Anda di halaman 1dari 11

PEMIKIRAN SUNAN GUNUNG JATI

A. Jalur Perdagangan Sebagai Awal Islamisasi di Cirebon

Pengaruh Islam yang dibawa di Cirebon tidak lepas dari kegiatan


perdagangan di pelabuhan Muara Jati. Karena tak dapat disangkal lagi bahwa
Cirebon merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran
antar bangsa.1 Letaknya di antara Jawa Tengah dan Jawa Barat membuat Cirebon
berperan sebagai jembatan antara kebudayaan Jawa dan Sunda, selain itu
peniggalan purbakala membuktikan bahwa Cirebon telah berhubungan pula
dengan budaya luar seperti Arab, India, Cina, dan Eropa. Akan tetapi sebelum
Sunan Gunung Jati mendirikan Kesultanan Cirebon, Islamisasi yang dilakukan
Haji Purwa, Syekh Datuk Kahfi, dan pangeran Cakra Buana/Walangsungsang
hanya di dalam Cirebon karena pengaruh Hindu masih kuat diluar Cirebon.

Kerajaan Pajajaran bahkan mempunyai aturan ketat untuk melarang


pedagang Islam terlalu banyak masuk ke wilayah Cirebon. Hal itu berbanding
terbalik ketika Sunan Gunung Jati sampai di Cirebon, kondisi kehinduan secara
bertahap berubah menjadi suasana keislaman hingga lahirnya Kesultanan Cirebon.
Pengaruh Sunan Gunung Jati sebagai penyiar agama tentu memiliki peranan besar
dalam islamisasi Cirebon. Akan tetapi islamisasi yang terjadi di Cirebon berawal
dari perdagangan antara orang pribumi di Cirebon dan para pedagang Islam yang
masuk lewat Pelabuhan Muara Jati.2

B. Biografi Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati adalah salah seorang Walisongo yang menyebarkan


agama Islam di Jawa Barat, Banten, dan Sunda Kelapa atau Jayakarta atau Jakarta
sekarang. Penguasa Cirebon yang menjadi moyang raja-raja di Banten dan
1
Susanto Zuhdi, Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Putra Sejati Raya, 1997),
hlm. 4
2
Susanto Zuhdi, Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, . . . hlm. 4

1
Cirebon ini setelah wafatnya dimakamkan di bukit (gunung) Sembung Cirebon,
sehingga dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.

Nama aslinya Syarif Hidayatullah, tetapi mempunyai banyak gelar yang


lain seperti Syaikh Nurullah, Syaikh Nuruddin, Sayyid Insan Kamil, Bulqiyyah,
Syaikh Madzkurullah, dan Makhdum Djati. Tetapi nama yang terkenal adalah
Sunan Gunung Jati.3

Sunan Gunung Jati lahir di Mekkah tahun 1448 M, meninggal di Cirebon


tahun 1568 M. Ia memegang kekuasaan di Cirebon sebagai kepala negara dan
kepala agama dengan luas wilayah meliputi hampir seluruh Tanah Sunda bagian
utara antara tahun 1479 – 1568 M.4 Ia adalah buah dari pernikahan Raja Abdullah
(Syarif Abdullah) dengan Rara Santang asal Pajajaran yang kemudian bergelar
Syarifah Modaim.5

Bibit Suprapto dalam Ensiklopedi Ulama Nusantara memaparkan bahwa


pada masa kecilnya, Sunan Gunung Jati mempelajari ilmu-ilmu keislaman dari
Maulana Ishaq di Pasei (Aceh) sampai menginjak dewasa. Setelah tiba di Cirebon,
ia berguru kepada Syaikh Datuk Khafidz (Syaikh Nur Jati) di gunung Amparan
Djati Cirebon yang juga masih kerabat Cakrabuwana (Walangsungsang) dan Rara
Santang (Ibu Sunan Gunung Jati). Setelah berguru kepada Syaikh Nur Djati, atas
nasihat gurunya, ia belajar lebih lanjut kepada Sunan Ampel yang saat itu terkenal
3
Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, (Jakarta: Gelegar Media Indonesia,
2009), hlm. 754
4
Nina Herlina Lubis, dkk, Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, (Bandung:
Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia, 2011), hlm 21
5
Ada banyak versi tentang siapa ayah dari Sunan Gunung Jati dan tentang dari mana
asalnya. Bibit Suprapto dalam Ensiklopedi Ulama Nusantara berpendapat bahwa ayahnya
bernama Syarif Abdullah seorang raja di Aceh. Lihat Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama
Nusantara, . . . 754. Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo memaparkan bahwa dalam naskah
Mertasinga yang dialih-bahasakan oleh Amman N. Wahyu yang diberi judul Sajarah Wali,
ayahnya adalah Sultan Hud putra Raja Odhara, Raja Mesir. Raja Odhara putra Jumadil Kabir, raja
besar di negeri Quswa. Jumadil Kabir putra Zainal Kabir. Zainal Kabir putra Zainal Abidin. Zainal
Abidin putra Husein, yaitu putra Ali bin Abi Thalib dengan Siti Fatimah binti Nabi Muhammad.
Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, ayahnya adalah Syarif Abdullah putra Ali Nurul Alim
dari Bani Hasyim keturunan Bani Ismail, yang berkuasa di Ismailiyah, Mesir. Lihat Agus Sunyoto,
Atlas Wali Songo, (Depok: Pustaka IIMaN, 2017, cet 5), hlm. 282-284. Nina Herlina Lubis dalam
Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat memaparkan bahwa ayahnya adalah Syarif Abdullah
anak dari Nurul Amin dari Bani Hasyim yang menikah dengan puteri Mesir. Lihat Nina Herlina
Lubis, dkk, Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, . . . hlm. 19

2
sebagai pemimpin para wali di tanah Jawa Dwipa. Di pesantren Ampel Dento
inilah ia bersahabat dengan kader-kader Islam kala itu seperti Sunan Giri, Sunan
Bonang, Sunan Udung, Raden Fatah, Sunan Drajat, dan banyak lagi yang lain.6

Sedangkan Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo menjelaskan bahwa


dalam Sajarah Wali,7 Sunan Gunung Jati berguru kepada Syaikh Najmurini Kubro
di Mekkah, mengambil tarekat Naqsabandiyah, tarekat Istiqoi, dan tarekat
Syatariyah. Kemudian dilanjutkan berguru pada Syaikh Muhammad Athaillah
yang berbangsa Iskandiyah, guru tarekat Syadziliyah. 8 Setelah itu dilanjutkan
berguru pada Syaikh Datuk Sidiq (ayah Sunan Giri) di negeri Pasai untuk belajar
tarekat Anfusiyah. Setelah itu dilanjutkan berguru pada Syaikh Bentong di
Karawang. Ketika Sunan Gunung Jati meminta wejangan sebagai murid, justru
Syaikh Bentong yang ingin menjadi murid Sunan Gunung Jati. Kemudian
dilanjutkan berguru pada Datuk Barul di Kudus untuk belajar tarekat Jauziyah
Madamakhidir. Setelah itu Sunan Gunung Jati disarankan oleh Datuk Barul untuk
berguru kepada Sunan Ampel, di sana ia dipersaudarakan dengan Sunan Bonang,
Sunan Giri, serta Sunan Kalijaga.9

Pada tahun 1479 M, Sunan Gunung Jati diangkat menjadi Tumenggung di


Cirebon dan mendapat gelar Susuhunan Jati. Selain sebagai pemimpin
pemerintahan, Susuhunan Jati mendapat tugas dari para wali untuk menjadi
pemimpin agama Islam di Cirebon. Cirebon pun ditetapkan sebagai pusat
penyebaran Islam di Tanah Sunda.10

C. Dakwah Sunan Gunung Jati


6
Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, . . . hlm. 756
7
Sajarah Wali adalah naskah Mertasinga yang dialih-aksarakan dan dialih-bahasakan
oleh Amman N. Wahyu. Lihat Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, . . . hlm. 282
8
Jika yang dimaksud dengan Syaikh Najmurini Kubro adalah Najmuddin al-Kubro (w.
1220/1221 M) pendiri tarekat Kubrawiyah, dan Muhammad Athaillah adalah Ibnu Athaillah as-
Sakandari (w. 1309 M), pengarang al-Hikam, tentu sangat tidak mungkin. Sebab ada rentang
waktu sekitar satu abad lebih antara Sunan Gunung Jati (yang lahir sekitar tahun 1448/1450 M)
dengan kedua tokoh tersebut. Lihat Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, . . . hlm. 286
9
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, . . . hlm. 286-289
10
Nina Herlina Lubis, Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, . . . hlm 21

3
Salah satu strategi dakwah yang dilakukan Sunan Gunung Jati dalam
memperkuat kedudukan, sekaligus memperluas hubungan dengan tokoh-tokoh
berpengaruh di Cirebon adalah melalui pernikahan sebagaimana hal itu telah
dicontohkan Nabi Muhammad dan para sahabatnya.

Bibit Suprapto dalam Ensiklopedi Ulama Nusantara menjelaskan bahwa


Sunan Gunung Jati menikah dengan lima putri. Pernikahan pertamanya dengan
Retna Pakungwati, putri Pangeran Cakrabuwana, dikaruniai dua anak; Ratu Ayu
(Istri Fatahillah Khan) dan Pangeran Dipati Muhammad Arifin (Pangeran
Pasarean). Pernikahan keduanya dengan Ong Tien, seorang putri Cina yang
kemudian berganti nama menjadi Rara Sumanding, tidak berlangsung lama karena
sang putri wafat. Pernikahannya yang ketiga dengan Nyi Mas Babadan, putri Ki
Gedeng Babadan, tidak jelas apakah mempunyai anak atau tidak. Pernikahannya
keempat dengan Dewi Kawunganten, putri Ki Gedeng Kawunganteng (Banten),
dikaruniai dua anak; Ratu Winaon dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Sultan
Banten I). Pernikahannya yang kelima dengan Nyi Mas Rara Kerta, putri Ki
Gedeng Djatimerta, dikaruniai dua putra; Pangeran Jaya Lelana dan Pangeran
Brata Lelana.11

Sedangkan Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo memaparkan bahwa


dalam Serat Purwaka Caruban Nagari, Babad Tjerbon, Nagarakretabhumi,
Sadjarah Banten, dan Babad Tanah Sunda mencatat bahwa Syarif Hidayatullah
susuhunan Gunung Jati menikahi tidak kurang dari enam orang perempuan
sebagai istri. Ia menikah pertama kali dengan Nyai Babadan putri Ki Gedeng
Babadan. Yang kedua dengan Nyai Kawunganten putri Ki Gedeng Kawunganten,
dikaruniai dua anak; Ratu Winaon dan Pangeran Sabakingkin. Yang ketiga
dengan perempuan Cina bernama Ong Tien, yang menurut legenda adalah putri
Kaisar Cina dari Dinasti Ming yang bernama Hong Gie. Pernikahannya dengan
Ong Tien dikaruniai seorang anak tetapi meninggal sewaktu bayi. Yang keempat
dengan Nyai Syarifah Baghdadi, adik Maulana Abdurrahman, dikaruniai dua
putra; Pangeran Jayakelana dan Pangeran Bratakelana Gung Anom. Yang kelima

11
Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, . . . hlm. 756-757

4
dengan Nyai Tepasari putri Ki Gedeng Tepasan, dikaruniai dua anak; Nyai Ratu
Ayu dan Pangeran Muhammad Arifin. Yang keenam dengan Nyi Mas Rara Kerta
putri Ki Gedeng Jatimerta, dikaruniai seorang putra yang bernama Bung Cikal.12

Kesuksesan Sunan Gunung Jati dalam mengislamkan Tanah Sunda terkait


dengan metode yang juga digunakan oleh para wali di Jawa Timur dan Jawa
Tengah. Pada waktu-waktu tertentu, para wali ini bertemu dan bermusyawarah di
Demak, Tuban, atau Cirebon.13 Pertemuan ini biasanya membahas mengenai
perkembangan Islam di tempat masing-masing wali mengemban tugas. Oleh
karena medan dan tantangan di setiap daerah berbeda, maka metode yang
digunakan para wali pun berbeda. Beberapa metode dakwah yang dilakukan para
wali, yaitu :

1. Metode maw’izhatul hasanah wa mujadah billati hiya ahsan. Metode


dakwah ini digunakan saat berhadapan dengan tokoh khusus, seperti Raja,
penguasa, bangsawan, atau orang terpandang. Para tokoh itu diperlakukan
secara personal, dihubungi secara istimewa, dan bertemu secara pribadi.
Kepada mereka diberikan keterangan, pemahaman, dan perenungan
(tadzkir) tentang Islam. Pengislaman yang penuh toleransi dengan bertukar
pikiran, memberi peringatan dengan halus agar mau melihat kebenaran
dan memeluk Islam.
2. Metode al-hikmah adalah metoda dakwah yang dlakukan para wali dengan
jalan kebijaksanaan yang dilakukan dengan popular, atraktif, dan
sensasional. Cara ini digunakan dalam menghadapi masyarakat awam,
biasanya masyarakat dikumpulkan secara massal. Dengan tata cara yang
bijaksana melakukan pertunjukkan yang sensasional terkadang ganjil,
unik, dan aneh sehingga menarik perhatian.
3. Metode tadarruj atau tarbiyatul ummah, dipergunakan sebagai proses
klasifikasi yang disesuaikan dengan tahap pendidikan umat agar
pendidikan Islam dapat dengan mudah dimengerti oleh umat dan akhirnya

12
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, . . . hlm. 292-300
13
Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati, (Ciputat: Salima, 2012), hlm. 205

5
dijalankan oleh masyarakat secara merata, maka tampaklah metode yang
ditempuh para Walisongo didasarkan atas pokok pikiran li kulli maqam
maqal, yaitu memerhatikan bahwa setiap jenjang dan bakat ada tingkat,
bidang materi, dan kurikulumnya. Sesuai dengan cara ini, penyampaian
aturan-aturan agama (fiqh) ditujukan terutama bagi masyarakat awam
dengan jalan mendirikan pesantren dan lembaga sosial.
4. Metode pembentukkan dan penanaman kader serta penyebaran juru
dakwah ke berbagai daerah. Tempat yang dituju ialah daerah yang sama
sekali kosong dari penghuni ataupun kosong dari pengaruh Islam.
5. Metode kerjasama dalam organisasi Walisongo, dalam hal ini diadakan
pembagian tugas masing-masing wali dalam mengislamkan masyarakat
Jawa.
6. Metode musyawarah dilakukan para wali dan mengadakan musyawarah
yang membahas mengenai masalah agama, sosial, politik, hingga masalah
mistik.14

Penjelasan di atas memberi pandangan bahwa metode para Walisongo


sudah terorganisir dengan baik. Dalam menghadapi orang yang berbeda maka
digunakan metode yang berbeda pula. Pembagian tugas yang berbeda menjadi ciri
khas tersendiri bagi islamisasi yang dilakukan Walisongo. Keseluruhan metode itu
menjadi faktor yang memengaruhi keberhasilan pengislaman tanah Jawa dari
pengaruh Hindu-Budha. Kebijaksanaan wali-wali menyiarkan agama Islam
dengan memasukkan unsur-unsur pendidikan dan kebudayaan sangat baik,
sehingga Islam tersebar keseluruh Indonesia.15

D. Pepatah-Pepitih Sunan Gunung Jati

14
Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati, hlm. 245-247
15
Musyarifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press,
2012), hlm. 115

6
Ajaran Sunan Gunung Jati yang unik adalah melalui pepatah-pepitih16
Sunan Gunung Jati yang disampaikan melalui tradisi lisan (oral tradition). Unsur
dari pepatah-pepitih Sunan Gunung Jati bernilai ketakwaan dan keyakinan,
kedisiplinan, kearifan, dan kebijakan, serta kesopanan dan tatakrama. Pepatah-
pepitih yang disampaikan Sunan Gunung Jati diyakini telah disebarluaskan hingga
keluar keraton sehingga sampai saat ini pun masyarakat Cirebon masih
mengenalnya sebagai budaya yang dibawa turun-temurun. 17 Di bawah ini
merupakan pepatah-pepitih peninggalan Sunan Gunung Jati.

a) Pepatah-pepitih yang berkaitan dengan ketakwaan dan keyakinan :


1) Ingsun titipna tajug lan fakir miskin (Aku -Sunan Gunung Jati- titip
surau dan fakir miskin).
2) Yen sembahyang kungsi pucuke panah (jika sholat harus khusyu’
seperti anak panah yang menancap kuat).
3) Yen puasa den kungsi tetaling gundewa (jika puasa harus kuat seperti
tali panah).
4) Ibadah kang tetep (ibadah harus terus menerus).
5) Wedia ing Allah (takutlah kepada Allah).
6) Mahan den syukur ing Allah (hati harus bersyukur kepada Allah).
7) Kudu ngakehaken pertobat (banyak-banyaklah bertobat).
b) Pepatah-pepitih yang berkaitan dengan kedisiplinan
1) Aja nyidra janji mubarang (jangan mengingkari janji).
2) Pemboraban kang ora patut anulungi (yang salah tidak usah
ditolong).
3) Aja ngaji kejayaan kang ala rautah (jangan belajar untuk kepentingan
yang tidak benar atau disalahgunakan).
c) Pepatah-pepitih yang berkaitan dengan kearifan dan kebijaksanaan
1) Singkirna sifat kanden wanci (jauhi sifat yang tidak baik).
2) Duwena sifat kang wanti (miliki sifat yang baik).
16
Pepatah-pepitih adalah ungkapan yang mengandung ajaran hidup berupa nasihat,
persan, anjuran, kritik, dan teguran yang disampaikan (atau diajarkan) dalam keluarga, kerabat,
dan putra-putri Sunan Gunung Jati.
17
Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati, . . . hlm. 245

7
3) Amapesa ing bina batan (jangan serakah atau berangasan dalam
hidup).
4) Angadahna ing pepadu (jauhi pertengkaran).
5) Aja ilok ngamad kang durung yakin (jangan suka mencela sesuatu
yang belum terbukti kebenarannya).
6) Aja ilok gawe bobat (jangan suka berbohong).
7) Ing panemu aja gawe tingkah (bila pandai jangan sombong).
8) Kenangna hajate wong (kabulkan keinginan orang).
9) Aja dahar yen durung ngelih (jangan makan sebelum lapar).
10) Aja nginum yen durung ngelak (jangan minum sebelum haus).
11) Aja turu yen durung katekan arif (jangan tidur sebelum mengantuk).
12) Yen kaya den luhur (jika kaya harus dermawan).
13) Aja ilok ngijek rarohi ing wong (jangan suka menghina orang lain).
14) Den bisa megang ing nafsu (harus bisa menahan hawa nafsu).
15) Angasana diri (harus bisa mawas diri).
16) Tepo saliro den adol (tampilkan perilaku baik).
17) Ngoletana rejeki sing halal (carilah rejeki yang halal).
18) Aja akeh kang den pamrih (jangan banyak mengharapkan pamrih).
19) Den suka wenan lan suka mamberih gelis lipur (jika sedih jangan
diperlihatkan agar cepat hilang).
20) Gegunem sifat kang terpuji (miliki sifat terpuji).
21) Aja ilok gawe lara ati ing wong (jangan suka menyakiti hati orang
lain).
22) Akeh lara ati ing wong, naming saking duriat (jika sering disakiti
orang, hadapilah dengan kecintaan tidak dengan aniaya).
23) Aja ilok gawe kaniaya ing makhluk (jangan membuat aniaya kepada
makhluk lain).
24) Aja ngagungaken ing salira (jangan mengagungkan diri sendiri).
25) Aja ujub riya suma takabur (jangan sombong dan takabur).
26) Aja duwe ati ngunek (jangan dendam).
d) Pepatah-pepitih yang berkaitan dengan kesopanan dan tatakrama

8
1) Den hormat ing wong tua (harus hormat kepada orang tua).
2) Den hormat ing leluhur (harus hormat kepada leluhur).
3) Hormaten, emanen, mulyaken ing pusaka (hormati, sayangi, dan
mulayakn pusaka).
4) Den welas asih ing sapapada (sayangi sesama manusia).
5) Mulyaken ing tetamu (hormati tamu).18

Metode Sunan Gunung Jati melalui pepatah-pepitih adalah yang paling


sering dijumpai dikalangan masyarakat. Bahkan di kompleks makam sunan
Gunung Jati sendiri banyak tulisan pepatah-pepitih yang masih dilestarikan oleh
para penduduknya. Keluarga keraton diyakini yang mengakomodir pepatah-
pepitih ini kedalam bahasa Cirebon dan disebarluaskan hingga dikenal sampai
sekarang.

E. Kesimpulan

Sunan Gunung Jati adalah salah seorang Walisongo yang menyebarkan


agama Islam di Jawa Barat, Banten, dan Sunda Kelapa atau Jayakarta atau Jakarta
sekarang. Penguasa Cirebon yang menjadi moyang raja-raja di Banten dan
Cirebon ini setelah wafatnya dimakamkan di bukit (gunung) Sembung Cirebon,
sehingga dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.

Sunan Gunung Jati lahir di Mekkah tahun 1448 M, meninggal di Cirebon


tahun 1568 M. Ia memegang kekuasaan di Cirebon sebagai kepala negara dan
kepala agama dengan luas wilayah meliputi hampir seluruh Tanah Sunda bagian
utara antara tahun 1479 – 1568. Ia adalah putra dari Syarif Abdullah dan Rara
Santang.

Persinggungan antara Sunan Gunung Jati dengan anggota Walisongo yang


lain terjadi ketika ia berguru kepada Sunan Ampel di Pesantren Ampel Dento. Di

18
Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati, . . . hlm. 245-247

9
sinilah ia mulai bersahabat dengan sunan-sunan yang lain, seperti Sunan Giri,
Sunan Bonang, Sunan Udung, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, serta Raden Fatah.

Sunan Gunung Jati menikah dengan banyak putri dari tokoh-tokoh yang
berpengaruh di Cirebon. Hal ini dilakukan sebagai salah satu strategi dakwah
yang dilakukan Sunan Gunung Jati dalam memperkuat kedudukan sekaligus
memperluas hubungan, sebagaimana hal itu telah dicontohkan Nabi Muhammad
dan para sahabatnya.

Kesuksesan Sunan Gunung Jati dalam mengislamkan Tanah Sunda terkait


dengan metode yang juga digunakan oleh para wali di Jawa Timur dan Jawa
Tengah. Pada waktu-waktu tertentu, para wali ini bertemu dan bermusyawarah di
Demak, Tuban, atau Cirebon, antara lain: Metode maw’izhatul hasanah wa
mujadah billati hiya ahsan, Metode al-hikmah, Metode tadarruj atau tarbiyatul
ummah, Metode pembentukkan dan penanaman kader serta penyebaran juru
dakwah ke berbagai daerah, Metode kerjasama dalam organisasi Walisongo, dan
Metode musyawarah.

Sunan Gunung Jati juga membuat pepatah-pepitih sebagai salah satu


bentuk menyebarkan Islam dengan cara bil-hikmah wa al-maw’izhatul hasanah.
Unsur dari pepatah-pepitih Sunan Gunung Jati bernilai ketakwaan dan keyakinan,
kedisiplinan, kearifan, dan kebijakan, serta kesopanan dan tatakrama.

DAFTAR PUSTAKA

10
http://cirebon24.com/berita/wisata-cirebon-tempo-doeloe-makam-sunan-
gunung-jati.html, diakses pada tanggal 20 april 2017

http://sclm17.blogspot.co.id/2016/03/asmara-ong-tien-mengejar-sunan-
gunung.html, diakses pada tanggal 20 april 2017

Lubis, Nina H, dkk. 2011. Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat.


Bandung: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia.

Sunanto, Musyarifah. 2012. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta:


Rajawali Press.

Sunyoto, Agus. 2017. Atlas Wali Songo. Depok: Pustaka IIMaN. cet 5.

Suprapto, Bibit. 2009. Ensiklopedi Ulama Nusantara. Jakarta: Gelegar


Media Indonesia.

Wildan, Dadan. 2012. Sunan Gunung Jati. Ciputat: Salima.

Zuhdi, Susanto. 1997. Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra. Jakarta: Putra
Sejati Raya.

11

Anda mungkin juga menyukai