Babad Tanah Jawa gubahan Val Rijckevorsel menerangkan: Wiwitan ing tanah
Jawa ana agama Islam ing antaran tahun 1400 - 1425. Tahun 1292 ing tanah
Perlak ing pulo Sumatra wis ana wong Islam; tahun 1300 ana wong Islam
manggon Samudra Pasi. Ing pungkasan abad ping 14 ing Malaka iya wis ana
wong Islam. Tekan padha saka Gujarat. Saka Malaka kono agama Islam mencar
marang tanah Jawa, tanah Cina, Indhiya Buri lan Indhiya Ngarep. Kang
mencarak agama Islam ing tanah Jawa dhisike yaiku sudagar Jawa saka Tuban
lan Gresik, kang padha dedagangan ing Malaka, padha sinau agama Islam,
dadin Islam terkadhang sok kepeksa. Sudagar-sudagar Jawa mau padha bali
marang tanah Jawa Wtan, sudagar Indhu lan Prsi uga ana sing teka ing kono
lan nuli mencarak agama Islam marang wong-wong. Sing misuwur yaiku:
Maulana Malik Ibrahim (wong Persi?), sda ana ing Gresik ing tahun 1419, nganti
saiki pasarean isih. Bareng kuwasan karaton Majapait saya suw saya suda,
para bupati pasisir rumangsa gedh panguwasan, wani nglakoni sakarep-karep.
Para bupati mau lumrah wis padha Islam wiwit tumapaking abad kaping 16
(tahun 1500 - 1525), Jalaran iku kerep ba perang karo para raja agama Indhu
kang manggon ing tengahing tanah Jawa.
Uraian dalam Babad tanah Jawa ini sangat menyesatkan. Islam dibilang masuk
tanah Jawa sekitar tahun 1400-1425M. Wong Londo menyamakan berdirinya
pemerintahan-pemerintahan Islam di pesisir utara Jawa sebagai tanda masuknya
agama Islam. Babad Tanah Jawa tidak dapat membedakan kedatangan Islam
dengan perkembangan Islam. Kedatangan Islam jelas tidak dengan serta-merta
memunculkan sebuah kesultanan Islam. Berdasarkan catatan Dinasti Tang dari
Tiongkok, pada tahun 674M, rombongan utusan dagang dari Damaskus
mengunjungi keraton Kalingga di pulo Jawa. Itu berarti Islam datang ke tanah
Jawa pada abad ke tujuh. Bahkan Buya Hamka menilai hokum yang dianut Ratu
Shima adalah hokum Islam. Kalingga menganut Islam.
Maka mendengar buku karya Ahmad Mansur Suryanegara berjudul API SEJARAH:
Buku yang akan mengubah Drastis pandangan anda tentang sejarah Indonesia,
terbitan Salamadani cetakan kelima, 2012, saya penasaran. Selain best seller
dan mendapat IBF Award 2010 sebagai buku Islam terbaik kategori nonfiksi
dewasa, buku dengan jumlah halaman 586 ini bersampul keren.
Buku yang disisipi peta-peta kuna kekilafahan Islam, gambar uang Islam kuna di
Nusantara, foto-foto para tokoh sejarah, dan gambar-gambar keren lainnya ini,
semakin memenasarani ketika dengan sadar saya membuka halaman 107 dan
147. Di sana menerangkan Kerajaan Kalingga pimpinan Ratu Sima menganut
Islam. Seanalisa dengan Buya Hamka. Bedanya, Suryanegara meyakini Kalingga
di Jawa Barat dan karena itu berani menyimpulkan bahwa kekuatan politik Islam
Nusantara pertama kali berdiri di Jawa Barat, setelah kedatangan rombongan
utusan dagang dari Damaskus ke Kalingga pada 674 M, bukan di Aceh, bukan di
Demak, tetapi sekali lagi di Kalingga, di Sunda.
Apalagi ketika menyadari, cukup lama Dinasti Genghis Khan memenasarani
saya, buku API SEJARAH kiranya cocok menumpas rasa haus saya. Saya pernah
membaca novel sejarah Genghis Khan yang meriwayatkan sejak masa bocah
atau ketika masih bernama Temujin sampai ketika menyatukan klan-klan di
dataran Mongolia hingga kesohor sebagai Genghis Khan yang ditulis orang barat
sebagai sosok terbengis di jagad raya, pemusnah peradaban Islam. Karena
penasaran, sebiadab apa Dinasti Genghis Khan itu lantaran dianggap bangsa
biadab sehingga kelak ada seorang Mongol bernama Mengki tertimpa nasib
sengsara, dipancung telinga dan hidungnya oleh Raja Agung Singhasari, Baginda
Prabu Kertanegara bagaimana pula pandangan Dinasti Genghis Khan terhadap
agama-agama di dunia ini, dan terutama karena penasaran, benarkah Kubilai
Khan menganut Islam, adakah utusan Kubilai Khan yang menjujug Samudra
Pasai, kerajaan Islam pertama di Sumatera, maka saya segera membolak-balik
buku API SEJARAH dan hidung saya tertuju ke halaman 146, tetangganya 147.
Saya dipukaui tafsir sejarah Ahmad Mansur Suryanegara perihal Dinasti Gengis
Khan, yang sekali lagi, oleh Barat ditulis sebagai bangsa penghancur peradaban,
bangsa terbiadab di dunia ini. Sebuah tafsir sejarah sangat mantap dan saya
suka dengan penafsiran ulang suatu sejarah tentunya dengan data-data
analisa mantap, dapat dipertanggungjawabkan, dan masuk akal.
Suryanegara memandang perlunya memahami hubungan sejarah antara Turki
Bani Saljuk dan Mongol Gengis Khan dalam hubungannya dengan pengaruh
Islam di Nusantara sampai kelak ketika pasukan Kubilai Khan mendarat di Jawa
menemui Kertanegara, bukannya menuju Samudra Pasai yang sudah Islam, atau
sampai ketika armada laut Cheng Ho yang mengangkut para marinir Islam
Dinasti Ming kunjungan muhibah ke-36 negara yang dilakukan pada 14051433M tidak melakukan penaklukan atas Majapahit. Suryanegara
mengatakan, pada awalnya, Gengis Khan yang berjaya berhasil melemahkan
Turki Bani Saljuk. Namun pada abad 13 M tiba-tiba bangkit kembali kesultanan
Turki Ottoman di Ankara. Berbalik melepaskan kesultanan Turki dari kekuasaan
Mongolia, bahkan memengaruhi Dinasti Gengis Khan memeluk Islam yang sepak
terjang Dinasti ini dinarasikan mantap di bab pertama dan bab kedua.
Saya mengagumi Suryanegara, tetapi bukan berarti enggan mengatakan,
meskipun buku API SEJARAH secara banyak sangat mantap, namun memiliki
kelemahan analisa di beberapa titik, ada beberapa peristiwa sejarah penting
sengaja dilewati Suryanegara, seperti peran besar Demak dengan Pati Unusnya,
Ratu Kalinyamat pendekar Jepara, Mataram dengan Sultan Agungnya, yang
ketiga tokoh besar itu cuma dinarasikan sekilas-pintas.
Sesungguhnya semua itu bermula dari analisa Suryanegara mengenai Kalingga.
Suryanegara terlalu berani menganalisa bahwa Kalingga yang menganut Islam
terletak di Jawa Barat! Seumpama Suryanegara meyakini bahwa Kalingga
dengan Ratu Shima-nya berkuasa di Jawa Tengah, tentunya buku API SEJARAH
benar-benar buku sejarah Islam Nusantara yang memang pantas menyandang
sabuk gelar dari IBF sebagai buku Islam terbaik kategori nonfiksi dewasa.
*
Cipto Adisuryo
Saya mengenal pertama Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku Kontroversi
pemikiran Islam di Indonesia terbitan Rosda Karya Bandung tahun 1990 M.
Mengenal melalui tulisan beliau diantaranya yang bertajuk NU: Sejarah dan
Politik, tanggapan atas ceramah Mahbud Djunaedi yang heran seheranherannya, mengapa Cipto Adisuryo terlupakan?
Untuk menguraikan sejarah umat Islam ini, kata Mahbud, saya kira fair kalau
kita berangkat dari awal dulu. Sebab apa? Sebab saya lihat dalam pencatatan
sejarah nasional ada hal tidak adil. Bukan sekadar tidak adil, melainkan ada satu
hal yang disembunyikan, yang saya maksud adalah awal tumbuhnya Sarikat
Dagang Islam. Ada satu tokoh yang kurang ditampilkan termasuk oleh kita
sendiri, padahal orang itu sangat penting sekali kedudukannya, yaitu Cipto
Adisuryo.
Awal penyembunyian fakta ini saya kira dari zaman kolonial sendiri. Kerap saya
tampilkan dalam berbagai forum. Mengapa saya katakan demikian? Di dalam
penulisan-penulisan sejarah, kalau kita menyebut soal Sarikat Dagang Islam, kita
diadakan pada pertemuan 19 April 1950. Sedangkan pada 19 April 1529 adalah
tanggal awal kelahiran Protestan Jerman di bawah Martin Luther. Perhatikan pula
Protestan Revolusioner, 19 April 1775, melahirkan Negara Amerika Serikat. Sikap
kaum Fundamentalis tidak mampu bertoleransi terhadap agama non Protestan.
*
dikeluarkan Kertawijaya, ayah Sang Sinagara, tercantum nama Brhe Matahun III
Wijaya Parakrama Dyah Samarawijaya dan Brhe Keling III Girindrawardhana Dyah
Wijayakarana. Dua nama ini adalah putra pertama dan kedua Sang Sinagara.
Sang Sinagara pernah menjadi Brhe Keling II, Brhe Pamotan I, dan ketika
ayahnya naik tahta, ia menjadi pangeran pati di Kahuripan, menjadi Brhe
Kahuripan VI, menggantikan Ratnapangkaja, suami Suhita. Maka tak heran jika
Sang Sinagara dikenal sebagai baginda Prabu, Baginda Keling, Baginda Pamotan,
dan Baginda Kahuripan. Setelah memanjat tahta di tahun 1451M, Sang Sinagara
bertahta di Trawulan, posisi Brhe Kahuripan alias baginda yang berkuasa di
keratin Kahuripan, dipegang Samarawijaya. Wijayakarana menjadi Baginda di
Mataram. Jadi Brhe Kahuripan dan Brhe Mataram, yang dalam Pararaton disebut
sebagai putra-putra Sang Sinagara adalah adalah Samarawijaya dan
Wijayakarana.
Lalu di mana dua putra Sang Sinagara lainnya? Di mana Brhe Pamotan dan Brhe
Kertabhumi? Dalam Prasasti Trailokyapuri [1486M], tertulis tokoh bernama
Singhawardhana Dyah Wijayakusuma dan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.
Wijayakusuma adalah putra ketiga Sang Sinagara yang setelah ayahnya naik
tahta menjadi Brhe Pamotan II, dan Ranawijaya adalah sang pamungsu yang
menjadi Brhe Kertabhumi alias baginda yang berkuasa di keraton Kertabhumi.
Benar jika Girindrawardhana ikut dalam barisan yang menyerbu Majapahit pada
1478 M, tetapi sekarang kita mengetahui ada dua Girindrawardhana, yaitu
Girindrawardhana Dyah Wijayakarana Brhe Mataram dan Girindrawardhana
Dyah Ranawijaya Brhe Kertabhumi. Singawardhana Dyah Wijayakusuma ikut
dalam penyerbuan ke Trawulan, dipimpin kakak sulungnya, Baginda Kahuripan
Wijaya Parakrama Dyah Samarawijaya kelak gugur dan dikenal sebagai Sang
Munggwing Jinggan.
Jadi yang berderap menuju Trawulan di tahun 1400 Saka bukan pasukan Jihad
Demak!
Siapa sang prabu yang mokta ring kadaton i saka 1400? Dialah adik bungsu
Sang Sinagara, Baginda Prabu Singawikramawardhana Dyah Suraprabhawa.
Suraprabhawa memanjat tahta pada tahun 1466 M menggantikan kakaknya
Baginda Girisawardhana alias Baginda Wengker. Sang prabu ini pernah menjadi
Brhe Pandansalas III dan Brhe Tumapel IV.
Setelah merebut tahta dari sang paman, Girindrawardhana Dyah Wijayakarana
memindahkan ibukota Majapahit ke Keling atau ke daerah Pare, bertahta sampai
1486 M. Jadi wajar jika Girisawardhana dikenal sebagai raja Kediri. Keling terletak
di Kediri. Keling bekas keraton bawahan Majapahit yang juga pernah ditempati
Dyah Wijayakarana sebelum menjadi Baginda Mataram.
Kepindahan Wijayakarana dari Keling ke Mataram dan kemudian kembalinya
putra kedua Sang Sinagara itu ke keraton Keling, saya narasikan panjang dalam
novel saya. Mengapa dan bagaimana. Mengapa ketika Keling ditinggalkan
Wijayakarana, dua adiknya menempati Pamotan dan Kertabhumi. Dimana letak
keraton Kertabhumi? Ada dalam novel saya.
Setelah Baginda Prabu Girindrawardhana Dyah Wijayakarana Batara I Kling
wafat, kemudian digantikan adiknya Wijayakusuma, dan beberapa bulan
kemudian sang pamungsu Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Brhe
Kertabhumi memanjat tahta Majapahit sampai masa Sultan Trenggana di Demak.
Brhe Kertabhumi alias baginda yang berkuasa di keraton Kertabhumi inilah yang
dalam babad atau serat kuna dikenal sebagai Batara Wijaya alias Brawijaya
terakhir.
Babad tanah jawi menulis ada tujuh raja Majapahit bergelar Brawijaya. Ini
memang benar. Di Majapahit, ada tujuh tokoh lelaki yang menggunakan nama
Wijaya, yaitu Raden Wijaya, Kertawijaya, Wijayakumara alias Sang Sinagara,
Samarawijaya, Wijayakarana, Wijayakusuma, dan Ranawijaya. Babad tanah jawi
juga menerangkan bahwa raja Brawijaya terakhir dikudeta oleh putranya sendiri
yang bernama raden Patah, adipati Demak yang menganut Islam. Barangkali
yang dimaksud adalah Brawijaya ke VII alias Baginda Ranawijaya yang pernah
menjadi baginda Kertabhumi. Mitos yang sangat kesohor ini sungguh
menyesatkan. Majapahit runtuh tahun 1478 lantaran pertikaian sesama keluarga
Girindra. Kertawijaya memiliki tiga putra, Sang Sinagara alias Wijayakumara,
Suryawikrama, dan Suraprabhawa. Peristiwa di 1478 adalah perseteruan antara
para putra Sang Sinagara dengan Suraprabhawa, pamannya yang memanjat
tahta, menyingkirkan putra mahkota Samarawijaya.
Kalau menganggap pemerintahan Girisawardhana Dyah Ranawijaya di Daha
adalah Majapahit, maka boleh dibilang bahwa secara resmi Majapahit sirna pada
tahun 1527 M. Tetapi jika menganggap bahwa pemerintahan di Daha bukan
merupakan pemerintahan Majapahit, maka Majapahit boleh dibilang runtuh pada
tahun 1478 M. Ini yang tidak diketahui API SEJARAH.
*
Sekilas mengenai Pati Unus. Nama aslinya Raden Abdul Kadir. Setelah menjadi
menantu Raden Fatah, Raden Abdul Kadir menjadi adipati Jepara. Karena
ayahnya bernama Raden Unus, maka Raden Abdul Kadir dipanggil sebagai
Adipati bin Yunus hingga kemudian lebih dikenal sebagai Pati Unus.
Ketika pada tahun 1511 M Portugis menerkam Malaka, Demak bersiaga
memperkencang hubungan dengan Banten dan Cirebon, menikahkan Pati Unus
dengan putri Sunan Gunung Jati. Pati Unus kemudian diangkat sebagai panglima
pasukan koalisi Demak, Banten dan Cirebon, bergelar Senapati Sarjawala,
dengan mengemban tugas utama merebut Malaka dari cengkeraman Portugis.
Tahun 1512 M Portugis menerkam Samudra Pasai. Maka pada tahun 1513 M, Pati
Unus melajukan pasukannya berusaha membobol benteng Portugis di Malaka
dan gagal lalu kembali ke Jawa. Setelah serbuan pertamanya gagal, Pati Unus
bekerja sama dengan Gowa, membangun armada laut, membikin kapal tempur.
Tahun 1518, Pati Unus menjadi sultan Demak kedua menggantikan Raden Fatah
yang wafat. Tiga tahun kemudian atau pada 1521 M, armada lautnya selesai
dibangun, 375 kapal siap melaju ke Malaka, mengangkut pasukan jihad edisi
kedua dan dalam ekspedisi ini, Pati Unus gugur sebagai Syahid.
Betapa mengesankan sejarah perjuangan Pati Unus menuju Malaka. Tetapi
sayang sembilan ratus sembilan puluh sembilan kali sayang, Suryanegara tidak
menarasikannya dalam buku API Sejarah. Demak, Pati Unus, terlupakan. Padahal
dari peristiwa itu, kelak muncul tokoh besar bernama Faletehan alias Fatahilah
yang lagi-lagi kelak menjadi panglima pasukan gabungan menggantikan
kedudukan Pati Unus. Fatahillah tokoh yang berperan besar dalam pengusiran
Portugis dari Jayakarta di tahun 1527M. Fatahillah kelak menikahi putri Sunan
Gunung Jati, janda Pati Unus.
Dan barangkali Suryanegara lupa bahwa ketika Pati Unus menuju Malaka, ketiga
putranya ikut serta. Putra pertama dan ketiga gugur sementara putra keduanya,
Raden Abdullah selamat dan berhasil kembali ke Jawa. Kepulangannya itu
bersama sebagian pasukan Malaka yang memutuskan hijrah ke tanah Jawa.
Orang-orang keturunan Malaka inilah yang kemudian membantu perjuangan
Raden Abdullah, mengislamkan tanah Pasundan, hingga kemudian menamai
sebuah tempat persinggahan mereka di Jawa Barat dengan nama Tasikmalaya
yang berarti segaranya orang Malaya. Inilah kelemahan kedua API SEJARAH
terkait Demak.
Dan apakah barangkali Suryanegara lupa bahwa setelah Tahun 1522, setelah
Demak dipegang Sultan Trenggana, Majapahit Daha yang sedang berebut
hegemoni dengan Demak, menjalin hubungan dengan Portugis? Lepas dari
segala kontroversi, dalam Serat Darmogandul terdapat isyarat yang
menunjukkan Majapahit yang beribukota di Daha masih berdiri sampai
kedatangan Portugis. Terjadi pertempuran dengan Demak setelah Majapahit
menjalin hubungan dengan Portugis. Sebagaimana pula sejarah mencatat, pada
1522 M, Majapahit Daha yang sedang berebut hegemoni dengan Demak,
menjalin hubungan dengan Portugis. Buah hubungan dengan bangsa Eropah,
pasukan Majapahit mengenal bedil! Buah lainnya, Demak dengan berat,
menggempur kotaraja Daha, menjadi kisah mahaduka Nusantara. Diceritakan
dalam pertempuran, pasukan Demak yang disokong para santri Padepokan Giri
mengalami kekalahan lantaran tidak mampu mengimbangi kekuatan Majapahit
yang sudah menggunakan bedil.
...wadya Majapahit ambedili, dene wadya Giri pada pating jengkelang, ora kelar
nadhahi tibaning mimis...
Pasukan Majapahit membedili [menembaki pasukan Demak dengan senapan,
bukan panah api], sementara pasukan Giri bertumbangan tidak mampu
menahan jatuhnya mimis atau peluru.
Dari kalimat tersebut, sulit dipahami jika Majapahit mengenal senjata api berupa
bedil, sebelum kedatangan Portugis ke Malaka lalu berhubungan dengannya.
Tiongkok atau Mongol, sejak jaman Gengis Khan, sudah mengenal bubuk mesiu,
bom, granat, atau panah api berasap racun, tetapi belum menggunakan bedil.
Andai Tiongkok memroduksi bedil, besar kemungkinan hanya dipasok ke Demak.
Tetapi saya belum ingin menafsirkan serat Darmogandul perihal riwayat
pertempuran antara Demak dengan Majapahit riwayat ini sesungguhnya
bikinan bangsa Eropa yang tujuannya mengadu domba agama-agama di
Nusantara. Belanda banyak menciptakan riwayat atau sejarah palsu yang sejenis
ini seperti Babad Tanah jawi perihal runtuhnya Majapahit, riwayat kehidupan
para walisanga, dan selainnya. Saya masih ingin melanjutkan cerita Demak yang
dilupakan API SEJARAH.
*
Kalingga
Tetapi ketika membuka halaman 147, tentang perkembangan kekuasaan politik
Islam di Nusantara, tentang di mana, Islam pertama kali berkembangbiak,
Suryanegara terlalu memaksakan bahwa di Jawa Baratlah pertama kali Islam
tampil pada abad ke 7. Entah mengapa Jawa Tengah dan Jawa Timur dilewati
begitu saja. Dalam halaman ini, secara lengkap Suryanegara menulis:
Di bawah peta kekuasaan politik dunia yang sedang dipimpin Islam, tidaklah
heran jika di Nusantara Indonesia bangkit pula kekuasaan politik Islam atau
kesultanan. Untuk Sumatera diawali dari wilayah Aceh, kemudian menyusul di
Jawa Barat, muncul pula di wilayah Sulawesi dan kepulauan Maluku. Pera
pengaruh Islam yang bermula dari Indonesia Barat atau di pulau Jawa, Propinsi
Jawa Barat, sebagai dampak Islam dating dari Asia Barat atau Timur Tengah.
Untuk Jawa Barat sebagai tempat rendezvous atau tempat pertemuan
wirausahawan di Nusantara Indonesia, dari Cina dan India, serta Timur Tengah
menjadi sebab lebih cepatnya penyebaran ajaran Islam daripada di Jawa Tengah
dan Jawa Timur! Proses percepatan pengembangan Islam, setelah mayoritas
rakyat masuh Islam, diikuti pula oleh kalangan bangsawan dan raja beralih
agama memeluk Islam.
Perihal Jawa Barat, Suryanegara memberi catatan kaki: Timbulnya kekuasaan
politik Islam di Jawa Barat, besar kemungkinan terjadi pada masa Kalingga pada
674 M atau abad ke 7 M menurut berita Cina Dinasti Tang. Namun, karena
pengertian Kalingga di Jawa, terkesan di Jawa Tengah. Prof. Buya Hamka
menyatakan akibat Ratu Shima dari Kalingga memberlakukan hukum potong kaki
atau tangan yang sama dengan hukum Islam, maka dinilai Kalingga adalah
kekuasaan politik Islam. Tidak mungkin Kalingga di Jawa Tengah letaknya, karena
di Jawa Tengah baru ada Kerajaan Mataram I di bawah Raja Sanjaya pada 732 M
atau abad ke 8 M!
Di paragraf pertama, di mana Jawa Tengah dan Jawa Timur itu? Mengapa dilewati
Suryanegara? Di paragraf kedua, benarkah Kalingga yang Islam terletak di Jawa
Barat?
Dari sinilah sesungguhnya mengapa API SEJARAH kemudian mengandung
kelemahan-kelemahan, kelemahan karena tidak menarasikan peran ulama dan
santri di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kelemahan karena melupakan sejarah
Demak, Jepara, Mataram, kelemahan karena dengan berani menulis bahwa di
Jawa Tengah baru ada kerajaan bernama Mataram I di bawah raja Sanjaya pada
tahun 732 M?
Menurut naskah Wangsakerta, kerajaan Sunda merupakan kelanjutan dari
Tarumanegara, berdiri pada tahun 591 Saka atau 667 M dengan raja pertamanya
Tarusbawa. Menurut catatan Bujangga Manik pujangga sunda yang pada abad
16 melakukan ziarah ke beberapa tempat suci di Jawa Timur seperti Kawi, Palah,
Pacira atau Junjung Tulungagung, pertapan Kaliaca di Kamulan Trenggalek hingga
daerah Wilis menyebut Cipamali atau sungai Brebes dan Ciserayu alias sungai
Serayu sebagai batas Sunda bagian timur. Naskah Wangsakerta menyebut
daerah Lampung termasuk wilayah kekuasaan Sunda. Pengembara Portugis Tom
Pires yang mengadakan perjalananan di 1513-1515 M, mencatat pula bahwa ada
yang bilang bahwa kerajaan Sunda meliputi separuh pulau Jawa sementara yang
lainnya bilang bahwa kerajaan Sunda meliputi sepertiga pulau Jawa ditambah
seperdelapannya lagi, ujungnya adalah Cipamanuk.
Saya menjadi maklum mengapa kelak Portugis mengadakan hubungan dengan
Sunda, pada 1522 M mengadakan perjanjian dagang, dimana dalam perjanjian
tersebut, Portugis boleh membangun gudang dan benteng di pelabuhan Sunda.
Sebagai imbalan, Portugis menyokong peralatan militer kepada Sunda yang pada
waktu itu sedang sibuk menahan laju Demak dan Cirebon. Saya juga maklum
mengapa pada saat bersamaan Majapahit Daha menghubungi Portugis pula. Itu
semua berkat kerja bagus teliksandi Portugis bernama Tom Pires. Perjalanan Tom
Pires dalam rangka mengumpulkan keterangan dan segala apa terkait tanah
Jawa yang kemudian diserahkan kepada Portugis yang sejak 1511 M mendekami
Malaka.
Sebelum menjadi kerajaan mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanegara.
Raja Tarumanegara terakhir bernama Sri Maharaja Linggawarman
Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabhumi, memerintah selama tiga tahun, 666669 M, menikah dengan Ganggasari dari kerajaan Inderaprastha. Dari
Ganggasari menurunkan Dewi Manasih dan Dewi Sobakencana. Dewi Manasih
menikah dengan Tarusbawa, Sobakencana menikah dengan Dapunya Hyang
yang kelak menjayakan Sriwijaya di Palembang.
Setelah Linggawarman wafat, Tarusbawa memanjat tahta menjadi raja Sunda
pertama pada tanggal 9 suklapasa bulan yitsa tahun 529 saka atau 18 Mei 669
M. Ini yang kemudian membikin penguasa Galuh Wretikandayun berontak,
melepaskan diri dari Tarumanegara, memandirikan kerajaan Galuh.
Pada waktu Tarumanegara pecah menjadi Sunda dan Galuh, Ratu Shima sudah
berkuasa di Kalingga. Ratu Shima pula yang berperan besar mencegah perang
saudara antara Tarusbawa dan Wretikandayun. Pada waktu itu Ratu Shima
berbesanan dengan Galuh. Telah diuraikan, putri Ratu Shima bernama Purwati
menikah dengan Mandiminyak, putra Wretikandayun. Tarusbawa terpaksa
mengiyakan keinginan Wretikandayun lantaran Galuh dalam posisi kuat, setelah
campur tangan Kalingga. Pada tahun 670 M Tarumanegara secara resmi pecah
dua. Sunda di barat sungai Citarum, Galuh di timur Citarum.
Setelah tahun 670 M, Jawa Barat kacau. Sunda dan Galuh sekali waktu
berjotosan, berebut hegemoni, sama-sama merasa sebagai penerus