Anda di halaman 1dari 7

Nama : Wahyu Dewi Nur Syayidah

NIM : 3301416062
Mata Kuliah : Antropologi Budaya

Sistem Religi Masyarakat Suku Tengger

Tengger adalah suatu suku yang mendiami daerah pegunungan yang terletak di Jawa Timur
dengan puncak gunung-gunung Bromo, Widodaren, Batok dan Ider-ider. Gunung yang dianggap
suci bagi masyarakat Tengger yaitu Gunung Bromo. Gunung Bromo dianggap sebagai lambang
tempat Dewa Brahma. Kawasan Tengger memiliki masyarakat adat yang kuat dan kuatnya pula
kepercayaan kepada Dewa Tertinggi yaitu Hyang Widiwasa (Sudiro, 2001:100).

Simanhadi (dalam Abdullah Masmuh, 2003:107) menjelaskan bahwa secara historis


masyarakat suku Tengger di awal perkembangannya memiliki agama atau kepercayaan dinamisme
dan animisme karena sebelum tahun 1973, masih belum jelas agama apa yang dianut oleh
masyarakat Tengger. Sejalan dengan pendapat tersebut, Supriyono (dalam Abdullah Masmuh,
2003:107) menjelaskan bahwa Agama yang pertama dianut oleh suku Tengger adalah kepercayaan
terhadap ruh halus (animisme) dan kepercayaan terhadap benda-benda yang mempunyai kekuatan
gaib (dinamisme). Dan pada tahun 1973, para pini sepuh (golongan tua) suku Tengger di kawasan
Gunung Bromo, dengan di pimpin Bapak Utjil (Sartali), mengadakan musyawarah di Balai Desa.
Tujuannya adalah untuk mempersatukan masyarakat Tengger. Rapat tersebut kemudian berhasil
menetapkan salam khusus bagi masyarakat Tengger yang berbunyi : Houng Ulum Basuki
Langgeng, yang artinya “Tuhan tetap memberikan keselamatan atau kemakmuran yang kekal abadi
kepada kita”. Salam ini biasanya digunakan pada awal dan akhir pertemuan resmi serta upacara-
upacara tradisional.

Kemudian, Menurut kajian Parisada Hindu Dharma Provinsi Jawa Timur tahun 1973 (Aziz,
2011: 67) dalam Haryanto (2014:206) Agama yang dianut orang Tengger adalah Buddha
Mahayana. Namun demikian, ditilik dari cara beribadah dan upacara keagamaannya, agama tersebut
kurang menunjukkan adanya tanda ke-Buddhaan kecuali pada mantra yang dimulai dengan kata
Hong yang biasa dipakai oleh Umat Buddha. Agama Masyarakat Adat Tengger sebenarnya
dianggap cenderung kepada agama Buddha Mahayana, meskipun bila ditinjau dari cara beribadah
dan kepercayaannya lebih cenderung pada perpaduan antara Buddha, Hindu, dan kepercayaan
tradisional
Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Nancy J. Smith dalam Savitri (2006:4), seorang peneliti
yang menyatakan bahwa mantra-mantra yang dipakai dalam upacara Tengger mirip juga dengan
mantra Budha. Hal ini menyebabkan masyarakat luas mempercayai bahwa suku Tengger menganut
agama Budha. Namun menurut Nancy, Budha di sini bukan dalam pengertian agama, melainkan
istilah yang lazim dipakai masyarakat Jawa untuk menyebut agama sebelum Islam. Memang, pada
zaman Majapahit diakui ada dua agama, yakni Hindu dan Budha dan pada abad ke- 14 setelah
masuknya Islam, kata “Budha” dipakai untuk orang yang belum menganut Islam. Masyarakat
Tengger juga dikenal luas beragama Hindu yang berpadu dengan kepercayaan tradisional. Hindu
masyarakat Tengger berbeda dengan Hindu di Bali. Perbedaannya antara lain, Hindu Tengger tidak
mengenal ngaben sebagai upacara kematian sebagaimana di Bali

1
Diluar perdebatan tersebut sebenarnya masyarakat Tengger sudah melaksanakan upacara-
upacara adat seperti upacara Karo, upacara Unan-unan, Upacara Kasada dan lain-lain. Setelah tahun
1973, ajaran Hindu yang dianut oleh masyarakat suku Tengger telah dipengaruhi oleh ajaran Hindu
Dharma Bali. Dan, saat ini agama yang ada di masyarakat Tengger mulai berkembang. Masyarakat
di wilayah Tengger tidak hanya memeluk agama Hindu. Akan tetapi, beberapa agama lain yaitu
Kristen, Katholik, Budha dan Islam. Khususnya agama Islam, perkembangannya sekarang cukup
pesat. Dibuktikan dengan banyaknya pemeluk agama tersebut. Penulis akan membahas mengenai
dua agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat suku Tengger, yaitu:

1. Hindu
Agama Hindu Dharma Bali mulai berpengaruh di kawasan Tengger. Supriyanto
dalam Malik (2007: 131) menjelaskan bahwa hal ini dapat dilihat dari pergantian salam
agama Hindu Tengger sebagaimana tersebut di atas dengan salam Hindu Tengger yang
berbunyi “Houng Ulum Basuki Langgeng” diganti dengan salam “Om Swastyastu yang
bermakna “Semoga kamu dalam keadaan baik atas karunia Hyang Widhi”. Selain itu,
menurut Simanhadi (dalam Abdullah Masmuh, 2003:108) upacara yang dilakukan
menunjukkan adanya salah satu agama Hindu. Upacara tersebut dikenal dengan upacara
Galungan dan beberapa mantra yang biasa dibaca pada setiap upacara adat. Saat ini telah
diajarkan keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berupa Panca Sradha yaitu:
1) Percaya terhadap Sang Hyang Widhi. Tuhan pencipta alam
2) Percaya kepada Atma (n) yaitu roh leluhur dan rohnya sendiri
3) Percaya adanya Karmapala, yaitu hukum sebab akibat
4) Percaya kepada Punarbawa atau reinkarnasi, manusia terikat pada hukum hidup
berkali-kali sesuai dengan dharma hidup sebelumnya.
5) Percaya terhadap Moksa atau sirno, yaitu bahwa jika manusia telah mencapai moksa,
dia tidak akan terikat kembali pada punarbawa. Manusia akan berada pada
kedamaian yang abadi.

2. Islam
Perkembangan islam di wilayah Tengger, hingga saat ini belum menemukan bukti
yang otentik. Akan tetapi, berdasarkan informasi dari berbagai pihak khususnya tokoh
masyarakat dan tokoh agama, islam masuk ke kawasan Tengger melalui tiga tahap yaitu
(Malik, 2007:151).
Tahap pertama yaitu ketika Kyai Dadap Putih beserta bala tentaranya yang
beragama Islam datang ke wilayah Tengger. Kedatangan Kyai tersebut mendapatkan
perlawanan dari pasukan yang melarikan diri dari kerajaan Majapahit. Kyai Dadap Putih dan
tentaranya kemudian tinggal di suatu bukit di sekitar desa Wonokerto yang saat ini
penduduknya beragama Islam. Terjadi permusuhan antara Kyai Dadap Putih beserta
tentaranya dengan pasukan pelarian kerajaan Majapahit yang berlangsung selama bertahun-
tahun. Permusuhan keduanya dimenangkan oleh pasukan pelarian kerajaan Majapahit,
sehingga Kyai Dadap Putih melarikan diri dan konon meninggal di daerah Blitar.
Tahap kedua, para pedagang yang berasal dari Madura datang ke wilayah Tengger.
Selain berdagang, mereka juga bertujuan untuk menyebarkan agama Islam. Awal
penyebaran agama islam terjadi di desa Wonokerto dan berjalan dengan damai. Akan tetapi,
setelah bertahun-tahun akhirnya mendapatkan perlawanan dari masyarakat Hindu. Akhir
pertentangan ini diselesaikan dengan cara adu kesaktian untuk menenntukan siapa yang
2
berhak tinggal di daerah tersebut. Mbah Raden sebagai tokoh Islam yang berjuang
menyebarkan agama memenangkan adu kesaktian tersebut. Akhirnya beliau berhak tinggal
di desa Wonokerto dan kaum agama Hindu harus meninggalkan desa.
Tahap ketiga, agama Islam disebarkan oleh guru-guru yang ditugaskan utuk
mengajar di wilayah Tengger. Walaupun awalnya guru yang ditugaskan tersebut merasa
tidak nyaman untuk tinggal, namun seiring berjalannya waktu para guru merasa terbiasa
dengan kehidupan masyarakat suku Tengger.

A. Upacara Adat
Masyarakat suku Tengger memiliki beragam jenis upacara adat yang hingga saat ini
rutin dilaksanakan. Upacara-upacara tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan
yang sedang berada di sekitar wilayah Gunung Bromo. Berikut adalah beberapa upacara
adat yang masih kerap digelar:
1. Upacara Kasada
Perayaan Kasada atau hari raya Kasada atau Kasodoan atau yang sekarang disebut
Yadnya Kasada adalah hari raya kurban orang Tengger yang diselenggarkan pada tanggal
14, 15 atau 16 bulan Kasada (Sutarto, 2006:6). Bulan purnama yang sedang menampakkan
wajahnya. Hari raya Kasada merupakan peringatan atas pesan dari leluhur suku Tengger
yaitu Raden Kusuma, anak bungsu dari Rara Anteng dan Jaka Seger yang rela berkorban
untuk kesejahteraan orang tua dan saudara-saudaranya. Pesan raden kusuma berbunyi
“dulurku sing isih urip ana ngalam donya, ngalam padang, mbesuk aku saben wulan
kasada kirimana barang samubarang sing ana rupa tuwuh, rupa sandang pangan, saanane
sandhang pangan, sing rika pangan ana ngalam donya, weruh rasane, apa sing rika suwun
mesthi keturutan kekarepane rika, ya keturutan panjaluke rika ya mesthi kinabulna”.
Terjemahan dari pesan raden kusuma tersebut adalah “Saudara-saudaraku yang masih hidup
di dunia, di alam terang, kelak setiap bulan kasada, kirimkan kepadaku hasil pertanianmu,
dan makanan yang kalian makan di dunia, agar aku dapat merasakannya. Keinginanmu dan
permintaanmu pasti ku kabulkan”.
Menurut Prof. Dr, Simanhadi Widyaprakosa, akademisi yang meneliti tengger,
dalam bukunya Masyarakat Tengger, Latar Belakang Daerah Taman Nasional Bromo,
sesajen persembahan untuk upacara Kasada disebut Ongkek terdiri dari 30 macam buah-
buahan dan kue. Ongkek inilah yang akan dibuang di kawah. Kemudian, kaum Tengger
pulang mengambil "Air Suci" dari Gowa gunung Gunung Bromo. Bahan pembuatan ongkek
diambil dari desa yang selama setahun tidak memiliki warga yang meninggal. Upacara
Kasada juga dipakai untuk mewisuda calon dukun baru. Disebut Diksa Widhi. Di samping
itu ada pula upacara penyucian umat yang disebut palukatan.

2. Upacara Karo
Bagi masyarakat Tengger, upacara Karo atau Hari Raya Karo adalah upacara yang
sangat ditunggu-tunggu. Upacara Karo juga termasuk salah satu upacara terbesar
masyarakat Tengger. Upacara Karo juga merupakan upacara besar. Paling besar setelah
Kasada. Perayaan ini hampir menyerupai Hari Raya Idul Fitri, dimana pada perayaan ini
masyarakat Tengger saling berkunjung ke rumah tetangga dan saudara-saudaranya untuk
mengucapkan selamat Hari Raya Karo dan juga bermaaf-maafan. Menurut Warouw
(2012:63) Upacara Karo bisa berlangsung selama empat belas hari sebagai serangkaian

3
ritual. Ritual tersebut diantaranya a) Resik Desa, b) Sodoran, c) Nyadran atau Sadranan, dan
d) Tari Ujung-ujungan.
Savitri (2010:11) menjelaskan bahwa Masyarakat Tengger mempercayai, pada Hari
Raya Karo inilah Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) menciptakan “Karo”, yakni dua
manusia berjenis lelaki dan perempuan sebagai leluhurnya, yakni Rara Anteng dan Jaka
Seger. Upacara Karo dilaksanakan dengan cara masyarakat Tengger mengenakan pakaian
baru, perabot baru. Makanan dan minuman melimpah pada hari raya mereka. Antarkeluarga
saling mengunjungi. Tujuan penyelenggaraan upacara karo adalah mengadakan pemujaan
terhadap Sang Hyang Widi Wasa dan menghormati leluhurnya. Memperingati asal usul
manusia. Untuk kembali pada kesucian. Untuk memusnahkan angkara murka. Upacara Karo
di Bromo selalu dihubungkan dengan Legenda Ajisaka sebagai refleksi sifat dan sikap
kejujuran sebagaimana manusia di Zaman Satya Yoga.
Sejarah upacara ini yaitu Alkisah, pada zaman dahulu (diperkirakan abad pertama
masehi), ada seorang pengembara sakti bernama Saka yang baru saja menyelesaikan
pelajaran susastra di padepokan yang dipimpin resi. Dua murid yang menyertainya adalah
Dora dan Sembada. Mereka mengembara menembus hutan belantara, singgah di tempat-
tempat suci. Akhirnya, sampailah mereka pada sebuah pulau yakni Majesti. Pulau ini sangat
indah dan menenteramkan. Karena perjalanan masih panjang sedangkan bawaan berharga
sangat banyak, Saka mengadakan undian untuk menentukan siapa yang harus menjaga
barang-barang tersebut. Ternyata yang harus menjaga barang adalah Dora. Sebelum
berangkat Ajisaka menitipkan Keris Sarutama. Ia berpesan, janganlah keris itu diberikan
pada siapa pun kecuali ia. Saka dan Sembada meneruskan perjalanan dan sampai ke Pulau
Jawa. Di pulau ini mereka bertemu suami istri yang tua dan tidak memiliki anak. Saka dan
Sembada tinggal bersama mereka dan diangkat sebagai anak.
Di Medang tempat mereka tinggal, terdapat raja raksasa bernama Dewata Cengkar,
yang memiliki kebiasaan buruk, yaitu makan daging manusia setiap hari. Rakyat harus setor
bergiliran padanya. Tiba giliran orangtua Saka untuk mengirim seorang korban. Sang ibu
akan dikorbankan karena keluarga tersebut tidak memiliki anak. Saka mendengar berita itu
dan bersedia menjadi pengganti. Berangkatlah ia ke Medang untuk menjadi korban. Sampai
di Medang, Saka diterima patih dan diantar ke Dewata Cengkar. Melihat pemuda tampan
dan sehat, bukan main senangnya Dewata Cengkar. Sebelum dijadikan korban, Saka
meminta agar kedua orangtua angkatnya diberi tanah seluas ikat kepalanya dan pemberian
itu disaksikan rakyat. Permintaan itu dikabulkan. Maka, digelarlah ikat kepala itu di atas
tanah, disaksikan banyak orang. Saka membuka lipatan ikat kepala. Ternyata lipatan itu
tidak ada habisnya, sampai di tepi laut Selatan. Dewata Cengkar tergiring terus pada
penggelaran lipatan tersebut sampai akhirnya ke sebuah mulut tebing. Jatuhlah ia.
Sepeninggal Dewata Cengkar, negara Medang dipimpin Saka dengan gelar Aji Saka. Rakyat
hidup bahagia.
Suatu hari Saka ingat meninggalkan Dora dan barang-barangnya. Diutuslah Sembada
untuk mengambil keris dan barang-barang lainnya. Sesampai di Pulau Majesti, Sembada dan
Dora saling melepas rindu. Sembada menyatakan niat kedatangannya untuk mengambil
keris dan barang-barang. Dora menolak memberikan karena ia ingat pesan Saka untuk tidak
memberikan keris itu kepada siapa pun selain Aji Saka sendiri. Terjadilah adu mulut yang
disusul perkelahian. Mereka saling tusuk tanpa mempedulikan rasa sakit. Keduanya sama
kuat, sama jaya dan pada satu titik keduanya kelelahan dan mati bersama. Setelah mati,

4
Dora roboh ke barat dan Sembada roboh ke timur. Tidak ada yang menang dan tidak ada
yang kalah. Setelah lama ditunggu muridnya tak kunjung muncul, Ajisaka sendiri menuju
Pulau Majesti. Ia melihat kenyataan dua utusannya meninggal dengan bekas tusukan Pusaka
Sarutama. Ajisaka tergerak menciptakan aksara jawa untuk memperingati pengabdian dua
muridnya. Bunyinya:
a. Hanacaraka: Ada utusan
b. Datasawala: Saling bertengkar
c. Padhajayanya: Sama-sama berjaya (kuat dan sakti)
d. Magabathanga: Mereka menjadi bangkai.

3. Upacara Unan-unan
Upacara Unan-unan berlangsung sekali dalam lima tahun dan tepat pada saat bulan
purnama. Upacara ini dimaksudkan sebagai upacara pembersihan desa dari gangguan roh
jahat dan juga untuk menyucikan arwah-arwah leluhur yang belum sempurna agar bisa
diampuni dosa-dosanya sehingga bisa ditempatkan di tempat yang sempurna, yaitu Nirwana.
Istilah Unan-unan berasal dari kata tuna yang artinya rugi. Dengan demikian, upacara Unan-
unan berarti memperbaiki kekurangan-kekurangan yang dilakukan dalam lima tahun
tersebut. Hal ini berhubungan dengan perhitungan hari orang-orang Tengger. Ada hari-hari
yang harus digabungkan sehingga dianggap rugi (Savitri, 2010:11). Dalam upacara ini selalu
diadakan penyembelihan binatang ternak yaitu Kerbau yang diberikan kepada Raksasa agar
tidak menggangu masyarakat Tengger. Kepala Kerbau dan kulitnya diletakkan diatas ancak
besar yang terbuat dari bambu, lalu diarak ke sanggar pamujan.

4. Upacara Entas-entas
Upacara Entas-entas adalah Upacara penyucian roh orang yang telah meninggal agar
bisa masuk surga. Upacara ini dilaksanakan pada seribu hari setelah kematian orang tersebut
walaupun tidak harus tepat pada hari ke seribu. Biaya yang harus dikeluarkan oleh
penyelenggara cukup mahal. Karena harus menyediakan Kerbau sebagai korban. Sebagian
daging kerbau tersebut dimakan dan sebagian dikurbankan (Sutarto, 2006:6)

5. Upacara Pujan Kapat


Upacara Pujan Kapat dilaksanakan pada tanggal 3 malam bulan keempat (papat)
menurut tahun saka. Bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta selamat kiblat,
yaitu pemujaan terhadap arah mata angin yang dilakukan bersama-sama di setiap desa
(rumah kepala desa) yang dihadiri para pini sepuh desa, dukun, dan masyarakat desa
(Savitri, 2010:12).

6. Upacara Pujan Kawolu


Penyelenggaraan upacara tersebut jatuh pada tanggal 1 bulan Kawolu (malam
tanggal 1) tahun saka. Makna ritual Pujan Kawolu tersebut adalah memberi Yadnya kepada
alam semesta (sak lumahe bumi, sak karepe langit). Yang dimaksud sak lumahing bumi,
adalah bumi, air, hewan dan api. Sedangkan sak karepe langit adalah matahari, rembulan,
bintang dan angkasa/langit. Oleh sebab itu, karena mengingat manfaat 8 unsur tadi bagi
kehidupan manusia. Masyarakat wajib mengadakan yadnya pada bulan Kawolu (Warouw,
2012:68)

5
7. Upacara Pujan Kasanga
Upacara ini jatuh pada bulan sembilan (sanga) tahun saka. Masyarakat berkeliling
desa dengan membunyikan kentongan dan membawa obor. Upacara diawali oleh para
wanita yang mengantarkan sesaji ke rumah kepala desa, untuk dimantrai oleh pendeta.
Selanjutnya pendeta dan para sesepuh desa membentuk barisan, berjalan mengelilingi desa.
Tujuan upacara ini adalah memohon kepada Sang Hyang Widi Wasa untuk keselamatan
Masyarakat Tengger (Savitri, 2010:13).

8. Upacara Pujan Mubeng


Upacara ini dilaksanakan pada Panglong Kesanga atau bulan kesembilan, yaitu pada
hari kesembilan sesudah bulan purnama. Warga Tengger, tua-muda, besar-kecil, berkeliling
desa bersama dukun mereka sambil memukul ketipung. Mereka berjalan dari batas desa
bagian timur mengelilingi empat penjuru desa. Upacara ini dimaksudkan untuk
membersihkan desa dari gangguan dan bencana. Perjalanan keliling tersebut diakhiri dengan
makan bersama di rumah dukun. Makanan yang dihidangkan berasal dari sumbangan warga
desa (Warouw, 2012:69).

9. Upacara Barikan
Diadakan setelah terjadi gempa bumi, bencana alam, gerhana, atau peristiwa lain
yang mempengaruhi kehidupan orang Tengger. Jika kejadian-kejadian alam tersebut
memberi pertanda buruk maka lima atau tujuh hari setelah peristiwa tersebut orang Tengger
mengadakan upacara barikan agar diberi keselamatan dan dapat menolak bahaya (tolak
sengkala) yang bakal datang.Sebaliknya apabila kejadian-kejadian alam tersebut menurut
ramalan berakibat baik, upacara barikan juga diadakan sebagai tanda terima kasih kepada
Hyang Maha Agung. Dalam upacara barikan seluruh warga berkumpul dipimpin oleh
kepala desa dan dukun mereka. Biaya upacara barikan ditanggung oleh seluruh warga desa
(Sutarto, 2006:10)

10. Upacara Liliwet


Upacara untuk kesejahtaraan keluarga. Upacara ini diadakan di setiap rumah
penduduk. Dalam upacara ini dukun memberi mantra seluruh bagian rumah termasuk
pekarangan agar terhindar dari malapetaka. Tempat-tempat yang diberi mantra adalah dapur,
pintu, tamping, sigiran dan empat penjuru pekarangan. Sebelum upacara liliwet diadakan
biasanya orang Tengger tidak memulai menggarap ladangnya (Sutarto, 2006:10).

Selain upacara adat di atas, masih banyak upacara adat lain yang sering dilaksanakan oleh
masyarakat Tengger, diantaranya adalah upacara Sesayut, upacara Praswala Gara, upacara
Pagruwatan, upacara Tugel Gombak dan Tugel Kuncung, upacara Tetesan Mrajakeni, upacara
Mayu Desa, dan lain-lain.

6
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Masmuh, 2003. Agama Tradisional. Yogyakarta: Lkis Yoyakarta.

Haryanto, Joko. 2014. Kearifan Lokal Pendukung Kerukunan Beragama Pada Komunitas Tengger
Malang Jatim. Jurnal. Analisa Vol. 21 No. 02. Hal 201-213 diunduh dari
https://www.researchgate.net pada 28 Juni 2019

Malik, MTT A. 2007. Pura & Masjid Konflik dan Integrasi pada Suku Tengger. Jakarta: Balai
Penelitian dan Pengembangan Agama diunduh dar www.neliti.com pada 28 Juni 2019
Savitri, Alpha. 201. Sejarah, Agama, dan Tradisi Suku Tengger Gunung Bromo. Ebook diakses dari
www.wartawarga.gunadarma.ac.id pada 29 Juni 2019
Sudiro. 2001. Legenda Dan Religi Sebagai Media Integrasi Bangsa Vol XIII No 01 Februari 2001.
Hal 100-112 diunduh dari https://journal.ugm.ac.id>article>view pada 28 Juni 2019
Sutarto, Ayu. 2006. Sekilas Tentang Masyarakat Tengger. Peneliti Tradisi, Universitas Jember
Jawa Timur. Makalah disampaikan pada acara pembekalan Jelajah Budaya 2006 yang
diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 7–10
Agustus diakses dari https://core.ac.uk>pdf pada 28 Juni 2019
Warouw, J. Nicolaas, dkk. 2012. Inventarisasi Komunitas Adat Tengger Desa Ngadisari
Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo Jawa Timur. Yogyakarta: Balai Pelestarian
Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta,.

Anda mungkin juga menyukai