Anda di halaman 1dari 6

PEMBAHASAN

Dalam dunia Jawa, ajaran moral yang disampaikan melalui slametan dan ritual
lainnya tidak dilakukan dengan terbuka atau terus terang melainkan melalui berbagai macam
simbol. Hal ini sesuai dengan karakter orang Jawa yang suka menyatakan segala sesuatu
dengan tidak langsung seperti yang terungkap dalam peribahasa : wong Jawa nggone semu,
sinamun ing samudana, sasadone ingadu manis. Orang Jawa cenderung bersikap semu atau
terselubung, penuh simbol, dan suka menyampaikan kata-kata tersamar. Selain itu orang
Jawa juga mempunyai cara yang khas dalam menciptakan simbol. Salah satu caranya adalah
dengan metode pemadatan seperti kata tebu (anteping kalbu), sukun (supaya rukun), jeruk
(jaba jero kudu mathuk), dan sebagainya. Hal semacam ini menjadi pokok permasalahan
yang sampai sekarang dialami oleh masyarakat Jawa. Penyampaian sesuatu dengan
menggunakan simbol sangat rentan mengalami salah tafsir atau distorsi makna di khalayak
umum. Apalagi sampai saat ini jarang disampaikan dengan gamblang apa makna simbol-
simbol yang ada sehingga masyarakat Jawa pada umumnya hanya mengikuti suatu ritual
tanpa memahami inti dari ritual tersebut. Contoh sederhananya adalah pengadaan ingkung
(ayam yang dimasak utuh) dalam berbagai ritual. Kata ingkung merupakan pemadatan dari
kalimat ingsun tambah manekung yang mempunyai makna “aku selalu menyembah dan
memohon kepada Tuhan”.1
Selain terdapat pada ritual-ritual agama, simbol-simbol dalam dunia Jawa juga
tersebar dalam bentuk fisik bangunan dan konsep tata ruang. Salah satu mahakarya yang
menjadi perwujudan dari simbol-simbol dalam bentuk fisik bangunan dan konsep tata ruang
adalah keraton Yogyakarta. Bangunan-bangunan yang ada di Keraton Yogyakarta bukan
sekedar bangunan fisik yang memiliki fungsi tertentu. Bangunan-bangunan tersebut memiliki
makna simbolis atau filosofis hasil perenungan atau spekulasi melalui olah nalar (creative
thought), olah rasa (feelings) dan olah pikir (intention). Ada dua prinsip yang menjadi akar
utama pemikiran Jawa yang disimbolisasikan dalam berbagai bangunan yang ada di keraton.
Prinsip pertama yaitu sangkan paraning dumadi-Manunggaling Kawula lan Gusti, yaitu
kesatuan antara penguasa dan rakyat. Kedua adalah prinsip  Memayu hayuning Rat, yakni
mempertahankan keseimbangan kebenaran, keindahan dan kebaikan alam (cosmic) baik
mikro maupun makro. Sebagaimana telah kita ketahui, posisi keraton berada di tengah garis
imajiner antara laut selatan dengan Gunung Merapi dan antara panggung krapyak dengan
Tugu. Hal ini mengindikasikan bahwa keraton memegang peran sentral sebagai penjaga
keseimbangan dunia baik mikro (manusia) maupun makro (alam semesta).2
Simbolisasi nilai-nilai tidak hanya pada bentuk dan lokasi keraton, orang-orang yang
berada di dalamnya seperti raja dan abdi dalem pun memiliki simbol-simbol khusus yang
melekat. Seorang sultan di keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mempunyai gelar Ngarsa
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati ing
Alaga, Abdurahman Sayidin Panata Gama Kalifatullah ing Ngayogyakarta Hadiningrat.
Gelar yang diberikan atau melekat pada diri sultan bukan sekedar gelar atau rangkaian kata-
kata indah melainkan sarat makna yang juga memiliki konsekuensi dan implikasi yang
besar/berat. Gelar khalifatullah menuntut Sultan untuk mempertanggungjawabkan

1
Sindung Haryanto, Simbol dalam Dunia Jawa : Antara Norma dan Etika, (Kepel Press, 2013), hlm. 7-8
2
Ibid . . . hlm. 10 - 11

1
kekuasaannya tidak hanya kepada manusia melainkan kepada Allah. Konsekuensi  berat
lainnya ada pada gelar Hamengku Buwono yang di dalamnya mengandung konsep
hamangku, hamengku, dan hamengkoni. Ketiganya mensyaratkan bahwa sultan harus mampu
mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadinya, merengkuh semua pihak
termasuk yang tidak menyukainya, dan juga harus menjadi tali pengikat (suh = ikat sapu lidi)
bagi seluruh rakyatnya.3
            Bahasa Jawa yang penuh kembang, lambang dan sinamuning samudana atau
tersembunyi dalam kiasan harus dikupas dengan perasaan yang dalam, serta tanggap ing
sasmita atau dapat menangkap maksud yang sebenarnya, yang tersembunyi. Seperti kata
pepatah wong Jawa nggone rasa, pada gulangening kalbu, ing sasmita amrih lantip, kuwowo
nahan hawa, kinemat mamoting driya’, yang artinya bahwa orang Jawa itu tempat perasaan,
mereka selalu bergulat dengan kalbu atau suara hati atau jiwa, agar pintar dalam menangkap
maksud yang tersembunyi, dengan jalan berusaha menahan nafsu, sehingga akal atau ratio
dapat menangkap maksud yang sebenarnya. Terlihat di sini bahwa  rasa, karsa, dan cipta
memegang peranan utama.4
            Pada bahasa religiusnya, orang Jawa tidak pernah atau jarang menyebut kata Tuhan
atau Allah secara langsung dan terus terang. Istilah khas yang sering dipakai sebagai
personifikasi simbol Tuhan seperti; Gusti Kang Maha Agung, Pangeran Kang Murbeng
Dumadi, Pangeran Kang maha Tunggal Gusti Allah. Dan sifat mitis, magisnya dicetuskan
dalam istilah-istilah ; Sing Mbahu Rekso, Sing Momong, Mbahe, Kyaine dan sebagainya.
            Dalam bahasa sastranya, orang Jawa selalu memakai pepatah, sengkalan atau
sangkala, dan jarwadosok. Dalam tradisinya atau tindakannya orang Jawa selalu berpegang
kepada dua hal :
1. Pandangan hidupnya atau filsafat hidupnya yang religius dan mitis.
2. Sikap hidupnya yang etis dan menjunjung tinggi moral atau derajat hidupnya.

Tindakan Simbolisme Orang Jawa


            Bentuk-bentuk simbolisme dalam budaya Jawa sangat dominan dalam segala hal dan
dalam segala bidang. Hal ini terlihat dalam tindakan sehari-hari orang Jawa, sebagai realisasi
dari pandangan dan sikap hidupnya yang berganda. Bentuk-bentuk simbolis ini dapat
dikelompokkan dalam tiga macam tindakan simbolis, yaitu :
1. Tindakan simbolis dalam religi
Dapat dibagi dalam 3 golongan :
 Tindakan simbolis religius yang terbentuk karena pengaruh jaman mitos, atau disebut
juga jaman kebudayaan aseli Jawa.
 Tindakan simbolis religius yang terbentuk karena pengaruh jaman kebudayaan Hindu-
Jawa.
3
Ibid . . . hlm. 14 - 19
4
Amin Hidayat, (2012) http://aminhidayatcenter.blogspot.co.id/2012/01/simbolisme-sebagai-idiologi-
jawa.html, diakses pada tanggal 15 oktober 2016

2
 Tindakan simbolis religius yang terbentuk karena pengaruh jaman mitos jaman
kebudayaan Hindu-jawa dan jaman Jawa-Islam.

2. Tindakan simbolis dalam tradisinya


Tradisi atau adat-istiadat atau disebut pula adat tata kelakuan, menurut
Koentjaraningrat5 dapat dibagi dalam empat tingkatan, yaitu :

Tingkat nilai budaya
Berupa ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan
masyarakat, dan biasanya berakar dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia, misalnya
gotong royong atau sifat suka kerja sama berdasarkan solidaritas yang besar.

Tingkat norma-norma
Sistem norma-norma yang berupa nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada
peranan masing-masing anggota masyarakat dalam lingkungannya, seperti unggah-ungguh
atau kode etik.

Tingkat hukum
Sistem hukum yang berlaku, misalnya hukum adat perkawinan, hukum adat
kekayaan.

Tingkat aturan khusus
Aturan-aturan khusus yang mengatur kegiatan-kegiatan yang jelas terbatas ruang
lingkupnya dalam masyarakat dan bersifat kongkrit, misalnya aturan sopan santun.

3. Tindakan simbolis dalam keseniannya


Salah satu wujud rasa budaya manusia adalah alam seni. Alam seni ini terdiri atas
beberapa unsur yaitu  : seni rupa, seni sastra, seni suara, seni tari, seni musik dan seni drama.
Alam seni merupakan salah satu dari aktivitas kelakuan berpola dari manusia yang dalam
pengungkapannya penuh dengan tindakan-tindakan simbolis. Hal ini disebabkan melalui
alam seni rasa budaya manusia yang tidak dapat diungkapkan dalam pergaulan sehari-hari
antar manusia, dicurahkannya dalam bentuk simbol-simbol di dalam alam seninya.
Seperti dalam seni tari, tindakan simbolis hampir seluruh gerak langkah serta pola-
pola setiap tarian. Dalam seni busana atau pakaian, orang Jawa memiliki aturan simbolis dari
corak dan jenis kain, potongan dan warna baju, bentuk dan corak kain tutup kepala
( blangkon, udeng ), melambangkan kebesaran dan tingkat ilmu atau usia dari masing-masing
pemakainya. Dalam seni pahat, seni topeng, seni kecurigan atau keris, seni kawarangkan atau
tempat keris yang merupakan bagian dari seni rupa, dikenal pula bentuk-bentuk simbolis
dengan tujuan dan maksud tertentu yang bersifat magis. 6

5
Kuntjaraningrat, Kebuyaan Jawa, (Balai Pustaka: Jakarta, 1994), hlm. 25-26
6
Kuntjaraningrat, ibid . . . hlm. 27

3
Manunggaling Kawula Gusti
Sebelum berkembangnya ajaran manunggaling kawula gusti yang dipopulerkan oleh
Siti Jenar pada abad ke 15-16, sebenarnya masyarakat Jawa sudah mempunyai corak
keyakinan yang mirip dengan ajaran manunggaling kawula gusti. Yakni dalam filosofi
kejawen berbunyi “Sangkan Paraning Dumadi”.
Apa sebenarnya Sangkan Paraning Dumadi? Tidak banyak orang yang
mengetahuinya. Padahal, jika kita belajar tentang Sangkan Paraning Dumadi, maka kita akan
mengetahui kemana tujuan kita setelah hidup kita berada di akhir hayat.
Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak tembang dhandanggula warisan para leluhur
yang sampai detik ini masih terus dikumandangkan. 7

Kawruhana sejatining urip/


(ketahuilah sejatinya hidup)
urip ana jroning alam donya/
(hidup di dalam alam dunia)
bebasane mampir ngombe/
(ibarat perumpamaan mampir minum)
umpama manuk mabur/
(ibarat burung terbang)
lunga saka kurungan neki/
(pergi dari kurungannya)
pundi pencokan benjang/
(dimana hinggapnya besok)
awja kongsi kaleru/
(jangan sampai keliru)
umpama lunga sesanja/
(umpama orang pergi bertandang)
njan-sinanjan ora wurung bakal mulih/
(saling bertandang, yang pasti bakal pulang)
mulih mula mulanya
(pulang ke asal mulanya)
Lalu pada abad ke 15-16 muncul ajaran manunggaling kawula gusti yang dipelopori
dan dipopulerkan oleh Siti Jenar. Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa
Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Arti dari manunggaling
kawula gusti dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa
Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya,
manusia telah bersatu dengan Tuhannya. Dalam ajarannya pula, manunggaling kawula gusti
bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai
dengan ayat Al-Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia:

“ Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan

7
Kawruh Kejawen, (2008), Sangkan Paraning Dumadi,
http://kawruh-kejawen.blogspot.co.id/2008/11/sangkan-paraning-dumadi.html, diakses pada tanggal 15
oktober 2016

4
manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan
kepadanya roh-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." Q.S.
Shaad: 71-72 ”
Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan
terhadap Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an dari para murid Siti Jenar inilah
yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu
polemik paham manunggaling kawula gusti.
Menurut R.Ng. Ranggawarsita (1802-1873) : Pokok keilmuan Syekh Siti Jenar
disebut sebagai “Ngelmu Ma’rifat Kasampurnaning Ngurip” (ilmu ma’rifat kesempurnaan
hidup [the science of ma’rifat to attain perfection of life]). Ranggawarsita menyebutkan basis
ilmiah ajaran tersebut adalah renungan filsafat yg bentuk aplikasinya adalah metafisika dan
etika.
Ajaran metafisika meliputi ontologi, kosmogoni dan antropologi. Ontologi berbicara
tentang Ada dan tidak ada. Dalam hal ini, Syekh Siti Jenar merumuskan tentang the Reality
of the Absolute being (hakikat Dzat Yang Maha Suci) yg memiliki sifat, nama dan perbuatan
“Kami”. Dari “Kami” inilah kemudian muncul “ada” dan “keadaan” lain, yg sifat hakikinya
adalah “Tunggal”.
Manusia yg dalam hidupnya di alam kematian dunia ini disebut sebagai khalifatullah
(wakil Allah=pecahan ketunggalan Allah), dan kemudian ia harus berwadah dalam bentuk
jisim (jasmani) ia harus menyandang gelar “kawula”, sebab jasad harus melakukan aktivitas
untuk memelihara jasadnya dari kerusakan dan untuk menunda kematian yg
disebut :”ngibadah” kepada yg menyediakan raga (Gusti). Maka kawula hanya memiliki satu
tempat kembali, yakni Allah, sebagai asalnya. Maka manusia tidak boleh terjebak dalam
wadah yg hanya berfungsi sementara sebagai “wadah” Roh Ilahi. Justru Roh Ilahi inilah yg
harus dijaga guna menuju ketunggalan kembali (Manunggaling Kawula Gusti).

Sasahidan Syekh Siti Jenar…


“Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun,
lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku
badan Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang
eling tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya
Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang
kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna padhang terawang-an, ora
karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang nglimputi ing ngalam kabeh,
kalawan kodrating-Sun.”

Artinya :
“Aku angkat saksi di hadapan Dzat-Ku sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan
kecuali Aku, dan Aku angkat saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku, sesungguhnya
yg disebut Allah Ingsun diri sendiri (badan-Ku), Rasul itu Rahsa-Ku, Muhammad itu cahaya-
Ku, Akulah Dzat yg hidup tidak akan terkena mati, Akulah Dzat yang selalu ingat tidak
pernah lupa, Akulah Dzat yg kekal tidak ada perubahan dalam segala keadaan, (bagi-Ku)

5
tidak ada yg samar sesuatupun, Akulah Dzat yang Maha Menguasai, yang Kuasa dan
Bijaksana, tidak kekurangan dalam pengertian, sempurna terang benerang, tidak terasa apa-
apa, tidak kelihatan apa-apa, hanya Aku yg meliputi sekalian alam dengan kodrat-Ku.”
Ajaran- ajaran Syekh Siti Jenar yang bisa dilacak dalam berbagai karya klasik atau
buku lama…yaitu..
 Serat Dewaroetji, Tan Khoen Swie, Kediri, 1928.
 Serat Gatolotjo, Tan Khoen Swie, Kediri, 1931.
 Serat Kebo Kenanga, Tan Khoen Swie, Kediri, 1921.
 Serat Soeloek Walisongo, Tan Khoen Swie, Kediri, 1931.
 Serat Tjebolek, terbitan van Dorp, Semarang, 1886.
 Serat Tjentini, terbitan Bat. Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 4 Jl,
Batavia, 1912-1915.
 Kitab Wedha Mantra, bunga rampai ajaran para wali yang dihimpun oleh Sang
Indrajit, diterbitkan oleh Sadu Budi Solo. PAda tahun 1979 sudah mengalami cetak
ulang yg ke-12.
 Suluk Walisanga, karya R. Tanojo yg di dalamnya memuat dialog-dialog antara
Syekh Siti Jenar dengan Anggota Dewan Walisanga, gubahan dari karya Sunan Giri
II.
 Wejangan Walisanga, dihimpun oleh Wiryapanitra, diterbitkan oleh TB. Sadu Budi
Solo, sekitar tahun 1969. 8

8
Rekreasi Pikir, (2015), Maksud Manunggaling Kawula Gusti Syekh Siti Jenar,
https://rekreasipikir.blogspot.co.id/2015/05/maksud-manunggaling-kawula-gusti-syekh.html, diakses pada
tanggal 15 oktober 2016

Anda mungkin juga menyukai