com | 1
1. Pendahuluan
Pada dasarnya sebuah kebudayaan mempunyai caranya sendiri dalam
memandang alam dan seisinya. Baik itu memandang secara makro (besar) maupun
mikro (kecil) lingkungan dimana ia hidup. Hal senada pun dapat ditemukan dalam
struktur pola pikir masyarakat Jawa yang penuh dengan simbol-simbol itu.
Simbolisme bagi orang Jawa dianggap sebagai suatu yang sangat penting,
agar dapat memahami komunikasi yang penuh dengan bahasa isyarat. Bahasa Jawa
yang penuh dengan kembang, lambang dan sinamung samudana atau tersembunyi
dalam kiasan harus dibahas dan dikupas dengan perasaan yang dalam serta
tanggaping sasmitha atau dapat menangkap maksud sebenarnya yang tersembunyi1.
Untuk bisa lebih jauh kita mengerti bagaimana cara pandang dan berpikir
orang Jawa mau tidak mau kita harus mengenal istilah yang sangat populer di
kalangan masyarakat apalagi untuk seorang ahli kebatinan yaitu “kejawen”.
Terjemahan kamus umum untuk kejawen atau kejawaan dalam bahasa indonesia
adalah “kejawaan” dan “Jawanisme”. Kata yang terakhir ini menjadi sebutan
deskriptif bagi elemen-elemen kebudayaan Jawa yang dianggap Jawa secara hakiki
dan hal itu didefinisikan sebagai suatu kategori unik2.
1
Budiono (1984;86).
2
Niels Mulder (2001 ; 2).
www.smada-zobo.jimdo.com | 2
dan jagad cilik, ungkapan seperti manunggaling sastra kalawan gendhing, curiga
manjing warangka, yang kesemuanya merujuk pada satu arah yaitu keselarasan--
harmonis.
Hubungan kosmologi antara makrokosmos dan mikrokosmos ini bersifat
kodrati. Hal ini dapat disaksikan pula ke dalam pertunjukkan wayang kulit. Dalam
wayang kulit terdapat hubungan antara kelir, gedebog (batang pisang), blencong
(lampu panggung wayang kulit), dan sebagainya (makro) selalu terkait dengan
wayang (mikro). Keduanya saling berhubungan dan saling memerlukan satu sama
lain. Jika ia adalah manusia, berarti dia adalah bagian dari alam semesta 8 . Oleh
karena itu pertunjukkan wayang dikalangan masyarakat Jawa mendapat nilai lebih
karena wayang merupakan tontonan sekaligus tuntunan. Oleh karena itu wayang juga
mempunyai peranan sosio-religius.
8
Suwardi Endraswara, (2003;52).
www.smada-zobo.jimdo.com | 5
9
Ibid. h. 69-70.
10
Geertz Clifford. Dikutip dalam (Purwadi : 2002;81).
www.smada-zobo.jimdo.com | 6
Sebagai contoh apabila seorang muslim Jawa (abangan) atau yang memahami
konsep ini dengan benar maka ia akan menemukan apa dan untuk apa sebenarnya
hidup ini, dengan melakukan tidak hanya sebatas ritual religiusitasnya saja namun
paham dengan sepaham-pahamnya apa yang terkandung didalamnya. Begitu pun
halnya bagi pemeluk agama lain. Jadi ketika ia diberi pertanyaan hakikat dari praktek
religiusitasnya itu apa, maka ia akan bisa memberikan sebuah Jawaban yang tidak
hanya sekedar karena kewajiban serta ritualitas semata. Namun bisa njlentrehke atau
mengungkapkannya sedalam mungkin Hingga ia menjadi satu dengan Tuhannya.
Dikarenakan ia tahu apa yang Tuhan ingin dan maksudkan dan mampu
menerjemahkan semua firman-Nya semurni dan sedekat mungkin yang Tuhan
kehendaki.
Kisah perjalanan Bima11. Anak kedua dari pandu yang mencari air suci tirta
pawitra, mengisyarakatkan bahwa untuk mencapai kesempurnaan atau yang
dilambangkan dengan tirta pawitra tidaklah semudah membalik telapak tangan, akan
tetapi melalui ritual dan laku yang komplek hingga akhirnya ia mendapat wejangan
dari Dewa Ruci12 yaitu Dzat Illahiah yang menempati sukma sejatinya. Bima dalam
ngudi kasampurnan selalu mendapat rintangan dan godaan. Namun karena dilandasi
oleh keteguhan hati, ketaatan kepada guru dan sikap yang susila anoraga
(merendahkan diri), berbudi, legawa, madhep, mantep (rela,sungguh-sungguh
mantap), dan berserah diri, tidak takut mati meskipun telah diingatkan oleh saudara-
saudaranya--akhirnya ia dapat menemukan jati dirinya. Bahkan dia sudah sampai
11
Kisah tentang Pencarian tirta perwitasari ini bisa dilihat dalam serat Bima Suci gubahan Yasadipura
I.
12
Dewa Ruci dalam penggambaran pewayangannya serupa dengan Bima hanya saja bertubuh kecil,
namun walaupun bertubuh kecil mampu memasukkan tubuh Bima yang besar itu kedalam lubang
telinganya dan memberikan wejangan tentang ngelmu kasampurnan kepada Bima. Dewa Ruci di sini
menggambarkan citra dari sukma sejati sedangkan Bima sebagai sosok wadagnya. Dan oleh Dewa ruci
Bima diwejang tentang Sedulur lima pancer, yaitu pengetahuan tentang sifat-sifat dasar manusia.
Supiah, aluamah, amarah dan mutmainah, hingga ia bisa masuk kedalam telinga kiri Dewa Ruci dan
mendapat wejangan ngelmu Sangkan Paraning Dumadi.
www.smada-zobo.jimdo.com | 7
pada tingkat eneng,ening, dan eling pada saat bertemu dengan guru sejati yaitu dewa
Ruci13.
Gambaran semacam itu merupakan gambaran bagi seseorang yang telah
mencapai kesempurnaan hidup atau telah sadar sangkan paraning dumadi (mengerti
maksud hidup yang sebenarnya)14.
4. Manunggaling Kawula Gusti dalam Hubungan Horisontal dengan Manusia
Kalau dalam hubungan vertikal terjadi pergumulan yang sifatnya induvidu,
dalam hubungan ini justru bisa kebalikannya atau malah keduanya. Manunggaling
kawula lan Gusti disini cenderung pada tatanan hierarkis antara pemimpin dan rakyat
yang dipimpinnya.
Terjadinya hubungan antara Gusti (Raja/pemimpin) dan Kawula (rakyat) yang
harmonis, dimana Raja bisa mengoptimalkan fungsi dan kedudukannya dan rakyat
bisa nyengkuyung (mendukung) serta berfungsi sesuai dengan fungsinya masing-
masing. Hal ini ditekankan pada sebuah perpaduan serta penyatuan yang harmonis
dari berbagai macam elemen yang berbeda satu sama lain dalam hubungan saling
diuntungkan.
Untuk menggambarkan proses tersebut bisa dilihat dari simbol yang melekat
pada gamelan Jawa. Apabila kita amati lebih dalam, ternyata seperangkat gamelan
Jawa merupakan sebuah gambaran, bagaimana dari sekian jenis macamnya itu indah
apabila dimainkan dengan mengikuti polanya masing-masing, tanpa mengganggu
yang lain. Contoh seorang penabuh gong mempunyai tugasnya menabuh gong,
apabila ia serakah mencoba menabuh kenong misalnya, padahal kenong tersebut
sudah ada yang menabuh maka akan terjadi ketidak serasian lagi. Jadi bentuk
kemanunggalan disini tidak identik dengan peleburan dalam bentuk fisik melainkan
rasa.
Manusia hidup bermasyarakat tidaklah dalam keadaan yang serba sama satu
sama lain, adakalanya berbeda entah beda keturunan, adat tatacara maupun budaya.
13
Suwardi Endraswara (2003 ; 79).
14
Bratawijaya (1997; 63).
www.smada-zobo.jimdo.com | 8
Namun kalau rasa kita sama niscaya perbedaan fisik bukanlah sebuah kendala dalam
menciptakan sebuah harmoni yang serasi. Tugu Jogja yang menjadi icon kota pelajar,
pada jamanya dulu dibangun untuk menggambarkan lambang manunggaling kawula
lan Gusti di daerah jogja yang pada waktu itu masih berbentuk Kasultanan merdeka,
ketika awal tahta Jogja berdiri. Dulu tugu tersebut berbentuk golong-gilig 15 , beda
dengan yang kita lihat sekarang. Tugu yang sekarang merupakan hasil dari
pemugaran tugu oleh pemerintah kolonial Belanda karena khawatir kalau tugu
tersebut masih tegak berdiri maka rasa manunggal antara rakyat dan Sultan tumbuh
dan mengakar.
5. Relevansi Konsep Manunggaling Kawula Gusti
Apabila kita melihat serta mengamati, ternyata manunggaling kawula Gusti
masih dipegang oleh sebagian masyarakat Jawa dalam mengaktualisasikan diri
mereka dengan alam serta Dzat Illahiah. Dan hal ini merupakan sesuatu yang ideal.
Bukan berarti manunggaling kawula Gusti lantas kita menjadi Tuhan tidak. Gusti
disini mempunyai beberapa arti Gusti bisa untuk Tuhan, Raja, atau sukma kita sendiri,
tergantung konteks mana yang kita pakai. Dan dari sudut pandang mana kita
melihatnya.
Proses pencarian Gusti, atau dalam ungkapan Jawa menjadi kepanjangan
bagusing ati (kesucian hati), harus melalui tingkatan serta latihan yaitu dengan
mengenali watak atau sedulur papat kita, yaitu nafsu supiyah, aluamah, amarah dan
mutmainah, apabila kita bisa mengenali nafsu ini dan mengendalikannya maka kita
sudah menginjak tataran awal manunggaling kawula Gusti, yaitu kesucian hati karena
kita tahu siapa kita. Dan hal tersebut merupakan modal untuk lebih bisa dekat dengan
Dzat Illahiah yang kita cari.
6. Penutup
Sebenarnya apabila kita berbicara masalah kejawen atau kebatinan Jawa,
maka kita akan disuguhi sebuah daratan yang maha luas, serta komplek karena apa
15
Gambar tugu, golong gilig ini berbentuk lonjong seperti lidi, sekarang masih dipakai dalam lambang
pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta.
www.smada-zobo.jimdo.com | 9
yang ada saling terkait satu sama lain. Dan dalam tulisan singkat ini hanya sedikit
dikupas masalah Manunggaling Kawula Gusti secara sederhananya, sehingga
setidaknya bisa membuka sedikit wacana bagi kita tentang apakah makna dibalik
kata-kata tersebut.
Dan masih relevan tidaknya konsep tersebut semua kembali kepada individu
setiap manusia Jawa itu sendiri atau yang diluar itu namun mencoba menguak
informasi di dalamnya. Semoga tulisan yang sangat dangkal ini bisa bermanfaat
untuk kita.
Pustaka Acuan