Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PAI

SUNAN MURIA

MTsN 2 PASER
IX - D

Kelompok :

1.saidah
2.nurhaliza

TAHUN j
Pendahuluan
Sebagaimana telah diakui oleh para sejarawan Islam
Indonesia, bahwa di dalam penulisan sejarah dan riwayat hidup para
Wali di Jawa, amat sedikit bahan-bahan otentik yang dapat
dipergunakan dalam penulisan sejarah para Wali tersebut.
Amat langkanya sumber-sumber sejarah yang otentik dan
hampir tidak adanya prasasti-prasasti atau inskripsi-inskripsi yang
mengungkapkan sejarah yang sebenarnya dari para Wali menyebabkan
sulitnya menulis sejarah para Wali tersebut. Dan ternyata, telah
banyak tersebar cerita rakyat dan dongeng-dongeng yang
disambungkan dengan para Wali. Cerita rakyat dan dongeng tersebut
telah diwariskan dari generasi ke generasi, dibumbui dengan takhayul
yang dihubungkan dengan tempat-tempat angker dan makam keramat.
Dalam sejarah Wali Songo di tanah Jawa, tokoh Sunan Muria
adalah satu di antaranya. Makalah ini akan membongkar sejarah dari
Sunan Muria tersebut, beserta peninggalan-peninggalannya.

BAB 1
Mengenal Sunan Muria
“Apakah Sunan Muria Keturunan
Tionghua?”
i) Berita dari Klenteng Sam Po Kong Semarang
Apakah benar telah ditemukan dokumen di
Klenteng Sam Po Kong mengenai Sunan Muria?
Jawabannya adalah “Ya”. Hal tersebut bermula ketika
pada tahun 1928, Poortman menjadi Acting Adviseur
voor Inslandsche Zaken van het Binnenlandsch Bestuur
di Batavia, yakni semacam Pejabat Penasehat Urusan
Pemerintahan Dalam Negeri di Jakarta kala itu. Pada
tahun itu, Poortman ditugaskan oleh Kolonial Belanda
untuk menyelidiki apakah benar bahwa Raden Patah
adalah orang Tionghua.
Akhirnya, Poortman berangkat ke Semarang.
Kebetulan sekali, pada waktu itu sedang terjadi
pemberontakan oleh kaum komunis, maka baginya
adalah kesempatan yang baik, yakni sebagai alasan
untuk menggeledah klenteng Sam Po Kong tersebut.
Setelah mencari dan mencari, pada akhirnya Poortman
menemukan dokumen yang kemudian dijadikan sebagai
penyelidikan. Dikatakan dalam dokumen tersebut, tidak
hanya Raden Patah saja yang dikatakan sebagai orang
Tionghua, tetapi tokoh-tokoh kerajaan Islam Demak
lainnya dan banyak di antara para wali songo adalah
orang-orang Tionghua belaka. Kesimpulan itu
dihubungkan pula dengan keterangan dan dokumen
yang ditemukan di klenteng Talang Cirebon
Namun hasil penelitian Poortman itu, atas
permintaannya sendiri tetap dirahasiakan oleh
Pemerintah Kolonial Belanda, hanya boleh digunakan di
kantor oleh pejabat-pejabat tertentu, dengan alasan
demi ketentraman pulau Jawa. Karena jika hasil
penelitian itu diketahui oleh umum secara luas, sudah
pasti menembulkan kegoncangan dalama masyarakat
Islam pulau Jawa. Di kalangan masyarakat Tionghua
mungkin timbul rasa kebanggaan, karena di antara
orang-orang Tionghua perantauan terdapat orang-orang
penting baik dalam ketatanegaraan maupun dalam
kehidupan keagamaan. Maka tidak sembarang orang
yang boleh membacanya, kecuali hanya dapat dibaca di
kantor-kantor saja oleh pejabat-pejabat tertentu.
Hasil penelitian Poortman itu termuat dalam
preambule suatu prae-advies (prasaran) kepada
pemerintah kolonail Belanda, dan prasaran tersebut
diberi tanda GZG singkatan dari Geheim Zeer Geheim,
yang artinya: sangat rahasia. Ditambah dengan
keterangan Uitsluitend voor Dienstgebruik ten kantore,
yang artinya: hanya boleh digunakan di kantor saja.
Prasaran Poortman tersebut dalam bentuk cetakan,
tetapi jumlahnya hanya 5 buah saja dengan tanda
angka. Prasaran itu dimaksudkan terutama hanya bagi:
1. Perdana Menteri Colijin
2. Gubernur Jendral Hindia Belanda
3. Menteri Jajahan
4. Arsip Negara di Rijswijk, Den Haag
5. Tentunya Poortman sendiri pasti memiliki satu
eksemplar
Prasaran Poortman itu masih terdapat di Nederland,
yakni di gedung Rijswijk. Poortman sendiri meninggal
dunia pada tahun 1951 di Voorburg. Kiranya eksemplar
Poortman jatuh ke tangan ahli warisnya, yaitu Ir.
Mangaraja Onggang Parlindungan (putra Sutan
Martuaraja).
ii) Sunan Muria keturunan Cina?
Menurut berita dari Klenteng Sam Po Kong,
ternyata Sunan Kalijaga yang seorang waliyullah, di
antara Wali Songo yang terkenal di Jawa, adalah seorang
kapten Tionghua di Semarang. Nama aslinya adalah Gan
Sie Cang. Demikian pula Sunan Ampel alias Bong Swie
Hoo, Sunan Kudus alias Ja Tik Su, dan Sunan Gunung Jati
alias Toh A Bo. Sedangkan Sunan Bonang, Sunan Giri,
dan Sunan Muria adalah sebagai peranakan orang-orang
peranakan Tionghua belaka, dan ketiga beliau ini tidak
pandai berbahasa Tionghua karena hidup dalam
masyarakat Islam di Jawa.

BAB 2
Makam Sunan Muria
“Letak Makan Sunan Muria di Kudus”
i) Colo dan Bukit Muria
Di sebelah utara kota Kudus dengan jarak 18
km, terdapat desa bernama Colo. Desa Colo ini
terletak di lereng bukit Muria, yakni sebuah bukit
dari beberapa puncak di Gunung Muria yang
tingginya 1600 meter lebih. Di atas bukit Muria
itulah letaknya makam Sunan Muria, di belakang
Masjid yang konon dibuat sendiri oleh beliau.
Mengapa bukit atau gunung itu dinamakan
Muria?
Menurut hipotesa Solihin Salam, dalam bukunya
“Kudus Purbakala Dalam Jerjuangan Islam” terbitan
Menara Kudus halaman 47-50, berpendapat bahwa
nama Muria itu diidentifikasikan dengan nama
sebuah bukit di dekat Yerusalem, Palestina. Di dekat
Yerusalem atau Darusalam sana yang terdapat juga
disebut Baitul Maqdis, ada sebuah bukit yang
bernama Gunung Moriah, di mana Nabi Daud dan
Nabi Sulaiman dahulu membangun sebuah kanisah.
Perlu diketahui bahwa nama kota Kudus
mungkin diambil dari sebuah inskripsi tentang
berdirinya Masjid Menara Kudus, yang dibangun oleh
Sunan Kudus pada tahun 956 H (1549 M) yang
mengatakan bahwa kota ini bernama Al Quds.
Maka nama Muria mengingatkan kita pada
nama di dekat kota Baitul Maqdis atau Yerusalem
atau Darusallam itu.
Desa Colo dijadikan obyek pariwisata oleh
Pemerintah Daerah Kudus. Di sana telah berdiri
banyak villa, dengan hawanya yang sejuk, terdapat
sebuah grojogan atau air terjun (curug) bernama
Monthel. Bila hari Minggu, banyak orang berekreasi,
terutama pada hari-hari ramainya ziarah ke makam
Sunan Muria, yakni pada hari Kamis Legi dan Jum’at
Pahing.

ii) Makam Sunan Muria dan Masjidnya


Sunan Muria dimakamkam di atas puncak bukit
bernama bukit Muria. Dari pintu gerbang masih naik
lewat 100 tangga (tlundhagan) menuju ke komplek
makamnya, yang terletak persis di belakang Masjid
Sunan Muria. Mulai naik dari pintu gerbang pertama
paling bawah hingga sampai pelataran Masjid,
jaraknya kurang lebih 750 meter jauhnya.
Setelah kita memasuki pintu gerbang makam,
tampak di hadapan kita pelataran makam yang
dipenuhi oleh 17 batu nisan. Menurut juru kunci, itu
adalah makamnya para prajurit dan para punggawa
(orang-orang terdekat, ajudan, dan semacam Patih
dalam Keraton).
Di batas utara pelataran ini berdiri bangunan
cungkup makan beratapkan sirap 2 tingkat. Di
dalamnya terdapat makamnya Sunan Muria. Di
sampingnya sebelah timur, ada nisan yang konon
makamnya putrinya perempuan yang bernama
Raden Ayu Nasiki.
Dan tepat di sebelah barat dinding belakang
masjid Muria, terdapat makamnya Panembahan
Pengulu Jogodipo, yang menurut keterangan juru
kunci adalah putra sulungnya Sunan Muria
BAB 3
Cerita yang Beredar
“Cerita Rakyat yang Berdar di Sekitar
Sunan Muria”
Banyak cerita rakyat yang ada kaitannya atau
dikaitkan dengan riwayat Sunan Muria. Namanya saja
sudah “cerita rakyat”, tentunya tidak mempunyai
sumber-sumber otentik yang dapat diyakini
kebenarannya, kecuali hanya cerita yang tersebar dari
mulut ke mulut, hidup di kalangan masyarakat dari
masa ke masa.
Masyarakat yang tentu saja terdiri dari berbagai
golongan dan berbagai macam kepercayaan serta latar
belakang pandangan hidupnya, mustilah ada yang
bukam dari golongan Islam, dan mungkin juga tidak
senang terhadap Islam. Karena Sunan Muria adalah
seorang tokoh muballigh Islam, seorang Wali dari Wali
Songo, maka tidak menutup kemungkinan adanya pihak
yang pro ataupun kontra terhadap pribadi atau misi
yang dibawa Sunan Muria.
Naah.. Di sinilah salah satu sebab munculnya
cerita-cerita rakyat yang terkadang bersifat negatif
terhadap pribadinya Kanjeng Sunan yang mungkin saja
dikaitkan dengan Islam. Lepas daripada apakah benar
atau tidak terbuktinya semua hal-hal negatif pada diri
pribadi Sunan Muria itu sendiri, namun dalam segi-segi
tertentu mungkin ada kesenjangan, entah berapa
kadarnya, berupa maksud-maksud tertentu untuk
mendiskriditkan Islam secara tidak langsung.
Berikut adalah beberapa cerita rakyat yang ada
kaitannya atau dikaitkan dengan Sunan Muria itu ialah
sebagai kisah-kisah berikut:

MALING KAPA
Perhelatan telah dimulai dengan khidmatnya.
Tamu dari jauh dan dekat telah lengkap datang.
Terutama para muridnya Sunan Ngerang, antara lain
termasuk Sunan Kudus, Sunan Muria, Adipati Pathak
Warak dari Mandalika Jepara, Kapa dan adiknya,
Gentiri, dan lainnya.
Sunan Ngerang (Kyai Ajeng Ngerang) di
Ngerang Juana, malam itu memang sedang
melaksanakan hajat syukuran hari ulang tahun
puterinya yang sulung bernama Roroyono. Genap
ulang tahun kelahirannya yang kedua puluh.
Ketika Roroyono bersama adiknya Roro
Pujiwati keluar menghidangkan minuman dan
makanan, ada sepasang mata yang tak berkedip
memandangnya. Debarang jantungnya Adipati
Pathak Warak menggigilkan kedua bibirnya, melihat
psonanya Roroyono. Terasa ada sinar bulan warna
perak yang menerangi resepsi malam itu. Tak lain
adalah dari gadis yang menjadi pusat seluruh
perhatian malam itu, yaitu Roroyono.
Adipati Pathak Warak sudah tidak bisa menahan
nafsu. Adipati berniat menculik Roroyono.
Malampun telah larut. Semua tamu dekat telah
pulang. Dan para tamu jauh, termasuk Adipati
Pathak Warak, masih berada di rumah Kangjeng
Sunan. Semua telah tidur pulas. Kecuali Adipati yang
masih memikirkan bagaimana agara bisa menculik
Roroyono,
Maka gemparlah malam itu, Dewi Roroyono
diculik Adipati dan dibawa lari ke Mandalika, Keling.
Kangjeng Sunan Ngerang lalu mengumumkan
sayembara, barangsiapa yang dapat merebut
kembali puterinya, Roroyono, dan dibawa kembali ke
Ngerang, lelaki tersebut akan diperisterikan dengan
Roroyono.
Setelah sayembara diumumkan, semua
muridnya tidak ada yang berniat untuk unjuk jari.
Hanya Sunan Murialah yang mengacungkan
tangannya, sanggup mengejar Adipati Pathak Warak
dan merebut kembali Dewi Roroyono. Namun dalam
perjalanannya ke Mandalika, di tengah jalan, Sunan
Muria bertemu dengan Kapa dan adiknya, Gentiri.
Dalam pembicaraan mereka bertiga, terjadilah
kesepakatan, bahwa Kapa dan Gentirilah yang
menjalani sayembara merebut Roroyono ke
Mandalika. Adapun bila nanti berhasil dalam tugas,
yang memiliki Dewi Roroyono adalah Sunan Muria.
Hal ini disepakati karena Kapa dan Gentiri adalah
muridnya Sunan Ngerang yang termua. Dan
keduanya bersedia berbuat demikian karena
menghormati Sunan Muria, sebagai murid yang
senior, berwibawa, dan terhormat dalam
masyarakat.
Dalam memperebutkan Roroyono dari tangan
Adipati Pathak Warak itu, Kapa dan Kentiri mendapat
bantuan dari seorang wiku di Pulau Seprapat, Juana.
Maka berhasillah Kapa dan Gentiri membawa
kembali sang Dewi ke Ngerang.
Untuk menghargai jasa Kapa dan Gentiri,
meskipun Roroyono jadi diambil istri oleh Sunan
Muria, Kapa dan Gentiri diberi tanah Buntar, yang
mana kedua orang itu menjadi penguasa tanah
tersebut.
Namun dunia tidaklah berputar tenang,
terkadang digoncang gempa pula. Hatipun
bergejolak, tak selurus anak panah, setiap saat
berubah. Tentu saja perubahannya terkadang
menyimpang dari pedoman.
Demikian pula hati Kapa dan Gentiri. Dahulu
yang dengan relanya menyerahkan tenaganya demi
menghormati kesenioran dan kewibawaan Sunan
Muria, semua itu terlupakan. Yang memenuhi hati
dan perasaannya sekarang hanyalah bahwa Dewi
Roroyono itu mempunyai pesona yang menakjubkan
sehingga mengganggu tidurnya di setiap malam dan
mengganggu kerjanya di setiap saat.
Kapa dan Gentiri telah sepakat akan merebut
Roroyono dari empunya, yakni Sunan Muria. Sudah
barang tentu bahwa tindakan ini adalah suatu
pengkhianatan janji yang tidak kepalang tanggung
dan suatu kedurhakaan. Namun apa mau dikata bila
nafsu jahat telah mengalahkan pertimbangan batin
yang bening.
Gentirilah yang melaksanakan maksud jahat
itu. Akibat tindakan yang gegabah itu, Gentiri
menemui ajalnya di padhepokan Muria oleh para
murid yang sedang menjaga keamanan.
Mendengar kematian adiknya, Kapa langsung
berangkat ke Muria dengan tujuan yang sama
seperti semula, mencuri pujaan hatinya. Dan kali ini
berhasil. Roroyono dibawa lari ke pulau Seprapat.
Tetapi di sana Kapa mendapat keputusan dari sang
wiku Lodhang Datuk, bahwa perbuatan Kapa itu
merupakan tindak kejahatan besar. Namun
keputusan yang adil dari wiku Lodhang Datuk itu
tidak diterima baik oleh Kapa. Bahkan Kapa mencaci
maki sang wiku.
Ketika itu, telah sampailah di pulau Seprapat
salah seorang muridnya Sunan Muria. Tentu saja
terjadi pergulatan antara kedua kesatria tersebut,
dan meninggallah Kapa yang menjadi maling itu.
Akhirnya, Dewi Roroyono dapat dikembalikan ke
padhepokan Muria dengan selamat, berkumpul lagi
dengan Sunan Muria, Kangjeng Sunan Muria.
Demikianlah kisahnya Kapa yang menjadi
maling (pencuri), tetapi di dalam cerita rakyat,
nama Kapa itu terkenal dengan Maling Kapa.

MENCARI AYAH
Seorang pemuda tampan, trampil, gesit, dan
energic bernama Kebo Anabrang (Kebo Nabrang)
dengan sopannya menghadap Kangjeng Sunan
Muria di padhepokannya. Sang pemuda mengaku
bahwa dia adalah putranya Kangjeng Sunan Muria.
Sejak kecil memang dia tidak pernah melihat
ayahandanya itu. Dan setelah dewasa ini dia baru
diberi tahu oleh ibunya bahwa ayahnya adalah
seorang Sunan, yakni Sunan Muria.
Akan tetapi pengakuan sang pemuda itu ditolak
keras oleh Sunan Muria. Beliau berkata bahwa beliau
tidak merasa mempunyai anah yang bernama Kebo
Nabrang.
Namun meskipun Sunan Muria menolak
pengakuan sang pemuda, Kebo Nabrang tetap
berusaha meyakinkan Kangjeng Sunan dengan
bukti-buktinya sendiri yang dibawa dari ibunya,
bahwa dia benar-benar adalah putranya Kangjeng
Sunan Muria.
Karena Kebo Nabrang terus menerus
mendesak, maka Sunan Muria akhirnya bersedia
mengakui bahwa Kebo Nabrang adalah putranya,
asal dia dapat memenuhi syarat. Syaratnya ialah
Kebo Nabrang harus dapat memindahkan salah
sebuah pintu gerbang yang ada di Kerajaan
Majapahit ke gunung Muria dalam waktu satu malam
saja. Menurut yang empunya cerita, Kebo Nabrang
sungguh dapat membawa salah sebuah pintu
gerbang yang diambilnya sendiri dari Majapahit
dibawa ke Gunung Muria.
Tetapi sial bagi Kebo Nabrang, karena
bersamaan dengan saat itu, di Juana, di sebelah
timur Pati, ada juga seorang pemuda yang sedang
menuju ke Majapahit dalam rangka mengikuti
sayembara memindahkan pintu gerbang Majapahit.
Sayembara tersebut adalah untuk memperebutkan
seorang puteri cantik bernama Roro Pujiwati,
puterinya Kyai Ageng Ngerang.
Karena banyak pemuda yang menginginkan
Roro Pujiwati menjadi istrinya, maka banyaklah yang
melamarnya ingin mempersunting putri jelita
tersebut. Maka cara satu-satunya untuk menolak
dan sekaligus menyeleksi mereka adalah dengan
mengajukan persyaratan berat, yaitu barangsiapa
yang sanggup memindahkan pintu gerbang
Majapahit di Majapahit ke Juana (Nergang), maka
dialah yang akan diterima menjadi suami Roro
Pujiwati.
Raden Ronggo putra Adipati Ronggojoyo
dari Kadipaten Pasetanan Pati, ikut dengan niat
berkobar mengikuti sayembara itu.
Setelah sampai di Majapahit, Raden Ronggo
kecewa karena dia mengetahui bahwa telah ada
seorang pemuda dari Muria yang membawa lari
sebuah pintu gerbang. Dengan hati berdebar dia
kembali mengejar pemuda yang telah
mendahuluinya (yakni Kebo Nabrang).
Sesampainya di suatu tempat, Raden Ronggo
menjumpai Kebo Nabrang sedang bingung mencari
perlengkapan pintu gerbang yang jatuh.
Perlengkapan yang jatuh itu ialah ganjel lawang
(ganjal pintu) dari pintu gerbang yang dibawahnhya.
Desa tempat jatuhnya ganjal pintu itu dinamakan
Jelawang hingga sekarang.
Mulai dari desa yang hingga sekarang bernama
Jelawang itu, terjadilah saling kejar mengejar dan
bergulatan seru memperebutkan pintu gerbang
antara kedua orang pemuda, yakni antara Kebo
Nabrang dengan Raden Ronggo. Kebo Nabrang yang
telah berhasil membawa pintu gerbang itu
dihentikan oleh Raden Ronggo. Dan terjadilah
perkelahian saling adu kekuatan, saling menghatam
dan adu kesaktian.
Konon, pertengkaran antara kedua pemuda itu
diketahui oleh Sunan Muria. Beliaupun menuju ke
tempat dua pemuda yang bertengkar, karena
tempat tersebut amat cetho welo-welo (tampak
dengan jelas) bagi beliau. Tempat tersebut hinga
sekarang dinamakan desa Towelo.
Setelah dilerai oleh Sunan Muria, kemudian
diperintahkan oleh beliau, barangsiapa yang dapat
mengangkat pintu gerbang itu, maka bolehlah
dibawa. Ternyata Raden Ronggo tidak kuat
mengangkatnya. Oleh Sunan Muria, Raden Ronggo
diberi sebuah palangnya, yang kemudian dibawa ke
Juana, diberikan kepada Kyai Ageng Ngerang. Tetapi
Kyai Ageng Ngerang tidak mau menerima hasil
sayembara tersebut karena yang diminta bukanlah
palang pintu, tetapi pintu gerbangnya utuh. Karena
jengkel dan marahnya, palang kayu itu diayunkan
kepada Roro Pujiwati. Namun suatu keajaiban terjadi
saat itu, palang kayu tidak mengenai Roro Pujiwati,
tetapi terdengan suara gelap (halilintar dalam
bahasa Indonesia). Dan ketika itu pula malam
menjadi gelap gulitam padahal malam tgl. 15
Sya’ban (Ruwah). Dan lenyaplah pula Roro Pujiwati
tanpa bekas, entah ke mana.
Tempat itu kemudian dinamakan Sigelap, persis
di KM1 sebelah barat kota Juana. Dan jembatannya
dinamakan pula Jembatan Sigelap. Hingga saat ini,
setiap tgl. 15 Sya’ban banyak sekali muda mudi
yang beramai-ramai memeriahkan malam purnama
dengan tujuan minta “berkah” kepada roh halus
yang “mbraurekso” (menjaga) Jempatan Sigelap.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, konon
yang menjaga Jembatan Sigelap itu adalah rohnya
Roro Pujiwati.
Begitupun banyak orang yang percaya juga.!!
Sementara itu, Kebo Nabrang dipersilakan
membawa pintu gerbang Majapahit ke Gunung
Muria. Tetapi baru saja diangkat, terdengan kokok
ayam bersahutan, pertanda hari telah pagi. Padalah
syarat diakuinya menjadi putra Sunan Muria ialah
dapat memindahkan pintu gerbang dalam waktu 1
malam. Maka Kebo Nabrang akhirnya gagal total
pula memenuhi syarat yang diminta oleh Sunan
Muria itu. Dan oleh Kangjeng Sunan Muria, Kebo
Nabrang diperintahkan menjaga pintu gerbang
Majapahit itu hingga meninggalnya.

Anda mungkin juga menyukai