Anda di halaman 1dari 39

Makalah Respon Internasional Terhadap Ploklamasi

Kemerdekaan Indonesia

Kelas : XI IPS B
Disusun Oleh :
 Findi
 Hedyanto
 Jackson
 Justin Darmawan
 Mario
 Wirianto
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena rahmat
dan karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “Respon Internasional Terhadap
Ploklamasi Kemerdekaan Indonesia” dapat terselesaikan dengan
baik dan tepat waktu.
Makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas kelompok
mata pelajaran Sejarah Minat. Kami ucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber
bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam
memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat
banyak kesalahan dan kekurangan dan Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Karimun, 18 Juli 2021

Kelompok 1 XII IPS B


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A.Respon Belanda terhadap Ploklamasi Kemerdekaan
Indonesia
B.Respon PBB terhadap Ploklamasi Kemerdekaan
Indonesia
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemerdekaan Indonesia menandai berakhirnya masa
pendudukan Jepang di wilayah yang dahulu lebih dikenal
dengan nama Hindia-Belanda. Kekalahan Jepang terhadap
Sekutu dalam Perang Dunia II menyebabkan kekosongan
pemerintahan di Hindia-Belanda, sehingga akibat dari
kekosongan itu dimanfatkan oleh golongan nasionalis untuk
memerdekakan wilayah itu dengan nama Indonesia. Oleh karena
Jepang telah meninggalkan Indonesia, membuat Belanda merasa
berhak kembali atas wilayah itu. Keinginan Belanda itu tidak
terlepas dari serangkaian perjanjian pasca Perang Dunia II antar
Jepang dengan Sekutu, di mana salah satu poinnya adalah
negara-negara yang diduduki Jepang selama Perang Dunia II
harus dikembalikan kepada penguasa asalnya.
Hal inilah yang menjadi alasan bagi Belanda merasa bahwa
Hindia-Belanda (Indonesia) adalah wilayah kekuasaanya.Oleh
Karena itu belanda melakukan beberapa aksi di Indonesia untuk
merebut kembali kekuasaannya tetapi hal ini tidak diterima oleh
rakyat Indonesia karena merdeka merupakan harga mati
sehingga terjadilah perlawanan antara rakyat Indonesia dengan
belanda yaitu Pertempuran Surabaya, Pertempuran lima hari di
Semarang, Pertempuran Ambarawa, Pertempuran Medan Area,
Pertempuran Bandung Lautan Api, dan Puputan Margarana di
Bali. Selain itu belanda juga melakukan Aksi Polisionil yang
dilakukan pada tahun 1947 dalam sejarah Indonesia lebih
dikenal dengan istilah Agresi Militer Belanda I dan pada tahun
1948 dikenal dengan istilah Agresi Militer Belanda II. Disebut
agresi militer sebab Belanda mengirimkan kekuatan militernya
masuk dan melakukan penyerangan terhadap wilayah negara
Indonesia. Sehingga Agresi Militer yang dilakukan Belanda
mendapat kecaman dari Dewan keamanan PBB untuk segera
mengakhiri agresinya terhadap Indonesia dan juga terdapat
kecaman dari Amerika Serikat yang akan memberikan bantuan
ekonomi kepada Belanda jika masih melakukan agresinya
terhadap Indonesia. Dengan demikian konflik bersenjata antara
Indonesia dengan Belanda dapat diakhiri dan melanjutkannya ke
meja perundingan pada tahun 1949 di dalam Konferensi Meja
Bundar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah
yang akan dibahas di dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Respon Belanda terhadap Ploklamasi
Kemerdekaan Indonesia?
2. Upaya apa yang dilakukan belanda untuk menjajah kembali
Indonesia?
3. Mengapa belanda ingin menjajah kembali Indonesia?
4. Bagaimana Jalannya Perlawanan rakyat Indonesia terhadap
aksi aksi yang dilakukan belanda?
5. Bagaimana Respon PBB terhadap Ploklamasi
Kemerdekaan Indonesia?
6. Upaya apa yang dilakukan PBB untuk menyelesaikan
Konflik antara Indonesia dan Belanda?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Respon Belanda terhadap Ploklamasi
Kemerdekaan Indonesia
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan tetapi Belanda tidak mau
mengakui kemerdekaan Indonesia, dan berupaya kembali ke
Indonesia dengan membonceng kedatangan pasukan Sekutu
yang bertujuan melucuti pasukan Jepang dan mengembalikan
pasukan Jepang ke negaranya.  
Belanda lalu mendirikan Netherlands Indies Civil
Administration (NICA) atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda
untuk membentuk kembali pemerintahan Hindia Belanda dan
menjadikan kembali Indonesia sebagai wilayah jajahan Belanda.
Pada 24 Agustus 1945 Belanda dan Inggris menandatangani
Civil Affairs Agreement (CAA) yang memiliki kesepakatan
penyerahan wilayah Indonesia yang telah “dibersihkan” oleh
tentara Inggris kepada Belanda. Keturutsertaan Inggris terhadap
Indonesia disebabkan Inggris terikat dengan Perjanjian Postdam
di mana Inggris bertanggung jawab atas pendudukan kembali
Indonesia.
Pasukan Sekutu yang memenangkan perang memiliki tugas
untuk menerima penyerahan pasukan dan melucuti persenjataan
Jepang. Pasukan Sekutu yang ditugaskan adalah pasukan Allied
Forces Netherlands Indies (AFNEI) yang merupakan bagian
dari South East Asia Command (SEAC).
Adapun tugas AFNEI di Indonesia adalah;
1. Menerima penyerahan kekuasaan dari tentara Jepang tanpa
syarat, melucuti dan mengembalikannya ke tanah airnya.
2. Membebaskan APWI (Allied Prisoners and War
Internees), tugas ini disebut RAPWI (Recovery of Allied
Prisoners and War Internees), atau biasa diartikan sebagai
tugas membebaskan para tawanan perang dan interniran
Sekutu.
3. Menjaga keamanan dan ketertiban sehingga
memungkinkan pemerintah sipil berfungsi kembali.
4. Mencari keterangan untuk menyelidiki pihak-pihak yang
dianggap sebagai penjahat perang dan mengadilinya.
Masuknya pasukan sekutu ke Indonesia ini dimanfaatkan
oleh Belanda untuk kembali menguasai dan menjajah Indonesia.
Selain itu usaha Belanda yang lain untuk melemahkan negara
Indonesia adalah melalui Blokade Laut (Blokade Ekonomi) pada
November 1945.
Blokade ini bertujuan untuk menutup pintu keluar-masuk
perdagangan Indonesia. Blokade laut ini jika dirinci tujuannya
terdiri dari:
1. Mencegah dikeluarkannya hasil-hasil perkebunan milik
Belada dan milik asing.
2. Mencegah dimasukkannya senjata dan peralatan militer ke
Indonesia.
3. Melindungi Indonesia dari tindakan-tindakan bangsa lain.
Dari blockade tersebut Belanda mengharapkan
memburuknya perekonomian Indonesia, sebab tentunya hasil
dari blokade itu adalah:
1. Barang ekspor Indonesia terlambat dikirim.
2. Indonesia kekurangan bahan impor yang sangat
dibutuhkan, terutama tekstil, obat-obatan dan persenjataan.
3. Barang ekspor Indonesia tidak dapat dikirimkan, bahkan
barang-barang tersebut di bumi hanguskan.
Setelah terjadinya kekacauan ekonomi di Indonesia, maka
harapan Belanda selanjutnya adalah:
1. Dapat menekan Indonesia untuk menyerah dan dapat
kembali dikuasai oleh Belanda.
2. Agar terjadi kerusuhan sosial yang dikarenakan rakyat
tidak percaya kepada pemerintah.
Indonesia dan Belanda dapat dengan mudah berkuasa
kembali di Indonesia. Melalui Dr. Hubertus J. van Mook atas
nama Ratu Belanda, memimpin pasukan Belanda masuk ke
wilayah Indonesia untuk membentuk negara persemakmuran
Hindia-Belanda melalui Netherland Indies Civil Adiminstration
(NICA). Mesikipun NICA sesungguhnya adalah para pegawai
sipil Belanda, namun pihak Belanda juga menyertakan pasukan
militernya untuk mengawal NICA dan menjaga keamanan di
Indonesia. Tindakan dan strategi awal NICA dan pasukan
militernya adalah menduduki kembali pusat pemerintahan
Indonesia yang dulu pernah dikuasai oleh Belanda yaitu Jakarta.
Rakyat Indonesia dengan tegas menginginkan pihak
Belanda untuk keluar meninggalkan Indonesia dan mengakui
kemrdekaan sekaligus kedaulatan Republik Indonesia. Di sisi
lain pihak Belanda tidak memberikan respon positif dan tidak
mau mengakui kemerdekan dan kedaulatan Indonesia. Hal ini
karena Belanda memiliki tujuan untuk tetap membentuk negara
persemakmuran Hindia-Belanda. Keputusan pihak Belanda ini
jelas-jelas mendapatkan tantangan dan reaksi keras dari bangsa
Indonesia. Bangsa Indonesia yang telah mencapai kemerdekan
dengan perjuangan dan pengorbanan besar tidak ingin dijajah
dan dikuasai lagi oleh pihak asing.
Perbedan pandangan dan tujuan antara Indonesia dengan
Belanda tidaklah melahirkan sebuah kesepakatan. Hal ini
menyebabkan munculnya respon dari rakyat Indonesia kepada
Belanda di berbagai wilayah berupa perlawanan untuk mengusir
Belanda dari kedaulatan Indonesia. Pasukan Belanda yang
dibantu oleh Sekutu dan terutama oleh Inggris pun melakukan
serangkaian operasi militer untuk menguasai wilayah Indonesia.
Operasi Militer yang dilakukan ini mengakibatkan banyak
terjadi pertempuran antara rakyat Indonesia melawan militer
Sekutu.
Beberapa pertempuran yang terjadi antar Indonesia dengan
Sekutu antara lain adalah:
1. Pertempuran Surabaya
Pertempuran di Surabaya dilatarbelakangi oleh kedatangan
pasukan sekutu yang tergabung dalam Allied Forces Netherland
East Indies (NICA) pada 25 Oktober 1945 atau dua bulan
setelah Proklamasi Kemerdekaan. Pasukan sekutu yang
dipimpin oleh Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sother
Mallaby langsung masuk ke Kota Surabaya dan mendirikan pos-
pos pertahanan.Kedatangan pasukan sekutu awalnya untuk
mengamankan tawanan perang, melucuti senjata Jepang, atau
menjaga ketertiban di berbagai daerah di Indonesia salah
satunya Surabaya. Namun, kenyataannya pasukan sekutu yang
kebanyakan pasukan Inggris menyimpang.
Pada 27 Oktober 1945, pasukan sekutu menyerbu penjara
membebaskan tawanan perwira sekutu yang ditahan Indonesia.
Pasukan sekutu juga menduduki tempat-tempat vital. Seperti
lapangan terbang, kantor radio, radio Surabaya, gedung
internatio, dan pusat kereta api. Pasukan sekutu menyebarkan
famplet yang isinya agar masyarakat menyerahkan senjata yang
dimilikinya. Namun masyarakat Surabaya menolak, apalagi
harus mengangkat tangan.
Kondisi itu membuat masyarakat Surabaya marah dan
semakin anti sekutu. Pada 28 Oktober 1945, pejuang Indonesia
menyerang pos pertahanan. Aspirasi perlawanan terhadap sekutu
dikumandangkan oleh Bung Tomo menggunakan radio. Dia,
dengan berapi-api memberikan semangat kepada masyarakat
untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Pada 28 Oktober 1945, para pemuda Surabaya
bersemangat untuk mengusir sekutu dan mempertahankan
kedaulatan. Dengan penuh semangat, akhirnya masyarakat
Surabaya mampu merebut tempat-tempat vital. Sempat ada
perundingan antara Pemerintah Indonesia yang diwakili Preside
Soekarno, Moh Hatta dan Amir Syarifuddin dan sekutu, tapi
pertempuran tetap terjadi.
Pada 31 Oktober 1945, Brigader Mallaby tewas dan
menyulut kemarahan pihak sekutu. Pihak sekutu
memperingatkan masyarakat Surabaya untuk menyerah, jika
tidak akan dihancurkan. Namun masyarakat Surabaya tidak mau
memenuhi tuntutan pihak sekutu.
Puncak pertempuran Surabaya terjadi pada 10 November 1945.
Pasukan sekutu melakukan penyerangan di Kota Surabaya
dan pejuang Indonesia tidak gentar malah bersemangat berjuang.
Dalam menghadapi sekutu, senjatan yang dipakai pejuang tidak
hanya senjata tapi juga bambu runcing. Tak sedikit pejuang
Indonesia gugur dalam pertempuran tersebut mencapai 20.000
orang, sementara dari pihak sekutu mencapai 1.500 orang.
Pertempuran terakhir terjadi pada 28 November 1945.
Semangat para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan
membuat Presiden Soekarno menetapkan 10 November sebagai
Hari Pahlawan. Ini ditetapkan melalui Keppres Nomor 316
Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959. Pertempuran di
Surabaya tersebut berlangsung selama tiga minggu. Kerugian
jiwa di pihak Indonesia cukup banyak dan mencapai ribuan.
Penduduk banyak mengungsi meninggalkan Kota Surabaya.
Selain itu banyak bangunan-bangunan rusak dan hancur.
2. Pertempuran Lima Hari di Semarang
Peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang melibatkan
sisa-sisa pasukan Jepang di Indonesia dengan Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) atau angkatan perang Indonesia saat
itu sebelum menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dinyatakan
pada 17 Agustus 1945, masih cukup banyak prajurit Jepang
yang belum bisa pulang ke negaranya. Tidak sedikit serdadu
Jepang yang dipekerjakan, misalnya di pabrik-pabrik atau sektor
lain. Seiring dengan itu, pasukan Sekutu, termasuk Belanda,
mulai datang ke Indonesia dengan maksud melucuti senjata dan
memulangkan para mantan tentara Jepang yang masih tersisa.
pada 14 Oktober 1945 terjadi perlawanan dari 400 mantan
tentara Dai Nippon Jepang yang dipekerjakan di pabrik gula
Cepiring yang terletak sekitar 30 kilometer dari Kota Semarang.
Saat itu, mereka akan dipindahkan ke Semarang, namun
melarikan diri dari pengawalan. Ratusan bekas serdadu Jepang
tersebut melakukan perlawanan dan kabur ke daerah Jatingaleh.
Di sana, mereka bergabung dengan pasukan batalion Kidobutai
yang dipimpin oleh Mayor Kido.
Upaya penentangan dari para mantan prajurit Jepang mulai
terlihat di Semarang. Mereka bergerak melakukan perlawanan
dengan alasan mencari dan menyelamatkan orang-orang Jepang
yang ditawan. Pertempuran Lima Hari di Semarang dimulai
sejak 15 hingga 20 Oktober 1945. Pada dini hari tanggal 15
Oktober, kurang lebih 2.000 orang dari Kidobutai mendatangi
Kota Semarang.
Kedatangan mereka ternyata disambut oleh angkatan muda
Semarang dengan dukungan TKR. Pertempuran pun terjadi
selama lima hari antara kedua pihak. Ternyata, Kidobutai juga
didampingi oleh pasukan Jepang lain di bawah pimpinan
Jenderal Nakamura. Perang ini terjadi di empat titik di
Semarang, yakni daerah Kintelan, Pandanaran, Jombang, dan di
depan Lawang Sewu (Simpang Lima). Lokasi konflik yang
disebut banyak menelan korban dan berdurasi paling lama
adalah di Simpang Lima atau yang kini disebut daerah Tugu
Muda.
Agar pertikaian tidak berlarut-larut, maka digelar
perundingan untuk mengupayakan gencatan senjata. Kasman
Singodimedjo dan Mr. Sartono mewakili Indonesia, sedangkan
dari Jepang hadir Letnan Kolonel Nomura, Komandan Tentara
Dai Nippon. Selain itu, ada pula perwakilan dari pihak Sekutu
yakni Brigadir Jenderal Bethel. Perdamaian antara kedua belah
pihak pun terjadi.
Pada 20 Oktober 1945, pihak Sekutu melucuti seluruh
persenjataaan para tentara Jepang. Peristiwa Pertempuran Lima
Hari kemudian dikenang dengan pembangunan Tugu Muda di
Simpang Lima, Kota Semarang.
3. Pertempuran Ambarawa
Pertempuran Ambarawa adalah pertempuran yang terjadi
antara Tentara Indonesia dengan Tentara Inggris. Peristiwa ini
terjadi antara 20 Oktober sampai 15 Desember 1945 di
Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Pertempuran
Ambarawa dimulai saat pasukan Sekutu dan NICA atau
Pemerintahan Sipil Hindia Belanda mulai mempersenjatai
tawanan perang Belanda di Ambarawa dan Magelang. Hal ini
kemudian memicu kemarahan pada penduduk setempat.
Hubungan pun semakin runyam saat Sekutu mulai melucuti
senjata anggota Angkatan Darat Indonesia.
Peristiwa Pertempuran Ambarawa dimulai saat terjadi
insiden di Magelang. Pada 20 Oktober 1945, Brigade Artileri
dari Divisi India ke-23 atau militer Inggris mendarat di
Semarang yang dipimpin oleh Brigadir Bethell. Oleh pihak
Republik Indonesia, Bethell diperkenankan untuk mengurus
pelucutan pasukan Jepang. Ia juga diperbolehkan untuk
melakukan evakuasi 19.000 interniran Sekutu (APW) yang
berada di Kamp Banyu Biru Ambarawa dan Magelang. Tetapi,
ternyata mereka diboncengi oleh orang-orang NICA (Netherland
Indies Civil Administration) atau Pemerintahan Sipil Hindia
Belanda.
Mereka kemudian mempersenjatai para tawanan Jepang.
Pada 26 Oktober 1945, insiden ini pecah di Magelang.
Pertempuran pun berlanjut antara Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) dengan tentara Inggris. Pertempuran sempat berhenti
setelah kedatangan Presiden Soekarno dan Brigadir Bethell di
Magelang pada 2 November 1945. Mereka pun mengadakan
perundingan untuk melakukan gencatan senjata.
Melalui perundingan tersebut tercapai sebuah kesepakatan,
antara lain:
 Pihak Inggris akan tetap menempatkan pasukannya di
Magelang untuk melakukan kewajibannya melindungi dan
mengurus evakuasi APW.
 Jalan raya Magelang-Ambarawa terbuka bagi lalu lintas
Indonesia dan Inggris.
 Inggris tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-
badan yang berada di bawah kekuasaannya. Sayangnya,
pihak Inggris mengingkari perjanjian tersebut.
Kesempatan dan kelemahan yang ada dalam pasal tersebut
dipergunakan Inggris untuk menambah jumlah pasukannya yang
berada di Magelang. Pada 20 November 1945, di Ambarawa
pecah pertempuran antara TKR di bawah pimpinan Mayor
Sumarto dan pasukan Inggris. Pada 21 November 1945, pasukan
Inggris yang berada di Magelang ditarik ke Ambarawa dan
dilindungi oleh pesawat-pesawat udara.
Pertempuran mulai berkobar pada 22 November 1945, saat
pasukan Inggris melakukan pengeboman terhadap kampung-
kampung di sekitar Ambarawa. Pasukan TKR bersama pasukan
pemuda lain yang berasal dari Boyolali, Salatiga, dan Kartasura
membentuk garis pertahanan sepanjang rel kereta api dan
membelah Kota Ambarawa.
Dari arah Magelang, pasukan TKR dari Divisi
V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam Adrongi melakukan
serangan fajar. Serangan ini bertujuan untuk memukul pasukan
Inggris yang berkedudukan di Desa Pingit. Pasukan Imam pun
berhasil menduduki Pingit. Sementara itu, kekuatan di
Ambarawa semakin bertambah dengan datangnya tiga batalion
yang berasal dari Yogyakarta. Mereka adalah Batalio 10 Divisi
X di bawah pimpinan Mayor Soeharto, Batalion 8 di bawah
pimpinan Mayor Sardjono, dan Batalion Sugeng. Meskipun
tentara Inggris sudah dikepung, mereka tetap mencoba
menghancurkan kepungan tersebut. Kota Ambarawa dihujani
dengan tembakan meriam. Untuk mencegah jatuhnya korban,
TKR diperintahkan untuk mundur ke Bedono oleh masing-
masing komandannya. Bala bantuan dari Resimen 2 dipimpin
M. Sarbini dan Batalion Polisi Istimewa dipimpin Onie
Sastoatmodjo serta Batalion dari Yogyakarta berhasil menahan
gerakan musuh di Desa Jambu. Di Desa Jambu terjadi rapat
koordinasi dipimpin oleh Kolonel Holand Iskandar. Rapat ini
menghasilkan terbentuknya suatu komando yang disebut Markas
Pimpinan Pertempuran bertempat di Magelang.
Pada 26 November 1945, salah satu pimpinan pasukan
harus gugur. Ia adalah Letnan Kolonel Isdiman, pemimpin
pasukan asal Purwokerto. Posisinya pun digantikan oleh Kolonel
Soedirman. Sejak saat itu, situasi pertempuran berubah semakin
menguntungkan pihak TKR. Pada 5 Desember 1945, musuh
berhasil terusir dari Desa Banyubiru.
Pada 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengadakan
perundingan dengan mengumpulkan para komandan sektor.
Berdasarkan dari laporan para komandan sektor, Kolonel
Soedirman menyimpulkan bahwa posisi musuh sudah terjepit.
Maka perlu segera dilancarkan serangan terakhir, yaitu:
 Serangan pendadakan dilakukan serentak dari semua
sektor.
 Tiap-tiap komandan sektor memimpin serangan.
 Para pasukan badan-badan perjuangan (laskar) disiapkan
sebagai tenaga cadangan.
 Serangan akan dimulai pada 12 Desember pukul 04.30.
Pada 12 Desember 1945, pasukan TKR bergerak menuju
target masing-masing. Dalam kurun waktu 1,5 jam, mereka
sudah berhasil mengepung kedudukan musuh dalam kota. Kota
Ambarawa dikepung selama empat hari empat malam. Pasukan
Inggris yang sudah merasa terdesak berusaha untuk memutus
pertempuran. Pada 15 Desember 1945, pasukan Inggris
meninggalkan Kota Ambarawa dan mundur ke Semarang.
4. Pertempuran Medan Area
Sukarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia
telah menyatakan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus
1945 di Jakarta. Kabar gembira tersebut baru sampai ke rakyat
Medan 10 hari berselang atau pada 27 Agustus 1945. Namun,
kedatangan pasukan Sekutu yang disertai oleh NICA atau
balatentara Belanda membuat rakyat dan kaum pejuang di
Sumatera Utara merasa terusik.
Di Medan, Belanda mulai menunjukkan pergerakan yang
mencurigakan. NICA mengumpulkan para mantan serdadu
Belanda di Medan untuk membentuk kembali kekuatan militer
mereka. Para pemuda di Medan pun segera mengambil sikap.
Dimotori oleh Ahmad Tahir yang pernah bergabung dengan
tentara sukarela (gyugun) pada masa pendudukan Jepang,
dibentuklah Barisan Pemuda sebagai tindakan antisipasi.
Barisan Pemuda di Medan punya ciri khas, yakni mengenakan
lencana merah-putih.
Tanggal 13 Oktober 1945, tentara Belanda menginjak-injak
lencana kebanggaan tersebut. Insiden inilah yang memicu
pecahnya perang di Medan. Dalam peristiwa yang disebut
Pertempuran Medan Area itu, pihak republik berhasil
melumpuhkan hampir 100 orang serdadu Belanda. Hal ini
membuat militer Belanda murka dan menetapkan sejumlah
aturan. Ditegaskan oleh Belanda bahwa rakyat Indonesia di
Medan tidak boleh membawa senjata. Mereka yang masih
membawa senjata diwajibkan menyerahkannya kepada pihak
Belanda atau Sekutu. Tentu saja, rakyat Medan tidak mematuhi
aturan tersebut.
Tanggal 1 Desember 1945, Sekutu menetapkan beberapa
garis batas di beberapa titik kota Medan. Simbol pembatas ini
adalah papan-papan yang di dalamnya terdapat tulisan Fixed
Boundaries Medan Area. Penyebutan ‘Medan Area’ sebagai
nama pertempuran ini diklaim berawal dari papan tersebut.
Konflik kian membara.
Terjadilah peperangan lagi pada 10 Desember 1945.
Pasukan RI di bawah komando Abdul Karim meladeni tentara
Sekutu atau Belanda di Deli Tua. Di Kota Medan, Sekutu dan
NICA melancarkan serangan besar-besaran. Tercatat dalam
Sejarah Nasional Indonesia VI (1984) karya Marwati Djoened
Poesponegoro dan kawan-kawan, kaum rakyat pejuang di
Medan meladeni serbuan tersebut. Perang yang terjadi membuat
jatuhnya banyak korban dari kedua belah pihak. Buku Republik
Indonesia: Sumatera Utara (1953), mencatat, kala itu Kota
Medan digempur peperangan, situasi kacau-balau, para prajurit
Sekutu melakukan berbagai tindakan keji yang membuat rakyat
Medan kian murka.
Sekutu dan NICA akhirnya berhasil menduduki Kota
Medan pada April 1946. Pusat perjuangan rakyat Medan pun
terpaksa digeser ke Pematang Siantar. Kendati begitu, masih
terjadi perlawanan, termasuk pada 10 Agustus 1946 di
Tebingtinggi. Para komandan pasukan RI yang berjuang di
Medan kemudian bertemu dan membentuk satuan komando
bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area.
Tanggal 19 Agustus 1946, dibentuk Barisan Pemuda Indonesia
(BPI) di Kabanjahe. BPI menjadi salah satu unsur pembentuk
Badan Keselamatan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal-bakal
Tentara Nasional Indonesia (TNI). Laskar-laskar rakyat di
berbagai daerah di Sumatera Utara terus melancarkan
perlawanan terhadap Sekutu dan NICA meskipun Kota Medan
telah diduduki. Tak hanya di Sumatera Utara, gelora perlawanan
juga terjadi di berbagai daerah lain di Sumatera, seperti Padang,
Bukittinggi, Aceh, dan lainnya.
5. Pertempuran Bandung Lautan Api
Peristiwa Bandung Lautan Api diawali dengan datangnya
pasukan Sekutu/Inggris pada 12 Oktober 1945. Beberapa pekan
setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, pasukan Sekutu yang
tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies)
datang ke Indonesia usai memenangkan Perang Dunia II
melawan Jepang. Mohamad Ully Purwasatria dalam penelitian
bertajuk "Peranan Sukanda Bratamanggala dan Sewaka di
Bandung Utara dalam Mempertahankan Kemerdekaan Tahun
1945-1948" (2014), menyampaikan, awalnya kedatangan
mereka hanya untuk membebaskan tentara Sekutu dari tahanan
Jepang. Namun, ternyata Belanda atau NICA membonceng
pasukan Sekutu dan ingin menguasai Indonesia lagi.
Bergolaklah perlawanan dari prajurit dan rakyat Indonesia atas
kehadiran Belanda.
Pasukan Sekutu mulai melancarkan propaganda. Rakyat
Indonesia diperingatkan agar meletakkan senjata dan
menyerahkannya kepada Sekutu. Pihak Indonesia tidak
menggubris ultimatum tersebut. Angkatan perang RI merespons
dengan melakukan penyerangan terhadap markas–markas
Sekutu di Bandung bagian utara, termasuk Hotel Homan dan
Hotel Preanger yang menjadi markas besar Sekutu, pada malam
tanggal 24 November 1945. Pada 27 November 1945, Kolonel
MacDonald selaku panglima perang Sekutu sekali lagi
menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat, Mr.
Datuk Djamin, agar rakyat dan tentara segera mengosongkan
wilayah Bandung Utara. Peringatan yang berlaku sampai tanggal
29 November 1945 pukul 12.00 harus dipenuhi. Jika tidak, maka
Sekutu akan bertindak keras. Ultimatum kedua itu pun tidak
digubris sama sekali. Beberapa pertempuran terjadi di Bandung
Utara. Pos-pos Sekutu di Bandung menjadi sasaran penyerbuan.
Tanggal 17 Maret 1946, Panglima Tertinggi AFNEI di
Jakarta, Letnan Jenderal Montagu Stopford, memperingatkan
kepada Soetan Sjahrir selaku Perdana Menteri RI agar militer
Indonesia segera meninggalkan Bandung Selatan sampai radius
11 kilometer dari pusat kota. Hanya pemerintah sipil, polisi, dan
penduduk sipil yang diperbolehkan tinggal. Menindaklanjuti
ultimatum tersebut, pada 24 Maret 1946 pukul 10.00, Tentara
Republik Indonesia (TRI) di bawah pimpinan Kolonel A.H.
Nasution memutuskan untuk membumihanguskan Bandung.
Rakyat mulai diungsikan. Sebagian besar bergerak dari selatan
rel kereta api ke arah selatan sejauh 11 kilometer. Gelombang
pengungsian semakin membesar setelah matahari tenggelam.
Pembumihangusan Bandung pun dimulai. Warga yang
hendak meninggalkan rumah membakarnya terlebih dahulu.
Pasukan TRI punya rencana yang lebih besar lagi. TRI
merencanakan pembakaran total pada 24 Maret 1945 pukul
24.00, namun rencana ini tidak berjalan mulus karena pada
pukul 20.00 dinamit pertama telah meledak di Gedung Indische
Restaurant. Lantaran tidak sesuai rencana, pasukan TRI
melanjutkan aksinya dengan meledakkan gedung-gedung dan
membakar rumah-rumah warga di Bandung Utara. Malam itu,
Bandung terbakar dan peristiwa itu kemudian dikenal dengan
sebutan Bandung Lautan Api.
6. Puputan Margarana
Puputan Margarana terjadi setelah Jepang kalah dan
Belanda datang ke Indonesia untuk mengambil alih atau merebut
daerah kekuasaan Jepang. Belanda berambisi untuk membuat
Negara Indonesia Timur (NIT). Namun, I Gusti Ngurah Rai
menolak rencana Belanda tersebut. Dalam Perjanjian Linggarjati
15 November 1946, Belanda hanya mengakui kekuasaan de
facto Indonesia pada wilayah Jawa, Madura dan Sumatra.
Pengakuan secara de facto ini memunculkan rasa
kekecewaan dalam hati rakyat Bali. Karena Bali belum diakui
secara de facto sebagai wilayah Indonesia.
Pada 18 November 1946, markas pertahanan atau militer
Belanda di Tabanan, Bali diserang secara habis-habisan. Hal ini
membuat Belanda murka dan mengerahkan seluruh kekuatannya
untuk mengepung Bali, khususnya Tabanan. Belanda
mengirimkan pasukan 'Gajah Merah', 'Anjing Hitam', 'Singa',
'Polisi Negara' dan 'Polisi Perintis. Tidak hanya itu, Belanda
juga mengirimkan tiga pesawat pemburu miliknya. Pasukan
yang dikirim Belanda tersebut mulai melakukan serangan pada
20 November 1946 pukul 05.30 WITA, dengan menembaki area
pasukan warga Bali. Kekuatan persenjataan yang dimiliki
pasukan tersebut tergolong minim, sehingga mereka belum bisa
melakukan aksi balas serangan kepada pasukan Belanda.
Sekitar pukul 09.00 WITA, pasukan Belanda yang kira-kira
berjumlah 20 orang mulai mendekat dari arah barat laut.
Beberapa saat kemudian terdengarlah suara tembakan. 17 orang
pasukan Belanda ditembak mati oleh pasukan Ciung Wanara
yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai. Setelah mengetahui jika
pasukannya mati, Belanda melakukan aksi serangan dari
berbagai arah. Namun, upayanya ini beberapa kali mengalami
kegagalan karena pasukan Ciung Wanara berhasil melakukan
aksi serangan balik.
Tidak hanya itu, Belanda juga sempat menghentikan aksi
serangannya selama satu jam. Beberapa saat kemudian, Belanda
kembali menyerang dengan mengirimkan banyak pasukan serta
pesawat terbang pengintai, kira-kira pukul 11.30 WITA.
Serangan ini kembali berhasil dihentikan oleh pasukan Ciung
Wanara.
Akhirnya Belanda dan pasukannya mundur sejauh 500
meter ke belakang untuk menghindari pertempuran. Kesempatan
ini digunakan oleh I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya untuk
meloloskan diri dari kepungan musuh. Dalam perjalannya
meloloskan diri, tiba-tiba Belanda mengirimkan pesawat terbang
untuk memburu I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya. Untuk
terakhir kalinya I Gusti Ngurah Rai menyerukan "Puputan!',
yang berarti habis-habisan. I Gusti Ngurah Rai bersama
pasukannya bertempur melawan Belanda hingga titik darah
penghabisan. I Gusti Ngurah Rai dan 1372 pejuang Dewan
Perjuangan Republik Indonesia Sunda Kecil gugur dalam
Puputan Margarana.
Sementara itu, van Mook berdasarkan perubahan iklim
politik di Vietnam di mana telah terjadi kesepakatan yang
membawa Vietnam menjadi negara yang merdeka berada
didalam kekuasaan federasi Indo-Cina.
Berdasarkan pada fenomena itu Van Mook pun
memberikan usulan secara pribadi agar Indonesia pun setuju
menjadi wakil Jawa dalam upaya membentuk negara yang bebas
dalam lingkup kerajan Belanda. Hal ini berarti bahwa negara
Indonesia berada di bawah naungan dari pemerintah Kerajaan
Belanda.
Pemerintah Indonesia, melalui perdana menteri Sutan
Sjahrir, pada 27 Maret 1946 memberikan tanggapan terhadap
usulan yang dikemukakan olek Van Mook tersebut dalam
bentuk traktat yang merupakan konsep persetujuan di mana
kesepakatan itu dilaksanakan di kota Hooge Valuwe, Belanda.
Respon keras dari rakyat Indonesia sepanjang periode
1945-1946 terhadap kedatangan Belanda pada akhirnya telah
menghasilkan suatu kesepakatan di Linggarjati pada November
1946 dan disebut sebagai Perundingan Linggarjati. Kesepakatan
ini baru ditandatangani pada 25 Maret 1947 sebagai
perkembangan dari perundingan Hooge Valuwe dan
perundingan gencata senjata pada 7 Oktober 1946.
Kesepakatan ini ternyata tidak mengakhiri konflik antara
Indonesia dengan Belanda. Sebab kedua belah pihak merasa
tidak menyetujui hasil dari kesepakatan itu. Terutama Belanda
yang memang sejak awal tujuannya untuk menguasai kembali
bekas wilayah kekuasaannya itu, tidak merasa puas atas
keputusan diakuinya negara Indonesia meskipun Indonesia
sendiri hanya mencakup wilayah Sumatera, Jawa dan Madura
saja.
Isi dari Perjanjian Linggarjati yakni:
 Belanda mengakui secara de facto atas eksistensi Negara
Republik Indonesia yang meliputi Sumatera, Jawa, dan
Madura.
 Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam
bentuk membentuk negara Serikat, yang salah satu
negaranya adalah Republik Indonesia.
 Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk
Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai
ketuanya.
Ketidakpuasan Belanda dapat disadari sebab Sumatera dan
Jawa terutama adalah sebagai pusat pemerintahan dan
perekonomian sejak masa kekuasaan pemerintah Kolonial
Hindia-Belanda. Dengan demikian maka adalah sebuah
keharusan bagi Belanda untuk kembali menguasai Sumatera dan
Jawa secara khususnya dan wilayah negara Indonesia secara
umumnya yang telah memproklamasikan kemerdekaannya.
Pada 20 Juli 1947 Belanda dan Indonesia memperdebatkan
kembali hasil dari perundingan Linggarjati. Pihak Belanda
secara sepihak menyatakan tidak terikat lagi dengan
perundingan Linggarjati itu. Sehingga pada 21 Juli 1947
Belanda melakukan “Aksi Polisionil”-nya terhadap Indonesia
yang dikenal dengan Agresi Militer 1 Selain itu Belanda juga
melaksanakan kembali aksinya itu pada Desember 1948.
Belanda melaksanakan Agresi Militer Belanda I pada
tanggal 21 Juli 1947. Agresi Militer Belanda I juga biasa disebut
dengan Operatie Product. Berikut beberapa latar belakang
Agresi Militer Belanda I, yaitu: Adanya keinginan Belanda
untuk menjadikan Indonesia sebagai negara jajahannya kembali.
Pemerintah Indonesia menolak ultimatum dari Van Mook untuk
menarik tentara Indonesia sejauh 10 km dari garis demarkasi.
Belanda ingin menguasai sumber daya alam Indonesia untuk
membantu perekonomian Belanda yang mengalami krisis pasca
perang.
Agresi Militer Belanda I bertujuan untuk menguasai
sumber daya alam di pulau Sumatra dan Jawa dan menguasai
daerah yang memiliki nilai starategis dan ekonomi tinggi dimana
terdapat kota, pelabuhan, pabrik, perkebunan, dan pertambangan
Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam, Belanda mulai
melancarkan aksi militer. Pasukan Belanda bergerak dari Jakarta
dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat. Pasukan Belanda di
Surabaya digerakan untuk menguasai Madura dan Jawa Timur.
Sedangkan Pasukan Belanda di Semarang digerakan untuk
menguasai Jawa Tengah. Prioritas Agresi Militer di pulau Jawa
adalah untuk menguasai kawasan pelabuhan pesisir utara,
perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula. Di Sumatera, Belanda
mampu menguasai perkebunan di sekitar Medan serta tambang
minyak dan batu bara di sekitar Palembang.
Agresi Militer Belanda I memperoleh kecaman dari dunia
Internasional, termasuk PBB. India dan Australia mengajukan
permasalahan Agresi Militer Belanda I untuk dibahas pada
agenda sidang Dewan Keamanan PBB tanggal 31 Juli 1947.
Berdasarkan hasil sidang, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan
resolusi yang berisi himbauan kepada Belanda dan Indonesia
untuk menghentikan pertempuran fisik dan mengadakan
gencatan senjata. Agresi Militer 1 tersebut dapat diakhiri melalui
perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948.
Perundingan Renville terjadi pada tanggal 1 Agustus 1947,
di mana Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengeluarkan resolusi sebuah gencatan senjata antara Belanda-
Indonesia. Jenderal Van Mook dari Belanda memerintahkan
pasukannya melakukan gencatan senjata pada 5 Agustus. 20 hari
kemudian, 25 Agustus, Dewan Keamanan berusaha untuk
menyelesaikan konflik antara Indonesia dengan Belanda melalui
saran dari Amerika Serikat.
Agar konflik dapat mereda dengan damai, dibentuklah
Komisi Tiga Negara yang telah disetujui kedua belah pihak,
yaitu Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Pemerintah RI dan
Belanda pada 17 Agustus 1947 sudah lebih dulu sepakat untuk
melakukan gencatan senjata sampai Perjanjian Renville
disetujui, tetapi perang terus berlanjut. Sampai akhirnya
Perjanjian Renville ditandatangani pada 17 Januari 1948 antara
Indonesia dengan Belanda di atas geladak kapal perang Amerika
Serikat yang berlabuh di Jakarta.
Isi dari Perjanjian Renville:
 Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan
Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.
 Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan
wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda.
 TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya
di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Sehingga pada tahun 1948 Belanda melakukan Agresi
Militer Belanda II yang mengirimkan kekuatan militernya
masuk dan melakukan penyerangan terhadap wilayah negara
Indonesia.
Belanda kembali melanggar perjanjian damai Renville
dengan melancarkan Agresi Militer Belanda II pada 19
Desember 1948. Dilansir dari situs resmi Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, terdapat
beberapa tujuan Agresi Militer Belanda II, yaitu:
 Menghancurkan status Republik Indonesia sebagai
kesatuan negara.
 Menguasai Ibukota sementara Indonesia yang saat itu
berada di Yogyakarta.
 Menangkap pemimpin-pemimpin pemerintahan
Indonesia
Belanda mulai menyerang Yogyakarta secara mendadak
pada Minggu pagi 19 Desember 1945. Belanda menyerang
Yogyakarta melalui jalur darat dan udara. Angkatan Udara dan
pasukan terjun payung dikerahkan oleh Belanda untuk
membombardir lapangan terbang Maguwo dan kawasan timur
kota Yogyakarta. Tentara Indonesia sangat terkejut dengan
serangan cepat yang dilakukan oleh Belanda dan tidak mampu
berbuat banyak. Pada sore hari 19 Desember 1945, Yogyakarta
berhasil dikuasai oleh Belanda dan Istana pemerintah Indonesia
dapat ditaklukan.
Selanjutnya, Belanda melakukan penangkapan terhadap
pemimpin tertinggi negara seperti Soekarno, Moh Hatta, Agus
Salim dan jajaran kabinet yang berada di Istana. Para pemimpin
Indonesia membiarkan dirinya ditangkap agar serangan fisik
Belanda dapat diredakan dan menggiring opini dunia mengenai
kebrutalan sikap Belanda. Sebelum ditangkap, para pemimpin
Indonesia telah memberikan mandat kepada Syafrudin
Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Agresi Militer Belanda II menyebabkan korban jiwa dan
kerusakan yang masif bagi Indonesia. Namun di sisi lain,
Indonesia diuntungkan dengan adanya kecaman dari dunia
Internasional terhadap Agresi Militer Belanda II. Belanda
memperoleh bencana politik dari keputusan mereka untuk
melancarkan Agresi Militer Belanda II.
Oleh karena itu dilakukan Perjanjian Roem-Royen yang
dibuat Indonesia dengan Belanda pada 7 Mei 1949 untuk
menyelesaikan konflik di awal kemerdekaan. Perundingan
tersebut dipimpin oleh Mele Cochran dari Amerika Serikat.
Untuk delegasi dari Indonesia adalah Moh. Roem, sedangkan
delegasi dari Belanda adalah H.J. Van Royen.
Latar belakang perundingan Roem-Royen adalah aksi
militer yang dilakukan oleh Belanda pada agresi militer II serta
ketegangan-ketegangan akibat konflik Indonesia-Belanda.
Akhirnya Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 4 Januari
1949 memerintahkan Belanda dan Indonesia menghentikan
masing-masing operasi militernya. United Nations Commission
for Indonesia (UNCI) membawa perwakilan kedua negara ke
meja perundingan pada 17 April 1949. 
PBB merasa sangat tersinggung dengan adanya Agresi
Militer Belanda II. PBB menganggap bahwa Belanda tidak
memiliki etikat baik dalam upaya penyelesaian masalah. Selain
itu, Amerika Serikat juga melemparkan amarahnya kepada
Belanda. Hal tersebut terlihat dari tindakan Amerika Serikat
yang menghentikan dana bantuan kepada Belanda. Amerika
Serikat dan PBB sebagai kekuatan besar dunia menyudutkan
Belanda untuk mengadakan gencatan senjata dan melakukan
perundingan damai sesegera mungkin.
Belanda mendapat kecaman dari Dewan keamanan PBB
untuk segera mengakhiri agresinya terhadap Indonesia. Selain
itu juga terdapat kecaman dari Amerika Serikat yang akan
memberikan bantuan ekonomi kepada Belanda jika masih
melakukan agresinya terhadap Indonesia. Dengan demikian
konflik bersenjata antara Indonesia dengan Belanda dapat
diakhiri dan melanjutkannya ke meja perundingan pada tahun
1949 di dalam Konferensi Meja Bundar.
B. Respon PBB terhadap Ploklamasi Kemerdekaan
Indonesia
Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya
pada tanggal 17 Agustus 1945. Di awal kemerdekaan, tidak
semua negara mengakui kemerdekaan Indonesia. Proklamasi
kemerdekaan Indonesia langsung mendapat penolakan keras dari
pihak Belanda yang memang pernah lama menjajah Indonesia
selama berabad-abad.
Meski begitu, ada juga beberapa negara yang mengakui
kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah Mesir, India,
Australia, dan negara-negara lainnya. Tentu jalan panjang
pengakuan kemerdekaan ini dilalui melalui diplomasi dan
perundingan. Tokoh-tokoh diplomat Indonesia saat itu turut
berjuang untuk mendapat pengakuan dari dunia internasional.
PBB selaku lembaga internasional yang turut mendorong
perdamaian dunia juga turut berperan dalam pengakuan
kemerdekaan Indonesia.
Berikut ini merupakan pembahasan respon PBB terhadap
kemerdekaan Indonesia yaitu :
1. Menjadi Perantara dalam Konferensi Meja Bundar
antara Indonesia dan Belanda
Konferensi Meja Bundar (KMB) menjadi tonggak sejarah
kemerdekaan Indonesia. Pasalnya, setelah Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945,
Belanda masih berupaya menguasai Indonesia. Berbagai upaya
dilakukan Indonesia agar bisa merdeka. Mulai dari perang
gerilya hingga diplomasi. Konferensi Meja Bundar yang digelar
di Den Haag, Belanda pada 23 Agustus-2 November 1949
menjadi upaya diplomasi yang berhasil membebaskan Indonesia
dari Belanda.
Sebelum KMB, Indonesia dan Belanda sudah beberapa kali
mengupayakan kemerdekaan lewat diplomasi.Ada perjanjian
Linggarjati pada 1946, perjanjian Renville pada 1948, dan
perjanjian Roem-Royen pada 1949.
Diadakannya Konferensi Meja Bundar juga menjadi salah
satu kesepakatan dalam Perjanjian Roem-Royen. KMB
bertujuan menyelesaikan sengketa Indonesia dan Belanda seadil
dan secepat mungkin. Indonesia ingin jalan dan cara penyerahan
kedaulatan yang sungguh, penuh, dan tidak bersyarat kepada
Negara Indonesia Serikat (NIS) sesuai dengan pokok-pokok
persetujuan Renville. Para pihak yang turut serta dalam KMB
mengupayakan agar KMB dapat dimulai pada 1 Agustus 1949.
Mereka berharap konferensi diselesaikan dalam waktu dua
bulan. Kemudian persetujuan yang dihasilkan KMB diusahakan
selesai dalam waktu enam minggu.
Bundar Perundingan antara Indonesia dan Majelis
Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst voor Federaal
Overleg (BFO) intensif digelar pada Maret 1949 di Bangka.
Dalam rangka mempersiapkan KMB di Den Haag, RI dan BFO
mengadakan perundingan untuk menyatian pendapat.
Perundingan dilaksanakan dua kali yakni di Yogyakarta pada 19
Juni 1949 dan di Jakarta pada 22 Juni 1949.
Perundingan itu dikenal dengan Perundingan Inter-
Indonesia. Hasilnya, Indonesia dan BFO sepakat mendirikan
Republik Indonesia Serikat (RIS). Sesudah berhasil
menyelesaikan masalahnya sendiri lewat Konferensi Inter-
Indonesia, Indonesia siap menghadapi KMB. Belanda Akui
Kedaulatan Indonesia.
Pada tanggal 4 Agustus 1949, dibentuk delegasi yang
diketuai Moh Hatta. Anggotanya yakni: Moh Roem Soepomo
Leimena Ali Sastroamidjojo Juanda Sukiman Suyono Hadinoto
Sumitro Djojohadikusumo Abdul Karim Pringgodigdo TB
Simatupang Sumardi Sementara dari BFO dipimpin Sultan
Hamid II dari Pontianak.Adapun Belanda diwakili oleh Van
Maarseven.
KMB diawasi United Nations Commission for Indonesia
(UNCI) yang dipimpin oleh Chritchley (Australia). KMB dibuka
pada 23 Agustus 1949. Perundingan KMB berjalan alot dan
lama.Dimulainya Konferensi Meja Bundar di Den Haag,
Belanda Dua masalah yang sulit mencapai titik temu yakni
pembentukan Uni Indonesia-Belanda dan soal utang Hindia
Belanda. Hasil dan dampak Konferensi Meja Bundar Setelah
melalui pembahasan yang berlarut-larut, pada 2 Nobember 1949
tercapailah persetujuan Konferensi Meja Bundar.
Hasil KMB yakni:
 Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik
Indonesia Serikat pada akhir Desember 1949. Akan
dibentuk Uni Indonesia-Belanda. Dalam uni itu,
Indonesia dan Belanda akan bekerja sama. Kedudukan
Indonesia dan Belanda sederajat.
 Indonesia akan mengembalikan semua milik Belanda
dan memabayar utang-utang Hindia Belanda sebelum
tahun 1949.
 Masalah Irian Barat akan dibahas satu tahun
kemudian.

Dampak dari KMB yakni Indonesia akhirnya mendapat


kedaulatannya. Acara penyerahan kedaulatan berlangsung pada
27 Desember 1949. Penandatanganan naskah penyerahan
kedaulatan berlangsung di dua kota yakni Amsterdam dan
Jakarta naskah penyerahan kedaulatan ditandatangani Ratu
Juliana dan Moh Hatta. Di Jakarta, naskah ditandatangani AHJ
Lovink dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Tanggal 27
Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik.
Soekarno menjadi Presiden. Perdana Menterinya Moh Hatta.
Kabinet RIS dibentuk. RIS dibentuk seperti republik federasi
berdaulat yang terdiri dari 16 negara bagian dan merupakan
persekutuan dengan Kerajaan Belanda.
Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949 menjadi pertanda
sebagai berakhirnya konflik bersenjata antara Indonesia dengan
Belanda. Konferensi Meja Bundar yang terutama menghasilkan
kesepakatan yaitu pemerintah Kerajaan Belanda mengakui
kedaulatan Indonesia. 

2. Menyelesaikan Konflik Indonesia dan Belanda


PBB berperan besar dalam menyelesaikan konflik antara
Indonesia dan Belanda usai kemerdekaan. Meski sudah
memproklamasikan kemerdekaan di tahun 1945, namun Belanda
masih tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia dan terus
berupaya melakukan serangan militer.
PBB pun berperan untuk melakukan resolusi antara
Indonesia dan Belanda, dengan mengeluarkan rekomendasi
untuk membentuk Komisi Tiga Negara (KTN), yang dibentuk
pada tanggal 18 Desember 1947. Pembentukan KTN juga
dilatarbelakangi oleh Agresi Militer I oleh Belanda.
Setelah itu, PBB juga berperan pada pembentukan badan
perdamaian bernama United Nations Commission for Indonesia
(UNCI). Tugas UNCI menggantikan KTN, untuk membantu
memperlancar segala bentuk perundingan antara Indonesia
dengan Belanda.
3. Mengakui Kemerdekaan Indonesia Setelah Konferensi
Meja Bundar (KMB)

Indonesia kemudian diakui kemerdekaaanya oleh PBB dan


negara-negara anggotanya. Indonesia juga resmi menjadi
anggota PBB setelah kemerdekaan Indonesia diakui oleh
Belanda, melalui hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang
digelar di Den Haag, Belanda pada tanggal 3 Agustus sampai 2
November 1949.
Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh PBB disahkan
melalui Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
nomor 86, yang ditetapkan pada tanggal 26 September 1950.
Resolusi ini dibuat setelah PBB menyepakati bahwa Indonesia
adalah negara yang mencintai perdamaian sehingga memenuhi
persyaratan dalam Piagam PBB.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun respon internasional terhadap proklamasi kemerdekaan
Indonesia ada yang positif dan negatif. Artinya proklamasi kemerdekaan
yang terjadi di Indonesia mendapat pengakuan dari negara-negara asing
diantaranya Mesir dan India. Pengakuan ini menjadi faktor penting
dalam terbentuknya sebuah negara. Adapun respon negatifnya dari
negara Belanda yang menolak kemerdekaan Indonesia. Kemudian
dengan adanya PBB menjadi organisasi penting yang menaungi atau
membantu upaya untuk penerimaan kemerdekaan Indonesiaa terutama
terhadap Belanda.
B. Saran
Respon Internasional Terhadap Ploklamasi Kemerdekaan
Indonesia harus dipelajari karena dalam sejarahnya kita dapat
mengetahui bagaimana perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan
pemerintahan kolonial dan bagaimana kondisi bangsa Indonesia pada
saat itu sehingga dapat menumbuhkan rasa nasionalisme kita dan
membuat kita lebih bersyukur dengan apa yang kita dapatkan sekarang
dibandingkan pada masa pemerintahan kolonial dan Tentunya pada
penulis telah menyadari bahwa dalam penyusunan makalah diatas masih
banyak terdapat kesalahan dan jauh dari kata sempurna sehingga kita
berharap pembaca dapat memberikan saran dan kritik terhadap makalah
yang kami buat.
Daftar Pustaka
Bahan Materi Cetak Sejarah Perminatan Kelas XII
https://www.abhiseva.id/2020/04/respon-belanda-terhadap-
proklamasi.html

https://kemlu.go.id/portal/id/read/134/halaman_list_lainnya/pers
erikatan-bangsa-bangsa-pbb

https://www.haruspintar.com/respon-pbb-terhadap-
kemerdekaan-indonesia/

Anda mungkin juga menyukai