Anda di halaman 1dari 8

NAMA: I KADEK NGETIS JULIAWAN

NIM: 230050043

JURUSAN S1 BISNIS DIGITAL

MAKALAH

HARMONI YADNYA KARO SUKU TENGGER SEBAGAI PENCERMINAN HIDUP


BERKEBINNEKAAN

LATAR BELAKANG

Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi bhineka tunggal ika. Semboyan
tersebut merupakan bentuk dari sebuah kerukunan umat beragama yang ada di Indonesia. Hal itu
dapat menjadi sebuah pilar dalam memelihara bentuk rasa kerukunan dan keutuhan suatu bangsa.
Bangsa yang baik dan kuat adalah bangsa yang mempunyai pondasi dari suku,ras, adat istiadat
dan agama. Maka apabila sebuah pondasi bangsa tersebut tidak bagus bahkan tidak
kuat,bangsa Indonesia sangat dengan mudah untuk diadu domba hingga terjadinya
perpecahan yang terjadi dari bebagai macam konflik–konflik yang terjadi pada saat ini.
Indonesia adalah negara yang sangat unik, keunikan dari bangsa Indonesia sendiri dapat dilihat
dari rasa toleransi yang tinggi.

Kerukunan antar umat Beragama diciptakan agar tidak terjadi tegang rasa, serta
permusuhan baik dari intern agama maupun dari umat beragama yang lain. Kerukunan umat
beragama sendiri dapat diartikan dengan kondisi sosial dimana semua pemeluk agama dapat
hidup secara berdampingan dalam satu tempat tanpa mengurangi kewajiban dan hak masing-
masing pemeluk agama. Kerukunan merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat ditundatunda
lagi. Tercapainya suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat. Hal ini terwujud dalam rasa
saling menghormati antar pemeluk agama. Kebebasan dalam memeluk agama dan melakukan
ibadah sesuai dengan keyakinan masing- masing dan tidak memaksakan keyakinan terhadap
pemeluk agam lain dengan saling mempercayai antar sesama baik intern maupun eksteren
pemeluk agama dengan pemerintah demi terwujudnya masyarakat yang harmonis serta
bertanggung jawab untuk menjaga agama dan bangsa.

Berangkat dari gambaran diatas dapat terdapat suatu hal yang menarik untuk dikaji dan
diteliti terkait kerukunan umat beragama di Suku Tengger (Suku yang hidup dan tinggal dibawah
lereng Gunung Semeru, penyebarannya terdapat di empat wilayah kabupaten yakni: Kabupaten
Pasuruan, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Probolinggo dan Malang). Masyarakat suku tengger
sangat menjunjung tinggi nilai keluuhuran dan sangat menghormati adat serta Dukun (Pemimpin
Umat) dari pada pimpinan pemerintah.

Masyarakat suku Tengger dalam adat tradisi maupun agama dipupuk dengan pandangan
saling menghargai sebagai usaha mereduksi isu intoleransi serta ketegangan. Tokoh agama
merupakan agen sosial dalam kerangka menjaga kedamaian yang sudah terjalin. Tokoh agama
harus mempunyai cara pandang ideal serta berkeadilan dalam wawasan kemajemukan, sehingga
adanya keragaman yang terjadi didalam masyarakat tidak memunculkan bilik pembatas, fanatik
agama, konflik sipil maupun asimetris sistem antara golongan mayoritas maupun minoritas.
Berkaca dari tinjauan diatas, artikel ini ditulis dalam fokus untuk mengetahui bagaimana
mempertahankan kehidupan toleransi beragama suku Tengger Bromo melalui peran tokoh
agama. Mengingat, keragaman kehidupan suku Tengger Bromo cukup kompleks serta tidak
homogen dalam sebuah keyakinan agama, tetapi disisi lain solidaritas serta toleransi
masyarakatnya tetap terjaga, damai serta dikembangkan dengan baik. Terlebih lagi, perwujudan
dalam orientasi hubungan antar umat beragama yang tercipta, minim kritik perdebatan. toleransi
masyarakatnya tetap terjaga, damai serta dikembangkan dengan baik. Terlebih lagi, perwujudan
dalam orientasi hubungan antar umat beragama yang tercipta, minim kritik perdebatan.

PEMBAHASAN

A. Masyarakat Suku Tengger


Suku tenger adalah masyarakat yang tinggal dipermukiman wilayah kaki gunung
Semeru dan disekitar wilayah lereng Gunung Bromo, yang terletak di Kabupaten
Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Malang. 17
Tengger diartikan sebagai Tenggiring Budhi Luhur yang berarti sifat dan budi luhur yang
masih melekat dan di praktikkan sampai sekarang sebagai warisan leluhur dan hukum
adat, menurut masyarakat tengger kata tengger berasal dari mitos yang beredar berasal
dari kisah sepasang suami istri Roro Ateng dan Joko Seger yang pertama kali menduduki
wilayah tengger. Dalam legenda, sepasang suami istri tersebut memiliki keturunan 25
anak, salah satu putranya bernama Anak bungsu yang bernama Raden Kusuma, beliau
ngemasi labet lakone/menjaga dan meneruskan perjalanan Hyang Bhatara Brahma untuk
meneruskan kehidupan, keselamatan anak cucu/sarwa prani dan ketentraman alam.
Kata Bhatara Brahma sekarang jadi Bromo.. Tengger berasal dari kata Teng
(Anteng) dan ger (Seger) yang berarti masyarakat yang tidak banyak tingkah dan tidak
mudah terusik.
Sebagian besar masyarakat suku tengger menganut 4 agama resmi dari 6 agama
resmi di Indonesia yaitu islam, Kristen, hindu, dan budha. Pada umumnya, masyarakat
suku tengger adalah masyarakat yang dikenal dengan gotong royong. Masyarakat tengger
mempunyai salah satu kepribadian dengan masyarakat murah senyum dan taat.
Masyarakat suku tengger sangat dikenal dengan rasa kegigihannya merawat, memelihara,
dan melestarikan warisan tradisi dalam adat yang telah diwariskan oleh para leluhur yaitu
roro anteng dan joko seger. Dukun adat mempunyai peran penting dalam hal memimpin
upacara adat seperti upacara yadnya kasada, yadnya karo, perkawinan, kelahiran bayi,
kematian, serta kegiatan adat lainnya.
B. Upacara Yadnya Karo Masyarakat Suku Tengger
Beberapa Upacara adat suku Tengger adalah sebagai berikut: Hari Raya Karo,
Yadnya Kasada dan Unan-Unan, upacara adat yang berhubungan dengan siklus
kehidupan seseorang, seperti: kelahiran (upacara sayut, cuplak puser, tugel kuncung),
menikah (upacara walagara), kematian (entas-entas dll), upacara adat yang berhubungan
dengan siklus pertanian, mendirikan rumah, dan gejala alam seperti leliwet dan barikan.
Ritual upacara Adat Karo sendiri dipimpin oleh beberapa Ratu yang telah ditunjuk oleh
mereka. Kata Ratu sendiri di mata masyarakat Tengger berarti pemimpin dan sama sekali
tidak berkonotasi perempuan. Jadi Ratu dalam hal ini adalah pemimpin yang bisa saja
berkelamin laki-laki. Ritual karo sendiri dibuka dengan pertemuan kedua orang Ratu
dalam sebuah tempat yang nantinya akan dipakai sebagai tempat berlangsungnya
upacara. Pertemuan kedua ratu ini menjadi tanda dimulainya Upacara Sodoran, salah satu
bagian dari rangkaian Karo. Perjumpaan tersebut melambangkan bersatunya roh leluhur,
cikal bakal manusia, yakni laki-laki dan perempuan.
Sambil bergandengan tangan, kedua ratu memasuki tempat tersebut. Dalam ritual
ini yang boleh mengikuti jalannya upacara hanya kaum laki-laki saja dan kaum
perempuan sama sekali tidak diperbolehkan mengikutinya. Dan setelah semua hadirin
dipastikan telah hadir semua maka upacara ini pun dibuka dengan pembacaan mantera
yang dilakukan oleh kedua Ratu mereka untuk mensucikan tempat dimana upacara itu
berlangsung. Setelah itu barulah diadakan upacara memandikan Jimat Kelontongan
diiringi dengan tarian sodor. Jimat kelontongan sendiri merupakan sekumpulan benda
keramat. Sedangkan tarian sodor adalah sebuah tarian yang dilakukan oleh 4 orang secara
bergiliran (dari semula hanya satu penari kemudian secara simultan bertambah hingga
kemudian genap menjadi 4 penari dan saling berpasangan satu sama lain) yang
melambangkan pertambahan generasi masyarakat Karo dari waktu ke waktu.
Sementara upacara sodoran ini hampir usai di luar kaum ibu-ibu beserta anak
mereka pun mulai berdatangan sambil membawa makanan buat suami dan ayah mereka
yang sedang melakukan upacara sodoran. Mungkin inilah alasan kenapa selama
berlangsungnya acara sodoran ini kaum perempuan tidak diperbolehkan ikut, karena
mereka harus menyiapkan makanan yang akan disantap oleh suami dan ayah mereka
seusai upacara selesai.
Pada sore harinya secara marathon upacara sodoran ini pun dilanjutkan dengan
upacara tumpeng gede untuk mengungkapkan perasaan syukur mereka dangan hasil
panen yang melimpah dan dianugerahi tanah yang subur. Tumpeng-tumpeng ini
dikumpulkan dari warga, lalu dimantrakan oleh dukun adat desa setempat. Tumpeng
yang sudah dimantrai, dibagi-bagikan kepada warga untuk digunakan dalam ritual
selanjutnya, Sesandingan. Ritual Sesandingan inilah yang diyakini masyarakat Tengger
sebagai Puncak Karo.
Begitu upacara tumpeng gedhe selesai pada keesokan harinya warga pun
menggelar upacara Sesandingan di rumah masing-masing yang bertujuan untuk
memberikan makanan atau dedaharan kepada leluhur mereka. Yang unik dari upacara ini
adalah upacara itu harus dipimpin oleh dukun adat mereka masing-masing yang dalam
satu desa atau Hila-hila biasanya hanya terdapat satu dukun adat saja. Bayangkan, ang
dukun harus mendatangi rumah warganya satu persatu untuk memimpin upacara tersebut.
Maka dari itu tak heran kiranya jika satu dukun dalam masyarakat Tengger dalam
upacara ini harus berkeliling mendatangi rumah warganya satu persatu memakan waktu
hingga 15 jam nonstop. Padahal tugasnya tidak berhenti pada ritual Sesandingan, tapi
berlanjut hingga akhir acara Karo. Yang perlu anda tahu, untuk menjadi dukun adat ini
seseorang setidaknya harus menghafal sekitar 90 bab mantra, yang berbahasa Jawa Kuno.
Mungkin itulah sebabnya, sosok dukun adat yang begitu sentral perannya dalam
masyarakat Tengger tak banyak yang mampu melakoninya.

Baru setelah acara puncak sesandingan selesai, pada hari keempat dan kelima
masyarakat Tengger berkeliling kampung untuk bersilaturahmi dengan sanak kerabat
mereka layaknya hari lebaran pada agama-agama lainnya berikut sowan ke kuburan
untuk nyekar kepada makam leluhur dan anggota keluarga mereka yang telah meninggal.
Berziarah ke makam leluhur atau nyadran, adalah bagian dari ritual Karo yang dilakukan
sehari sebelum ritual penutup, yakni hari ke-6. Makam pertama yang didatangi adalah
makam kramat Sang Eyang Guru.Masyarakat Tengger percaya, doa dan harapan mereka
akan dikabulkan, bila rajin memberikan sesajian kepada Sang Guru.Yang menarik dalam
ritual tersebut adalah, saat dukun adat melemparkan uang logam dan ayam yang telah
dimanterakan sebelumnya, untuk diperebutkan anak-anak dan remaja.
Dari makam Sang Guru, nyadran kemudian dilanjutkan ke makam keluarga. Ini
bukanlah aksi gaya-gayaan warga Tengger. Ini adalah atraksi tarian Ujung-ujungan, yang
mengawali rangkaian penutupan upacara Karo pada hari ketujuh. Disebut Ujung-ujungan
karena para penari yang bertelanjang dada, secara bergantian memukul lawannya,
menggunakan ujung rotan. Tarian ini sendiri merupakan ungkapan rasa syukur mereka
karena telah berhasil dan lancar melaksanakan upacara Karo, oleh karenanya tak ada
istilah kalah dan menang dalam kegiatan ini. Semuanya saling pukul dan begitu
permainan usai tak ada dendam sama sekali di hati mereka meski badan harus wilur-wilur
perih karena pukulan rotan sang lawan.
Kemudian menjelang Magrib, sebagai penanda selesainya rangkaian upacara
Karo warga berduyun-duyun mendatangi rumah dukun adat membawa kemenyan untuk
dimantrakan oleh sang dukun adat. Kemenyan ini sendiri nantinya akan dipakai oleh
keluarga masing-masing dalam upacara memulangkan arwah leluhur. Dengan ritual
pemulangan roh leluhur atau biasa dikenal dengan istilah MulehiPingPitu tersebut, maka
rangkaian upacara Karo pun berakhir sudah.
C. Harmonisasi Masyarakat Suku Tengger dalam Upacara Yadnya Karo
Harmonisasi sebagai upaya maupun sebagai proses yang hendak mengatasi
batasan-batasan perbedaan, hal-hal yang bertentangan, dan kejanggalan. Istilah
harmonisasi secara etimologis menunjuk pada proses yang bermula dari suatu upaya,
untuk menuju atau merealisasi sistem harmoni. Upaya atau proses untuk merealisasikan
keselarasan, keserasian, kecocokan dan keseimbangan, antara berbagai faktor yang
sedemikian rupa hingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan atau membentuk
satu keseluruhan yang luhur sebagai bagian dari sistem. Jadi istilah harmonisasi dapat
diartikan sebagai proses atau upaya untuk menyelaraskan, menyerasikan, atau
menyesuaikan sesuatu yang dianggap tidak atau kurang sesuai, kurang atau tidak pantas
atau tidak serasi, sehingga menghasilkan sesuatu yang baik atau harmonis di berbagai hal.
Harmonisasi dapat muncul melalui sistem kelurga,lingkungan,masyarakat dan
juga sistem pendukung seperti sebuah upacara harmonisasi yang terjadi dapat
menumbuhkan sebuah nilai-nilai yang tidak dapat di ukur bagi sebagian individu,karena
harmonisasi mucul atas dasar kerendahan ego masing-masing individu.di sini
harmonisasi yang di rasakan masyarakat suku tengger tertuan dalam upacara yadnya karo
yang mereka laksanakan. Harmonisasi yang mucul di sini di saat mereka melaksanakan
perayaan upacara yadnya karo sediri, dimana keharmonisasian yang mereka timbulkan
melalui salah satu rangkaian upacara yadnya karo yaitu dengan andon mangan dengan
kata lain yaitu makam-makam secara bergantian di rumah sanak saudara dan tentangga di
desa tosari dimana mereka saling bergantian mendatangi rumah satu persatu seperti
bersilahturahmi pada keluarga, tentangga dan juga sesepuh desa.
Masyarakat suku tengger dalam melaksanakan upacara yadnya karo ini dengan
salah satu raingkain pelasakaan upacara secara tidak langsung menumbuh kan nilai-nilai
yang terkandung. Seperti nilai-nilai saling merendahkan ego untuk kebersamaan bersama,
dengan di buktikan mereka saling mendatangi rumah satu sama lain untuk mejalin
kekerbatan, nilai-nilai lainya juga adanya nilai kekeluargaan yang tidak luntur dari nenek
moyang mereka sampai sekarang, degan di buktikan mereka maisih melakukan apa yang
di lakukan nenek moyang mereka dengan saling memaafkan dan juga saling medatangi
rumah satu sama lain. Nilai-nilai yang terkadung tersebut yang menimbulkan
keharomonisan sesama masyarakat tengger yang sangat rukun dan juga terjaga atas nilai-
nilai yang timbul dari upacara yadnya karo tersebut.maka secara tidak langsung upacara
yadnya karo ini sebuah wadah bagi masyarakat tengger untuk tetap mempertahankan
upacara yadnya karo yang menjadikan mereka seperti saudara yang sama dan juga
sedarah.

KESIMPULAN

Masyarakat suku tengger dikenal sebagai masyarakat yang kental adat dan budayanya.
Ditengah proses peradaban yang begitu panjang sangat terbukti bahwa masyarakat suku tengger
tidak goyah untuk selalu memegang teguh warisan leluhur yang diturunkan secara turun
temurun. Berdasarkan pemaparan diatas, membuktikan bahwa meskipun terdiri dari berbagai
macam agama baik hindu, budha, Kristen dan islam tidak menggoyahkan rasa kekeluargaan
melainkan memperkuat kerukunan antar umat beragama yang didasari atas memegang teguh
serta melestarikan adat istiadat serta budaya.

Toleransi agama masyarakat Tengger diartikan dalam perspektif sosiologis, dimana


prinsip penghormatan yang terwujud sebagai jalan memaknai keberagaman khususnya agama
untuk mencapai dimensi kerukunan maupun solidaritas persatuan secara bersama.
Pengembangan toleransi agama tidak sebatas unsur peribadatan, namun pula tersemai dalam
kontribusi sosial serta tradisi lokal yang tetap kuat dipertahankan.
REFERENSI

https://www.visitlumajang.com/yadnya-karo-upacara-adat-khas-suku-tengger/2945/0

https://timesindonesia.co.id/peristiwa-daerah/422974/indahnya-toleransi-beragama-di-perayaan-
hari-raya-karo-suku-tengger

https://journal.fib.uho.ac.id/index.php/etnoreflika/article/view/1435/1200

https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/baradha/article/view/47084/39496

https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/sangkep/article/view/801/515

Anda mungkin juga menyukai