PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Jati Batoro, Keajaiban Bromo Tengger Semeru (Analisis Kehidupan SUKU TENGGER-
Antropologi-Biologi di Lingkungan Bromo Tengger Semeru Jawa Timur), (Malang: UB Press, 2017),
h.2
1
Sistem kepemimpinan pada masyarakat di suku Tengger dipimpin oleh
seorang kepala desa yang dikenal dengan petinggi. Petinggi secara formal bereperan
sebagai kepala desa dalam pemerintahan formal. Petinggi dalam bekerja dibantu oleh
dukun pandhita secara informal yang bertugas sebagai pelaksana pada ritual adat,
memberi pertimbangan dan nasihat tidak hanya dalam bidang keagamaan, namun juga
pada bidang pemerintahan, pertanian, dan pembangunan yang akan dilaksanakan oleh
pemerintah desa. Transformasi kelembagaan pemerintah sepantasnya tetap
memperhatikan potensi dan eksistensi kelembagaan pemerintahan lokalitas (adat)
memperdayakan kepentingan kolaborasi secara partisipatif dalam mekanisme tata
pemerintahan yang bernafaskan kemitraan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kebudayaan Suku Tengger?
2. Bagaimana adat Istiadat Suku Tengger?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana kebudayaan Suku Tengger
2. Untuk menetahui bagaimana adat istiadat Suku Tengger
2
BAB II
PEMBAHASAN
2
Sudiro, “Legenda dan Religi Sebagai Media Integrasi Bangsa”, Humaniora. Vol. XIII, 2016,
h.101-102
3
Edi Purwanto, Skripsi:”Representasi Wong Tengger atas Perubahan Sosial dalam Perspektif
Social Theory”(Malang: UIN Malang,2010), h. 48
3
masyarakat local dan masyarakat jawa majapahit yang berpindah ke tengger
melakukan asimilasi menjadi suku Tengger.
Berdasarkan surat keputusan dari parisada Hindu Dharma provinsi jawa timur
Tanggal 6 Maret 1973 N0.00/PHBJatim/Kept/III/73 agama yang dianut oleh
masyarakat Suku Tengger adalah Hindu Dharma. Adat kepercayaan yang mereka ikut
terpengaruh paham animisme dan dinamisme serta cerita legenda (mitos), bahwa
gunung Bromo-Semeru merupakan tempat suci dan angker (keramat) yang telah
diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka. Orang Tengger percaya
kepada Sang Hyangwidi, roh para leluhur, hukum karma, punar bawa (reinkarnasi),
dan Mokhsa (Sirna).
D. Bahasa
Bahasa yang digunakan berkomunikasi sehari-hari masyarakat Tengger adalah
bahasa Jawa-Tengger. Bahasa Jawa Tengger sebagai simbol budaya yang digunakan
untuk berkomunikasi antar mereka, yaitu memakai tingkatan ngoko dan kromo.
Kromo dipergunakan terhadap orang yang lebih tua atau oarang yang sangat
dihormati sedangkan ngoko lebih bersifat kekeluargaan, biasanya digunakan ketika
berbicara dengan orang yang usianya hampir sama atau orang tua terhadap anaknya.4
E. Sistem Kepemimpinan
Ada dua model kepemimpinan di dalam masyarakat Tengger diantaranya
adalah kepemimpinan struktural formal dan kepemimpinan non formal yang
keduanya mempunyai tugas dan fungsi masing-masing. Pemimpin formal adalah
pemerintahan daerah yang berada di daerah Tengger misalnya pemerintah desa
pemimpin formalbiasa disebut Petinggi sedangkan pemimpin nonformal adalah dukun
Tengger atau biasa yang disebut dukun pandita yang berada di wilayah desa Tenger.5
Masyarakat Tengger mempunyai pemimpin formal yakni Kepala Desa dan
pemimpin nonformal yaitu Dukun adat atau biasa disebut Dukun Pandita sebagai
kepala adat Tengger. Masing-masing pemimpin mempunyai tugas sesuai dengan
fungsinya. Kepala Desa sebgai pemimpin formal mengemban tugas-tugas
pemerintahan, sedangkan Dukun adat sebagai pemimpin adat melaksanakan dan
4
Jati Batoro, Keajaiban Bromo Tengger Semeru (Analisis Kehidupan SUKU TENGGER-
Antropologi-Biologi di Lingkungan Bromo Tengger Semeru Jawa Timur), (Malang: UB Press, 2017),
h.4-5
5
Dani Harianto, “Pengembangan Laboratorium Budaya Suku Tengger Untuk mewujudkan
Pertahanan Sistem Desa yang Baik (Good Village Governance)”. Maksigama Jurnal Hukum. no. 1.
2016. h.59-60
4
menjaga tradisi budaya setempat. Dukun adat dibantu Wong Sepuh dan Legen untuk
mempersiapkan upacara adat.6
Kepala Desa yang terpilih selain dilantik oleh bupati juga dikukuhkan melalui upacara
adat, upacara adat untuk Kepala Desa yang baru merupakan upacara untuk
menyatukan antara Kepala Desa dan roh penjaga desa. Upacara ini dipimpin oleh
Dukun Panditha, setelah upacara pengukuhan barulah Kepala Desa dapat menjalankan
tugasnya sebagai pemimpin desa7
F. Adat Budaya
1. Adat Kasada
Pujan Kasada sering disebut hari raya YadNya yang dilakukan pada bulan
Kasada (bulan kedua belas kalender Tengger) tepat pada bulan purnama. Upacara
YadNya Kasada dilakukan sebagai bentuk ucapan terimakasih kepada Sang Hyang
Widhi bahwa masyarakat Tengger telah diberi kenikmatan, kesehatan, keselamatan,
kebahagiaan, rejeki dan kelimpahana hasil bumi.8
2. Adat Karo
Pujan Karo atau hari raya Karo dilakukan masyarakat Tengger untuk
pemujaan terhadap Sang Hyan Widhi, peringatan kepada roh leluhur, peringatan asal
usul manusia kembali kepada kesucian. Perayaan ini dimaknai melakukan gotong
6
Dani Harianto, “Pengembangan Laboratorium Budaya Suku Tengger Untuk mewujudkan
Pertahanan Sistem Desa yang Baik (Good Village Governance)”. h.64
7
Dani Harianto, “Pengembangan Laboratorium Budaya Suku Tengger Untuk mewujudkan
Pertahanan Sistem Desa yang Baik (Good Village Governance)”. h.62
8
Jati Batoro, Keajaiban Bromo Tengger Semeru (Analisis Kehidupan SUKU TENGGER-
Antropologi-Biologi di Lingkungan Bromo Tengger Semeru Jawa Timur), h. 14
9
Yodi Kurniadi, Adat Istiadat Masyarakat Jawa Timur, (Bandung: PT. Sarana Panca Karya Nusa,
2018), h.6
5
royong membersihkan diri, rumah (beserta lingkungan, termasuk parabot, rumah
ibadah, balai desa, Pendanyangan, Sanggar, makam ) dan lingkungan desa.
Pujan Karo dilakukan selama dua minggu meliputi : Ngumpul (musyawarah
menentukan waktu yang tepat untuk pelaksanaannya); Mepek (mencukupi
kebutuhan); Tekane Ping Pitu; Prepegan Sodoran; Sesanding; Nyadran (nyekar
makam) dan Mulihe Ping Pitu. Upacara Naydran dilakukan di tempat makam yang
dipimpin oleh ketua adat yang mendapatkan wejangan tentag kehidupan manusia
mulai dari awal kelahiran hingga kematian. Setelah acara Nyadran dilanjutkan dengan
acara selametan dilengkapi tari tayup dirumah Petinggi serta tari ujung-ujungan.10
3. Adat Unan-Unan
4. Adat Entas-Entas
10
Jati Batoro, Keajaiban Bromo Tengger Semeru (Analisis Kehidupan SUKU TENGGER-
Antropologi-Biologi di Lingkungan Bromo Tengger Semeru Jawa Timur), h.18
11
Yodi Kurniadi, Adat Istiadat Masyarakat Jawa Timur, h. 9
12
Yodi Kurniadi, Adat Istiadat Masyarakat Jawa Timur, h. 10
13
Jati Batoro, Jati Batoro, Keajaiban Bromo Tengger Semeru (Analisis Kehidupan SUKU
TENGGER-Antropologi-Biologi di Lingkungan Bromo Tengger Semeru Jawa Timur), h.18
6
entas dimaksudkan untuk menyucikan atman orang yang telah meninggal dunia agar
masuk surga.14
Setiap tahapan kehidupan manusia melalui beberapa ritual adat. Pada tahapan
siklus kehidupan yang pertama ada beberapa ritual adat yaitu:
a. Upacara Sayut, Upacara Sayut dilakukan saat bayi berumur tujuh bulan di dalam
kandungan, hal ini dimaksudkan agar bayi yang akan lahir dalam keadaan
selamat.
b. Upacara Kekerik, Upacara kekerik artinya terimakasih kepada Sang Hyang Widhi
bayi yang dikandung selamat.
c. Upacara Tugul Kuncung, Yaitu upacara yang dilaksanakan dengan sedikit
pemotongan rambut anak yang berusia empat tahun, upacara tersebut
dimaksudkan menjauhkan dari sangkala, karena usia manusia mulat akil baligh.
14
Chanang, Upacara Pemakaman Adat di Indonesia, (Jakarta: MULTIKREASI SATUDELAPAN,
2010), h. 116
7
2. Perkawinan
Istilah perkawinan orang Tengger disebut Walagara. Dalam acara perkawinan
para Legen yang mempersiapkan sesajen dalam hal acara adat berkaitan dengan acara
perkawinan, sedangkan Dukun Pandita memimpin upacara pada waktu acara
Walagara.
3. Kematian
Masyrakat Tengger, seperti halnya suku Jawa mempunyai tempat atau area
pemakaman yang dianggap sakral. Penguburan mayat dilakukan dengan cara dipikul
dengan Bandhusa, sedangkan penguburannya, kepala menghadap selatan atau timur
searah Gunung Bromo. Sedekah penguburan dilakukan Dukun dibantu Wong sepuh.
H. Filosofi Hidup Suku Tengger
Masyarakat Tengger menganut Filsafat hidup atau Kwarih Budha
(pengetahuan Watak) yaitu Prasaja berarti jujur, Prayoga berarti senantiasa bijaksana ,
Pranata berarti patuh terhadap pimpinan, Prasetya berarti setya, Prayitna berarti
waspada. Modal Sosial Suku Tengger berupa tradisi adalah: Mengedepankan
Musyawarah, Berlandaskan sikap hidup welas asih, Takut terhadap hukum karma,
Sayan (Gotong Royong). Sikap dan pandangan kehidupan Suku Tengger adalah:
waras (sehat), wareg (kenyang), wastra (pakaian), wisma (rumah) dan widya
(pengetahuan).15
15
Jati Batoro, Keajaiban Bromo Tengger Semeru (Analisis Kehidupan SUKU TENGGER-
Antropologi-Biologi di Lingkungan Bromo Tengger Semeru Jawa Timur), h.7
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Suku Tengger
mempunyai modal sosial, seperti nilai-nilai adat, aturan-aturan yang dipakai setiap
individu sebagai pedoman untuk membentuk perilakunya sehari-hari
Masyarakat Tengger dikenal sebagai masyarakat yang kuat dalam memegang
nilai-nilai hakiki yang luhur sebagai warisan nenek moyang dan mereka juga masih
mempercayai adanya roh leluhur di sekitar meeaka yang mempengaruhi hidup
mereka. Keberadaan roh leluhur tersebut perlu diakui dan dihormati.
B. Saran
9
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Batoro, Jati. (2017). Keajaiban Bromo Tengger Semeru (Analisis Kehidupan SUKU
MULTIKREASISATUDELAPAN
Kurniadi ,Yodi. (2018). Adat Istiadat Masyarakat Jawa Timur. Bandung: PT. Sarana Panca
Karya Nusa.
Jurnal
Sudiro. 2016. “Legenda dan Religi Sebagai Media Integrasi Bangsa”, Humaniora. Vol. XIII
10