Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak keberagaman dari budaya,


suku bangsa, agama, hingga aliran-aliran kepercayaan. Semua keberagaman itu
tumbuh di dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang akhirnya membentuk
masyarakat Indonesia menjadi masyrakat yang plural.

Masyarakat Indonesia yang majemuk terdiri dari berbagai budaya, karena


adanya kegiatan dan pranata khusus. Perbedaan ini justru berfungsi mempertahankan
identitas diri dan intergrasi sosial masyarakat tersebut.
Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial, agama dan suku sudah ada sejak
jaman dahulu. Keragaman budaya yang dapat hidup berdampingan merupakan
kekayaan yang ada di dalam khasanah budaya di Indonesia. Keanekaragaman
kebudayaan di Indonesia sangatlah bervariasi, keragaman kebudayaan Indonesia
adalah keniscayaan yang ada di Bumi Indonesia.
Di Indonesia sendiri terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa.
Menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah suku yang ada di Indonesia
terdapat 1.340 suku bangsa. Berbagai kawasan di Indonesia memiliki suku asli atau
suku pribumi yang menghuni tanah leluhurnya sejak dahulu kala. Pada pulau jawa
terdapat beberapa suku yang bebeda diantaranya adalah suku banten, suku betawi,
suku Cirebon, suku sunda (termasuk suku baduy), dan suku jawa (termasuk
didalamnya suku banyumasan, suku bawean, dan suku Tengger).
Masyarakat Tengger Merupakan penduduk asli Jawa, menempati wilayah
pegunungan Bromo Tengger Semeru Jawa Timur. Masyarakat tersebut dikenal
masyarakat suku (tribal people), penduduk lokal (native people), tradisional
(indigeneous people), karena bentuk kehidupan yang masih sederhana dan tradisional,
sifat masyarakat yang sederhana tersebut mengindikasikan kehidupan kehidupan
masih sederhana dan kuat memegang teguh adat budaya leluhurnya.1

1
Jati Batoro, Keajaiban Bromo Tengger Semeru (Analisis Kehidupan SUKU TENGGER-
Antropologi-Biologi di Lingkungan Bromo Tengger Semeru Jawa Timur), (Malang: UB Press, 2017),
h.2

1
Sistem kepemimpinan pada masyarakat di suku Tengger dipimpin oleh
seorang kepala desa yang dikenal dengan petinggi. Petinggi secara formal bereperan
sebagai kepala desa dalam pemerintahan formal. Petinggi dalam bekerja dibantu oleh
dukun pandhita secara informal yang bertugas sebagai pelaksana pada ritual adat,
memberi pertimbangan dan nasihat tidak hanya dalam bidang keagamaan, namun juga
pada bidang pemerintahan, pertanian, dan pembangunan yang akan dilaksanakan oleh
pemerintah desa. Transformasi kelembagaan pemerintah sepantasnya tetap
memperhatikan potensi dan eksistensi kelembagaan pemerintahan lokalitas (adat)
memperdayakan kepentingan kolaborasi secara partisipatif dalam mekanisme tata
pemerintahan yang bernafaskan kemitraan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kebudayaan Suku Tengger?
2. Bagaimana adat Istiadat Suku Tengger?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana kebudayaan Suku Tengger
2. Untuk menetahui bagaimana adat istiadat Suku Tengger

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Suku Tengger


Nama Tengger diambil dari tokoh legenda yang bernama Roro Anteng (Teng)
dan Joko Seger (Ger), yang kemudian dipadukan menjadi Tengger. Peranan Roro
Anteng dan Joko Seger sangat melekat pada hati masyarakat Tengger sehingga
keduanya tidak dianggap legenda lagi, tetapi sebagai cikal bakal atau yang
menurunkannya. Nama Tengger pun beraasal dari kata Tengering Budi Luhur nama
itu dapat mencerminkan masyarakat tengger yang hidup sederhana, tentram, damai,
bergotong royong dan suka bekerja keras.2
Legenda Tengger mengisahkan Roro Anteng, putri raja Brawijaya dari
kerajaan Majapahit yang bertemu dengan Joko Seger, seorang putra Brahmana dari
Kediri, selanjutnya mereka berdua menjadi suami istri dan akhirnya ditetapkan
sebagai cikal bakala atau pendiri masyarakat Tengger.
Menurut Robert Hefner masyarakat Tengger tumbuh dan berkembang seiring dengan
runtuhnya Kerajaan Majapahit oleh Demak. Setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit
diawal abad XVI M, sebagian penduduk yang beragama Hindu melarikan diri ke Bali,
sementara sejumlah kecil mengasingkan diri ke Pegunungan Tengger.3
B. Letak Geografis
Masyarakat Tengger tonggal di lereng Pegunungan Bromo, Tengger, Semeru
yang letaknya berada 1000-3676 mdpl. Secara administrattif pegunungan Bromo
Tengger Semeru terletak di daerah pertemuan empat Kabupaten di Provinsi Jawa
Timur, yaitu Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Pasuruan dan
Kabupaten Malang.
C. Agama dan Kepercayaan Suku Tengger
Pada awalnya masyarakat suku tengger mempunyai faham kepercayaan
animisme dan dinamisme, dimana sebagian kepercayaan tersebut masih
dipertahankan. Perkembangan agama hindu dan budha mulai mewarnai masyarakat
tengger pada zaman kerajaan Majapahit dengan corak lokal. Hal ini dapat dimengerti

2
Sudiro, “Legenda dan Religi Sebagai Media Integrasi Bangsa”, Humaniora. Vol. XIII, 2016,
h.101-102
3
Edi Purwanto, Skripsi:”Representasi Wong Tengger atas Perubahan Sosial dalam Perspektif
Social Theory”(Malang: UIN Malang,2010), h. 48

3
masyarakat local dan masyarakat jawa majapahit yang berpindah ke tengger
melakukan asimilasi menjadi suku Tengger.
Berdasarkan surat keputusan dari parisada Hindu Dharma provinsi jawa timur
Tanggal 6 Maret 1973 N0.00/PHBJatim/Kept/III/73 agama yang dianut oleh
masyarakat Suku Tengger adalah Hindu Dharma. Adat kepercayaan yang mereka ikut
terpengaruh paham animisme dan dinamisme serta cerita legenda (mitos), bahwa
gunung Bromo-Semeru merupakan tempat suci dan angker (keramat) yang telah
diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka. Orang Tengger percaya
kepada Sang Hyangwidi, roh para leluhur, hukum karma, punar bawa (reinkarnasi),
dan Mokhsa (Sirna).
D. Bahasa
Bahasa yang digunakan berkomunikasi sehari-hari masyarakat Tengger adalah
bahasa Jawa-Tengger. Bahasa Jawa Tengger sebagai simbol budaya yang digunakan
untuk berkomunikasi antar mereka, yaitu memakai tingkatan ngoko dan kromo.
Kromo dipergunakan terhadap orang yang lebih tua atau oarang yang sangat
dihormati sedangkan ngoko lebih bersifat kekeluargaan, biasanya digunakan ketika
berbicara dengan orang yang usianya hampir sama atau orang tua terhadap anaknya.4
E. Sistem Kepemimpinan
Ada dua model kepemimpinan di dalam masyarakat Tengger diantaranya
adalah kepemimpinan struktural formal dan kepemimpinan non formal yang
keduanya mempunyai tugas dan fungsi masing-masing. Pemimpin formal adalah
pemerintahan daerah yang berada di daerah Tengger misalnya pemerintah desa
pemimpin formalbiasa disebut Petinggi sedangkan pemimpin nonformal adalah dukun
Tengger atau biasa yang disebut dukun pandita yang berada di wilayah desa Tenger.5
Masyarakat Tengger mempunyai pemimpin formal yakni Kepala Desa dan
pemimpin nonformal yaitu Dukun adat atau biasa disebut Dukun Pandita sebagai
kepala adat Tengger. Masing-masing pemimpin mempunyai tugas sesuai dengan
fungsinya. Kepala Desa sebgai pemimpin formal mengemban tugas-tugas
pemerintahan, sedangkan Dukun adat sebagai pemimpin adat melaksanakan dan

4
Jati Batoro, Keajaiban Bromo Tengger Semeru (Analisis Kehidupan SUKU TENGGER-
Antropologi-Biologi di Lingkungan Bromo Tengger Semeru Jawa Timur), (Malang: UB Press, 2017),
h.4-5
5
Dani Harianto, “Pengembangan Laboratorium Budaya Suku Tengger Untuk mewujudkan
Pertahanan Sistem Desa yang Baik (Good Village Governance)”. Maksigama Jurnal Hukum. no. 1.
2016. h.59-60

4
menjaga tradisi budaya setempat. Dukun adat dibantu Wong Sepuh dan Legen untuk
mempersiapkan upacara adat.6
Kepala Desa yang terpilih selain dilantik oleh bupati juga dikukuhkan melalui upacara
adat, upacara adat untuk Kepala Desa yang baru merupakan upacara untuk
menyatukan antara Kepala Desa dan roh penjaga desa. Upacara ini dipimpin oleh
Dukun Panditha, setelah upacara pengukuhan barulah Kepala Desa dapat menjalankan
tugasnya sebagai pemimpin desa7
F. Adat Budaya
1. Adat Kasada
Pujan Kasada sering disebut hari raya YadNya yang dilakukan pada bulan
Kasada (bulan kedua belas kalender Tengger) tepat pada bulan purnama. Upacara
YadNya Kasada dilakukan sebagai bentuk ucapan terimakasih kepada Sang Hyang
Widhi bahwa masyarakat Tengger telah diberi kenikmatan, kesehatan, keselamatan,
kebahagiaan, rejeki dan kelimpahana hasil bumi.8

Upacara dilakukan berdasarkan pesan pada mitos Raden Kusuma puterra


bungsu Joko Seger dan Roro Anteng untuk memenuhi janji orang tuanya. Dalam
sejarah Kasada diriwayatkan Joko Seger dan Roro Anteng berdoa di Gunung Bromo
memohon agar diberi banyak anak sehingga berputera berjumlah dua puluh lima
orang. Dalam semedinya Joko Seger menerima wangsit jika janjinya terkabul maka
putera bungsu akan dikorbankan di kawah Gunung Bromo. Namun Joko Seger dan
Roro Anteng sangat bersedih karena ingat akan janjinya, dan tak ingin mengorbankan
anaknya, Raden Kusuma mengetahi hal itu dan akhirnya dia bersedia dikorbankan di
kawah gunung bromo dengan satu permintaan yaitu saudara-saudaranya, anak
cucunya memberikan kurban ke kawah gunung bromo.9

2. Adat Karo
Pujan Karo atau hari raya Karo dilakukan masyarakat Tengger untuk
pemujaan terhadap Sang Hyan Widhi, peringatan kepada roh leluhur, peringatan asal
usul manusia kembali kepada kesucian. Perayaan ini dimaknai melakukan gotong
6
Dani Harianto, “Pengembangan Laboratorium Budaya Suku Tengger Untuk mewujudkan
Pertahanan Sistem Desa yang Baik (Good Village Governance)”. h.64
7
Dani Harianto, “Pengembangan Laboratorium Budaya Suku Tengger Untuk mewujudkan
Pertahanan Sistem Desa yang Baik (Good Village Governance)”. h.62
8
Jati Batoro, Keajaiban Bromo Tengger Semeru (Analisis Kehidupan SUKU TENGGER-
Antropologi-Biologi di Lingkungan Bromo Tengger Semeru Jawa Timur), h. 14
9
Yodi Kurniadi, Adat Istiadat Masyarakat Jawa Timur, (Bandung: PT. Sarana Panca Karya Nusa,
2018), h.6

5
royong membersihkan diri, rumah (beserta lingkungan, termasuk parabot, rumah
ibadah, balai desa, Pendanyangan, Sanggar, makam ) dan lingkungan desa.
Pujan Karo dilakukan selama dua minggu meliputi : Ngumpul (musyawarah
menentukan waktu yang tepat untuk pelaksanaannya); Mepek (mencukupi
kebutuhan); Tekane Ping Pitu; Prepegan Sodoran; Sesanding; Nyadran (nyekar
makam) dan Mulihe Ping Pitu. Upacara Naydran dilakukan di tempat makam yang
dipimpin oleh ketua adat yang mendapatkan wejangan tentag kehidupan manusia
mulai dari awal kelahiran hingga kematian. Setelah acara Nyadran dilanjutkan dengan
acara selametan dilengkapi tari tayup dirumah Petinggi serta tari ujung-ujungan.10
3. Adat Unan-Unan

Upacara Unan-unan adalah tradisi membuat ayu (mempercantik) Lumahing


Bumi (permukaan bumi) dan kureping langit (di bawah langit) yang digelar 5 tahun
sekali upacara ini di pimpin oleh seorang dukun pandita.11

Upacara Unan-unan adalah upacara yag diselenggarakan setiap sewindu


sekali, sewindu dalam kalender masyarakat Tengger bukan delpan tahun akan tetapi
lima tahun. Upacara tersebut dimaksudkan untuk membersihkan desa dari gangguan
makhluk halus dan menyucikan arwah-arwah yang belum sempurna, agar dapat
kembali ke alam asal yang sempurna, yaitu nirwana. 12

Upacara Unan-unan dilakukan dilakukan di tempat sakral khususnya Sanggar


Pamujan dengan binatang korban binatang khusus yaitu binatang kerbau. Mitos unan-
unan juga sebagai persembahan terhadap Buta Kala agar masyarakat terhindar dari
gangguan, penyucian dari kegelapan. Dalam upacara, dukun pandita yang memimpin
prosesi unan-unan membacakan mantra dalam bahasa Sansekerta. 13

4. Adat Entas-Entas

Ritual adat Entas-Entas secara khusus dilaksanakan untuk menyucikan atman


(roh) orang yang telah meninggal dunia, yaitu pada hari keseribu. Upacara Entas-

10
Jati Batoro, Keajaiban Bromo Tengger Semeru (Analisis Kehidupan SUKU TENGGER-
Antropologi-Biologi di Lingkungan Bromo Tengger Semeru Jawa Timur), h.18
11
Yodi Kurniadi, Adat Istiadat Masyarakat Jawa Timur, h. 9
12
Yodi Kurniadi, Adat Istiadat Masyarakat Jawa Timur, h. 10
13
Jati Batoro, Jati Batoro, Keajaiban Bromo Tengger Semeru (Analisis Kehidupan SUKU
TENGGER-Antropologi-Biologi di Lingkungan Bromo Tengger Semeru Jawa Timur), h.18

6
entas dimaksudkan untuk menyucikan atman orang yang telah meninggal dunia agar
masuk surga.14

Upacara dilakukan dengan menyembelih kerbau sebagai korban persembahan


kepada Sang Hyang Widhi. Pada pelaksanaan upacara si mati dihadirkan kembali
dalam bentuk boneka yakni petra. Petra adalah orang-orangan yang atau boneka yang
terbuat dari daun kenikir , boneka petra tersebut diberi pakaian dan ritual adat diketuai
oleh Dukun Panditha.

G. Adat Berkaitan Siklus Kehidupan


Perubahan dalam siklus hidup manusia merupakan tanda alam yang harus
diberi tanda khusus untuk menghindari sangkala atau hal yang buruk. Hubungan
antara alam, jasmani dan alam kelanggengan merupakan hubungan yang sangat
berkaitan. Oleh sebab itu suku Tengger mengapresiasikan dalam bentuk kegiatan doa,
sesajen yang pada hakekatnya agar manusia diberi keselamatan dunia dan alam
kelanggengan. Dalam Suku Tengger siklus kehidupan manusia dibagi
menjadi tiga tahap meliputi semasa bayi dalam kandungan sampai berumur sebelum
perkawinan (7 bulan-13 tahun), tahap perkawinan dan tahap kematian. Pada setiap
tahapan ritual adat dipimpin oleh Dukun Pandita dan dibantu Legen dan Wong Sepuh.
1. Kelahiran dan Masa Anak

Setiap tahapan kehidupan manusia melalui beberapa ritual adat. Pada tahapan
siklus kehidupan yang pertama ada beberapa ritual adat yaitu:

a. Upacara Sayut, Upacara Sayut dilakukan saat bayi berumur tujuh bulan di dalam
kandungan, hal ini dimaksudkan agar bayi yang akan lahir dalam keadaan
selamat.
b. Upacara Kekerik, Upacara kekerik artinya terimakasih kepada Sang Hyang Widhi
bayi yang dikandung selamat.
c. Upacara Tugul Kuncung, Yaitu upacara yang dilaksanakan dengan sedikit
pemotongan rambut anak yang berusia empat tahun, upacara tersebut
dimaksudkan menjauhkan dari sangkala, karena usia manusia mulat akil baligh.

14
Chanang, Upacara Pemakaman Adat di Indonesia, (Jakarta: MULTIKREASI SATUDELAPAN,
2010), h. 116

7
2. Perkawinan
Istilah perkawinan orang Tengger disebut Walagara. Dalam acara perkawinan
para Legen yang mempersiapkan sesajen dalam hal acara adat berkaitan dengan acara
perkawinan, sedangkan Dukun Pandita memimpin upacara pada waktu acara
Walagara.
3. Kematian
Masyrakat Tengger, seperti halnya suku Jawa mempunyai tempat atau area
pemakaman yang dianggap sakral. Penguburan mayat dilakukan dengan cara dipikul
dengan Bandhusa, sedangkan penguburannya, kepala menghadap selatan atau timur
searah Gunung Bromo. Sedekah penguburan dilakukan Dukun dibantu Wong sepuh.
H. Filosofi Hidup Suku Tengger
Masyarakat Tengger menganut Filsafat hidup atau Kwarih Budha
(pengetahuan Watak) yaitu Prasaja berarti jujur, Prayoga berarti senantiasa bijaksana ,
Pranata berarti patuh terhadap pimpinan, Prasetya berarti setya, Prayitna berarti
waspada. Modal Sosial Suku Tengger berupa tradisi adalah: Mengedepankan
Musyawarah, Berlandaskan sikap hidup welas asih, Takut terhadap hukum karma,
Sayan (Gotong Royong). Sikap dan pandangan kehidupan Suku Tengger adalah:
waras (sehat), wareg (kenyang), wastra (pakaian), wisma (rumah) dan widya
(pengetahuan).15

15
Jati Batoro, Keajaiban Bromo Tengger Semeru (Analisis Kehidupan SUKU TENGGER-
Antropologi-Biologi di Lingkungan Bromo Tengger Semeru Jawa Timur), h.7

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Suku Tengger
mempunyai modal sosial, seperti nilai-nilai adat, aturan-aturan yang dipakai setiap
individu sebagai pedoman untuk membentuk perilakunya sehari-hari
Masyarakat Tengger dikenal sebagai masyarakat yang kuat dalam memegang
nilai-nilai hakiki yang luhur sebagai warisan nenek moyang dan mereka juga masih
mempercayai adanya roh leluhur di sekitar meeaka yang mempengaruhi hidup
mereka. Keberadaan roh leluhur tersebut perlu diakui dan dihormati.
B. Saran

Demikian makalah yang penulis paparkan. Mudah-mudahan dapat bermanfaat


bagi kita semua, khususnya bagi pembaca. Dan tidak lupa kritik dan sarannya sangat
kami harapkan untuk memperbaiki pembuatan makalah selanjutnya.
Apabila terdapat kesalahandalam penulisan serta kurangnya pengetahuan kami
mohon maaf, dan sesungguhnya kebenaran hanyalah dari Allah SWT. Semoga
bermanfaat, Amin.

9
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Batoro, Jati. (2017). Keajaiban Bromo Tengger Semeru (Analisis Kehidupan SUKU

TENGGER-Antropologi-Biologi di Lingkungan Bromo Tengger Semeru Jawa


Timur). Malang: UB Press

Chanang. (2016). Upacara Pemakaman Adat di Indonesia. Jakarta:

MULTIKREASISATUDELAPAN

Kurniadi ,Yodi. (2018). Adat Istiadat Masyarakat Jawa Timur. Bandung: PT. Sarana Panca

Karya Nusa.

Jurnal

Harianto, Dani. 2016. Pengembangan Laboratorium Budaya Suku Tengger Untuk

mewujudkan Pertahanan Sistem Desa yang Baik (Good Village Governance) .


Maksigama Jurnal Hukum. no. 1

Sudiro. 2016. “Legenda dan Religi Sebagai Media Integrasi Bangsa”, Humaniora. Vol. XIII

10

Anda mungkin juga menyukai