Anda di halaman 1dari 20

1

PERJALANAN SEJARAH KI AGENG DERPAYUDA: SEORANG PANGLIMA


PERANG YANG HIDUP UNTUK RAKYAT
Oleh: Wiji Iswanto*)

A.PENDAHULUAN

Masyarakat Jawa memiliki orientasi terhadap magi, mitologi, kosmologi

dan seperangkat konsep lainnya yang merupakan ungkapan pola pikir yang

bersifat Jawaisme atau Kejawen. Pandangan hidup orang Jawa yang disebut

Kejawen merupakan suatu kompleks keyakinan dan konsep Hindu-Islam yang

cenderung ke arah mistik yang bercampur menjadi satu termasuk ilmu kebatinan,

dalam Islam disebut sufisme atau tasawuf.

Pada dasarnya Kejawen itu bukan agama tetapi merupakan kepercayaan,

karena hanya memuat ajaran-ajaran yang berdasarkan kepercayaan terhadap

Tuhan Yang Maha Esa yang disebut pandangan hidup atau filsafat hidup Jawa.

Pandangan hidup ini terbentuk karena perkembangan kebudayaan Jawa akibat

pengaruh Hindu dan Islam yang datang ke Pulau Jawa. Tradisi Jawa,

kepercayaan Hindu-Budha, tasawuf dalam Islam melebur menjadi suatu alam

pikir Jawa yang disebut Kejawen (Budiono Herusatoto, 1983).

Ajaran Kejawen dimanifestasikan sebagai pemujaan terhadap leluhur

yang dianggap sebagai sumber kekuatan hidup dan roh leluhur dianggap terus

mempengaruhi kehidupan mereka. Hal ini dapat dilihat dari aktifitas masyarakat

yang selalu mengadakan berbagai macam upacara tradisional sebagai bentuk

pemujaan terhadap roh leluhur. Meskipun demikian penganut Kejawen

mempunyai keyakinan terhadap Tuhan secara mendalam dengan menyebutnya

Gusti Allah Ingkang Maha Kuwaos. Penganut kepercayaan Kejawen juga

percaya bahwa Tuhan adalah Sang Pencipta segala kehidupan dunia dan alam

semesta.

*) Siswa SMK Negeri Jenawi, Kabupaten Karanganyar


2

Penganut Kejawen mempercayai adanya roh yang menyebutnya dengan

istilah Hyang, diantaranya roh-roh pelindung desa, roh para wali, raja dan

pemuka agama yang termasyur yang dianggap sebagai orang suci. Mereka

melakukan penghormatan dengan ziarah atau tirakat di kuburan (makam) orang-

orang suci tersebut, sebagai alat untuk mewujudkan hasarat dan keinginannya.

Biasanya mereka minta berkah, minta rejeki tidak langsung kepada Tuhan, tetapi

melalui perantara roh orang-orang suci yang berada di makam atau tempat

keramat lainnya yang dianggap memiliki hubungan dekat dengan Tuhan. Hal ini

sesuai dengan pendapat Riboet Darmosoetopo (1980: 116) yang mengatakan

bahwa pandangan hidup masyarakat Jawa terhadap leluhur sangat kuat dan

leluhur dijadikan sebagai sosok yang memiliki kedudukan tinggi sebagai media

hubungan manusia dengan Tuhan.

Niels Mulder (1981:12) mengkonsepsikan Jawaisme sebagai Javanisme

yaitu agama beserta pandangan hidup orang Jawa, menekankan ketenteraman

batin, keselarasan, dan keseimbangan, sikap narima terhadap segala peristiwa

yang terjadi sambil menempatkann individu di bawah masyarakat dan

masyarakat di bawah semesta alam. Barangsiapa hidup selaras dengan dirinya

sendiri dan dengan masyarakat, hidup selaras juga dengan Tuhan dan

menjalankan hidup yang benar. Namun demikian dimensi kehidupan yang sejati

terdapat di dalam pengetahuan dan pengalaman mengenai hubungan antara

hidup ini dengan Hidup sendiri, dengan Sang Hyang Ada.

Kebatinan seringkali dianggap sebagai inti-pati Javanisme; gaya hidup

orang-orang Jawa ialah kebatinan, yaitu gaya hidup manusia yang memupuk

“batin-nya”. Pada dasarnya kebatinan adalah mistik, penembusan terhadap dan

pengetahuan mengenai alam raya dengan tujuan mengadakan suatu hubungan

langsung antara individu dengan lingkungan Yang Maha Kuasa. Gaya hidup

kebatinan akan meliputi pelaksanaan dari semua bentuk kebudayaan jawa yang

mempunyai makna mengatasi alam material belaka, seperti misalnya

kepercayaan akan ramalan, akan kemungkinan mempengaruhi kejadian-kejadian


3

yang akan datang, akan penafsiran dari lambang-lambang dan akan kesaktian

dari barang-barang keramat dan makam-makam.

Adalah makam Ki Ageng Derpayuda atau Kyai Ageng Derpayuda yang terletak di

Dusun Majan Jati (Kauman) Desa Kwadungan Kecamatan Kerjo Kabupaten

Karanganyar. Di kompleks makam tersebut telah terjadi pola-pola tingkah laku

masyarakat sebagai manisfestasi atau praktek pandangan hidup orang jawa

atau kejawen yaitu ziarah atau tirakat. Tradisi tirakat atau ziarah makam ini

biasanya dilakukan pada malam Selasa Kliwon (Anggoro Kasih) dan setiap

malam Jumat. Tradisi/ adat istiadat ini muncul karena masyarakat meyakini

bahwa Kyai Ageng Derpayuda merupakan tokoh yang dihormati di wilayah

Kecamatan Kerjo. Penghormatan masyarakat atas Kyai Ageng Derpayuda

didasarkan pada nilai lebih beliau yaitu, pertama karena kesaktiannya terutama

oleh kaum tua . Kedua, Kyai Ageng Derpayuda adalah seorang bangsawan yang

memiliki sifat serta sikap yang dapat dijadikan teladan bagi masyarakat.

Golongan tua menganggap tempat bersemayamnya (pasareyan) Ki Ageng

Derpayuda merupakan tempat yang sangat mustajab untuk memanjatkan do’a,

karena Ki Ageng merupakan orang suci yang dianggap dapat menjadi media

hubungan manusia dengan Tuhan. Makam Ki Ageng Derpayuda sampai

sekarang masih dirawat dengan baik oleh Juru Kunci Makam yang diangkat oleh

penguasa Keraton Yogyakarta. Fenomena ini sangat menarik untuk dikaji lebih

dalam lagi dalam suatu penelitian.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka masalah utama

dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : (1) Siapakah sebenarnya

Ki Ageng Derpayuda ? (2) Bagaimanakah kisah perjalanan hidupnya hingga

menjadi tokoh yang disegani, dihormati dan tetap dikenang sampai sekarang? (3)

Bagaimanakah hubungan Ki Ageng Derpayuda dengan Kesultanan Yogyakarta?

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jati diri Kyai Ageng

Derpayuda dan mengungkap sejarah perjalanan hidupnya hingga menjadi tokoh


4

yang disegani, dihormati dan tetap dikenang, serta hubungan Kyai Ageng

Derpayuda dengan Kesultanan Yogyakarta.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan guna menambah

wawasan pengetahuan tentang peninggalan sejarah lokal khususnya

keberadaan makam Kyai Ageng Derpayuda terutama kepada generasi muda.

Selain itu hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi dan referensi bagi

pemerintah daerah Kabupaten Karanganyar untuk tetap menjaga dan

melestarikan peninggalan sejarah lokal yang khas, serta memiliki karakter dan

kearifan lokal yang unik.

B. KAJIAN PUSTAKA

1. Asal Usul Kyai Ageng Derpayuda

Kyai Ageng Derpayuda atau Ki Ageng Drepayuda adalah seorang

bangsawan yang nenek moyangnya merupakan keturunan raja-raja Sriwijaya

dari Palembang. Ki Ageng Derpayuda adalah keturunan ketujuh Hang Tuah

yaitu Putra Raja Palembang yang melarikan diri ke Pulau Jawa. Suatu saat

Pasukan Majapahit yang dipimpin Aryo Damar (putra Brawijaya Pamungkas)

menyerang kerajan Palembang . Peperangan itu berakhir dengan takluknya

kerajaan Palembang. Karena kekalahan itu, banyak putra Raja Palembang yang

melarikan diri dan minta perlindungan ke kerajaan Johor Malaysia serta ada

seorang putra yang melarikan diri ke Pulau Jawa dialah Hang Tuah.

Dalam pelariannya ke Pulau Jawa, Hang Tuah mengembara di tengah

hutan dan kemudian menyusuri pantai utara Jawa selama dua tahun dan

akhirnya sampai di daerah Lasem, Rembang. Pada saat yang sama di Lasem

sendiri situasinya sedang tidak aman. Kekacauan di mana-mana karena

penjahat atau perusuh (begal bahak) yang membuat onar dengan menjarah

harta benda milik rakyat. Berkat kesaktian Hang Tuah para perusuh tersebut

berhasil ditaklukkan. Keberhasilan Hang Tuah menaklukkan para perusuh

tersebut membawa Hang Tuah diterima mengabdi pada Adipati Lasem

Rembang . Jadilah Hang Tuah sebagai punggawa kadipaten. Hang tuah menjadi
5

abdi yang sangat disayangi oleh Adipati Lasem dan disegani oleh rakyat. Hingga

kemudian Hang Tuah diambil menjadi menantu Adipati Lasem. Adipati Lasem

memberi julukan kepada Hang Tuah dengan sebutan Hang Tuah

Hamborowati.(Dwiyono, ...........:4-5)

Keberadaan Hang Tuah Hamborowati yang mengemban tugas mulia

membuat Kadipaten Lasem menjadi aman, tenteram, semua bentuk kejahatan

sirna dan menjadi kadipaten yang termasyur di Pulau Jawa. Pada waktu itu

mayoritas penduduknya masih beragama Hindu dan Budha. Karena

kemasyurannya tersebut Kerajaan Demak yang merupakan kerajaan Islam

mengadakan perluasan jajahan dengan mengadakan ekspansi ke daerah Lasem.

Akhirnya Kadipaten Lasem jatuh ke tangan Kerajaan Demak dan menjadi daerah

di bawah kekuasaan Kerajaan Demak. Masyarakat Lasem Rembang yang

tadinya beragama Hindu dan Budha mulai mengadopsi pengaruh masuknya

agama Islam.

Ketika Kadipaten Lasem kalah oleh pasukan Kerajaan Demak dan

berakhir dengan tewasnya Adipati Lasem, maka Hang Tuah pun takluk dan

tunduk kepada pasukan Kerajaan Demak. Hang Tuah menjadi ksatria andalan

Kerajaan Demak karena kesaktian yang tiada tandingnya. Berkat kemurahan hati

Raja Demak, Hang Tuah diangkat menjadi Adipati di Blora dan diberi gelar

Tumenggung Sureng Pati.

Tumenggung Sureng Pati memiliki tiga orang putra, dan satu orang putri.

Salah satu putra Tumenggung Sureng Pati diambil menantu olehTumenggung

Mayang dari Kerajaan Pajang Kartasura bernama Tumenggung Wanantaka.

Pernikahan tersebut menurunkan dua anak. Anak yang pertama bernama

Wanalaya, dan anak kedua Wanalela. Kedua anak Wanantaka ini juga

berpangkat tumenggung yang mengabdi menjadi punggawa Kerajaaan Mataram

pada masa Sultan Agung Hanyakra Kusuma bertahta.

Anak pertama Wanantaka , Tumenggung Wanalaya menurunkan

Tumenggung Wanagati, Tumenggung Wanagati menurunkan Tumenggung


6

Darudriya Wanasalam. Selanjutnya ,Tumenggung Darudriyo Wanasalam

memperistri anak Tumenggung Wanalaba (anak yang ketujuh) yang berputra

Tumenggung Santayuda di Kwadungan yang menurunkan Rara Nariti .

. Adapun anak kedua Wanantaka yaitu Tumenggung Wanalela,

menurunkan Tumenggung Wanalaba, Tumenggung Wanalaba menurunkan

Tumenggung Joyontoko. Tumenggung Joyontoko menurunkan Tumenggung

Suragawe. Tumenggung Suragawe memiliki tiga orang putra yaitu Tumenggung

Surengrana , Tumenggung Suradilaga, dan Tumenggung Surayuda atau

Tumenggung Secoyudo. Dari Tumenggung Surengrana-lah kemudian lahir Ki

Ageng Derpayuda. Ki Ageng Derpayuda mempunyai dua istri. Istri pertama

bernama Roro Widuri dari Madiun, dan istri kedua Rara Nariti yang masih

terhitung kerabat karena putri dari Tumenggung Santayuda di Kwadungan.

(Berdasarkan Silsilah yang dibuat oleh Ki Ngadenan Surakso Rejono, Juru Kunci

Makam). Silsilah Ki Ageng Derpayuda secara singkat terdapat di lampiran 1.

2. Perjalanan Hidup Ki Ageng Derpayudha

Perjalanan Ki Ageng Derpayuda keluar dari keraton Mataram diawali

dengan adanya geger pecina. Kerajaan Mataram yang berkedudukan di

Kartasuro, di bawah kepemimpinan Sultan Paku Buwana II pada waktu itu terjadi

pemberontakan. Pemberontakan tersebut dilakukan oleh Mas Garendi cucu

Sunan Amangkurat III atau Sunan Mas , sebagai raja tandingan dengan gelar

Amangkurat Amangku Buwana atau Amangkurat V. Dukungan terhadap sunan

baru yang kemudian lebih dikenal Sunan Kuning, ternyata sangat besar yang

dibantu pula oleh kerabat keraton yang tidak puas dengan kebijaksanaan Raja

Paku Buwana II karena mengadakan kerjasama dengan Belanda. Bantuan juga

datang dari laskar Cina dari Jakarta di bawah pimpinan Kapten Sepanjang (Tai

Wan Sui). Pemberontakan ini terjadi pada bulan Juni 1741. Salah satu

pendukung pemberontakan ini adalah Raden Mas Said yang merasa kecewa

karena daerah Sukowati yang dulu diberikan Sultan kepada ayahandanya

dipangkas oleh Raja Paku Buwana II ( Soetono Siswokartono, 2005:53).


7

Pasukan gabungan dari pasukan Cina dan pasukan Mas Garendi

menyerbu Benteng Kompeni yang ada di Kartasura pada malam hari dan

membakarnya habis-habis. Komandan pasukan Belanda yaitu Van Velsen

terbunuh dalam serbuan tersebut. Pada tanggal 30 juni 1742 pihak pemberontak

menyerbu keraton Kartasura dan menguasainya. Dalam keadaan genting itu

Raja Paku Buwana II diungsikan dengan bantuan Kompeni di bawah pimpinan

Mayor Baron Van Hohendorff dan Adipati Bagus Suroto dari Pacitan ke Magetan

terus ke Ponorogo. Kapten Sepanjang beserta pengikutnya mengangkat Raden

Mas Garendi menjadi Raja Mataram yang baru dengan gelar Sultan Amangkurat

V. Banyak diantara kaum bangsawan yang anti Kompeni masih melanjutkan

memihak barisan Cina dan mengikuti jejak Raden Mas Garendi dalam peristiwa

pemberontakan tersebut. Semua abdi dalem Keraton yang masih setia kepada

Sultan Paku Buwana II terus mengadakan perlawanan sekuat tenaga, termasuk

di dalamnya Pangeran Surengrana (ayahanda Ki Ageng Derpayuda) dan adiknya

Pangeran Suradilaga (paman Ki Ageng Derpayuda). Kedua Pangeran tersebut

gugur di medan pertempuran. Para istri dan anak-anak punggawa Keraton

Mataram yang tidak ikut dalam pertempuran berusaha melarikan diri mencari

perlindungan dan keselamatan. Mas Garendi bertahta di Keraton Kartasura

selama 9 bulan. Dengan bantuan Kompeni Raja Paku Buwana II dapat kembali

menduduki Keraton Kartasura . Banyak penguasa yang semula memihak

pemberontak menyatakan tunduk pada VOC. Sunan Kuning yang tinggal sedikit

pengikutnya, pada awal 1743 menyerah di Surabaya dan selanjutnya diasingkan

ke Sailan. Setelah peristiwa itu, Paku Buwono II yang menyaksikan Keraton

Kartasura rusak parah akibat pemberontakan orang Cina dan Sunan Kuning itu

memutuskan untuk memindah keraton dan pemerintahannya ke Desa Sala, yang

terletak di tepi Bengawan Solo.

Para punggawa kerajaan yang tak puas dengan kebijakan Paku Buwono

II masih melanjutkan perjuangan bersama Pangeran Mangkubumi dan Raden

Mas Said. Para punggawa ini dipimpin oleh Ngabehi Secoyudo (paman Ki
8

Ageng Derpayuda) dan Ki Ageng Derpayuda. Dalam pertempuran tersebut

diberitakan bahwa Ngabehi Secoyudo dan Ki Ageng Derpayuda wafat terbunuh.

Tetapi sebenarnya Ki Ageng Derpayuda masih hidup, menyamar menjadi rakyat

biasa dan berkelana sampai akhirnya menetap di wilayah Sukowati yang

bernama Dusun Majan Jati (sekarang termasuk Dusun Kauman). Ki Ageng

Derpayuda sudah tidak mau berperang lagi. Di Dusun Majan Jati Ki Ageng

Derpayuda menjalani kehidupan dalam kesederhanaan berbaur dengan rakyat

biasa dan tidak menunjukkan kebangsawanannya. Pola kehidupan Ki Ageng

Derpayuda seperti rakyat biasa, bertani, berladang dan berdagang seraya

menyebarkan agama Islam. Pola kehidupan Ki Ageng Derpayuda dapat dijadikan

suri tauladan bagi masyarakat sekitarnya. Seperti yang ditembangkan dalam

tembang sinom berikut ini.

Lumintu rejekinira
Tan lami dadyo katawis
Mentel ing babaganira
Kasamur sungkaweng galih
Mangkono kang winarni
Joko Darpo naminipun
Neng Tembayat winulang
Hangaji myang basa Jawi
Agancang tyas ira (RMP. Sumaatmaka, 1927)

Adapun terjemahan bebasnya adalah:

Usaha yang mereka tekuni semakin sukses dalam waktu yang relatif tidak lama.

Dan tekun diberbagai bidang, disertai dengan rasa penderitaan yang dengan

ikhlas diterimanya. Itulah keberadaan Kyai Ageng Derpayuda atau Joko Darpo

nama waktu mudanya. Di Tembayat (sekarang daerah Klaten Selatan, arah barat

daya Kota Surakarta) Ki Ageng Deprpoyuda berguru ilmu agama dan sastra

Jawa, dengan kemauan yang tekun dan niatan yang kuat.

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di tempat pemakaman Ki Ageng Derpayuda di

Kauman RT 01 RW 05 Kwadungan, Kerjo, Karanganyar. Penelitian ini

dilaksanakan selama satu bulan yaitu minggu pertama bulan Februari sampai

dengan minggu pertama bulan Maret 2012.


9

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Adapun sumber

data yang digunakan pada penelitian ini adalah informan yaitu seseorang yang

memberikan informasi dan mengetahui seluk beluk permasalahan yang hendak

diteliti, tempat yaitu kompleks Makam Ki Ageng Derpayuda, dan dokumen yaitu

dokumen yang berupa buku-buku, artikel, foto-foto dan dokumen lainnya yang

berkaitan dengan penelitian ini.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah

teknik wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Wawancara dilakukan

dengan plt Juru Kunci Makam Ki Ageng Derpayuda (Juru Kunci sebelumnya

telah meninggal yaitu Ki Ngadenan Surakso Rejono), Bapak Dwiyono (penulis

Riwayat Singkat Kyai Ageng Derpayuda), peziarah makam dan penduduk

sekitar makam. Sedangkan observasi dilakukan dengan mengamati lingkungan

dan aktivitas yang terjadi di Makam Ki Ageng Derpayuda. Selain itu dilakukan

juga analisis dokumen yang berkaitan dengan Ki Ageng Derpayuda.

Pada penelitian ini validitas data dilakukan dengan menggunakan teknik

triangulasi sumber, yaitu dengan cara membandingkan informasi hasil

wawancara dari berbagai sumber, hasil observasi dan hasil analisis dokumen.

Sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Makam (pasarean) Ki Ageng Derpayudha terletak di Dusun Majan Jati

(Kauman) RT 01 RW 05 Desa Kwadungan Kecamatan Kerjo Kabupaten

Karanganyar. Daerah ini terletak di lereng utara Gunung Lawu, di sebelah timur

Kota Surakarta dan arah utara Kota Karanganyar. Lingkungan kompleks makam

kelihatan terawat karena selalu dijaga kebersihannya oleh Juru Kunci Makam.

Lingkungan kompleks Makam Ki Ageng Derpayuda sepi, berhawa sejuk dan

sangat kondusif untuk memanjatkan do’a bahkan disebelah kompleks sekarang

berdiri sebuah masjid yang cukup makmur. Di dalam kompleks Makam Ki Ageng

Derpayuda terdapat makam-makam kerabat Ki Ageng Derpayuda, antara lain: (1)


10

Kyai Wanasalam dan Nyai Wanasalam, (2) Kyai Santayuda dan Nyai Santayuda,

(3) Nyai Secoyuda, (4) Nyai Suradilaga, dan (5) Nyai Surengrana (ibunda Ki

Ageng Derpayuda).

Ki Ageng Derpayuda yang memiliki nama muda Joko Darpo ini adalah

seorang senopati (panglima perang) Kerajaan Mataram di Kartasura. Ki Ageng

Derpayuda merupakan anak tunggal Tumenggung Surengrana. Tumenggung

Surengrana gugur di medan perang bersama dengan adiknya yaitu Tumenggung

Suradilaga pada saat terjadi geger pecina.

Semenjak Kerajaan Kartasura terpecah menjadi dua yaitu Kesultanan

Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada 13 Pebruari 1755 dengan perjanjian

di Dusun Gianti, Karanganyar. Ki Ageng sudah tidak mau lagi bermusuhan

(berperang). Beliau menyamar menjadi rakyat biasa dan berbaur dengan

masyarakat. Beliau berkelana ke daerah Sukawati dan melakukan tapa atau

ritual menyendiri. Tempat-tempat pertapaan Ki Ageng antara lain: (1) Sendang

Sono, Desa Sewurejo, Kecamatan Mojogedang, (2) Payudan, Desa Gondang

Manis, Kecamatan Karangpandan, (3) Kedung Tiban, Desa Ngadirejo,

Kecamatan Mojogedang, dan (4) Kedung Petung, Desa Kwadungan, Kecamatan

Kerjo, semua daerah ini terdapat di Kabupaten Karanganyar. Setelah itu Ki

Ageng menjalani kehidupan sebagai petani dan menjadi Kyai di Majan Jati. Di

Majan Jati ini beliau mendirikan Masjid. (Wawancara dengan Juru Kunci Makam,

25 Pebruari 2012)

Sedangkan menurut RMP Sumaatmaka (1927) terdapat tempat-tempat

penting yang lain yang mewarnai sejarah perjalanan hidup Ki Ageng Derpayuda.

Tempat-tempat tersebut antara lain:

(1) Dusun Kuto

Dusun Kuto merupakan bekas dalem Kyai Tumenggung Wanasalam dan

putranya yaitu Kyai Tumenggung Santayuda (mertua Ki Ageng Derpayuda),

dan pernah dijadikan tempat tinggal sementara Kanjeng Pangeran


11

Mangkubumi yang kemudian menjadi Raja Yogyakarta dengan gelar Sultan

Hamengku Buwana I.

(2) Dusun Kwadungan

Tempat ini digunakan untuk mengerjakan kayu untuk membuat rumah Ki

Ageng Derpayuda di Majan Jati.

(3) Dusun Majan Jati

Majan Jati merupakan tempat tinggal Ki Ageng Derpayuda sampai beliau

meninggal. Dusun Kuto, Kwadungan, dan Majan Jati terdapat di wilayah

Kapanewon (Kecamatan) Kerjo

(4) Dusun Tegalsari

Tegalsari merupakan tempat tinggal Ki Ageng Derpayuda dengan istri muda

(garwa enem). Sekarang tidak menjadi dusun. Tempat ini terdapat di Desa

Bligo, Kecamatan Mojogedang.

(5) Dusun Tegalrejo

Tegalrejo menjadi tempat tinggal Ki Ageng Derpayuda dengan garwa sepuh.

Tempat ini dikenal dengan nama Drepayudan atau Dusun Payudan,

termasuk Desa Jikut.

(6) Jati Slagrang

Jati Slagrang bukan nama dusun, tetapi nama kelompok pohon jati berjumlah

lima. Salah satu pohon jati tersebut dijadikan tempat bertapa Ki Ageng

derpayuda. Diceritakan sampai pohon jati tersebut roboh (mlanggrang) dan

lapuk tidak ada yang berani mengambilnya, karena dianggap wingit.

Kyai Ageng Derpayuda memiliki dua orang istri yaitu Rara Nariti (garwa

enem) dari Kuncen Yogyakarta, dan Rara Widuri (garwa sepuh) dari Madiun.

Dari Rara Nariti, Ki Ageng memiliki empat orang putra yaitu Rara Sulastri,

Ngabehi Kertamanggala, Prawirawanti, dan Kyai Ragil. Sedangkan dari Rara

Widuri, Ki Ageng memiliki seorang putra yaitu Rangga Prawira Setika yang

kemudian menjadi Adipati Madiun.(Wawancara dengan Juru Kunci Makam, 25

Pebruari 2012). Berdasarkan silsilah dari RMP Sumaatmaka (1927) seorang putri
12

Ki Ageng Derpayuda yaitu Rara Sulastri diperistri Sultan Hamengku Buwana I,

dan menjadi garwa prameswari ketiga. Dari pernikahan ini menurunkan Sultan

Hamengku Buwana II.

Ki Ageng Derpayuda dikenal sebagai seorang tokoh yang sakti. Ki Ageng

memiliki senjata pusaka berupa tombak yang ikut musnah pada saat Ki Ageng

meninggal. Ki Ageng meninggal karena faktor usia yang sudah tua, dan

dimakamkan di dekat rumah beliau di Majan Jati. (Wawancara dengan Bapak

Harsono, 27 Pebruari 2012). Makam Ki Ageng Derpayuda sampai sekarang

masih dianggap keramat. Banyak peziarah yang datang dan memanjatkan do’a

di sana. Tujuan para peziarah makam ini pada umumnya adalah ingin ngalap

berkah (mendapatkan kemuliaan dan kesejahteraan), serta ingin mendapatkan

derajat, pangkat atau kedudukan di masyarakat, selain itu ada juga yang ingin

menuruni kesaktian Ki Ageng Derpayuda.(Wawancara dengan peziarah makam,

24 Pebruari 2012).

2. Pembahasan

Pada waktu mudanya Ki Ageng Derpayuda berguru atau ngangsu kawruh

di Pesantren Tembayat. Di pesantren ini beliau tidak hanya belajar ilmu agama

tetapi juga belajar mengenai sastra Jawa. Perpaduan kedua pengetahuan

tersebut mengajarkan bagaimana menjadi orang yang utama, yang artinya

berbudi luhur, bijak, adil, teguh dalam jiwa dan kepribadian. Orang yang utama

harus dapat menyelesaikan semua perkara maupun cobaan yang datang dengan

sebaik-baiknya, serta mampu menjaga nama baik diri sendiri, keluarga, dan

masyarakat.

Dengan keluarnya Ki Ageng Derpayuda dari lingkungan Keraton,

menandakan bahwa beliau lebih memilih kehidupan yang penuh kesederhanaan

dan kesahajaan. Kehidupan yang dapat memberikan ketenangan dan

ketentraman lahir batin. Kehidupan Ki Ageng yang berbaur dengan rakyat

membawa banyak manfaat bagi masyarakat di lingkungan tempat tinggal beliau.

Walaupun sebenarnya beliau adalah bangsawan keturunan raja-raja Sriwijaya,


13

tetapi beliau tidak menampakkan kebangsawanannya. Kehidupannya tetap

seperti rakyat kebanyakan yang biasa kerja keras seperti bertani, berladang,

maupun berdagang.

Ki Ageng senantiasa mendekatkan diri pada Sang Maha Pencipta. Beliau

sering melakukan prihatin dengan bertapa misalnya tapa kungkum di beberapa

sumber air antara lain; Sendang Sono, Kedung Tiban, dan Kedung Petung.

Tempat Ki Ageng bertapa ini sampai sekarang masih dianggap sebagai tempat

keramat, sehingga tidak ada seorangpun yang berani mengambil ikan di sungai

tersebut. Selain tapa kungkum Ki Ageng juga menjalani pertapaan di Jati

Slagrang maupun Payudan. Kegiatan bertapa ini dalam ajaran Islam termasuk

tasawuf atau sufi, yaitu meninggalkan kepentingan keduniawian agar dapat lebih

dekat dengan Allah Pencipta alam semesta. Melalui pertapaan ini Ki Ageng

mendapatkan daya linuwih (kesaktian) berupa kedalaman pengetahuan.

Kesaktian Ki Ageng Derpayuda digunakan untuk kebaikan dan

bermanfaat bagi masyarakat. Karena kesaktian dan keluhuran budinya, Ki Ageng

sangat dihormati oleh warga sekitar dan namanya sangat termasyur terutama

oleh masyarakat wilayah Kecamatan Kerjo. Pengaruh Ki Ageng di Kecamatan

Kerjo masih terasa sampai sekarang, bahkan SMP yang didirikan pertama

kalipun menggunakan nama beliau.

Ki Ageng Derpayuda adalah mertua Sultan Hamengku Buwana I dan juga

kakek Sultan Hamengku Buwana II. Sebelum putri Ki Ageng yang bernama Rara

Sulastri menjadi garwa prameswari Hamengku Buwana I, Ki Ageng adalah

panglima perang Pasukan Pangeran Mangkubumi( Hamengku Buwana I) pada

saat terjadi perebutan tahta Kerajaan Mataram. Karena kedekatan hubungan Ki

Ageng dengan Kesultanan Yogyakarta, maka sampai sekarangpun Makam Ki

Ageng tetap dirawat dan dihormati oleh Keraton Yogyakarta. Perawatan dan

penjagaan makam dilakukan oleh Juru Kunci Makam yang diangkat oleh

Kesultanan Yogyakarta. Sampai sekarang sudah ada 4 Juru Kunci, yang terakhir

adalah Ki Ngadenan Surakso Rejono yang sudah meninggal. Juru Kunci yang
14

sekarang Sasmo Sarimin belum diangkat, baru ditetapkan sebagai wakil Juru

Kunci.

Makam Ki Ageng dianggap sebagai tempat yang bertuah untuk

memanjatkan doa dan keinginan. Para peziarah menganggap beliau sebagai

tokoh suci yang dekat dengan Pencipta alam semesta, sehingga dapat menjadi

perantara hubungan manusia dengan Allah.

PENUTUP

1. Kesimpulan

Ki Ageng Derpayuda adalah seorang bangsawan keturunan raja-raja

Sriwijaya di Palembang. Ki Ageng adalah seorang senopati Mataram. Diberitakan

meninggal dalam pertempuran dan Kerajaan Mataram dibagi dua yaitu

Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, ternyata Ki Ageng Derpayuda

masih sugeng . Ki Ageng berkelana dan hidup berbaur dengan rakyat biasa.

Beliau hidup sebagai rakyat biasa dan tidak menunjukkan kebangsawanannya.

Kedudukan beliau sebagai mertua Kanjeng sultan Hamengku Buwana I

menjadikan beliau dihormati oleh kalangan Keraton Yogyakarta, sehingga

makamnya masih dirawat, dijaga dan diziarahi.

Tirakat atau ziarah di Makam Ki Ageng Derpayuda banyak dilakukan oleh

kaum tua terutama penganut kepercayaan Kejawen yang meyakini karomah Ki

Ageng. Dengan bertirakat di situ, mereka berharap mendapatkan berkah, rejeki,

kedudukan ataupun mendapatkan kesaktian bagi diri mereka sendiri, keluarga

maupun keturunannya.

2. Saran

Berkaitan dengan penelitian ini penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Peninggalan sejarah harus dikenalkan kepada generasi muda agar

mereka mampu memaknai, mengambil pelajaran dari hikmahnya,

kemudian menjaga, melindungi dan melestarikannya.


15

2. Ketokohan para leluhur/ pendahulu kita sebagai pelaku sejarah lokal

harus disosialisasikan pada generasi muda, dengan maksud agar nilai-

nilai tersebut dapat diteladani dan dapat meningkatkan rasa nasionalisme

kebangsaan.

Glosary

1.Jawaisme/ kejawen : pandangan hidup orang jawa


2. sufisme/ tasawuf : ajaran sufi
3. Gusti Allah ingkang Maha Kuwaos : Tuhan Yang Maha Kuasa
4. Hyang : sebutan untuk para dewa
5.Pasarean : makam
6. Geger pecina : pemberontakan oleh laskar cina
7. Senopati : panglima perang
8. Tapa : bertapa
9. Dalem : Rumah, kediaman
10. Kapanewon : Kecamatan , asal kata panewu yang berarti camat.
11. Garwa enem : istri muda
12. Garwa sepuh : istri tua
13. Mlanggrang : roboh melintang
14. Wingit : angker, bernuansa magis
15. Garwa prameswari : istri utama, permaisuri
16. Ngalap berkah : mendapatkan kemuliaan/kesejahteraan
17. Ngangsu kawruh : menimba ilmu, belajar
18. Tapa kungkum : bertapa dengan cara berendam diri setinggi leher
19. Daya linuwih : tenaga dalam, kesaktian

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. Pangeran Sambernyowo (KGPAA. Mangkunagoro I): Ringkasan


Sejarah Perjuangannya. Yayasan Mengadeg,Surakarta.

Budiono Herusatoto. 1983. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:


Hanindita Graha Widya.

Dwiyono. Riwayat Singkat Kyai Ageng Derpayuda.

Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Niels Mulder, 1981. Kepribadian Jawa Dan Pembangunan Nasional : Gadjah


Mada University Press Penerbit Sinar harapan.

Riboet Darmosoetopo. 1980/1981, Th.I. No. 2. Pandangan Orang Jawa terhadap


Leluhur. Analisis Kebudayaan. h. 116.

RMP. Sumaatmaka. 1927. Ki Ageng Drepayuda. Jakarta: Balai Pustaka.

Soetono Siswokartono.2005. Kajian Sejarah Mikro Sebagai Muatan Lokal: Sri


Mangkunagara IV Sebagai Negarawan, Usahawan, Budayawan (1853-
1881). Surakarta: Sebelas Maret University Press.
16

Tim Penulis SOLOPOS : 2004, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat :


PT. Aksara Solopos.

Tri Widiarto.2005. Kajian Sejarah Mikro Sebagai Muatan Lokal: Perjanjian


Salatiga 17 Maret 1757 Dan Lahirnya Kerajaan Mangkunegaran
Surakarta. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
17

Lampiran 3. Foto-foto Lingkungan Kompleks Pemakaman Ki Ageng Derpayuda

Gambar 3. Pintu Masuk Komp leks Pemakaman Ki Ageng Derpayuda

Gambar 4. Makam Kerabat Ki Ageng Derpayuda


18

Lampiran 4. Makam Kerabat Ki Ageng Derpayuda di Kompleks Pemakaman

Gambar 5. Makam Kerabat Ki Ageng Derpayuda

Gambar 6. Makam Ki Ageng Derpayuda


19

Lampiran 5. Beberapa Bangunan Utama di Kompleks Pemakaman Ki Ageng


Derpayuda

Gambar 7. Pesanggrahan di Kompleks Makam Ki Ageng Derpayuda

Gambar 8. Masjid yang berada di Lingkungan Kompleks Pemakaman


20

Lampiran 6. Wawancara dengan Plt Juru Kunci Makam dan Bapak Harsono

Gambar 9. Kegiatan Wawancara dengan Plt Juru Kunci Makam dan Bapak
Harsono

Anda mungkin juga menyukai