Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Suku Rejang adalah salah satu suku bangsa yang terdapat
di Bengkulu dan Sumatera Selatan. Catatan mengenai mereka salah satunya
berasal dari buku karya William Marsden yang berjudul The History of
Sumatra. Marsden menyebutkan bahwa selain Melayu (Malays), di Sumatera
terdapat pula suku Minangkabau (Menancabow), Aceh (Achenese), Batak
(Battas), Rejang (Redjang), dan Lampung (Lampoons). Suku ini adalah satu
dari 10 kelompok masyarakat asli di Provinsi Bengkulu. Suku Rejang
dalam Sensus Penduduk Indonesia pada tahun 2010 tidak dikategorikan secara
spesifik, melainkan sebagai kelompok suku Sumatera lainnya selain Batak,
Aceh, Melayu, dan Minangkabau.
Di antara 10 kabupaten dan kota di Provinsi Bengkulu, masyarakat
Rejang merupakan penduduk asli meliputi wilayah Lebong, Rejang
Lebong, Bengkulu Tengah, dan Bengkulu Utara. Di antara suku-suku lain di
Bengkulu, suku Rejang memiliki populasi terbesar. Dalam jumlah yang lebih
kecil terdapat ribuan orang Rejang yang bermigrasi ke pelbagai kota di
Indonesia dan luar negeri.
Berbicara tentang Komunikasi antar Budaya, dalam kategori Bahasa
Verbal masyarakat Rejang bertutur dalam bahasa Rejang sebagai bahasa ibu.
Meskipun begitu, di daerah Kota Kecamatan seperti Curup yang penduduknya
seimbang antara suku Rejang sebagai orang asli dan masyarakat pendatang,
terdapat gejala penurunan penggunaan bahasa tersebut. Bahasa Rejang
perlahan tergantikan oleh Bahasa Melayu Bengkulu yang dipandang
sebagai basantara masyarakat Bengkulu yang beragam.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, terdapat beberapa rumusan masalah
sebagai berikut ;

1
A. Bagaiamana Sejarah Suku Rejang
B. Bagaiamana Sistem Pengetahuan dan Sistem Religi
C. Apa Bahasa suku Rejang
D. Apa Mata Pencarian, Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
E. Bagaiaman Kesenian Suku Rejang

C. Tujuan
A. Mengetahui Sejarah Suku Rejang
B. Mengetahui Sistem Pengetahuan dan Sistem Religi
C. Mengetahui Bahasa
D. Mengetahui Mata Pencarian, Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
E. Mengetahui Kesenian

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Suku Rejang


Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatera selain
suku bangsa Melayu. Suku rejang diyakini berasal dari daerah Sumatera
bagian utara dan kemudian menyebar sampai ke daerah Lebong, Kepahiang,
sampai di tepi sungai Ulu Musi di perbatasan Sumatera Selatan. Berdasarkan
Tambo, orang Rejang berasal dari Bidara Cina melewati Paguruyung, juga
dari Majapahit dari Jawa. Leluhur suku Rejang berasal dari Mongolia, Cina
Utara.
Sejarah suku bangsa Rejang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
sejarah Rejang Purba dan sejarah Rejang Modern. Sejarah Rejang Purba
dimulai dari masa kedatangan kelompok bangsa Mongolia di Bintunan
Bengkulu Utara pada tahun 2090 SM hingga sebelum kedatangan para Ajai di
pertengahan abad ke 14 masehi. Disebut Rejang Purba karena dalam kurun
waktu 2090 SM hingga abad ke 14M, kehidupan suku Rejang masih sangat
primitive. Hidup selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Dimana tempat yang dapat memberi mereka kehidupan, di sanalah mereka
mulai hidup menetap dalam kelompok masyarakat “kumunal” di pedalaman
hutan rimba yang tertutup dunia luar. Peralatan hidup dan teknologi yang
digunakan masih sangat sederhana. Dan kepercayaan yang dianut pada masa
itu adalah Animisme. Sedangkan sejarah Rejang Modern ditandai oleh
masuknya para Ajai (Sutan Gagu alias Ninik Bisu dan Zein Hadirsyah alias
Tiea Keteko) pada pertengahan abad ke -14 yang membawa perubahan pada
pola kehidupan masyarakat suku Rejang. Saat para Ajai mulai memerintah,
Suku Rejang mulai mengenal sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial,
sistem peralatan hidup dan sistem religi.
Walaupun belum ada secara konkrit tentang asal mula dari mana
datangnya nenek moyang Suku Rejang, dan bisa dilihat pada buku-buku yang
sudah dikeluarkan hanya menyimpulkan bahwa orang Rejang berasal dari

3
empat kelompok manusia yang ada di daerah Lebong yang mula-mula dipilih
oleh para Ajai. Ternyata sama dengan apa yang diceritkan oleh orang tua
Rejang bahwa nenek moyang orang Rejang pertama kali tinggal di sekitar
danau besar di Gunung Hulu Tapus. Salah satu naskah tentang ini masih
disimpan oleh bapak Rattama, yang merupakan Imam Desa Suka Kayo
Kabupaten Lebong.
Diperkirakan, setelah melewati masa yang lama mereka tinggal di
dekat sebuah danau yang besar tersebut, anak keturunan mereka turun ke
dataran rendah Tapus di sebuah dusun Suko Negerai Desa Suka Negeri
(sekarang) kemudian keturunan mereka menyebar dan akhirnya terdiri dari
empat kelompok yang menetap di dusun, masing-masing dipimpin oleh Ajai.
Empat kelompok inilah yang menjadi cikal bakal Rejang Tiang Empat lima
Raja, yang sangat terkenal dalam nama Tembo Rajo.

B. Sistem Pengetahuan & Sistem Religi


Dalam keempat kepemimpinan ini mereka ada sebuah falsafah hidup
yang diterapkan yaitu Pegong pakeui, adat cao beak nioa pinang yang
berartikan adat yang berpusat ibarat beneu (Rotan). Bertuntun ibarat jalai (jala
ikan), menyebar ibarat jala, tuntunannya satu. Jika sudah berkembang biak,
asalnya rejang tetap satu. Kenapa ibarat beneu? beneu ini satu pohon, tapi
didahan daunnya kait-mengait walaupun ada yang menyebar atau menjalar
jauh. Walaupun pergi ketempat yang jauh tapi tahu akan jalinan/hubungan
kekeluargaannya. Bisa kembali lagi darimana asal mereka berada.
Pegong pakeui juga mengajarkan bahwa kita sebagai manusia
mempunyai hak yang sama. Jika kita sama-sama memiliki, maka kita
membaginya sama rata. Jika kita menakar (membagi), misalnya membagi
beras, kita menakarnya sama rata atau sama banyaknya. Jika kita melakukan
timbangan, beratnya harus sama berat. Itulah Pegong pakeui orang rejang.
(Amen bagiea’ samo kedaou, ameun betimbang samo beneug, amen betakea
samo rato). Artinya: jika membagi sama banyak, jika menimbang sama berat,
jika menakar sama rata). Itulah cara adat rejang.

4
Tidak banyak yang diketahui mengenai agama atau kepercayaan yang
dianut oleh nenek moyang Rejang. Peninggalan masa kini yang paling jelas
dan penting untuk menjabarkan mengenai pengalaman spiritual atau
keagamaan masyarakat Rejang lama adalah tradisi rejung dan kedurang
agung. Kedua tradisi ini tak dapat dipisahkan satu sama lain. Rejung
merupakan gunungan berisi hasil bumi atau makanan dan kue yang ditata
sedemikian rupa. Tingginya dapat mencapai dua meter.
Diduga, rejung menyimbolkan bentuk gunung terutama sekali merujuk
pada Bukit Kaba yang menempati posisi penting dalam suasana kebatinan
masyarakat Rejang. Rejung biasa diadakan saat prosesi/ritual kedurai agung
(Kenduri Besar) . Rejung adalah persembahan bagi dewa-dewi yang dipuja
melalui kêdurai agung.
Kepercayaan masyarakat Rejang terhadap kekuatan supranatural di
sekitarnya telah melahirkan dikotomi antara diwo dan nyang dengan semat.
Diwo merujuk pada dewa dan nyang merujuk pada dewi. Hampir tidak
diketahui nama-nama daripada dewa dan dewi dari kepercayaan asli suku
Rejang. Tapi, yang paling dikenal ialah dewi padi atau dewi kesuburan. Dalam
kepercayaan lama orang Rejang, dewi kesuburan yang dikenal sebagai Nyang
Sêrai. Untuk menghormati sang dewi, masyarakat dahulu sering mengadakan
persembahan berupa pemotongan hewan kurban, membakar kemenyan atau
mengantar apem. Salah satu tempat paling terkenal untuk melakukan
persembahan yakni Bingin Kuning di Lebong.
Adapun istilah untuk menyebut pertapaan atau persembahyangan
terhadap dewa-dewi dalam bahasa Rejang yaitu betarak. Salah satu
tempat betarak yang paling utama yaitu Bukit Kaba. Bukit Kaba sejatinya
terbuka untuk umum. Daerah ini adalah kawasan konservasi dan meminta izin
kepada petugas di pintu masuk serta melaporkan jumlah pendaki adalah suatu
kewajiban. Namun berdasarkan kisah muning ra'ib, masyarakat Rejang dari
Dusun Curup dilarang pergi ke Bukit Kaba untuk menghindari bala.
Berkebalikan dengan diwo atau nyang yang dipuja oleh masyarakat,
golongan sêmat sebaliknya sangat ditakuti, baik karena memakan korban

5
maupun menghuni lokasi-lokasi tertentu di Tanah Rejang. Agar terhindar
dari sêmat, berdoa dan meminta izin atau permisi sebelum memasuki suatu
tempat dan atau mengambil sesuatu di alam adalah hal yang wajib dilakukan.
Izin dilakukan dengan mengucapkan stabik nik, keme nupang liwêt (permisi
nenek, kami numpang melintas atau berjalan). Jenis-jenis sêmat dalam
kepercayaan Rejang antara lain sêbêi sêbkêu, siamang bioa, sumêi, dan semat
laut. Beberapa jenis sêmat yang lain berkedudukan sebagai penunggu
atau tunggau suatu tempat. Tunggau yang paling dikenal oleh suku Rejang
adalah Dung Ulau Tujuak atau Ular Kepala Tujuh yang berdiam
di sraung atau gua bawah air di Danau Tes, Kabupaten Lebong.
Hutan bagi masyarakat Rejang lama merupakan karunia Tuhan serta
sumber penghidupan. Hutan merupakan sumber kayu, madu, dan binatang
buruan. Sebagaimana tempat lain, hutan atau imbo ini biasanya didiami oleh
hewan jadi-jadian seperti imêu atau harimau. Bagi masyarakat Rejang,
harimau dipandang sebagai jelmaan nenek moyang, sakral, dan tidak boleh
dilukai ataupun dibunuh. Harimau dipandang sebagai saudara tua, dipanggil
sebagai datuk, ninik, atau puyang.
Boleh dikata hampir tidak ada orang Rejang yang beragama selain
Islam. Kalaupun ada jumlahnya tak lebih dari beberapa puluh orang saja.
Keberadaan pemeluk agama Hindu atau Budha dan Kristen di wilayah
kediaman orang Rejang umumnya berkaitan dengan masyarakat pendatang
yang melatar belakanginya. Pemeluk ajaran Hindu di Tanah Rejang umumnya
adalah orang Bali, agama Buddha dipeluk oleh keturunan Tionghoa, dan
Kristen dipeluk oleh sebagian orang Jawa dan Batak. Islam dipandangi
sebagai agama rakyat dan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan pada masa
kini. Islam mempengaruhi tata cara pemakaman, penggunaan bahan makanan
halal, serta menumbuhkan budaya mengaji di masjid dan tahlilan. Islam
diperkirakan masuk ke Tanah Rejang pada abad ke-16 masehi. Marsden dalam
bukunya The History of Sumatra menyebut bahwa orang Rejang
adalah Mahometan, sebuah sebutan kuno bagi orang yang mengikuti ajaran
Muhammad. Islam diperkenalkan oleh orang Minang, Banten, dan Aceh yang

6
telah mengalami Islamisasi lebih dahulu. Sebelum masuknya Islam, disebut-
sebut bahwa masyarakat Rejang telah lebih dulu berkenalan dengan agama
Hindu yang dibawa dari Tanah Jawa oleh Empat Biku.

C. Bahasa
Suku Rejang memiliki perbedaan dalam dialek penuturan bahasa.
Dialek Rejang Kepahiang memiliki perbedaan dengan dialek Rejang di
Kabupaten Rejang Lebong yang dikenal dengan dialek Rejang Curup, dialek
Rejang Bengkulu Utara, dialek Rejang Bengkulu Tengah, dan dialek Rejang
yang penduduknya di wilayah Kabupaten Lebong.
Secara kenyataan yang ada, dialek dominan Rejang terdiri tiga macam.
Dialek tersebut adalah sebagai berikut :
 Dialek Rejang Kepahiang (mencakup wilayah Kabupaten Kepahiang)
 Dialek Rejang Curup (mencakup wilayah Kabupaten Rejang Lebong,
Kabupaten Bengkulu Tengah, dan Kabupaten Bengkulu Utara)
 Dialek Rejang Lebong (mencakup wilayah Kabupaten Lebong dan
wilayah Kabupaten Bengkulu Utara yang berdekatan dengan wilayah
Kabupaten Lebong)

Dari tiga pengelompokan dialek Rejang, saat ini Rejang terbagi


menjadi Rejang Kepahiang, Rejang Curup, dan Rejang Lebong. Namun,
meskipun dialek dari ketiga bahasa Rejang tersebut relatif berbeda, tapi setiap
penutur asli bahasa Rejang dapat memahami perbedaan kosakata pada saat
komunikasi berlangsung. Karena perbedaan tersebut seperti perbedaan dialek
pada bahasa Inggris Amerika, bahasa Inggris Britania, dan bahasa Inggris
Australia.
Secara filosofis, perbedaan dialek bahasa Rejang terjadi karena faktor
jarak, faktor sosial, dan faktor psikologis dari suku Rejang itu sendiri. Hal ini
juga membuktikan bahwa tingkat persatuan dan kesatuan suku Rejang masih
sangat rendah jika dibandingkan dengan suku bangsa terdekat lainnya antara
suku-suku yang ada di provinsi Bengkulu. Itu disebabkan karena suku Rejang

7
bukan suku bangsa perantau sehingga tingkat kepemilikan tanah mereka
tergolong tinggi, mereka masih mudah dipengaruhi devide et empera yang
dilancarkan penjajah sejak zaman pemerintahan Hindia-Belanda.

D. Mata Pencarian, Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi


Berdasarkan sejarah pada zaman dahulu yang menyatakan bahwa
masyarakat Rejang bukanlah penduduk pendatang. Maka mereka memiliki
banyak lahan pertanahan yang di olah menjadi sebuah lahan perkebunan dan
pertanian. Namun ternyata tak hanya perkebunan dan pertanian saja, ternyata
di wilayah tanah Rejang juga terdapat tanah pertambangan yang menghasilkan
banyak logam mulia yang sudah ada sejak sebelum Indonesia Merdeka atau
saat masa penjajahan. Hal itu ditandai oleh Rel Kereta yang sampai sekarang
masih ada di Lebong Tandai dan kereta yang dipakai untuk mengangkut hasil
tambang dinamakan Molek.
Pada masa itu Suku Rejang masih di perintah oleh Penjajah, alat alat
yang di gunakan pun dibuat oleh para penjajah dan peninggalan jaman
penjajah ada sebuah alat untuk menyaring atau memisahkan sari sari emas.
Alat tersebut dinamakan Gelundung karena alat tersebut digunakan dengan
cara digelundung (diputar-putar seperti menggelinding).
Sedangkan senjata tradisional masyarakat Rejang kebanyakan jenisnya
berupa senjata tajam. Senjata tradisional ini dalam praktik kehidupan sehari-
hari bermetamorfosis menjadi perangkat yang dipakai untuk menciptakan
berbagai jenis benda yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Senjata
tradisional Rejang meliputi tombak yang disebut kujua atau kujuh, parang
yang disebut pitat, badik yang disebut badek, keris yang disebut kê'is, dan
badik melengkung yang mirip kuku harimau, disebut badek sêlon imêu".
Penggunaan parang dewasa ini lebih kepada barang bawaan wajib
ketika pergi ke kebun. Parang dipergunakan untuk membersihkan belukar,
membuat jalan setapak, menebang kayu, dan membuka kelapa. Penggunaan
tombak di masa ini sudah semakin jarang. Umumnya dipakai kala menangkap
ikan secara tradisional di sungai yang jernih. Keris umumnya dipergunakan

8
dalam seni bela diri silat atau dikeramatkan dan disimpan secara baik di
rumah-rumah. Keris dan benda-benda keramat dikenal sebagai pêsako.

E. Kesenian
Kesenian dalam Suku Rejang memiliki ciri khas tertentu salah satunya
Tari Kejei. Tarian ini berasal dari Rejang Lebong dan tidak bisa ditarikan
disembarang tempat dan acara, mengingat tari ini merupakan tari persembahan
yang digelar untuk menyambut tamu yang di agung atau kunjungan pertama,
untuk kunjungan selanjutnya tidak digelar lagi, karena tamu tersebut sudah
dianggap warga Rejang Lebong.
Tari Kejei adalah satu-satunya tarian adat yang berasal dari Rejang
Lebong, dalam membawakan tari kejei penari harus berpasangan (laki-laki
dan perempuan), penari harus ganjil (5 pasang, 7 pasang, atau 9 pasang).
Sedangkan di Rejang Lembak Tari Penyambutan disebut Tari Kurak, namun
dalam pembahasan disepakati menggunakan Tari Penyambutan yang telah
dibakukan.
Ada pula kesenian dalam bentuk Hiasan Tenun, Suku Rejang juga
memiliki motif dalam tenunan, pada kain-kain batik terdapat Aksara Rejang
yang disebut Huruf Ka-ga-nga. Rumah rumat adat juga memiliki arsitektur
tersendiri meskipun tidak terlalu jauh berbeda dibanding rumah adat dari
daerah lain kebanyakan. Karena suku rejang zaman dahulu bisa dikategorikan
tidak inisiatif untuk membuat hal-hal yang berbeda dari lainnya.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Komunikasi antar budaya sangat diperlukan untuk memudahkan kita
berinteraksi dengan orang-orang yang berasal dari budaya yang berbeda-beda.
Karena sikap seseorang bisa jadi adalah sebuah budaya (kebiasaan) yang
mungkin belum dapat menyesuaikan dengan kebudayaan lainnya. Contohnya
seperti Suku Rejang memiliki kebudayan yang berbeda dengan Suku Lembak,
Melayu, Pasemah, dan Serawai.
Terkesan saat kita merasa seseorang yang berasal dari suku Pesisir
berbicara dengan nada bicara agak “keras”, jangan langsung menganggap
orang itu “membentak”. Mungkin saja sikap yang tadi sudah terbudaya di
lingkungan “mereka” agak sulit untuk menirukan gaya bicara seperti budaya
lainnya.

B. Saran
Untuk teman-teman sekalian yang juga mempelajari Komunikasi
Antar Budaya, memahami antar budaya sangat diperlukan untuk kita
menghindari sifat egois yang memicu kepada etnosentrisme.

10
DAFTAR PUSTAKA

Buku John Marsden (The History Of Sumatera), Residen Inggris di Lais (1775-
1779) menceritakan tentang adanya empat Petulai Rejang diantaranya Jekalang
(Joorcalang), Selupuak (Selopoo), Manai (Beremani), Tubey (Tubay).
M.A Yaspan Peneliti Australia National University Tahun 1961-1963 dalam From
Patriliny To Matriliny, Structural Change Amongst The Rejang Of Southwest
Sumatera.
Bengkoelen en Palembang,” menyatakan bahwa marga-marga tersebut merupakan
kesatuan Rejang yang paling murni.
Media sosial Pesona Bumi Pat Petulai Rejang Lebong.

11

Anda mungkin juga menyukai