Anda di halaman 1dari 19

Membaca API SEJARAH

Babad Tanah Jawa gubahan Val Rijckevorsel menerangkan: Wiwitan ing tanah
Jawa ana agama Islam ing antaran tahun 1400 - 1425. Tahun 1292 ing tanah
Perlak ing pulo Sumatra wis ana wong Islam; tahun 1300 ana wong Islam
manggon Samudra Pasi. Ing pungkasan abad ping 14 ing Malaka iya wis ana
wong Islam. Tekan padha saka Gujarat. Saka Malaka kono agama Islam mencar
marang tanah Jawa, tanah Cina, Indhiya Buri lan Indhiya Ngarep. Kang
mencarak agama Islam ing tanah Jawa dhisike yaiku sudagar Jawa saka Tuban
lan Gresik, kang padha dedagangan ing Malaka, padha sinau agama Islam,
dadin Islam terkadhang sok kepeksa. Sudagar-sudagar Jawa mau padha bali
marang tanah Jawa Wtan, sudagar Indhu lan Prsi uga ana sing teka ing kono
lan nuli mencarak agama Islam marang wong-wong. Sing misuwur yaiku:
Maulana Malik Ibrahim (wong Persi?), sda ana ing Gresik ing tahun 1419, nganti
saiki pasarean isih. Bareng kuwasan karaton Majapait saya suw saya suda,
para bupati pasisir rumangsa gedh panguwasan, wani nglakoni sakarep-karep.
Para bupati mau lumrah wis padha Islam wiwit tumapaking abad kaping 16
(tahun 1500 - 1525), Jalaran iku kerep ba perang karo para raja agama Indhu
kang manggon ing tengahing tanah Jawa.
Uraian dalam Babad tanah Jawa ini sangat menyesatkan. Islam dibilang masuk
tanah Jawa sekitar tahun 1400-1425M. Wong Londo menyamakan berdirinya
pemerintahan-pemerintahan Islam di pesisir utara Jawa sebagai tanda masuknya
agama Islam. Babad Tanah Jawa tidak dapat membedakan kedatangan Islam
dengan perkembangan Islam. Kedatangan Islam jelas tidak dengan serta-merta
memunculkan sebuah kesultanan Islam. Berdasarkan catatan Dinasti Tang dari
Tiongkok, pada tahun 674M, rombongan utusan dagang dari Damaskus
mengunjungi keraton Kalingga di pulo Jawa. Itu berarti Islam datang ke tanah
Jawa pada abad ke tujuh. Bahkan Buya Hamka menilai hokum yang dianut Ratu
Shima adalah hokum Islam. Kalingga menganut Islam.
Maka mendengar buku karya Ahmad Mansur Suryanegara berjudul API SEJARAH:
Buku yang akan mengubah Drastis pandangan anda tentang sejarah Indonesia,
terbitan Salamadani cetakan kelima, 2012, saya penasaran. Selain best seller
dan mendapat IBF Award 2010 sebagai buku Islam terbaik kategori nonfiksi
dewasa, buku dengan jumlah halaman 586 ini bersampul keren.
Buku yang disisipi peta-peta kuna kekilafahan Islam, gambar uang Islam kuna di
Nusantara, foto-foto para tokoh sejarah, dan gambar-gambar keren lainnya ini,
semakin memenasarani ketika dengan sadar saya membuka halaman 107 dan
147. Di sana menerangkan Kerajaan Kalingga pimpinan Ratu Sima menganut
Islam. Seanalisa dengan Buya Hamka. Bedanya, Suryanegara meyakini Kalingga
di Jawa Barat dan karena itu berani menyimpulkan bahwa kekuatan politik Islam
Nusantara pertama kali berdiri di Jawa Barat, setelah kedatangan rombongan
utusan dagang dari Damaskus ke Kalingga pada 674 M, bukan di Aceh, bukan di
Demak, tetapi sekali lagi di Kalingga, di Sunda.
Apalagi ketika menyadari, cukup lama Dinasti Genghis Khan memenasarani
saya, buku API SEJARAH kiranya cocok menumpas rasa haus saya. Saya pernah
membaca novel sejarah Genghis Khan yang meriwayatkan sejak masa bocah
atau ketika masih bernama Temujin sampai ketika menyatukan klan-klan di
dataran Mongolia hingga kesohor sebagai Genghis Khan yang ditulis orang barat
sebagai sosok terbengis di jagad raya, pemusnah peradaban Islam. Karena
penasaran, sebiadab apa Dinasti Genghis Khan itu lantaran dianggap bangsa
biadab sehingga kelak ada seorang Mongol bernama Mengki tertimpa nasib

sengsara, dipancung telinga dan hidungnya oleh Raja Agung Singhasari, Baginda
Prabu Kertanegara bagaimana pula pandangan Dinasti Genghis Khan terhadap
agama-agama di dunia ini, dan terutama karena penasaran, benarkah Kubilai
Khan menganut Islam, adakah utusan Kubilai Khan yang menjujug Samudra
Pasai, kerajaan Islam pertama di Sumatera, maka saya segera membolak-balik
buku API SEJARAH dan hidung saya tertuju ke halaman 146, tetangganya 147.
Saya dipukaui tafsir sejarah Ahmad Mansur Suryanegara perihal Dinasti Gengis
Khan, yang sekali lagi, oleh Barat ditulis sebagai bangsa penghancur peradaban,
bangsa terbiadab di dunia ini. Sebuah tafsir sejarah sangat mantap dan saya
suka dengan penafsiran ulang suatu sejarah tentunya dengan data-data
analisa mantap, dapat dipertanggungjawabkan, dan masuk akal.
Suryanegara memandang perlunya memahami hubungan sejarah antara Turki
Bani Saljuk dan Mongol Gengis Khan dalam hubungannya dengan pengaruh
Islam di Nusantara sampai kelak ketika pasukan Kubilai Khan mendarat di Jawa
menemui Kertanegara, bukannya menuju Samudra Pasai yang sudah Islam, atau
sampai ketika armada laut Cheng Ho yang mengangkut para marinir Islam
Dinasti Ming kunjungan muhibah ke-36 negara yang dilakukan pada 14051433M tidak melakukan penaklukan atas Majapahit. Suryanegara
mengatakan, pada awalnya, Gengis Khan yang berjaya berhasil melemahkan
Turki Bani Saljuk. Namun pada abad 13 M tiba-tiba bangkit kembali kesultanan
Turki Ottoman di Ankara. Berbalik melepaskan kesultanan Turki dari kekuasaan
Mongolia, bahkan memengaruhi Dinasti Gengis Khan memeluk Islam yang sepak
terjang Dinasti ini dinarasikan mantap di bab pertama dan bab kedua.
Saya mengagumi Suryanegara, tetapi bukan berarti enggan mengatakan,
meskipun buku API SEJARAH secara banyak sangat mantap, namun memiliki
kelemahan analisa di beberapa titik, ada beberapa peristiwa sejarah penting
sengaja dilewati Suryanegara, seperti peran besar Demak dengan Pati Unusnya,
Ratu Kalinyamat pendekar Jepara, Mataram dengan Sultan Agungnya, yang
ketiga tokoh besar itu cuma dinarasikan sekilas-pintas.
Sesungguhnya semua itu bermula dari analisa Suryanegara mengenai Kalingga.
Suryanegara terlalu berani menganalisa bahwa Kalingga yang menganut Islam
terletak di Jawa Barat! Seumpama Suryanegara meyakini bahwa Kalingga
dengan Ratu Shima-nya berkuasa di Jawa Tengah, tentunya buku API SEJARAH
benar-benar buku sejarah Islam Nusantara yang memang pantas menyandang
sabuk gelar dari IBF sebagai buku Islam terbaik kategori nonfiksi dewasa.
*

Cipto Adisuryo
Saya mengenal pertama Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku Kontroversi
pemikiran Islam di Indonesia terbitan Rosda Karya Bandung tahun 1990 M.
Mengenal melalui tulisan beliau diantaranya yang bertajuk NU: Sejarah dan
Politik, tanggapan atas ceramah Mahbud Djunaedi yang heran seheranherannya, mengapa Cipto Adisuryo terlupakan?
Untuk menguraikan sejarah umat Islam ini, kata Mahbud, saya kira fair kalau
kita berangkat dari awal dulu. Sebab apa? Sebab saya lihat dalam pencatatan
sejarah nasional ada hal tidak adil. Bukan sekadar tidak adil, melainkan ada satu
hal yang disembunyikan, yang saya maksud adalah awal tumbuhnya Sarikat
Dagang Islam. Ada satu tokoh yang kurang ditampilkan termasuk oleh kita
sendiri, padahal orang itu sangat penting sekali kedudukannya, yaitu Cipto
Adisuryo.
Awal penyembunyian fakta ini saya kira dari zaman kolonial sendiri. Kerap saya
tampilkan dalam berbagai forum. Mengapa saya katakan demikian? Di dalam
penulisan-penulisan sejarah, kalau kita menyebut soal Sarikat Dagang Islam, kita

hanya menyebut seorang tokoh, misalnya H. Samanhudi. Padahal, orang paling


menentukan di situ bukan Samanhudi, melainkan Cipto Adisuryo. Saya
berkepentingan dengan Adisuryo sebab dialah menurut saya tokoh pers
nasional nomer satu. Dialah yang pertama kali menerbitkan surat kabar
berbahasa Indonesia walau belum sebaik sekarang. Akan tetapi, bagaimanapun,
dia pelopor pers nasional Indonesia.
Sayang sekali orang begini penting justru ditonjolkan pihak lain. Kita mungkin
tahu ada satu buku yang sekarang dilarang ceramah Pak Mahbud yang
pemuncak NU ini terjadi pada 14 Desember 1987 M di PPI-LPMM UNINUS
Bandung yaitu Sang Pemula, ditulis saudara Pramoedya Ananta Toer yang
kebetulan orang dulu. Dia menurut saya seorang pengarang besar, ketika pulang
dari Pulau Buru, menulis serentetan tulisan, ada yang novel, ada juga yang
nonnovel yang semua tulisan itu tidak beredar di Indonesia sekarang sudah
beredar bahkan kencang kalau di luar negeri pasti beredar, bahkan
diterjemahkan dalam 11 bahasa asing. Novel yang diselesaikan di Pulau Buru
oleh saudara Pram ini ada empat rangkaian: Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa,
Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, yang semuanya itu saya kira tidak akan bisa
dibaca di sini perkiraan ini didengar pemerintah dan untuk memelesetkan
kiraan Mahbud, pemerintah kelak mengedarkan karya-karya pujangga
Pramoedya. Akan tetapi disamping novel, ada satu nonnovel yang judulnya Sang
Pemula itu. Dan Sang Pemula, sesuai dengan judulnya, menyangkut ketokohan
Adisuryo.
Mengapa Cipto Adisuryo disebut di sini? Sebab beliau sebenarnya seorang
pemuka gerakan nasional Indonesia. Kalau kita bandingkan dengan Boedi
Oetama yang merupakan sekumpulan elit priyayi Jawa, maka Sarikat Dagang
Islam merupakan satu gerakan massa, bahkan jarang diketahui orang bahwa
Sarikat Dagang Islam didirikan bersama-sama Husni Thamrin. Sekarang yang
kita ingat adalah Husni Thamrin, padahal, kalau menurut catatan Pram, bukan
Husni Thamrin yang pada waktu itu menjadi wedana di Jakarta. Sarikat Dagang
Islam yang didirikan Cipto Adisuryo itulah yang kira anggap sebagai satu pemula
dari gerakan massa umat Islam di Indonesia ini, yang motifnya jelas sekali,
politik. Bagaimana menyatukan golongan bawah umat Islam ini di dalam
gerakan-gerakan bersifat ekonomi berarti satu gerakan politik. SDI kemudian
berkembang menjadi Partai Sarikat Dagang Islam, dan seterusnya. Berarti
gerakan pertama Islam di Indonesia bersifat politik-ekonomi. Ini catatan sangat
penting, yang saya lihat umumnya, kalau kita belajar sejarah gerakan nasional
Indonesia, berangkat dari Budi Utama itu. Padahal, kalau dilihat dari sudut
kenyataan dan politis, sebenarnya Sarikat Dagang Islam ini yang merupakan
pemula yang didirikan Cipto Adisuryo dan ayahnya, Husni Thamrin. Usianya kirakira sama dengan Kartini, berselisih beberapa tahun, dan dia mengenalnya
dengan baik. Cipto sering berkunjung kepada Kartini yang sering lagi
dipersoalkan ini, begitu juga ia sering berkunjung kepada Dewi Sartika di
Bandung.
Saya pernah menawarkan kepada majalah Kartini untuk menampilkan masalah
Kartini ini, tetapi majalah itu menganggap ini masalah SARA. Jadi mereka tidak
berani. Saya berpendapat juga bahwa masalah Kartini ini ada kaitannya dengan
Cipto Adisuryo sebab banyak terjadi interaksi antara Adisuryo dengan Kartini.
Kartini itu hebat, dia banyak membaca dan banyak menulis, tetapi bahwa dia
ditampilkan Belanda, itu betul. Sebab apa yang ditampilkan Belanda? Sebab
Belanda ingin membuktikan kepada dunia, inilah produk Politik Etis saat itu.
Kita tahu bahwa Abendanon itu menteri Dikbud-nya Belanda, jadi dia
berkepentingan pula untuk menunjukkan kepada dunia dan kaum oposisi di
Belanda bahwa inilah hasil politik etis Belanda.

Mengapa Belanda menampilkan Kartini? Sebab keluarga Kartini termasuk


keluarga yang jinak-jinak, bupati-bupati yang baik. Tidak ada seorang pun bupati
yang menjadi pemberontak terkadap Belanda. Jadi Belanda merasa tiada
halangan menampilkan Kartini. Mengapa tidak Dewi Sartika yang ditampilkan?
Ini menjadi masalah. Padahal umurnya sama dan bangkitnya pun sama. Kartini
mendirikan sekolah di Jepara, Sartika membuat sekolah di Bandung. Bahkan
kalau kita lihat, sampai sekarang gedungnya masih ada. Jadi dalam intensitas
pendidikan, sebenarnya Dewi Sartika jauh lebih melampaui Kartini, tetapi
mengapa Belanda tidak menampilkan Sartika? Sebab Sartika berasal dari
keluarga patih Tegal Lega yang memberontak dan lalu dibuang ke Ternate. Jadi
kita lihat di sini betapa tidak jujurnya sejarah dalam menulis tokoh-tokohnya,
termasuk Cipto Adisuryo.
Lalu Ahmad Mansur Suryanegara menanggapi ceramah Mahbud Djunaedi yang
kesimpulannya sepemikiran dengan Mahbud Djunaedi.
Selain kagum dengan tulisan-tulisannya, kata Suryanegara, di Koran maupun
di majalah, saya juga mengagumi Pak Mahbud dengan tulisannya, Perang Salib,
yang dimuat di majalah Depag. Kalau tidak salah, di situ ada tulisan yang
dianggap lebih sejarawan ketimbang sejarawan, informasinya yang baik,
lengkap, tertib, dan sumber-sumber sejarahnya begitu lengkap.
Tentang Boedi Oetama yang dijadikan titel awal hari kebangkitan nasional
tanggal 20 Mei itu, barangkali sayalah orang pertama yang tidak setuju 20 Mei
itu dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Sejak tahun 1969, tulisan
tentang itu telah dimuat dalam harian Abadi 22 Mei 1969. Kemudian pada tahun
1970 ada seminar sejarah. Di situ juga dikemukakan bahwa peristiwa Boedi
Oetama itu mungkin lebih tepat dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Siliwangi
karena kenyataan sejarah, Boedi Oetama selama 23 tahun, 1908-1931, menolak
kesatuan nasional yang dapat dibaca dalam keputusan-keputusan konggresnya.
Sebulan lamanya saya melihat-lihat di museum keputusan-keputusan yang
dimuat dalam beberapa surat kabar pada waktu itu. Di situ tertera betapa
eklusifnya Boedi Oetama terhadap gerakan nasional.
Ceramah dan keheranan Mahbud Djunaedi terhadap Cipto Adisuryo, Kartini, Dewi
Sartika dan peran NU dalam masa kebangkitan nasional, lalu tanggapan Ahmad
Mansur Suryanegara mengenai itu, dinarasikan panjang dalam buku API
SEJARAH, buku yang memenasarani saya. Dimulai dari ketika Kartini menentang
politik Kristenisasi kolonial Belanda, Boedi Oetama, Sarikat Dagang Islam,
Muhamaddiyah, NU, Sang Saka Merah Putih yang merupakan bendera Kanjeng
Rasul Muhammad SAW, dan segala peristiwa sejarah yang terjadi di kurun 19001942 M, dinarasikan sangat mantap dalam bab empat, bab tentang peran ulama
dalam gerakan kebangkitan kesadaran nasional yang terjadi di kurun 1900-1942
M.
Menurut Suryanegara, lantaran penjajahnya Katolik Portugis, Spanyol serta
Perancis, dan kerajaan Belanda dan Inggeris, ciri gerakan nasionalisme Indonesia
adalah anti kedua imperialisme tersebut, namun tidak berarti anti agama Katolik
dan Prostestan. Sikap toleransi bangsa Indonesia terhadap perbedaan agama
terbilang sangat tinggi, berbeda dengan Barat yang intoleransi dan eklusif dalam
beragama.
Imperialis Protestan Belanda menganut paham fundamentalis, penganut
calvinisme atau protestanisme yang tidak suka bertoleransi dalam menyikapi
perbedaan agama. Hal ini tampak dengan dikeluarkannya ordonasi agama yang
diberlakukan baik di Nederland maupun Nusantara pada masa kolonial: agamaagama non protestan dilarang melakukan aktifitasnya. Namun sejarah
diputarbalikkan, Barat menuduh Islam tidak mengajarkan toleransi beragama.
Bandingkan dengan timbulnya gerakan separatis Protestan, RMS pimpinan
Soumokil, bertolak dari perumusan pemikiran yang didalangi Van Mook, dan

diadakan pada pertemuan 19 April 1950. Sedangkan pada 19 April 1529 adalah
tanggal awal kelahiran Protestan Jerman di bawah Martin Luther. Perhatikan pula
Protestan Revolusioner, 19 April 1775, melahirkan Negara Amerika Serikat. Sikap
kaum Fundamentalis tidak mampu bertoleransi terhadap agama non Protestan.
*

Sirna Ilang Kertaning Bhumi


Perkara pemutarbalikkan sejarah memang satu dari sekian ketrampilan Belanda
ketika masih menjadi penjajah Nusantara. Serat yang meriwayatkan serbuan
pasukan Islam Demak atas Majapahit dalam candrasengkala sirna ilang
kertaning bumi (1400 atau 1478 M) adalah karya yang Nederlando sentries.
Melalui interpretasi sejarah, kolonial Belanda mencoba membangun opini public
bangsa Indonesia supaya berpendapat bahwa Islam adalah agama asing dari
Arab dan kedatangannya merugikan Nusantara, menghancurkan Majapahit.
Belanda memutarbalikkan sejarah, menulis sejarah yang mengandung beberapa
pemalsuan atau pemencengan untuk memadamkan cahaya gemilang Islam,
lantaran merasa terhalangi oleh kedatangan Islam yang lebih dulu hadir di
Nusantara. Sementara sesungguhnya antara Islam dengan Siwa, Buddha,
maupun Kejawen, Kesunden atau agama asli Nusantara, terjalin toleransi apik.
Maka untuk memecah-mecah agama-agama di Nusantara, menghadapkan Islam
dengan agama awal Nusantara, Belanda memainkan politik adu domba, salah
satunya menulis sejarah palsu perihal runtuhnya Majapahit. Candresengkala
Sirna Ilang Kertaning Bumi ditafsirkan: setelah Islam tiba di Nusantara, sirna dan
hilanglah masa kejayaan atau kertaning bumi Nusantara, bumi Majapahit.
Menurut A.M. Suryanegara, candrasengkala adalah kalender dalam bentuk
kalimat, arti sebenarnya, keruntuhan kerajaan Hindu Majapahit jatuh pada 1400
Saka atau 1478 M. Selisih antara tahun Saka dan masehi adalah 78 tahun.
Semestinya, masih menurut Suryanegara, jika dasar pembacaannya bertolak
dari Indonesia Sentrisme, Candrasengkala tersebut menyatakan kepada segenap
bangsa Indonesia bahwa: setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit, akibat
kedatangan penjajah Barat Katolik dan Protestan, hilang dan sirnalah kejayaan
Nusantara Indonesia.
Candrasengkala termasuk sengkalan lamba, angka tahun yang dilambangkan
dengan ukara yang setiap katanya mengandung nilai bilangan tertentu, watak
wilangan, bukan sembarang ukara. Contohnya watak satu, barang yang bersifat
satu, barang yang bersifat bundar, seperti bumi, bulan surya, dan sebagainya.
Watak nol, kata yang bermakna tidak ada,seperti sirna, hilang mengandung
nilai nol. Candrasengkala adalah sengkalan yang perhitungan tahunnya
berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi, seperti tahun Islam dan tahun
Jawa. Tapi ada rambu-rambunya, bukan asal merangkai. Sengkala merupakan
bentuk pemikiran kritis manusia Jawa, bukti keluhuran budi wong Jawa.
Kalimatnya mengandung pralambang suatu peristiwa penting. Cara
membacanya terbalik, dibaca dari depan kebelakang tapi angka yang
terkandung dalam ukara dibaca dari belakang ke depan. Sirna Ilang Kertaning
Bumi. Sirna = 0, Ilang = 0, Kerta = 4, Bumi = 1, dibaca tahun 1400 saka atau
1478 Masehi, tahun keruntuhan Majapahit menurut Babad Tanah Jawa
Nederlando Sentris.
Candra sengkala Sirna Ilang Kertaning Bumi tidak ada hubunganya dengan
kedatangan penjajah Barat Katolik maupun Prostestan. Peristiwa penting di
Majapahit pada 1478 tidak ada urusannya dengan kedatangan Portugis, apalagi
Spanyol, dan apalagi Belanda. Setelah 1478, nusantara masih bercahaya. Islam
semakin bercahaya dengan tampilnya kadipaten-kadipaten Islam di sepanjang
pesisir utara Jawa. Yang redup, yang sirna ketentramannya adalah buminya

Majapahit. Bahkan dua abad setelah Belanda mendarat di pelabuhan Banten,


Nusantara masih bercahaya, belum sirna kejayaannya. Masih dicahayai berbagai
perlawanan, Nusantara tidak sirna sesirna-sirnanya selama 350 tahun
sebagaimana penulisan dalam buku sejarah.
Mengapa Suryanegara enggan menafsir ulang runtuhnya Majapahit, menafsirkan
peristiwa dalam tahun Sirna Ilang Kertaning Bumi? API SEJARAH adalah buku
yang akan mengubah drastis pandangan kita tentang sejarah Indonesia,
utamanya peran Islam, kaum Ulama dan santri. Suryanegara, karena bertujuan
meluruskan sejarah Islam Nusantara, seharusnya menarasikan lebih panjang,
utamanya hubungan Islam Demak dengan peristiwa Majapahit di tahun 1478 M.
Jangan lantaran Demak tidak di Jawa Barat, enggan meluruskan sejarahnya,
menerangkan peran besar ulama dan santrinya. Inilah kelemahan pertama buku
API SEJARAH terkait Demak.
Memang pada halaman 120, menulis: Pada umumnya, keruntuhan Kerajaan
Hindu Majapahit sering didongengkan akibat serangan dari Kerajaan Islam
Demak, padahal realitas sejarahnya yang benar, Kerajaan Hindu Majapahit
runtuh akibat serangan Raja Girindrawardhana dari Kerajaan Hindu Kediri pada
1478 M, keduanya sama-sama Hindu. Serangan Hindu Kediri di bawah
Girindrawardhana itu merupakan serangan balasan terhadap serangan Wijaya
atau Raden Wijaya, terhadap Kerajaan Hindu Kediri pada saat dipimpin oleh Raja
Prabu Jayakatwang, 1292 M. Serangan Wijaya terhadap Kerajaan Hindu Kediri
tersebut menggunakan tentara Kubilai Khan.
Tentu yang dimaksud Suryanegara adalah Girindrawardhana yang tercantum
dalam Babad Tanah Jawa gubahan Van Rijckevorsel: Mungguh babade ratu-ratu
kang wekasan iki ora terang, mulan ora disebutak. Ana ratu ing nagara Keling
(salor wtan Kedhiri, sakidul kulon Surabaya) jejuluk Prabu Ranawijaya
Girindrawardhana nggelar jajahan nelukak Jenggala, Kedhiri lan uga mbedhah
Majapait (tahun 1478). Bedhah Majapait iku kuthan ora dirusak, awit ing tahun
1521 lan 1541 nagara Majapait isih kecrita kutha kang gedh. Suw-suw kutha
Majapait dadi rusak, awit wong-wong kang ora seneng kaerh ing kraton liya,
padha genti-genti ninggal negaran, nglrg marang tanah Bali. Saiki Majapait
mung kari patilasan ba, awujud pager bata tilas mubeng lan tilas gapura
(Candhi Tikus, Bajang Ratu).
Menurut saya, analisa dan uraian Suryanegara kurang mantap. Beliau tidak
memahami hubungan antara Girisawardhana dengan Raden Wijaya. Raja yang
berkuasa di Keling atau di keraton lain seperti Daha, Kahuripan, Kertabhumi,
bukan berarti tidak ada hubungan darah dengan Raja Majapahit. Pada masa
Majapahit, seluruh raja di keraton bawahan adalah keluarga Girindra, Wijaya,
keturunan Raden Wijaya. Alasan Girindrawardhana menggempur Majapahit pada
tahun 1478 M, jelas bukan bermaksud menuntut balas tindakah Raden Wijaya
yang pada tahun 1293 M, membonceng Mongol, menggempur Daha,
menggempur Jayakatwang. Girindrawardhana, meski memang berkuasa di
daerah Kediri, bukan keturunan Jayakatwang. Lagian, di Majapahit ada dua tokoh
yang menyandang nama Girindrawardhana. Lalu Girindrawardhana yang mana
yang menggempur Majapahit pada tahun 1478 M?
Penafsiran baru terkait sejarah keruntuhan Majapahit menjadi begitu perlu, jika
ingin menguak, benarkah Demak dalang atas keruntuhan Majapahit,
sebagaimana keyakinan selama ini? Semakin menjadi perlu menguaknya karena
Suryanegara dalam buku API SEJARAH-nya sedang berupaya meluruskan sejarah
Islam di Nusantara. Dan sejarah Islam di Nusantara tidak dapat dilepaskan dari
sepak terjang Demak.
Dalam kitab Pararaton menyebutkan empat nama putra Sang Sinagara alias
Rajasawardhana, yaitu Brhe Kahuripan, Bthe Mataram, Brhe Pamotan, dan sang
pamungsu Brhe Kertabhumi. Sementara dalam Prasasti Surandakan yang

dikeluarkan Kertawijaya, ayah Sang Sinagara, tercantum nama Brhe Matahun III
Wijaya Parakrama Dyah Samarawijaya dan Brhe Keling III Girindrawardhana Dyah
Wijayakarana. Dua nama ini adalah putra pertama dan kedua Sang Sinagara.
Sang Sinagara pernah menjadi Brhe Keling II, Brhe Pamotan I, dan ketika
ayahnya naik tahta, ia menjadi pangeran pati di Kahuripan, menjadi Brhe
Kahuripan VI, menggantikan Ratnapangkaja, suami Suhita. Maka tak heran jika
Sang Sinagara dikenal sebagai baginda Prabu, Baginda Keling, Baginda Pamotan,
dan Baginda Kahuripan. Setelah memanjat tahta di tahun 1451M, Sang Sinagara
bertahta di Trawulan, posisi Brhe Kahuripan alias baginda yang berkuasa di
keratin Kahuripan, dipegang Samarawijaya. Wijayakarana menjadi Baginda di
Mataram. Jadi Brhe Kahuripan dan Brhe Mataram, yang dalam Pararaton disebut
sebagai putra-putra Sang Sinagara adalah adalah Samarawijaya dan
Wijayakarana.
Lalu di mana dua putra Sang Sinagara lainnya? Di mana Brhe Pamotan dan Brhe
Kertabhumi? Dalam Prasasti Trailokyapuri [1486M], tertulis tokoh bernama
Singhawardhana Dyah Wijayakusuma dan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.
Wijayakusuma adalah putra ketiga Sang Sinagara yang setelah ayahnya naik
tahta menjadi Brhe Pamotan II, dan Ranawijaya adalah sang pamungsu yang
menjadi Brhe Kertabhumi alias baginda yang berkuasa di keraton Kertabhumi.
Benar jika Girindrawardhana ikut dalam barisan yang menyerbu Majapahit pada
1478 M, tetapi sekarang kita mengetahui ada dua Girindrawardhana, yaitu
Girindrawardhana Dyah Wijayakarana Brhe Mataram dan Girindrawardhana
Dyah Ranawijaya Brhe Kertabhumi. Singawardhana Dyah Wijayakusuma ikut
dalam penyerbuan ke Trawulan, dipimpin kakak sulungnya, Baginda Kahuripan
Wijaya Parakrama Dyah Samarawijaya kelak gugur dan dikenal sebagai Sang
Munggwing Jinggan.
Jadi yang berderap menuju Trawulan di tahun 1400 Saka bukan pasukan Jihad
Demak!
Siapa sang prabu yang mokta ring kadaton i saka 1400? Dialah adik bungsu
Sang Sinagara, Baginda Prabu Singawikramawardhana Dyah Suraprabhawa.
Suraprabhawa memanjat tahta pada tahun 1466 M menggantikan kakaknya
Baginda Girisawardhana alias Baginda Wengker. Sang prabu ini pernah menjadi
Brhe Pandansalas III dan Brhe Tumapel IV.
Setelah merebut tahta dari sang paman, Girindrawardhana Dyah Wijayakarana
memindahkan ibukota Majapahit ke Keling atau ke daerah Pare, bertahta sampai
1486 M. Jadi wajar jika Girisawardhana dikenal sebagai raja Kediri. Keling terletak
di Kediri. Keling bekas keraton bawahan Majapahit yang juga pernah ditempati
Dyah Wijayakarana sebelum menjadi Baginda Mataram.
Kepindahan Wijayakarana dari Keling ke Mataram dan kemudian kembalinya
putra kedua Sang Sinagara itu ke keraton Keling, saya narasikan panjang dalam
novel saya. Mengapa dan bagaimana. Mengapa ketika Keling ditinggalkan
Wijayakarana, dua adiknya menempati Pamotan dan Kertabhumi. Dimana letak
keraton Kertabhumi? Ada dalam novel saya.
Setelah Baginda Prabu Girindrawardhana Dyah Wijayakarana Batara I Kling
wafat, kemudian digantikan adiknya Wijayakusuma, dan beberapa bulan
kemudian sang pamungsu Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Brhe
Kertabhumi memanjat tahta Majapahit sampai masa Sultan Trenggana di Demak.
Brhe Kertabhumi alias baginda yang berkuasa di keraton Kertabhumi inilah yang
dalam babad atau serat kuna dikenal sebagai Batara Wijaya alias Brawijaya
terakhir.
Babad tanah jawi menulis ada tujuh raja Majapahit bergelar Brawijaya. Ini
memang benar. Di Majapahit, ada tujuh tokoh lelaki yang menggunakan nama
Wijaya, yaitu Raden Wijaya, Kertawijaya, Wijayakumara alias Sang Sinagara,
Samarawijaya, Wijayakarana, Wijayakusuma, dan Ranawijaya. Babad tanah jawi

juga menerangkan bahwa raja Brawijaya terakhir dikudeta oleh putranya sendiri
yang bernama raden Patah, adipati Demak yang menganut Islam. Barangkali
yang dimaksud adalah Brawijaya ke VII alias Baginda Ranawijaya yang pernah
menjadi baginda Kertabhumi. Mitos yang sangat kesohor ini sungguh
menyesatkan. Majapahit runtuh tahun 1478 lantaran pertikaian sesama keluarga
Girindra. Kertawijaya memiliki tiga putra, Sang Sinagara alias Wijayakumara,
Suryawikrama, dan Suraprabhawa. Peristiwa di 1478 adalah perseteruan antara
para putra Sang Sinagara dengan Suraprabhawa, pamannya yang memanjat
tahta, menyingkirkan putra mahkota Samarawijaya.
Kalau menganggap pemerintahan Girisawardhana Dyah Ranawijaya di Daha
adalah Majapahit, maka boleh dibilang bahwa secara resmi Majapahit sirna pada
tahun 1527 M. Tetapi jika menganggap bahwa pemerintahan di Daha bukan
merupakan pemerintahan Majapahit, maka Majapahit boleh dibilang runtuh pada
tahun 1478 M. Ini yang tidak diketahui API SEJARAH.
*

Pangeran Sabrang Lor bukan Pangeran Sabrang Anatar


Saya kutip bab empat Babad Tanah Jawa gubahan van Rijckevorsel: Ing Tahun
1498 kelakon ana nakoda Portegis aran Vasco de Gama tekan ing Kalikut kutha
ing tanah Indhu. Wong Portegis nuli miwiti lelawanan dedagangan lan wong
Indhu, lan nenelukak kutha pelabuhan kang ram-ram ing tanah Indhu kono.
d'Albuquerque kang wus katetepak jumeneng Prabu anom ing Asia nuli
ngumpulak prau perang kanggo merangi kutha-kutha pelabuhan; Goa, Ormus
lan Malaka genti-genti dikalahak. Iya jaman d'Alburquerque (tahun 1509 1515), iku mumbul-mumbule wong Portegis nguwasani tanah-tanah pasisir ing
Samodra Indhiya tekan Macao.
Bareng wong Portegis wis bisa manggon lan duw panguwasa ana ing Malaka,
ing tahun 1513 nuli nakoda aran d'abreu, layar menyang Moloko. Lakun
nganggo mampir-mampir, kayata: menyang Gresik. Ing wektu samono Gresik wis
dadi kutha padagangan gedh, wong-wong wis Islam. Wong Portegis mau ana
ing tanah Jawa Tengah lan Wtan sasat tansah dimungsuh ba, mung ana ing
Panarukan bisa mimitran lan wong bumi, jalaran wong ing kono isih mardika,
durung Islam lan durung kaerh marang Demak.
Rhn wong Portegis ana ing tanah Jawa Tengah lan Wtan tansah ngrekasa
banget, mulan banjur ana kang nyoba arep lelawanan dedagangan lan Banten.
Ing sakawit ana ing Banten ditampani becik, nanging nuli wong Portegis lan
wong Banten kerep cecongkrahan, jalaran padha dn ora percayan. Wasana
enggon dedagangan wong Portegis kang dipeng ana ing Moloko lan pulo Timur.
Nalika wong Portegis teka ana ing tanah Indhiya kang anggedhni laku dagang
ing kepulowan Moloko bangsa Jawa, nanging bareng Malaka bedhah, wong Jawa
kadhesuk soko kono lan saka kapulowan Moloko, banjur karingkes pasaban,
kang anggedhni genti wong Portegis, malah ing tahun 1522 ing Ternate wis
didegi btng, sarta wong Portegis wis prajangjian lelawanan dedagangan ijnijnan (monopolie) lan Sultan ing kono. Ing tembn kang dadi dhok-dhokan
wong Portegis ing Ambon lan Bandha. Ana ing pulo-pulo Moloko lan ing pulo-pulo
Sundha Cilik sisih wtan wong Portegis padha mencarak agama Kristen.
Barangkali Suryanegara lupa bahwa setelah Portugis menguasai Malaka, Pati
Unus segera melajukan armada laut menyerbu Portugis, membebaskan Malaka,
meski gagal, bahkan di penyerbuan kedua, menantu Raden Fatah ini gugur
hingga kemudian dikenal sebagai Pangeran Sabrang Lor, karena pernah
menyeberang ke utara menggempur Portugis di Malaka. Sepak terjang Pati Unus,
yang kelak keturunannya bertumbuh-kembang di Jawa barat, tidak dinarasikan
Suryanegara.

Sekilas mengenai Pati Unus. Nama aslinya Raden Abdul Kadir. Setelah menjadi
menantu Raden Fatah, Raden Abdul Kadir menjadi adipati Jepara. Karena
ayahnya bernama Raden Unus, maka Raden Abdul Kadir dipanggil sebagai
Adipati bin Yunus hingga kemudian lebih dikenal sebagai Pati Unus.
Ketika pada tahun 1511 M Portugis menerkam Malaka, Demak bersiaga
memperkencang hubungan dengan Banten dan Cirebon, menikahkan Pati Unus
dengan putri Sunan Gunung Jati. Pati Unus kemudian diangkat sebagai panglima
pasukan koalisi Demak, Banten dan Cirebon, bergelar Senapati Sarjawala,
dengan mengemban tugas utama merebut Malaka dari cengkeraman Portugis.
Tahun 1512 M Portugis menerkam Samudra Pasai. Maka pada tahun 1513 M, Pati
Unus melajukan pasukannya berusaha membobol benteng Portugis di Malaka
dan gagal lalu kembali ke Jawa. Setelah serbuan pertamanya gagal, Pati Unus
bekerja sama dengan Gowa, membangun armada laut, membikin kapal tempur.
Tahun 1518, Pati Unus menjadi sultan Demak kedua menggantikan Raden Fatah
yang wafat. Tiga tahun kemudian atau pada 1521 M, armada lautnya selesai
dibangun, 375 kapal siap melaju ke Malaka, mengangkut pasukan jihad edisi
kedua dan dalam ekspedisi ini, Pati Unus gugur sebagai Syahid.
Betapa mengesankan sejarah perjuangan Pati Unus menuju Malaka. Tetapi
sayang sembilan ratus sembilan puluh sembilan kali sayang, Suryanegara tidak
menarasikannya dalam buku API Sejarah. Demak, Pati Unus, terlupakan. Padahal
dari peristiwa itu, kelak muncul tokoh besar bernama Faletehan alias Fatahilah
yang lagi-lagi kelak menjadi panglima pasukan gabungan menggantikan
kedudukan Pati Unus. Fatahillah tokoh yang berperan besar dalam pengusiran
Portugis dari Jayakarta di tahun 1527M. Fatahillah kelak menikahi putri Sunan
Gunung Jati, janda Pati Unus.
Dan barangkali Suryanegara lupa bahwa ketika Pati Unus menuju Malaka, ketiga
putranya ikut serta. Putra pertama dan ketiga gugur sementara putra keduanya,
Raden Abdullah selamat dan berhasil kembali ke Jawa. Kepulangannya itu
bersama sebagian pasukan Malaka yang memutuskan hijrah ke tanah Jawa.
Orang-orang keturunan Malaka inilah yang kemudian membantu perjuangan
Raden Abdullah, mengislamkan tanah Pasundan, hingga kemudian menamai
sebuah tempat persinggahan mereka di Jawa Barat dengan nama Tasikmalaya
yang berarti segaranya orang Malaya. Inilah kelemahan kedua API SEJARAH
terkait Demak.
Dan apakah barangkali Suryanegara lupa bahwa setelah Tahun 1522, setelah
Demak dipegang Sultan Trenggana, Majapahit Daha yang sedang berebut
hegemoni dengan Demak, menjalin hubungan dengan Portugis? Lepas dari
segala kontroversi, dalam Serat Darmogandul terdapat isyarat yang
menunjukkan Majapahit yang beribukota di Daha masih berdiri sampai
kedatangan Portugis. Terjadi pertempuran dengan Demak setelah Majapahit
menjalin hubungan dengan Portugis. Sebagaimana pula sejarah mencatat, pada
1522 M, Majapahit Daha yang sedang berebut hegemoni dengan Demak,
menjalin hubungan dengan Portugis. Buah hubungan dengan bangsa Eropah,
pasukan Majapahit mengenal bedil! Buah lainnya, Demak dengan berat,
menggempur kotaraja Daha, menjadi kisah mahaduka Nusantara. Diceritakan
dalam pertempuran, pasukan Demak yang disokong para santri Padepokan Giri
mengalami kekalahan lantaran tidak mampu mengimbangi kekuatan Majapahit
yang sudah menggunakan bedil.
...wadya Majapahit ambedili, dene wadya Giri pada pating jengkelang, ora kelar
nadhahi tibaning mimis...
Pasukan Majapahit membedili [menembaki pasukan Demak dengan senapan,
bukan panah api], sementara pasukan Giri bertumbangan tidak mampu
menahan jatuhnya mimis atau peluru.

Dari kalimat tersebut, sulit dipahami jika Majapahit mengenal senjata api berupa
bedil, sebelum kedatangan Portugis ke Malaka lalu berhubungan dengannya.
Tiongkok atau Mongol, sejak jaman Gengis Khan, sudah mengenal bubuk mesiu,
bom, granat, atau panah api berasap racun, tetapi belum menggunakan bedil.
Andai Tiongkok memroduksi bedil, besar kemungkinan hanya dipasok ke Demak.
Tetapi saya belum ingin menafsirkan serat Darmogandul perihal riwayat
pertempuran antara Demak dengan Majapahit riwayat ini sesungguhnya
bikinan bangsa Eropa yang tujuannya mengadu domba agama-agama di
Nusantara. Belanda banyak menciptakan riwayat atau sejarah palsu yang sejenis
ini seperti Babad Tanah jawi perihal runtuhnya Majapahit, riwayat kehidupan
para walisanga, dan selainnya. Saya masih ingin melanjutkan cerita Demak yang
dilupakan API SEJARAH.
*

Raihna de Japara senhora paderosa erica dekranige dame


Demak mencapai puncaknya pada masa sultan Trenggana. Setelah Trenggana
gugur di Blambangan pada 1546 M, perjuangan menjotos Portugis diteruskan
Jepara, Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat adalah putri Sultan Trenggana, bupati
perempuan pertama Jepara. Bangsa Portugis miris mendengar gaung kebesaran
Ratu Kalinyamat yang kesohor sebagai hero perempuan tanah Jawa. Nama
aslinya Retno Kencana, menikah dengan Raden Kalinyamat. Ada yang bilang
Raden Kalinyamat adalah putra Sultan Mughayat Syah, yang berkuasa di Aceh
pada 1514-1528 M. Raden Kalinyamat murid Sunan Kudus. Setelah menjadi
menantu Sultan Trenggana, bergelar Pangeran Hadiri, bersama Ratu Kalinyamat
memerintah Jepara.
Setelah Sultan Trenggana wafat, Demak dipegang Sunan Prawata yang tiga
tahun kemudian wafat usia bertikai dengan Arya Penangsang. Dalam masa ini
sesungguhnya Demak berdarah-darah. Sunan Prawata gugur, Pangeran Hadiri
gugur, lalu Arya Penangsang gugur, lalu tampil Jaka Tingkir di Pajang dan
perjuangan Demak kemudian diteruskan Ratu Kalinyamat dari Jepara yang sudah
di bawah kekuasaan Pajang.
Sebagaimana Pati Unus, Ratu Kalinyamat bertekad mengusir Portugis dari
Nusantara. Pada 1550 M melajukan 40 kapal sarat prajurit tempur, mengiyakan
permohonan Johor, merebut Malaka. Setiba di sana, pasukan gabungan ini
berhasil menendang Portugis yang bertingkah kurang ajar di Malaka utara meski
pada akhirnya armada Jepara mundur ke Jawa. Bukan hanya Malaka yang
dihantam Ratu Kalinyamat. Pada 1565 M, armada Jepara melaju ke Ambon,
mencegat Portugis. Pada 1573, Ratu Kalinyamat kembali melajukan 300 kapal
tempurnya demi mengiyakan permohonan Aceh, menjotos Portugis lagi.
Meski tiga upaya hebat Ratu Kalinyamat tidak juga memulangkan Portugis ke
negaranya, tetapi keharumannya, keberaniannya, menancap dalam ingatan
bangsa Portugis, menjadi mimpi buruk di malam buruk, dan sebagaimana
tercatat dalam sejarah, di sepenjuru Jawa, hanya pelabuhan Sundalah yang
sempat disinggahi Portugis.
Raihna de Japara senhora paderosa Erica dekranige Dame. Ratu Jepara,
perempuan kaya dan berkuasa, perempuan pemberani. Demikianlah bangsa
Portugis menjuluki Ratu Kalinyamat yang wafat di tahun 1579 M.
Mengapa API SEJARAH melupakannya? Umpama tidak ada Pati Unus, Sultan
Trenggana, Ratu Kalinyamat, barangkali, Portugis lah yang lebih dulu merajalela
di seantero Jawa, bukannya Belanda. Hanya saja kita beruntung, kata seantero
berasal dari bahasa Portugis. Sekali lagi, mengapa Suryanegara melewatkan
sejarah Ratu Kalinyamat? Inilah kelupaan ketiga API SEJARAH terkait Islam
Demak.

Tokoh lain yang terlupakan API SEJARAH


API SEJARAH juga mengabaikan peran Sultan Harun dari Ternate, tokoh hebat di
nusantara bagian timur di abad 16 itu yang gugur tahun 1570. Mengapa
dilewatkan juga? Yang mengherankan lagi, perjuangan Sultan Agung, raja
terbesar tanah Mataram, tidak diungkap dalam buku API Sejarah. Apa lantaran
Sultan Agung masih keturunan Majapahit? Apakah karena dalam peristiwa
penyerbuan ke Batavia itu terdapat kesalahan Adipati Ukur, tokoh hebat dari
Sunda itu?
API SEJARAH juga ikut-ikutan menganggap Trunajaya sebagai tokoh
pemberontak, bukannya tokoh pendobrak. Apa lantaran Trunajaya masih
keturunan Majapahit? Mengapa perjuangan tokoh Madura itu dibilang
pemberontakan bukannya perlawanan? Yang menganggap Trunajaya
pemberontak itu kan Belanda atau Amangkurat II yang pro Belanda. Sementara
rakyat Jawa Timur, Madura menganggap Trunajaya adalah pahlawan rakyat.
Barangkali, sangat bagus jika membaca novel sejarah karya Gamal Kamandoko
berjudul Trunajaya Sang Pendobrak. Meski cuma fiksi, tetapi terkandung nilainilai sejarah, penulisannya dilakukan seobyektif mungkin, menyajikan segala
motif yang melatari perlawanan Trunajaya. Di sini, saya semakin memercaya,
dengan memfiksikan sejarah, bakal menguak secara adil sejarah yang selama ini
remang. Jika memang ingin mengubah cara pandang sejarah, mengapa tidak
berusaha menarasikan Trunajaya yang Nusantara Sentris?
Cuma memang di bab 4, ketika menguraikan sepak terjang kaum Ulama dan
Santri di masa kebangkitan kesadaran nasional, API SEJARAH sangat mantap.
*

Kalingga
Tetapi ketika membuka halaman 147, tentang perkembangan kekuasaan politik
Islam di Nusantara, tentang di mana, Islam pertama kali berkembangbiak,
Suryanegara terlalu memaksakan bahwa di Jawa Baratlah pertama kali Islam
tampil pada abad ke 7. Entah mengapa Jawa Tengah dan Jawa Timur dilewati
begitu saja. Dalam halaman ini, secara lengkap Suryanegara menulis:
Di bawah peta kekuasaan politik dunia yang sedang dipimpin Islam, tidaklah
heran jika di Nusantara Indonesia bangkit pula kekuasaan politik Islam atau
kesultanan. Untuk Sumatera diawali dari wilayah Aceh, kemudian menyusul di
Jawa Barat, muncul pula di wilayah Sulawesi dan kepulauan Maluku. Pera
pengaruh Islam yang bermula dari Indonesia Barat atau di pulau Jawa, Propinsi
Jawa Barat, sebagai dampak Islam dating dari Asia Barat atau Timur Tengah.
Untuk Jawa Barat sebagai tempat rendezvous atau tempat pertemuan
wirausahawan di Nusantara Indonesia, dari Cina dan India, serta Timur Tengah
menjadi sebab lebih cepatnya penyebaran ajaran Islam daripada di Jawa Tengah
dan Jawa Timur! Proses percepatan pengembangan Islam, setelah mayoritas
rakyat masuh Islam, diikuti pula oleh kalangan bangsawan dan raja beralih
agama memeluk Islam.
Perihal Jawa Barat, Suryanegara memberi catatan kaki: Timbulnya kekuasaan
politik Islam di Jawa Barat, besar kemungkinan terjadi pada masa Kalingga pada
674 M atau abad ke 7 M menurut berita Cina Dinasti Tang. Namun, karena
pengertian Kalingga di Jawa, terkesan di Jawa Tengah. Prof. Buya Hamka
menyatakan akibat Ratu Shima dari Kalingga memberlakukan hukum potong kaki
atau tangan yang sama dengan hukum Islam, maka dinilai Kalingga adalah
kekuasaan politik Islam. Tidak mungkin Kalingga di Jawa Tengah letaknya, karena

di Jawa Tengah baru ada Kerajaan Mataram I di bawah Raja Sanjaya pada 732 M
atau abad ke 8 M!
Di paragraf pertama, di mana Jawa Tengah dan Jawa Timur itu? Mengapa dilewati
Suryanegara? Di paragraf kedua, benarkah Kalingga yang Islam terletak di Jawa
Barat?
Dari sinilah sesungguhnya mengapa API SEJARAH kemudian mengandung
kelemahan-kelemahan, kelemahan karena tidak menarasikan peran ulama dan
santri di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kelemahan karena melupakan sejarah
Demak, Jepara, Mataram, kelemahan karena dengan berani menulis bahwa di
Jawa Tengah baru ada kerajaan bernama Mataram I di bawah raja Sanjaya pada
tahun 732 M?
Menurut naskah Wangsakerta, kerajaan Sunda merupakan kelanjutan dari
Tarumanegara, berdiri pada tahun 591 Saka atau 667 M dengan raja pertamanya
Tarusbawa. Menurut catatan Bujangga Manik pujangga sunda yang pada abad
16 melakukan ziarah ke beberapa tempat suci di Jawa Timur seperti Kawi, Palah,
Pacira atau Junjung Tulungagung, pertapan Kaliaca di Kamulan Trenggalek hingga
daerah Wilis menyebut Cipamali atau sungai Brebes dan Ciserayu alias sungai
Serayu sebagai batas Sunda bagian timur. Naskah Wangsakerta menyebut
daerah Lampung termasuk wilayah kekuasaan Sunda. Pengembara Portugis Tom
Pires yang mengadakan perjalananan di 1513-1515 M, mencatat pula bahwa ada
yang bilang bahwa kerajaan Sunda meliputi separuh pulau Jawa sementara yang
lainnya bilang bahwa kerajaan Sunda meliputi sepertiga pulau Jawa ditambah
seperdelapannya lagi, ujungnya adalah Cipamanuk.
Saya menjadi maklum mengapa kelak Portugis mengadakan hubungan dengan
Sunda, pada 1522 M mengadakan perjanjian dagang, dimana dalam perjanjian
tersebut, Portugis boleh membangun gudang dan benteng di pelabuhan Sunda.
Sebagai imbalan, Portugis menyokong peralatan militer kepada Sunda yang pada
waktu itu sedang sibuk menahan laju Demak dan Cirebon. Saya juga maklum
mengapa pada saat bersamaan Majapahit Daha menghubungi Portugis pula. Itu
semua berkat kerja bagus teliksandi Portugis bernama Tom Pires. Perjalanan Tom
Pires dalam rangka mengumpulkan keterangan dan segala apa terkait tanah
Jawa yang kemudian diserahkan kepada Portugis yang sejak 1511 M mendekami
Malaka.
Sebelum menjadi kerajaan mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanegara.
Raja Tarumanegara terakhir bernama Sri Maharaja Linggawarman
Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabhumi, memerintah selama tiga tahun, 666669 M, menikah dengan Ganggasari dari kerajaan Inderaprastha. Dari
Ganggasari menurunkan Dewi Manasih dan Dewi Sobakencana. Dewi Manasih
menikah dengan Tarusbawa, Sobakencana menikah dengan Dapunya Hyang
yang kelak menjayakan Sriwijaya di Palembang.
Setelah Linggawarman wafat, Tarusbawa memanjat tahta menjadi raja Sunda
pertama pada tanggal 9 suklapasa bulan yitsa tahun 529 saka atau 18 Mei 669
M. Ini yang kemudian membikin penguasa Galuh Wretikandayun berontak,
melepaskan diri dari Tarumanegara, memandirikan kerajaan Galuh.
Pada waktu Tarumanegara pecah menjadi Sunda dan Galuh, Ratu Shima sudah
berkuasa di Kalingga. Ratu Shima pula yang berperan besar mencegah perang
saudara antara Tarusbawa dan Wretikandayun. Pada waktu itu Ratu Shima
berbesanan dengan Galuh. Telah diuraikan, putri Ratu Shima bernama Purwati
menikah dengan Mandiminyak, putra Wretikandayun. Tarusbawa terpaksa
mengiyakan keinginan Wretikandayun lantaran Galuh dalam posisi kuat, setelah
campur tangan Kalingga. Pada tahun 670 M Tarumanegara secara resmi pecah
dua. Sunda di barat sungai Citarum, Galuh di timur Citarum.
Setelah tahun 670 M, Jawa Barat kacau. Sunda dan Galuh sekali waktu
berjotosan, berebut hegemoni, sama-sama merasa sebagai penerus

Tarumanegara. Dalam saat bersamaan, di sebelah timur, di Jawa Tengah,


Kalingga berjaya sekaligus mengelus dada setiap mendengar kabar dari barat.
Tak heran jika pada tahun 674 M, rombongan utusan dari Damaskus yang
berkunjung ke Jawa, mengunjungi Kalingga bukan mengunjungi Jawa Barat,
sebagaimana analisa Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku API SEJARAH!
Sejarah keberadaan Kalingga banyak termuat dalam catatan sejarah Tiongkok.
Dalam catatan Tiongkok menerangkan bahwa Kalingga dipimpin Ratu Shima
yang memiliki peraturan seperti hukum Islam dan Buya Hamka menyanggah jika
Kalingga pada masa Ratu Shima menganut Siwa. Buya menyimpulkan bahwa
Ratu Shima menganut Islam.
Putra Ratu Shima bernama Purwati menikah dengan Mandiminyak, putra
mahkota Galuh yang kelak menjadi raja Galuh kedua menggantikan
Wretikandayun. Purwati dan Mandiminyak menurunkan Bratasenawa yang kelak
menjadi raja Galuh ketiga. Ratu Shima juga memiliki putra mahkota yang gagal
memanjat tahta lantaran dihukum potong oleh sang Ratu. Putra mahkota ini
memiliki putri bernama Sanaha yang kemudian menikah dengan Bratasenawa.
Dari Sanaha dan Bratasenawa inilah lahir Jamri yang kelak dikenal sebagai
Sanjaya.
Jadi Sanjaya adalah putra mahkota Galuh sekaligus anak buyut Ratu Shima.
Rakian Sunda Sambawa, putra tertua Tarusbawa yang meninggal sebelum
memanjat tahta, memiliki seorang putri bernama Sekarkencana. Putri Tarusbawa
ini kelak menikah dengan Rakian Jamri alias Sanjaya, dan kelak dari pernikahan
ini melahirkan Tamperan. Ketika Tarusbawa wafat 723 M, Sanjaya memanjat
tahta Sunda. Dalam tahun itu pula Sanjaya berhasil merebut Galuh dari
kekuasaan Purbasora. Sanjaya berkepentingan merebut Galuh lantaran kerajaan
ini sebelumnya dikuasai Bratasenawa, ayah Sanjaya, dan Purbasora lah yang
mengkudeta Bratasenawa. Dengan terebutnya Galuh, maka Sanjaya berkuasa
atas sepenjuru Jawa Barat, berkuasa atas Sunda dan Galuh.
Sekali lagi Sanjaya anak buyut Ratu Sima di Kalingga. Setelah Ratu Sima wafat,
Sanjaya lah yang menjadi penerima waris, berhak atas Kalingga. Maka pada
tahun 732 M, Sanjaya mengambil keputusan meninggalkan Jawa Barat, menjadi
raja di Kalingga. Sunda-Galuh diserahkan kepada Tamperan kelak ia berkuasa
di Sunda Galuh selama tujuh tahun 732-739 M sebelum akhirnya membagi
kerajaannya, Galuh kepada Manarah alias Siung Wanara dan Sunda kepada
Bangah. Kelak Sunda Galuh kembali berkumpul dan di masa pemerintahan Raja
Guru Dharmasiksa Sang Hyang Wisnu, raja Sunda-Galuh ke-25 yang
memerintah selama 122 tahun, 1175-1297 M, Sunda Galuh kembali beribukota di
Pakuan Pajajaran, ibukota kuno pada masa Tarusbawa. Kelak raja ke-31 yaitu
maharaja Linggabuwanawisesa gugur di lapangan Bubat.
Setelah menempati Kalingga, Sanjaya mengubah nama kerajaannya menjadi
Medang i Bhumi Mataram, memerintah pada 732-754M. Sanjaya berkuasa di
Kalingga utara. Kalingga selatan bernama Bhumi Sambara ditempati Raja
Dewashinga. Sanjaya menikahi putri Raja Dewashinga bernama Sudiwara yang
kelak menurunkan Rakai Panangkaran.
Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku API SEJARAH terlalu berani
menyimpulkan bahwa Kalingga tidak mungkin di Jawa Tengah, melainkan di Jawa
Barat, karena di Jawa Tengah baru ada kerajaan Mataram I di bawah raja Sanjaya
pada tahun 732M.
Bukankah pada tahun 670 M, secara resmi di Jawa Barat berkembang kerajaan
Sunda dan Galuh, berkuasa Tarusbawa dan Wretikandayun dan Sanjaya baru
menjadi raja Sunda pada tahun 723 M menggantikan Tarusbawa, dan pindah ke
Kalingga pada tahun 732 M? Bukankah pada kurun antara 670 sampai 723 M, di
Jawa Barat yang tampil adalah Tarusbawa, Wretikandayun lalu Bratasenawa dan

Purbasora? Bukankah dalam saat bersamaan, Kalingga bersama Ratu Shima


tumbuh di timur tlatah Sunda Galuh?

Cara menulis sejarah secara keliru


Bahwa semua berita, sesuai dengan sifatnya, dapat tertimpa kesalahan, bahkan
berita itu sendiri malah mengandung faktorfaktor penyebab kesalahan. Faktor
pertama ialah sikap memihak kepada suatu kepercayaan atau pendapat. Apabila
pikiran dalam keadaan netral, setiap orang biasanya ketika menerima suatu
keterangan akan menyelidiki dan menimbang-nimbang terlebih dahulu sampai ia
dapat menyerpih kebenaran dan ketidakbenaran. Tetapi, bilamana pikiran
seseorang itu berat sebelah kepada salah satu pendapat atau kepercayaan,
maka ia akan berpihak pada keterangan-keterangan yang menguntungkan
pendapat atau kepercayaannya. Oleh karena itu, sikap memihak akan menutup
kejernihan pikiran, mencegah penyelidikan dan pertimbangan dan cenderung
melakukan kesalahan, kata Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya.
Jadi, kesalahan pertama dalam penulisan sejarah menurut Ibn Khaldun adalah
kecenderungan orang untuk menerima begitu saja berita yang sesuai dengan
pendapat atau kepercayaannya, tanpa penyelidikan terlebih dahulu. Atau
dengan terminologi ilmu jiwa, dikatakan bahwa sebab kesalahan dalam hal ini
merupakan faktor psikologis murni. Karena segala penilaian orang tersebut telah
terpengaruh oleh berbagai pendapat yang sebelumnya merasuki pikirannya,
yakni beragam pendapat yang bertumbuh kembang dalam masyarakat, pahampaham yang mengarahkan pemikiran orang perorang sehingga memengaruhi
penilaian mereka.
Kepercayaan berlebihan kepada para penutur, padahal penuturan apapun
seharusnya dapat diterima apabila telah dilakukan tadil dan tajrih, kata tokoh
yang memiliki nama lengkap Abd al-Rahman Abu Zaid Waliuddin Ibn Khaldun ini,
menyebut kesalahan kedua dalam penulisan sejarah.
Jadi, kesalahan kedua seorang sejarawan akibat kepercayaannya yang
berlebihan kepada penutur. Padahal, adakalanya penutur tersebut seorang
pendusta atau yang suka merekareka. Akibatnya, apabila seorang sejarawan
mengutip berita orang tersebut, sama saja ia mengutip berita dusta. Karena itu,
seorang sejarawan harus meneliti dan menyelidiki kebenaran berita sejarah
dengan kritis dan melalui penelitian mendalam, yakni dengan metoda yang oleh
para ahli tafsir dan hadits Nabi disebut dengan tadil dan tajrih.
Metoda tadil dan tajrih adalah suatu metoda yang disusun oleh para penutur
Sunnah Nabi. Metoda ini berupa suatu penelitian cermat yang dilakukan untuk
mengetahui kejujuran dan kebenaran si penutur hadits. Segala informasi yang
dihasilkan dalam penelitian kemudian dihimpun, dan setiap kali diperlukan untuk
menguji kebenaran suatu hadits, ia kembali digunakan atau disalingsilang
rujukkan. Karena itu, kumpulan informasi ini akan membentuk
ensiklopediensiklopedi yang menjadi rujukan setiap ilmuwan. Dari kesemuanya
itu kemudian diiktihsarkan sejumlah prinsip sebagai pembantu dalam menilai
setiap hadits. Prinsip inilah yang membentuk suatu cabang ilmu yang disebut
Musthalah Hadits.
Pertanyaannya, kapankah seseorang menerapkan metoda tersebut? Apakah
metoda tadil dan tajrih merupakan langkah pertama dalam meneliti berita?
Menurut Ibn Khaldun dalam al-Muqaddimah, menyebutkan bahwa tadil dan
tajrih adalah langkah kedua. Langkah pertama adalah menilai apakah ini berita
itu sendiri merupakan hal yang mungkin atau mustahil. Dan penelitian tentang
keadilan dan kejujuran para penutur tidak dilakukan kecuali setelah diketahui
bahwa isi berita itu sendiri merupakan hal yang mungkin terjadi atau tidak.
Bilamana mustahil terjadi, maka tidak ada gunanya dilakukan tadil dan tajrih.
Kesalahan ketiga adalah ketidaksanggupan memahami apa yang sebenarnya
dimaksud. Banyak para pencatat sejarah yang jatuh dalam kesalahan karena
mereka tidak dapat memahami maksud sebenarnya dari apa yang dilihat dan
didengarnya. Dan juga karena mereka menghubungkan berita itu menurut apa

yang dipikirkan dan dipersangkakannya, sehingga mereka terjatuh dalam


kekeliruan.
Jadi, kadangkadang si pencatat sejarah benar dalam mencatat suatu berita,
namun keliru dalam memahaminya. Atau dengan kata lain, ia menuliskan berita
tersebut telah berdasar persepsinya, yang berbeda dengan hakikatnya, padahal
persepsinya itu keliru.
Kesalahan keempat yaitu kepercayaan yang salah kepada kebenaran. Pada
umumnya hal ini sering terjadi dalam bentuk terlalu memutlakkan kebenaran
yang disodorkan penutur berita. Dengan kata lain, seorang sejarawan
menuturkan berita yang keliru dengan keyakinan bahwa berita itu telah
merupakan kebenaran, sehingga tidak perlu diotakatik lagi. Sebab keempat ini
dapat kita rujukkan pula pada sebab yang kedua.
Kesalahan kelima adalah ketidaksanggupan menempatkan dengan tepat suatu
kejadian dalam hubungan peristiwaperistiwa sebenarnya, karena kabur dan
rumitnya keadaan. Si pencatat merasa puas menguraikan peristiwa seperti yang
dilihatnya saja, akibatnya akan memutarbalikkan peristiwa itu.
Dengan kata lain, sebagian orang yang tidak bertanggungjawab, berupaya
memerdayakan orang banyak dengan menciptakan beberapa peristiwa dan hal
yang tidak benar [move]. Dalam hal ini apabila sejarawan tidak menyadari
pemutarbalikkan berita-berita itu, maka dengan tidak sengaja ia telah
menuturkan beritaberita yang tidak benar dalam penuturannya.
Kekeliruan keenam adalah keinginan yang umum untuk mengambil hati orangorang yang berkedudukan tinggi, dengan jalan memuji-muji, menyiarkan
kemashuran, membujuk-bujuk, menganggap baik setiap perbuatan mereka dan
member tafsiran yang selalu menguntungkan semua tindakan mereka. Hasil
kesemuanya ini adalah terciptanya gambaran yang keliru tentang peristiwaperistiwa sejarah. Semua orang memang senang dipuji, dan manusia pada
umumnya mencari kesenangan di dunia ini dan mencari segala jalan untuk
mencapai kesenangan itu, seperti kehormatan dan kekayaan. Dan pada
umumnya mereka tidak mencari perbuatan yang baik atau berupaya
mendapatkan kebaikan dari orangorang yang baik.
Ini berarti apabila sejarawan berupaya mendekatkan diri kepada para pemegang
kekuasaan dan jabatan tinggi, demi memeroleh kenikmatan duniawi, maka akan
mendorong menyebarnya beritaberita bohong tentang para penguasa dan
pembesar demi menyenangkan pihak penguasa atau pembesar yang
didekatinya itu.
Menurut Ibn Khaldun, sebab ketujuh adalah sebab yang paling penting yaitu
tidak mengetahui hukum-hukum watak dan mobahmosiknya masyarakat.
Padahal, segala sesuatu, baik benda maupun perbuatan, tunduk kepada hukum
watak dan hukum perubahan. Seandainya si pendengar memahami watak
peristiwa dan perubahan yang terjadi, serta kondisinya, maka pengetahuan
seperti ini akan membantunya melebihi apapun, dalam menguraikan setiap
peristiwa yang dicatatnya dan untuk memilah kebenaran dari kebohongan yang
terkandung dalam catatan itu.
Seringkali para sejarawan, ahli tafsir, dan tokoh penutur terjatuh dalam
kesalahan pada pemahaman berita dan peristiwa. Mereka hanya mendasarkan
diri pada penukilan semata, terlepas beritanya salah atau benar. Mereka tidak
mengembalikannya kepada asalusul. Mereka juga tidak menganalogikannya
dengan peristiwaperistiwa serupa. Selain itu mereka juga tidak mengujinya
dengan ukuran hikmahnya, dan berhenti pada watak-watak yang ada dan
memperkuat penelitian dan pengkajian terhadap beritaberita itu saja, sehingga
mereka menyimpang dari kebenaran. Lebih jauh lagi, mereka memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada daya hayal mereka, mengikuti bisikan sifat
berlebihan dan melintasi batasan-batasan pengalaman biasa bilamana

membincangkan soal tentara dan kekayaan dari negeri-negeri pada zaman


mereka, atau negeri-negeri pada masa lalu yang dekat. Tulis Ibn Khaldun dalam
pendahuluan al-Muqaddimah.
Sumber: FILSAFAT SEJARAH IBN KHALDUN- Dr. Zainab al-Khudhairi- 1979

Garis Keturunan Jayakatwang


Dalam prasasti Mula Malurung, Maharaja Tumapel Seminingrat menyebut Sri
Jayakatwang sebagai menantu juga kemenakannya. Sebagai menantu karena Sri
Jayakatwang berpermaisuri putri Seminingrat bernama Nararya Turukbali,
rajamuda Gelang-Gelang sejak tahun 1255M. Sebagai kemenakan karena ibu Sri
Jayakatwang adalah adik Seminingrat. Kiranya hubungan kekeluargaan
Seminingrat dengan Jayakatwang atau hubungan uwa dengan keponakan lebih
berasal dari garis perempuan bukan dari garis lelaki dan lebih berasal dari garis
adik kandung perempuan ketimbang adik tiri perempuan. Meski tidak tertutup
kemungkinan ibu Jayakatwang adik tiri Seminingrat, tetapi lebih besar
kemungkinan adik kandung.
Ketegasan Seminingrat menyebutan kemenakan kepada Jayakatwang dalam
Prasasti Mula Malurung cenderung mengartikan bahwa Jayakatwang putra
kandung dari adik kandung perempuan Seminingrat atau Ibu kandung
Jayakatwang adalah adik kandung Seminingrat atau putri kandung Sang
Anusapati sehingga sangat layak disebut dengan tegas dalam prasasti Mula
Malurung yang dikeluarkan Seminingrat pada tahun 1255. Karena merupakan
putra dari adik kandung perempuannya, maka kelak Seminingrat tidak ragu
menjodohkan Jayakatwang dengan putri bungsunya Nararya Turukbali, yuwaraja
Gelang-Gelang. Sekali lagi ibu kandung Jayakatwang adalah adik kandung
Maharaja Seminingrat.
Menjadi kewajaran ketika seorang raja mengikat tali keluarga dengan
menjodohkan keturunannya dengan keturunan saudara kandungnya sendiri. Hal
itu dilakukan supaya darah keturunan raja tidak pergi kemana-mana, masih
tetap dalam satu keluarga atau setidaknya garis keturunan seorang raja tetap
utuh menurun sampai bawah. Ini pula yang kemudian dilakukan Maharaja
Seminingrat ketika menduduki tahta Tumapel yang kemudian berbesanan
dengan dengan adik kandung perempuannya. Terjadi pernikahan sesama cucu
Sang Anusapati. Putri Seminingrat bernama Nararya Turukbali menikah dengan
Jayakatwang, putra adik kandung perempuan Seminingrat. Nararya Turukbali dan
Jayakatwang saudara sepupu juga. Pernikahan seperti itu pernah pula dilakukan
moyangnya Erlangga yang menikah dengan kakak sepupunya atau dengan Dewi
Laksmi, putri kedua Dharmawangsa, raja Medang Watan. Pernikahan antar
saudara sepupu juga dilakukan Seminingrat sendiri. Seminingrat menikah
dengan adik sepupunya bernama Waning Hyun, putri sulung Mahisa Wonga
Teleng. Mahisa Wonga Teleng adalah paman Seminingrat. Dapat dikatakan
Seminingrat mengikuti langkah yang ditempuh ayahnya Sang Anusapati yang
berbesanan dengan adik seibunya Mahisa Wonga Teleng. Jika ayahnya
berbesanan dengan adik sepupu seibu beda ayah, Seminingrat berbesanan
dengan adik kandung sendiri, menjodohkan putrinya Nararya Turukbali dengan
kemenakannya Sri Jayakatwang. Tetapi bagaimanapun juga semua perkawinan
antar saudara itu bertujuan untuk menjaga keaslian darah keluarga raja.
Sangat pantas pula ketika mengeluarkan piagam kerajaan pemganugerahan
desa Mula Malurung kepada Sang Pranaraja pada tahun 1255M, Maharaja
Tumapel Seminingrat menyebut dengan tegas bahwa Sri Jayakatwang adalah
menantu sekaligus kemenakannya. Menegaskan kembali bahwa Nararya
Turukbali dan Sri Jayakatwang adalah sama-sama cucu sang Anusapati,
ayahanda Seminingrat, yang sepantasnya mendapat kedudukan bagus di dalam
keluarga raja. Sampai disini diketahui Jayakatwang adalah adik sepupu Nararya
Turukbali dan Kertanagara, keponakan langsung Seminingrat, cucu Sang
Anusapati, dan keturunan ketiga pasangan Tunggul Ametung dan Kendedes.

Lalu siapa ayah Jayakatwang? Mpu Prapanca dalam kakawin decawarnnana


menulis bahwa setelah pada tahun 1222M berhasil menjongkeng Raja Kertajaya
dari istana Daha, Ranggah Rajasa alias Kenarok mengangkat putra Kertajaya
bernama Jayasabha sebagai raja di daerah Kadiri atau Panjalu yang beribukota di
Daha. Pada tahun 1258M Jayasabha digantikan putranya bernama Sastrajaya.
Pada tahun 1271M Sastrajaya digantikan putranya bernama Jayakatwang. Jika
yang dikatakan Mpu Prapanca benar adanya maka dapat diketahui bahwa ayah
Jayakatwang adalah Sastrajaya yang berkuasa di daerah Kadiri mulai tahun 1258
sampai tahun 1271M. Sastrajaya adalah putra kandung Jayasabha atau pula
cucu langsung Raja Kertajaya.
Berdasarkan keterangan dalam kakawin Decawarnnana dapat diketahui bahwa
Jayakatwang adalah putra Raja Sastrajaya, cucu Jayasabha dan buyut Raja
Kertajaya. Jika ditarik ke atas, Jayakatwang keturunan Erlangga yang
membangun kerajaan Panjalu Daha. Panjalu Daha menganut agama Wisnu. Dari
garis ayah, Jayakatwang berdarah Panjalu atau keturunan Kertajaya, pengatut
agama Wisnu. Panjalu sejak mula memang merupakan kerajaan yang menganut
agama Wisnu. Haluan kerajaan itu ditancapkan raja Erlangga ketika membangun
kerajaan Panjalu di Daha dan menyerahkannya kepada salah satu putra
kandungnya bernama Samarawijaya, raja Panjalu kedua setelah Erlangga.
*

Anda mungkin juga menyukai