pada abad ke-15 Masehi meskipun masih terdapat
perbedaan pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan bahwa candi ini
berusia jauh lebih tua daripada candi-candi lain di sekitar Trowulan.
Bangunan ini sebagian telah rusak, tetapi sekarang sudah dipugar. Pemugaran
dilakukan oleh Belanda pada tahun 1920, selanjutnya pemugaran dilanjutkan
tahun 1990/1991 hingga tahun 1994/1995, dan dikerjakan oleh proyek
pembinaan peninggalan sejarah dan kepurbakalaan bekas kota kerajaan
Mojopahit, Jawa Timur. Candi brahu tidak mempunyai hiasan, pada bagian
atap terdapat sisa profil berdenah lingkaran yang diduga sebagai bentuk stupa.
Masa pendirian Candi Brahu berasal dari abad 10 M.
Menurut cerita rakyat, Candi Brahu berfungsi sebagai perabuhan atau
membakar mayat, tetapi tidak ada bukti arkeologis yang mendukung cerita
rakyat tersebut. Bilik Candi saat ini telah kosong, tetapi didinding timur bilik
masih terdapat Altar tempat sesaji. Diduga di sekitar candi ini banyak
terdapat candi-candi kecil. Sisa-sisanya yang sebagian sudah runtuh masih
ada, seperti Candi Muteran, Candi Gedung, Candi Tengah, dan Candi
Gentong. Saat penggalian dilakukan di sekitar candi banyak ditemukan benda
benda kuna, semacam alat-alat upacara keagamaan dari logam, perhiasan dari
emas, arca, dan lain-lainnya.
Kertanegara berusaha menggabungkan ajaran syiwa dan Budha, jika
dalam agama Hindu aliran ini disebut tantrayana. Tantrayana ini adalah aliran
ekstrim yang ddalamnya terdapat ritual yang namanya pancamakara puja
yakni jika dalam ajaran Islam bahwa malima itu dilarang namun dalam
konteks pancamakara puja ini, malima malah dilakukan. Kertanegara ketika
terbunuh dalam kondisi mabuk mabukan, dalam kepercayaanya hal tersebut
adalah pancamakara puja. Di dalamnya terdapat ritual meminum darah,
makan daging manusia, mabuk mabukan dan bersetubuh, dan menari sampai
pingsan. Semua hal itu harus dilakukan sebagai syarat sah dalam ritual rutin.
Dalam kegiatan ritualnya dilakukan secara melingkar di sekitar candi
brahu ini, dengan persembahan berupa mayat, darah dan minuman yang
memabukan pada saat itu, hal ini terus berlangsung secara terus menerus,
sampai masuknya agama Islam yang perlahan mengubah pikiran yang salah
dan bersifat haram pada saat itu menjadi benar menurut syariat Islam. Islam
menyebarkan agama yang saat itu masyarakatnya masih dominan menganut
Hindu. Islam mempunyai keistimewaan yang ditorehkan dari para wali, dan
sunan yang mengajarkan syariat Islam beserta laranganya pada setiap
manusia. Bahkan Islam sampai brani menyentuh tradisi Hindu yang ada turun
menurun menjadi sebuah bentuk pengajaran Islam dalam bentuk tradisi yang
dapat diterima oleh masyarakatnya. Seperti bentuk akulturasi kenduri yang
jika di lihat posisi melingkar yang dilakukan oleh sebagian orang dengan
dibekali makanan saji adalah bentuk dari akulturasi agama Hindu dengan
Islam yang pada saat itu menggambarkan lingkaran yang dibuat dengan di
berikan makanan saji adalah bentuk pergantian dalam ajaran Islam yang telah
berhasil mengubah pola pikir manusia dari ajaran Hindu dengan ritual
sesembahanya, menjadi hasil kebudayaan baru menurut ajaran Islam yakni
melingkar dengan diberikan bahan makanan saji yang halal dengan diiringi
doa bacaan Al-Quran. Oleh sebab itu Islam mampu diterima oleh kalangan
masyarakatnya pada saat itu, dan mengubah pola pikir masyarakatnya
menjadi lebih baik lagi sesuai ajaran Islam sampai saat ini.
2. Candi Bajangratu
Candi Bajangratu
terletak di Dukuh Kraton,
Desa Temon, Kecamatan
Trowulan, Kabupaten
Mojokerto, sekitar 3,5
km dari Candi
Wringinlawang dan
sekitar 600 m dari Candi
Tikus. Berbentuk
paduraksaa yaitu gapura yang memiliki atap. Di majapait terdapat dua jenis
gapura yaitu ada bentar yaiu gapura terbelah dan gapura paduraksa yaitu
gapura yang memiliki atap. Gapura ini berhubungan erat dengan wafatya
prabu jayanegara. Bajang yang artinya kecil atau muda dan ratu yang artinya
raja, dalam hal ini adalah raja jayanegara yang meninggal masih bujang,
belum memiliki istri dan putra.
Pembangunan gapura ini didirikan berfungsi sebagai : yang pertama
dibangun sebagai pintu masuk bangunan suci, yang kedua untuk
memperingati wafatnya raja jayanegara, raja majapahit yang ke-2 yang wafat
pada tahun 1328 masehi, dan yang ketga untuk upacara serada, upacara 12
tahun setelah wafatnya sang raja. Gapura ini bercorak hindu yang kanan
kirinya terdapat sayap yang dilambangkan sebagai pelepasan arwah. Ada
relief Ramayana seorang kera yang membunuh raksasa, yaitu anoman yang
membunuh rahwana. Anoman sebagai symbol kebaikan dan Rahwana
sebagai simbol kejahatan. Dikaki candi terdapat relief Sri Tanjung, ia adalah
cucu dari Pandawa. Relief ini menceritakan tentang Dewi Uma yang dituduh
suaminya berselingkuh dengan cara bunuh diri, jika darahnya masuk kedalam
air dan berbau wangi maka ia tidak bersalah, karena belum waktunya
meninggal,ia kemudian dikembalikan oleh ikan. Di atap pintu terdapat relief
kala, yaitu sebagai simbol untuk menolak roh jahat.
Terdapat perbedaan antara kala jawa tengah dengan jawa timur, yaitu
Jawa Timur lengkap dengan dagu sedangkan di Jawa Tengah hanya rahang
atas saja. Di Jawa Timur kala lepas dengan makara, sedangkan di Jawa
Tengah jadi satu dengan makara, maka sering disebut sebagai kalamakara.
Tangan dari kala di Jawa Timur memiliki sikap mudra yaitu sikap tangan dan
ibu jari, yang mengindikasikan bahwa di dunia manusia hanya terdapat 2
pilihan yaitu kebaikan atau keburukan.
Candi Bajangratu diperkirakan dibangun pada abad ke-14 dan
merupakan salah satu gapura besar pada zaman keemasan Majapahit.
Menurut catatan Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto, candi
atau gapura ini berfungsi sebagai pintu masuk bagi bangunan suci untuk
memperingati wafatnya Raja Jayanegara yang dalamNegarakertagamadisebut
"kembali ke dunia Wisnu" tahun 1250 Saka (sekitar tahun 1328 M).
Mengingat bentuknya yang merupakan gapura paduraksa atau gapura beratap
dengan tangga naik dan turun, Bajangratu diduga merupakan salah satu pintu
gerbang Keraton Majapahit. Perkiraan ini didukung oleh letaknya yang tidak
jauh dari lokasi bekas istana Majapahit. Orientasi dari gapura Bajangratu itu
sendiri adalah menghadap ke selatan, hal ini berkaitan dengan Hindu yang
arah kiblatnya gunung, gunung dinggap sebagai penghubung antara alam
nyata dengan alam baka,kosmologi orang hindu adalah gunung
penanggungan.
Gapura ini dibangun dengan menggunakan batu andesit dan juga batu
bata merah. Tangga dari gapura ini diatasnya adalah batu andesit sedang batu
bata merah di bawah. Hal ini bertujuan agar alas bangunan suci tidak
tergenang air, hal tersebut menandakan bahwa teknologi pada masa itu sudah
maju, kapilerisasinya sangat bagus. Untuk menjaga komposisi bangunan agar
tidak lapuk, biasanya dilakukan konservasi baik sistem basah maupun sistem
kering, sedangkan untuk menghilangkan lumut bisa melalui sistem kimia
menggunakan AC322. Yang menarik atapnya masih terbuat dari batu andesit
asli, oleh pemerintah hindia 1915 diberi penyangga agar tidak runtuh.
Diperkirakan bangunan ini anfinish, dikarenakan faktor politik,
karena antara satu raja dengan raja yang lain berbeda pemikirannya. Setelah
wafatnya sang raja yang melakukan upacara keagamaan adalah tribuana
1328-1330 masa sebelum hayam wuruk, tribuana dan hayam wuruk memiliki
sedikit perbedaan, hayam wuruk lebih condong mempersatukan nusantara.
Sudah dilakukan penelitian untuk mencari bangunan lain, namun tidak pernah
ditemukan bangunan suci lainnya. di hindu, gapura ini sudah
mengidentifikasikan sebagai bangunan suci.
Bajangratu ini adalah bangunan peninggalan yang paling utuh dari
seluruh peninggalan yang ada di Trowulan. Namun, bangunan ini telah
dilakukan restorasi beberapa kali. Atap bangunannya masih utuh dari kaki
atap hingga puncak. Atap tersebut tingginya 16,50 meter. Atap candi
berbentuk meru (gunung), mirip limas bersusun, dengan puncak persegi.
Setiap lapisan dihiasi dengan ukiran dengan pola limas terbalik dan pola
tanaman. Pada bagian tengah lapis ke-3 terdapat relief matahari, yang konon
merupakan simbol kerajaan Majapahit. Walaupun candi ini menghadap timur-
barat, namun bentuk dan hiasan di sisi utara dan selatan dibuat mirip dengan
kedua sisi lainnya. Di sisi utara dan selatan dibuat relung yang menyerupai
bentuk pintu. Di bagian atas tubuh candi terdapat ukiran kepala garuda dan
matahari diapit naga.
Candi Bajangratu menempati area yang cukup luas. Seluruh bangunan
candi dibuat dari batu bata merah, kecuali anak tangga dan bagian dalam
atapnya, yaitu terbuat dari batu andesit. Kondisi yang cukup unik yang
terlihat dari candi Bajangratu ini adalah atapnya yang terbuat dari batu andesit
masih asli dari awal pembuatannya. Ketinggian candi sampai pada puncak
atap adalah 16,1 m dan panjangnya 6,74 m. Gapura Bajangratu mempunyai
sayap di sisi kanan dan kiri. Pada masing-masing sisi yang mengapit anak
tangga terdapat hiasan singa dan binatang bertelinga panjang. Pada dinding
kaki candi, mengapit tangga, terdapat relief Sri Tanjung, sedangkan di kiri
dan kanan dinding bagian depan, mengapit pintu, terdapat relief Ramayana.
Pintu candi dihiasi dengan relief kepala kala yang terletak tepat di atas
ambangnya. Di kaki ambang pintu masih terlihat lubang bekas tempat
menancapkan kusen. Mungkin dahulu pintu tersebut dilengkapi dengan daun
pintu. Bagian dalam candi membentuk lorong yang membujur dari barat ke
timur.
Adanya simbol sakral yang lainnya seperti singa, garuda, dan naga
yang dipercayai umat indu maupun umat Budha sebagai sosok Magis yang
dulunya menjadi kendaraan untuk menuju kedunia lain dan dalam
kepercayaan budaya Majapahit adalah sebagai pelindung dan penolak mara
bahaya. Hal ini tentunya menjadi daya tarik juga bagi candi Bajangratu itu
sendiri.
3. Gapura Wringin Lawang
Situs Trowulan merupakan situs kota
(town site, city site atau urban site) yang
pernah ditemukan di Indonesia. Situs yang
diduga bekas pusat kerajaan Majapahit ini
memiliki luas 11 x 9 Km. meliputi wilayah
kabupaten Mojokerto dan kabupaten
Jombang. Di kawasan itu terdapat tinggalan-
tinggalan arkeologi yang ditemukan dalam
jumlah yang cukup besar dan jenis temuan
yang beraneka ragam. Dari bangunan yang
bersifat monumental, seperti candi, petirtaan,
pintu gerbang, fondasi bangunan sampai
yang berupa artefak, seperti arca, relief, benda alat upacara, alat rumah
tangga, dll. Peninggalan kuno tersebut telah menarik begitu banyak ahli untuk
meneliti. Peneliti pertama tercatat tahun 1815 adalah Wardenaar yang atas
perintah Raffles melakukan penelitian di daerah Trowulan. Hasilnya terdapat
dalam buku “History of Java” karangan Raffles yang terbit tahun 1817.
Peneliti berikutnya adalah WR van Hovell (1849), JFG Brumund (1854) dan
Jonathan Rigg yang hasilnya terbit dalam “Jurnal of The Indian Archipelago
and Eastern Asia”.
Pada tahun 1914 R.A.A. Kromojoyo Adinegoro Bupati Mojokerto
berhasil menemukan candi Tikus. Beliau juga merintis pendirian museum
Mojokerto dengan koleksi benda-benda yang berasal dari kerajaan Majapahit
yang ditemukan di Trowulan. Kantor penelitian khusus situs Trowulan juga
didirikan oleh Henri Maclaine Pont, seorang insinyur perkebunan yang punya
perhatian besar terhadap kepurbakalaan. Hasil penggalian yang dilakukan
sejak tahun 1921 – 1924 dicocokkan dengan uraian dalam kitab
Negarakertagama dan membuahkan sketsa rekonstruksi Kota Majapahit. Pada
era kemerdekaan kegiatan penelitian dilakukan oleh Dinas Purbakala dan
Peninggalan Nasional seksi bangunan di Trowulan sejak 1953. dengan
disertai kegiatan pemugaran sebagai bagian dari upaya pelestarian warisan
budaya. Kehadiran Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas)
sejak tahun 1970 untuk melakukan penggalian juga telah memberikan andil
besar dalam mengungkap kebesaran Majapahit. (Arnawa I.G.Bagus L,
2004:1-3). Banyak situs-situs di Trowulan yang telah dipugar untuk menjaga
keindahannya, sehingga mampu menarik wisatawan untuk berkunjung
ketempat ini. Seperti halnya Candi Bajang Ratu, Candi Brahu, Gapura
Waringin Lawang, Makam Troloyo, dan Kolam Segaran.
Candi Wringin Lawang terletak di Dukuh Wringin Lawang, Desa
Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur,
yang berada di tepi jalan raya Surabaya Jombang, Tempatnya 11 km dari
Mojokerto kearah Jombang, dari museum BPCB diperkirakan 700 m
keselatan masuk kearah timur diperkirakan 200 m. Gapuro Wringin Lawang
merupakan salah satu peninggalan kerajaan Majapahit yang masih berdiri
hingga kini. Wringin artinya pohon dan lawang artinya pintu. Dan
diperkirakan dibangun pada abad ke XIV. Gapura ini terbuat dari bata
merah, kecuali anak tangganya terbuat dari batu. Bentuk bangunan nya adalah
Candi Bentar. Denah bangunan berbentuk empat segi panjang dengan ukuran
panjang 13 m, lebar 11,5 m, dan tinggi 15,5 m. Bangunan ini menghadap
timur-barat. Jarak antar bagian gapura lebarnya 3,5 m dengan sisa-sisa anak
tangga pada sisi timur dan barat. Bangunan ini berada di permukaan tanah
pada ketinggian 36,42 m diatas permukaan laut, dengan orientasi bangunan
kearah timur-barat dengan azimuth 279 derajat. Sebelum dipugar, gapura sisi
utara sebagian tubuh dan puncaknya telah hilang, tersisa tingginya 9 m.
Bentuk yang ada sekarang adalah bentuk yang sudah direkonstruksi, di pugar
tahun 1991/1992 s.d. 1994/1995, sehingga yang terlihat saat ini adalah
bangunan yang sudah utuh. Wringin Lawang diperkirakan menghadap ke
arah barat, sebagai jalan masuk ke kompleks bangunan (Kusumajaya, BPCB
Jatim).
Bangunan ini mulai dikenal pada tahun 1815, oleh Raffles dalam
bukunya: History Of Java 1, disebut dengan nama “Gapuro Jatipasar”.
Sementara berdasarkan cerita Knebel dalam tulisanya tahun 1907
menyebutkan sebagai Gapuro Wringin Lawang. sebutan Wringi Lawang
dikaitkan dengan adanya dua pohon beringin yang mengapit dan tingginya
melebihi gapuro tersebut pada saat pertama kali ditemukan.Gapuro Wringin
Lawang kemudian di publikasikan kembali pada tahun 1912 dimana candi ini
ditemukan oleh masayarakat setempat pada saat pertama kali gapuro ini
ditemukan dalam keadaan rusak. (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,
2007: 111). Gapuro Wringin Lawang sering disebut pula sebagai candi
Jatipasar. Sebutan yang digunakan terkadang gapuro, terkadang candi. Akan
tetapi lebih tepat jika Wringin Lawang disebut sebagai Gapuro, bangunan
Gapuro Wringin Lawang termasuk tipe gapuro belah serupa dengan (Candi
Bentar) Gapuro ini serupa dengan bangunan candi, tetapi seolah-olah dibelah
menjadi dua bagian yang sama.
Candi Wringin Lawang ini merupakan bangunan yang termasuk
dalam tipe candi bentar, yaitu gapura yang tidak memiliki atap. Bangunan ini
sering sekali dijumpai di daerah Bali. Dalam konsep Hindu candi Bentar
memiliki makna simbolik, yaitu bahwa di dunia ini hanya memiliki dua
pilihan dalam hidup yaitu baik dan buruk. Menurut kepercayaan penduduk
setempat bahwa Gapura Wringin Lawang merupakan pintu gerbang sebelah
Utara dari kerajaan Majapahit, sedangkan Candi bajang Ratu merupakan
gerbang bagian Selatan. Di dekat gapura dahulu juga dilengkapi dengan
paseban, yaitu tempat menunggu bagi orang-orang yang akan sowan kepada
raja Majapahit. Candi Wringin Lawang ini menurut kepercayaan penduduk
digunakan sebagai ruwahan, sembahyang, ritual, dan sebagai pintu memasuki
sebuah komplek bangunan, dimana di tengah gerbang antara bangunan yang
kiri dan bangunan yang kanan terdapat di salah satu sisi yang lain, menjumpai
ada batu andesit yang berjajar terbentuk persegi panjang. Batu tersebut
sepertinya ada relif-relif akan tetapi tidak diketahui dengan jelas relif itu
tentang apa dan apa maksudnya karena hanya berupa garis-garis yang
membentuk pola tertentu saja. Batu tersebut digunakan sebagai wadah sesajen
bagi masyarakat yang melakukan ritual tersebut. Disana juga ada tungkecil
yang terbuat dari tanah lait untuk membakar dupa atau kemenyan. Selain itu
bekas sesajin yang berupa daging ayam bagian kepala, cakar dan ekor.
Rupanya sesajin daging ayam itu berasal dari warga setempat atau
pengunjung candi yang mengadakan selamatan di Candi Wringin Lawang
dengan bertempat di tiga batu yang berjajar itu.
4. Candi Tikus
Sebelum ditemukan,
candi ini digunakan
sebagai sarang hama
tikus. Salah satu
penduduk di Mojokerto
pada tahun 1914
melaporkan kepada
bupati yang waktu itu di
jabat oleh R.A.A.
Kromodjojo Adinegoro
bahwa terdapat sarang tikus yang di suatu gundukan. Setelah gundukan
tersebut dibongkar, ternyata ditemukan sebuah candi hingga akhirnya
masyarakat menyebut candi tersebut sebagai Candi Tikus. Jadi, asal mula
nama candi itu bermula dari adanya sarang tikus di tempat itu. Pada masa
Kerajaan Majapahit, candi ini digunakan untuk petirtaan suci sebelum
melakukan upacara keagamaan. Untuk struktur bangunannya terdapat dua
bilik yaitu di sebelah utara yang digunakan oleh laki-laki dan di sebelah
selatan yang digunakan oleh perempuan. Penggunaan bilik tersebut, sebelah
kanan untuk para lelaki, sedangkan perempuan di sebelah kiri. Jadi candi
tikus ini lebih condong ke petirtaan suci, bukan candi maupun gapura.
Perempuan yag sedang datang bulan tidak diperbolehkan masuk karena saat
mandi mereka dipisahkan, namun saat berganti baju mereka berada dalam
satu altar.
Konteks Candi Tikus merupakan kosmologi dunia yang mana candi
induk terletak di tengah bagian utara yang diimplementasikan sebagai
kesucian dari Gunung Mahameru atau Gunung Manggara yang ada di India.
Candi induk tersebut dikelilingi oleh empat candi-candi kecil yang
diimplementasikan sebagai benua, dan delapan candi-candi dibawahnya yang
diimplementasikan sebagai samudra. Konteks tersebut merupakan konsep
kosmologi dunia yang menggabungkan antara mikrokosmos dan
makrokosmos yaitu dunia manusia dan alam semesta. Pada dinding bagian
bawah, terdapat jaladwara atau pancuran air yang terbuat dari batu andesit
yang bermotif makarasamalotus yang berarti teratai yang mekar. Indikasi ini
menunjukkan bahwa candi ini di bangun pada abad-14, namun belum
diketahui pada masa pemerintahan siapa Candi Tikus ini di bangun. Teratai
merah disebut lotus, teratai putih disebut kumuda, dan teratai ungu disebut
upala.
Bangunan Candi Tikus ini berdiri lebih rendah dari permukaan tanah
yang ada disekitarnya, yaitu kurang lebih sedalam 3,5 meter sehingga untuk
mancapai lantai dasar harus menuruni anak tangga yang berada di sebelah
utaranya. Candi ini berdenah bujur sangkar dengan ukuran 22,5 x 22,5 m,
serta tinggi dari lantai sampai puncak candi adalah 5,20 meter. Bahan
bangunannya di dominasi bata merah, sedang batu andesit digunakan untuk
pancurannya. Dinding candi ini berteras untuk menahan tanah disekitarnya.
Ciri khas petirtaan di Kerajaan Majapahit adalah terdapat tiga
tingkatan atau terasan. Pada masa Majapahit, ketika jaladwara bisa keluar air,
maka tempat ini tidak boleh tergenang air karena ini merupakan tempat
petirtaan suci. Jadi terdapat saluran pembuangan ke utara dan selatan. Waktu
itu, tempat ini digunakan untuk penyucian diri. Air diambil dari jaladwara
yang kemudian dimasukkan ke dalam bilik untuk mensucikan diri. Sekarang
jaladwara sudah tersumbat dan tidak bisa mengeluarkan air, maka
difungsikan untuk menampung air hujan agar tidak lepas dari konteks
petirtaan itu sendiri.
Candi induk diletakkan di tengah bagian utara namun tidak di selatan,
padahal konteksnya dalam hindu itu di selatan karena Gunung Himalaya
maupun Gunung Mahameru berada di sebelah utara India dan Indonesia.
Gunung Himalaya ada di sebelah utaranya, maka diimplementasikan dalam
bentuk bangunan suci atau candi. Konsep ini berbentuk meru.
Belum diketahui, apakah candi ini digunakan untuk kalangan orang-
orang menengah ke atas atau semua golongan, namun yang jelas bila berkaca
dari Tirta Empul, maka semua golongan masyarakat boleh menggunakan
bangunan suci ini seperti halnya Tamansari di Yogyakarta. Candi Tikus ini
tidak ada hubungannya dengan Gapura Bajang Ratu. Menurut Agus
Arismunandar, yang ada hubungannya dengan Gapura Bajang Ratu adalah
Candi Minak Jinggo yang terletak di timur kolam segaran. Gapura Bajang
Ratu di bangun pada abad ke 13-14. Satu hal lagi yang menarik di Majapahit,
bahwa bangunan ini tidak mengandalkan sumber air dari gunung sehingga
harus diletakkan di bawah untuk menekan air supaya keluar.
Sebuah petirtaan suci, pasti terdapat gapura atau pintu masuk. Di
candi ini terdapat gapura namun hanya berukuran pendek tidak seperti gapura
lain yang ukurannya tinggi-tinggi karena saat ditemukan ukuran gapuranya
sudah seperti itu. Hal ini berkaitan dengan kriteria syarat pemugaran cagar
budaya dimana tidak boleh merubah bentuk fisik dari bangunan tersebut. Gua
Gajah yang ada di Bali yang di bangun oleh Empu Katrunan satu periode
dengan Gua Selomanglengyang ada di Kediri yang di bangun oleh Puteri
Airlangga. Perbedaan Tamansari dengan petirtaan ini yaitu kalau Tamansari
digunakan oleh pejabat kerajaan, sedangkan Candi Tikus ini belum diketahui.
Petirtaan untuk religiusitas, sedangkan keputren untuk kesenangan duniawi.

Anda mungkin juga menyukai