Anda di halaman 1dari 4

Nama : Muhammad Bilal Radhiya Prahasya

NPM : 1706983742
Mata Kuliah : Prosa dan Drana Jawa

Laporan bacaan Jurnal


Judul Jurnal : Moralitas Jawa Dalam Lakon Wayang Kulit Purwa: Tinjauan Pada
Lakon Laire Semar
Penulis Jurnal : Dr. Darmoko, S.s, M.Hum,.
Wayang kulit purwa merupakan salah satu kesenian tradisional berbentuk drama
yang terdapat dalam kebudayaan jawa dan sampai saat ini masih sangat populer di
kalangan masyarakat pendukung kebudayaannya. Lakon dalam pertunjukan wayang
kulit purwa kebanyakan bersumber dari epos besar Ramayana dan Mahabaratha,
maupun kisah carangan yang didalamnya mengandung ajaran-ajaran bermuatan
filosofis dan moralitas sebagai barometer untuk mengukur sejauh mana tingkat
peradaban dan kebudayaan jawa. Lakon-lakon dalam pementasan wayang kulit purwa
merupakan hasil kreativitas asli jawa yang dikembangkan melalui pemikiran yang
mendalam terkait dengan masalah keharmonisan antara hubungan manusia dengan
manusia lain, manusia dengan alam, dan manusia dengan tuhan. Selain itu didalam
sebuah pagelaran wayang kulit purwa banyak mengandung simbol-simbol baik yang
termuat dalam lakon maupun yang terwujud dalam komponen pendukung pagelaran
wayang kulit purwa. Sehingga di dalam lakon pagelaran wayang kulit purwa sedikit
banyak memberikan petuah dan ajaran-ajaran kebaikan yang sangat kaya akan nilai-
nilai kehidupan masyarakat jawa, seperti religi,seni,bahasa dan sastra,serta filosofi
dan pengetahuan.

Dalam pagelaran wayang kulit purwa mengenal adanya gagrag atau gaya pedalangan.
Setidaknya terdapat bebrapa jenis gagrag paedalangan yang tumbuh dan berkembang
di Jawa, ada yang berorientasi pada istana dan ada pula yang tidak berkiblat pada
istana. Secara garis besar yang termasuk kedalam jenis gagrag pedalangan yang
berorientasi pada istana yaitu gagrag pedalangan Surakarta dan Yogyakarta yang juga
sering disebut sebagai gagrag Mataraman. Sedangkan yang tidak berkiblat pada istana
antara lain gagrag Jawa-Timuran dan Banyumasan. Setiap gagrag pedalangan
memiliki pengaruh yang kuat sesuai dengan tempat tumbuh dan berkembangnya serta
persebaran masyarakat pendukung gagrak pedalangan itu sendiri. Masing-masing
gagrag pedalangan memiliki ciri dan corak tersebdiri yang dapat terlihat dalam segi
muatan cerita, penjelajahan wayang kulit, dhodhogan,
kepyakan,suluk,sidhenan,gerongan dan pengadegan lakon. Dari jenis gagrag
pedalangan yang telah disebutkan, gagrag Surakarta terbagi lagi atas gagrag
kasunanan dan mangkunegaran. Gagrag kasunanan nampaknya memiliki pengaruh
yang lebih luas baik dari garap pakeliran yang luwes sehingga banyak mendapat
tempat tersendiri di hati penggemarnya, masyarakat pendukungnya,serta wilayah
persebarannya lebih luas daripada gagrag pedalangan mangkunegaran.

Lakon wayang kulit purwa selain mengambil dari kisah-kisah Ramayana dan
Mahabaratha juga mengambil kisah-kisah para dewa-dewa,jin, dan manusia namun
sangat jarang sekali ditampilkan. Pada jurnal tersebut akan dibahas salah satu lakon
wayang kulit purwa yang nyaris tidak pernah dipergelarkan, yaitu lakon Laire Sema.
Data yang dipergunakan sebagai bahan kajian merupakan rekaman DVD pertunjukan
wayang kulit purwa lakon Laire Semar oleh Ki Purbo Asmoro di Desa Ngadiboyo,
Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk disiarkan secara langsung oleh Radio
Jodhipati FM dan Tasma FM, dalam rangkya syukuran Yayasan Jodhipati pada hari
Sabtu wage 16 Februari 2008. Pelataran Agung Padepokan Jodipati. Diiringi
kelompok karawitan Mayangkara.

Jurnal tersebut membahas bagaimana filosofi moralitas Jawa dibangun dan paham
kekuasaan Jawa diimplementasikan dalam lakon Laire Semar. Terkait dengan
kerangka konseptual yang digunakan dalam landasan kajian teks lakon Laire Semar
menitik beratkan pada filosofi moralitas kekuasaan Jawa. Dalam paham Jawa,
kekuasaan adalah ungkapan kekuatan kosmis yang dapat dibayangkan sebagai
semacam fluidum yang memenuhi seluruh kosmos. Kekuatan-kekuatan adiduniawi
ada dimana-mana, tetapi ada tempat dan manusia dengan pemusatan yang lebih
tinggi. Sehingga dalam kebudayaan Jawa untuk menyebut hal-hal tersebut dikenal
adanya istilah sekti, sekten, kasekten yang menggambarkan sebuah kekuatan dan
kekuasaan. Selain itu dalam lakon Laire Semar terdapat unsur religi Jawa yang sangat
kuat seperti pemahaman atas nafsu manusia dalam konsep sedulur papat kalima
pancer bahwa manusia memiliki 4 nafsu dalam dirinya yaitu mutmainah, amarah,
lawwamah, dan supiah yang harus dikendalikan agar terciptaya keseimbangan dalam
diri manusia dan tidak dikuasai dengan nafsu keangkaramurkaan.

Bangunan filosofi kekuasaan Jawa dalam lakon Laire Semar menggambarkan bahwa
kekuatan dan kekuasaan masyarakat Jawa sangat tinggi tergambar dalam diri semar.
Dilihat dari silsilah yang mengandung simbol-simbol ideologi dan menggabungkan
unsur-unsur kekuatan. antara lain seperti nabi, jin, dan dewa. Nabi dalam simbol
islam menggambarkan kekuatan kejiwaan terhadap keturunan-keturunannya yang
beranasir cahaya, dan dewa dewa dalam agama hindu. Kemudian dewa dewa itu
menikah dan menyatukan diri dengan kekuatan dan anasir jin. Dalam lakon tersebut
pada alur silsilah yang tersusun dari nabi Adam sampai Batara Ismaya (semar) dapat
terlihat usaha untuk menggabungkan di antara makhluk tuhan yaitu nabi-nabi, dewa-
dewa, para jin dan manusia. Silsilah dalam konteks budaya Jawa memiliki kedudukan
yang penting sebagai sebuah realitas sosial sampai saat ini cukup aktual dan relevan.
Kehormatan dan harga diri menjadi pertimbangan dalam kehidupan orang Jawa.
Karena dari silsilah seorang dapat memperoleh kehormatan dan harga diri tersebut
seperti pengakuan, pengsahan dan legitimasi dari masyarakat menjadi sesuatu yang
penting.

Sementara itu dijelaskan bahwa dalam mengimplementasikan kekuasaan jawa, orang


jawa sendiri harus mencari kekuatannya melalui konsep laku. Laku itu sendiri
merupakan sistem kesadaran diri manusia yang bertujuan untuk mencapai
kasampurnaning dumadi atau kesempurnaan hidup. Perwujudan dari kosep laku ini
dengan menjalani tapa sebagai jalan hidup untuk menggapai anugrah tuhan dalam
rangka misi memayu hayuning bawana. Peran tokoh semar sendiri dalam dunia
pewayangan sangat kompleks dan dapat dijadikam teladan, semar digambarkan
sebagai sosok yang sederhana juga bersama anak- anaknya yang dikenal sebagai
Punakawan yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong sebagai abdi bagi para kesatria
Pandawa. Punakawan dalam dunia pewayangan sendiri juga digambarkan sebagai
sosok yang sering menerapkan prinsip nglakoni yaitu usaha manusia untuk mengolah
batin (rasa-rohani) sehingga dapat mendekatkan segala sesuatu yang bersifat batin
(rohani).

Anda mungkin juga menyukai