Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

BUDAYA HUKUM SUKU TENGGER

DISUSUN OLEH:

Nama: Rozzy Akhmad Fathoni


NIM: 201910110311402
Kelas: H

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, yang telah memberi rahmat, hidayah serta inayahnya saya dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Budaya Hukum Suku Tengger” ini
dengan lancar. Tak lupa sholawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan
kita Nabi besar Muhammad SAW karena beliaulah kita semua dapat menuju
kejalan yang benar.
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk membahas mengenai budaya
hukum suku Tengger yang hidup didaerah lereng Gunung Bromo, Jawa Timur.
Budaya hukum yang akan dibahas adalah mengenai cara pemilihan pemimpin,
konsep perkawinan, konsep waris, serta konsep pidana.
Saya sendiri menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, makadari itu kritik serta saran dari pembaca sangat diperlukan bagi
saya untuk membuat makalah yang lebih baik lagi. Saya berharap makalah ini bisa
memberi manfaat dan inspirasi bagi para pembaca.
Demikian, semoga makalah ini bisa memberi manfaat bagi kita semua.

Malang, 8 Desember 2019

Rozzy Akhmad Fathoni


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................ 2
1.3 Tujuan Makalah............................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................... 3
2.1 Sistem Pemilihan Pemimpin............................................................................ 3
2.2 Konsep Perkawinan.......................................................................................... 3
2.3 Konsep Waris................................................................................................... 4
2.4 Konsep Pidana.................................................................................................. 6

BAB III PENUTUP............................................................................................. 7


3.1 Kesimpulan...................................................................................................... 7
3.2 Saran................................................................................................................ 7

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 9
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Suku Tengger merupakan suku yang mendiami kawasan Gunung Bromo,


Jawa Timur. Mereka tersebar disebagian 4 wilayah kabupaten yang ada di
Jawa Timur, yakni Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang, Kabupaten
Probolinggo, dan Kabupaten Malang. Sebenarnya kata “Tengger” sendiri
berasal dari legenda Roro Anteng dan Joko Seger, gabungan dari kata “Teng”
yang diambil dari nama belakang Roro Anteng dan “Ger” yang diambil dari
nama belakang Joko Seger. Suku Tengger yang mendiami kawasan Gunung
Bromo ini mempunyai populasi sekitar 500.000 orang. Orang-orang suku
Tengger sebenarnya adalah keturunan langsung dari kerajaan Majapahit. Pada
abad ke 16 kerajaan Majapahit yang mengalami kekalahan akibat serangan
dari kerajaaan Islam yang dipimpin oleh Raden Patah melarikan diri dan
mencari tempat yang aman. Sebagian ada yang mengungsi ke Bali dan
sebagian lagi mengungsi ke Gunung Bromo dan berkembang menjadi suku
Tengger yang kita kenal saat ini. Sama halnya seperti suku-suku yang ada di
Indonesia, suku Tengger memiliki keunikan tersendiri yang menjadi ciri khas
dari suku tersebut.

Dalam masyarakat suku Tengger terdapat 7 unsur kebudayaan yang


melekat pada diri mereka. Masyarakat suku Tengger masih menggunakan
bahasa jawi kuno (bahasa kawi) bahasa yang digunakan masyarakat Tengger
tersebut diyakini sebagai dialek pada masa kerajaan Majapahit. Bahasa
tersebut banyak mengandung kalimat-kalimat kuno yang tidak bisa dijumpai
pada bahasa jawa modern pada saat ini. Seiring berkembangnya jaman,
banyak sekolah-sekolah yang dibangun didaerah tempat suku Tengger
bermukim. Tapi masih terdapat juga sebagian masyarakat yang masih
mempercayai mantra-mantra. Kehidupan organisasi masyarakat suku Tengger
terdiri dari kelompok-kelompok desa, masing-masing keelompok desa
dipimpin oleh dukun pandita, lalu semua desa-desa tersebut dipimpin oleh
kepala adat (kepala dukun). Masyarakat suku tengger lebih menghormati
kepala adat maupun dukun daripada pemimpin administratif dikarenakan
dukun mempunyai pengaruh yang amat besar bagi kehidupan masyarakat suku
Tengger. Mereka menjunjung tinggi demokrasi serta nilai persamaan, hal itu
tercermin dari kehidupan sosial mereka yang meniadakan sistem kasta pada
masyarakat Hindu pada umumnya. Sistem peralatan hidup dan teknologi
masyarakat Tengger mendapat pengaruh dari luar yang diakibatkan oleh
wisatawan, sistem peralatan hidup dan teknologi masyarakat suku Tengger
berangsung-angsur mengalami kemajuan. Teknologi yang mereka gunakan
bisa dikatakan sama seperti yang digunakan oleh masyarakat jawa modern.
Sebagian besar masyarakat suku Tengger bermatapencaharian sebagai petani
sayur-sayuran seperti kentang, wortel, kubis, jagung, dan bahkan tembakau.
Mereka juga bekerja sebagai penambang pasir dan belerang di Gunung
Bromo. Selain itu, sebagian ada juga yang berprofesi sebagai pemandu wisata
dikawasan Gunung Bromo. Mayoritas masyarakat suku Tengger menganut
agama Hindu, selain itu ada juga yang menganut agama Islam dan juga
Kristen, namun hanya sebagian kecil saja. Suku Tengger mempercayai adanya
roh penunggu desa yang dipuja disebuah punden. Tari merupakan salah satu
bentuk kesenian dari budaya suku Tengger, tidak hanya sekedar sebagai
pertunjukan saja, tarian bagi masyarakat suku Tengger merupakan sesuatu
yang sakral untuk dilaksanakan. Ada beberapa seni tari dari suku Tengger
yakni, tari sodoran, tari ujung, dan tari probo mutrim.

1.2 Rumusan Masalah


1. Konsep tata negara
- Bagaimana cara pemilihan pemimpin pada masyarakat suku
Tengger?
2. Konsep perdata
- Bagaimanna konsep perkawinan pada masyarakat suku Tengger?
- Bagaimanna konsep waris pada masyarakat suku Tengger?
3. Konsep pidana
- Apa sanksi bagi orang Tengger yang melanggar hukum?

1.3 Tujuan Makalah


1. Untuk mempelajari budaya hukum suku Tengger.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sistem Pemilihan Pemimpin Suku Tengger


Dalam kehidupan masyarakat suku Tengger, mereka mengenal 2 jenis
kepemimpinan yang ada dalam masyarakat, yakni kepemimpinan secara
administratif dan kepemimpinan secara adat. Dalam kepemimpinan administratif,
sistem tata negara dalam masyarakat suku Tengger sama seperti daerah-daerah
lain pada umumnya. Dipimpin oleh seorang kepala desa yang dipilih oleh warga.
Dibawahnya juga terdapat perangkat-perangkat kenegaraan, seperti RW dan RT.
Kepala desa bertugas mengurusi hal-hal yang bersifat administratif, seperti
mencatat kependudukan. Selain itu kepala desa juga memiliki wewenang untuk
memilih secara langsung dukun pandita.
Dalam konteks adat, masyarakat suku Tengger dipimpin oleh seorang
dukun yang disebut dukun pandita. Bagi masyarakat suku Tengger, dukun pandita
memiliki kedudukan yang tinggi dan dipandang sebagai orang yang terhormat dan
memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan sehari-hari masyarakat
Tengger. Hal itu dikarenakan seorang dukun pandita memiliki tugas dan
wewenang melaksanakan dan memimpin jalannya upacara-upacara adat yang
sangat sakral bagi suku Tengger. Dukun pandita bertugas untuk memimpin ritual
keagamaan, memimpin upacara-upacara adat, membaca doa atau mantra, dan juga
menjaga nilai-nilai adat agar berjalan sesuai dengan ketentuan adat. Dalam
menjalankan tugasnya dukun pandita dibantu oleh legen dan wong sepuh, yang
bertugas untuk menyiapkan sesajen maupun tempat upacara. Legen dan wong
sepuh dipilih secara langsung oleh dukun pandita.
Setiap desa yang ada di Tengger memiliki dukun pandita tersendiri, dan
seluruh dukun pandita tersebut berada dibawah naungan sebuah paguyuban dukun
yang disebut paruman. Paruman dipimpin oleh kepala dukun dengan 2 orang
wakil. Seorang kepala dukun adalah orang yang dituakan karena bertugas untuk
memimpin serta mengkoordinasikan dukun-dukun dari seluruh desa yang ada
disuku tengger.
Pemilihan seorang dukun pandita dilakukan ketika terjadi kekosongan
jabatan. Kepala desa bertugas untuk memilih calon dukun pandita, selain dari
kepala desa, seorang warga biasa juga bisa mengajukan diri untuk menjadi calon
dukun panidta. Seorang calon dukun pandita tidak harus berasal dari keturunan
dukun pandita sebelumnya, namun harus memiliki pengalaman sebagai legen atau
asisten dukun. Setelah itu kepala desa akan membuat surat rekomendasi yang
akan diajukan kepada Paruman. Kemudian calon dukun pandita akan diajari
membaca dan menghafalkan mantra-mantra oleh dukun pandita yang lebih senior
untuk selanjutnya diadakan proses pengujian dukun pandita pada pelaksanaan
upacara kasodo. Calon dukun pandita selanjutnya akan diuji oleh seluruh dukun
pandita senior dan diminta untuk melafalkan mantra-mantra secara jelas, benar,
dan tidak boleh terbata-bata, calon dukun pandita diberi kesempatan tiga kali
dalam membaca mantra tersebut. Penentuan berhasil tidaknya calon dukun
pandita ditentukaan melalui musyawarah yang dilakukan oleh seluruh dukun
pandita senior yang ada didesa suku Tengger. Jika seorang calon dukun pandita
berhasil lolos dalam ujian tersebut, maka akan dibacakan SK sebagai penanda
bahwa calon dukun resmi menjadi seorang dukun pandita. Dalam hal ini bisa
dikatakan bahwa sistem pemilihan pemimpin (dukun pandita) pada masyarakat
Tengger termasuk kategori achieved status. Karena seorang yang ingin
mencalonkan diri menjadi dukun pandita tidak harus berasal dari keturunan
seorang dukun pandita sebelumnya, sehingga semua warga Tengger mempunyai
hak yang sama untuk menjadi seorang dukun pandita, asalkan harus memenuhi
syarat serta harus lolos dalam ujian untuk menjadi soerang dukun.

2.2 Konsep Perkawinan Suku Tengger


Seiring dengan perkembangan sektor pariwisata dikawasan
Gunung Bromo, banyak wisatawan yang berkunjung dan berpotensi
terhadap masuknya budaya-budaya dari luar. Namun hal tersebut tidak
berpengaruh bagi masyarakat suku Tengger yang tetap kukuh
mempertahankan nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan mereka.
Seperti sistem perkawinan mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur
dalam setiap pelaksanaannya. Sistem perkawinan suku Tengger bersifat
eksogami dan heterogami, yakni tidak ada larangan bagi masyarakat
Tengger untuk menikah dengan orang diluar suku maupun dengan orang
yang memiliki lapisan sosial yang berbeda. Perempuan Tengger bila ingin
menikah dengan orang diluar suku, maka dalam pelaksanaannya harus
tetap menggunakan ritual adat Tengger. Setelah menikahpun diharuskan
untuk menetap didaerah Tengger, bila memutuskan untuk tinggal didaerah
sang suami (diluar suku) maka perempuan tersebut dianggap sudah keluar
dari keanggotaan suku Tengger. Dalam pelaksanaan pernikahan pasangan
yang berbeda agama juga harus disepakati diantara kedua mempelai untuk
memutuskan agama mana yang akan dipeluk agar dalam pelaksanaan
prosesi pernikahan akan jelas memakai ritual agama apa.

Didalam pelaksanaan prosesi perkawinan masyarakat suku Tengger


memiliki beberapa prosesi perkawinan yang harus dilakukan, yaitu:

1. Lamaran
Didalam acara lamaran, hari pernikahan kedua mempelai akan
ditentukan oleh kepala desa dan dicocokkan oleh dukun pandita agar
sesuai dengan weton jawa.

2. Pawiwahan (Ijab Qabul)


Pelaksanaan pawiwahan atau ijab qabul dipimpin oleh seorang dukun
pandita dan dengan mas kawin dibayar hutang dengan mengucap ikrar
“sri kawin kalih ringgit arto perak utang”. Disitulah letak keunikan
adat pernikah suku Tengger, dimana mas kawin yang diberikan oleh
mempelai pria kepada mempelai wanita dibayarkan secara hutang
dalam wujud tanggungjawab sepanjang hayat. Secara pribadi mas
kawin tetap diberikan kepada mempelai wanita seperti emas, uang
ataupun sapi. Namun secara umum dalam pelaksanaan pawiwahan,
mas kawin tidak disebutkan, suku Tengger hanya menyebutnya dengan
“sri kawin”, yaitu tanggung jawab kepada keluarga yang harus dipikul
dan tidak bisa dilunasi sepanjang hayat. Karena kesakralan “sri kawin”
itulah tidak ada perceraian maupun poligami dalam suku Tenigger.
Perrnikahan tersebut tetap tercatat dalam negara karena sudah
mendapat ijin dari pemerintah daerah.

3. Walagara (Temu Manten)


Setelah menjalani prosesi pawiwahan, selanjutnya akan diadakan
walagara atau temu manten. Walagara dilaksanakan sebagai wujud
syukur atas pernikahan yang dilaksanakan dengan mengundang para
kerabat. Kedua mempelai diarak dengan diringi oleh gamelan Tengger,
pada acara ini biasa disebut “upacara ngarak”.
Terdapat juga hal-hal yang bisa membatalkan sebuah pernikahan, yakni :
a). Karena hubungan keturunan yang masih dekat, misalnya satu canggah
(neneknya nenek) (Fatmawati, 2016).

b). Dadung kepuntir. Contoh, A, B dan C masing-masing mempunyai anak laki-


laki dan juga anak perempuan. Mereka bukan keturunan satu canggah. Namun
jika anak laki-laki A kawin mendapat anak perempuan B, anak laki-laki B kawin
dengan anak perempuan
C dan anak laki-laki C kawin dengan anak perempuan A, maka perkawinan
semacam ini tidak diperbolehkan (Fatmawati, 2016).

c). Papakan Wali. Contohnya, A dan B masing-masing mempunyai anak laki-laki


dan perempuan. Anak laki-laki A kawin mendapat anak perempuan B dan anak
laki-laki B kawin mendapat anak perempuan A. Maka perkawinan demikian
disebut papagan wali dan tidak
diijinkan (Fatmawati, 2016).

d). Kesandung watang atau kerubuhan gunung, bila akan dilakukan perkawinan
ada keluarga dekat yang meninggal dunia, maka perkawinan harus dibatalkan
(Fatmawati, 2016).

2.3 Konsep Waris Suku Tengger


Pada umumnya, sistem pembagian waris dalam hukum adat suku Tengger,
anak kandung laki-laki maupun anak kandung perempuan memiliki hak yang
sama atas warisan orang tuanya. Tidak ada perbedaan antara anak laki-laki
maupun anak perempuan dalam pembagian waris suku Tengger. Karena didalam
kacamata masyarakat Tengger tidak ada yang membedakan kedudukan antara
laki-laki dan perempuan. Jadi anak laki-laki dan perempuan memiliki hak yang
sama atas waris yang diberikan oleh orang tua. Dalam hal ini yang dimaksud sama
disini bukan berarti sama jumlahnya secara matematis, namun sama disini dapat
diartikan sebagai pembagian yang adil. Dapat diambil contoh, misalnya seorang
laki-laki mendapatkan sebidang tanah maka anak perempuan akan mendapatkan
rumah.
Didalam masyarakat suku Tengger, anak kandung lebih memilliki priotitas
lebih dalam pembagian waris dibanding anak angkat. Namun tidak menutup
kemungkinan bila pembagian waris antara anak kandung dan anak angkat juga
sama, hal tersebut terjadi apabila anak kandung memiliki belas kasihan terhadap
anak angkat.
Satu lagi yang unik dari suku Tengger adalah tentang pembagian waris
tanah. Seorang suku Tengger tidak akan pernah menjual tanahnya kepada orang
luar dari sukunya. Mereka hanya akan mewarisi tanah yang dimilikinya tersebut
secara turun-temurun. Kalaupun tanah tersebut dijual, mereka akan menjual tanah
tersebut hanya kepada kerabat terdekat saja.

2.4 Konsep Pidana Suku Tengger


Dalam permasalahan hukum, masyarakat Tengger masih memegang teguh
hukum adat dari nenek moyang mereka dan tradisi atau kebiasaan yang masih
bersifat tradisional dalam penyelesaian perkara yang terjadi berdasarkan hukum
adat (Fatmawati, 2016). Dalam menghadapi sengketa perdata maupun pidana,
masyarakat Tengger mengenal adanya pengadillan adat, yang dipimpin oleh
seorang kepala dukun. Dalam permasalahan kasus pencurian maka kepala adat
akan mendengarkan kesaksian serta keterangan dari kedua belah pihak (pencuri
dan yang dicuri). Untuk kemudian kepala adat akan memastikan benar salahnya
lalu akan ditentukan hukuman dan atau dendanya. Karena suku Tenggger
menjunjung tinggi asas kekeluargaan, maka dalam pelaksanaan kasus tersebut
akan dilakukan secara bertahap, yakni tingkat RT, RW, sampai Desa. Karena
kasus pencurian merupakan kasus yang ringan, maka kasus tersebut diberikan
oleh seluruh masyarakat suku Tengger dengan kesepakatan. Apabila terjadi kasus
pidana yang cukup berat seperti kasus pembunuhan atau sebagainya, maka hal
tersebut akan langsung diserahkan kepada pihak yang berwenang.
BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan

1. Suku Tengger mengenal 2 jenis kepemimpinan, yakni kepemimpinan


secara administratif serta kepemimpinan secara adat. Mereka lebih
menghormati pemimpin adat dibanding kepala desa, karena pemimpin
adat (dukun pandita) memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan
masyarakat Tengger. Seorang pemimpin adat mempunyai tugas dan
wewenang dalam memimpin serangkaian upacara-upacara adat suku
Tengger. Dalam pemilihan pemimpin adat harus dilaksanakan serangkaian
acara serta dilakukan tes untuk menguji kelayakan seorang pemimpin adat.
Jika seseorang mampu melewati tes tersebut, maka kepala adat akan
membacakan SK untuk mengumumkan bahwa orang tersebut sudah sah
menjadi pemimpin adat.

2. Sistem perkawinan masyarakat Tengger tergolong unik, karena dalam


prakteknya tidak ada mas kawin yang diberikan mempelai laki-laki.
Namun diganti dengan mengucap ikrar “sri kawin kalih ringgit arto perak
utang”, yakni mas kawin tersebut berupa tanggungjawab kepada calon
keluarga yang tidak bisa dilunasi sampai kapanpun.

3. Dalam praktek pembagian waris, seorang anak laki-laki dan perempuan


memiliki hak yang sama dalam pembagian harta waris oranng tua. Anak
kandung lebih memilliki priotitas lebih dalam pembagian waris dibanding
anak angkat. Namun tidak menutup kemungkinan bila pembagian waris
antara anak kandung dan anak angkat juga sama, hal tersebut terjadi
apabila anak kandung memiliki belas kasihan terhadap anak angkat.

4. Masyarakat Tengger sudah mengenal adanya pengadilan adat yang


dipimpin oleh kepala dukun. Pengadilan adat dikhususkan untuk
menangani kasus-kasus ringan seperti pencurian. Namun dalam
permasalahan kasus pidana yang tergolong berat maka kasus tersebut akan
diserahkan pada pihak yang berwenang.

1.2 Saran
1. Masyarakat Tengger mengenal 2 jenis kepemimpinan, yaitu secara
administratif (kepala desa) maupun secara adat (dukun pandita). Sebaiknya
dukun pandita dimasukkan kedalam perangkat desa (modin dalam Islam),
agar dukun mempunyai peran dan andil dalam urusan administrasi desa.
Karena dukun pandita merupakan elemen terpenting didalam masyarakat
Tengger.
2. Pada sistem pernikahan adat suku Tengger, prosesi pawiwahan (ijab qabul)
yang dilaksanakan mempunyai nilai yang sangat sakral sekali. Karena
ikrar “sri kawin kalih ringgit arto perak utang” adalah bentuk
tanggungjawab suami kepada istri sebagai bentuk hutang yang tidak bisa
dilunasi sampai akhir hayat. Semoga suku Tengger tetap mempertahankan
sistem pernikahan tersebut ditengah arus perubahan yang semakin deras.
3. Dalam praktek pembagian waris, sebaiknya seorang anak perempuan hanya
mendapat sepertiga dari total pembagian harta waris. Karena seorang
perempuan ketika sudah menikah akan ditanggung hidupnya oleh
suaminya kelak. Sedangkan laki-laki akan menanggung istri dan anak-
anaknya kelak. Maka pembagian waris seharusnya lebih diprioritaskan
kepada anak laki-laki.
4. Asas kekeluargaan yang dijunjung oleh masyarakat Tengger dalam
penyelesaian kasus pidana ringan seperti pencurian dinilai kurang efektif.
Karena bisa saja tidak akan menimbulkan efek jera terhadap pelaku
pencurian, sehingga akan mengakibatkan sang pelaku akan melakukan
pencurian dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA

Fatmawati. 2016. “Peran Pemangku Adat Suku Tengget Dalam


Menjalankan Sistem Hukum Adat”. Jurnal Rechtens. Vol 5 No 1.
Diperoleh tanggal 12 Desember 2019 dari
http://ejurnal.uij.ac.id/index.php/REC/article/view/126

Febriyanto,Aris, Dominikus Rato, Edy Sriono. 2014. “Status Hukum Anak


Kandung Suku Tengger Yang Menikah Dengan Orang Luar Suku Tengger
Menurut Hukum Adat Waris Suku Tengger”. Artikel ilmiah.

Hidayat, Syifa Sakinah. 2019. “Kedudukan, Peran, dan Fungsi Dukun


Pandita di Suku Tengger”. Indonesian Journal of Anthropology. Vol 4 (1).
Diperoleh tanggal 06 Desember 2019 dari
http://jurnal.unpad.ac.id/umbara/article/view/20543/11043

Kurniawati,Putri Indah, Charisma Dinastiti, Yasinta Kurnia Ningtias, Siti


Khoiriyah, Noviani Achmad Putri. 2012. “Potret Sistem Perkawinan
Masyarakat Tengger Di Tengah Modernitas Industri Pariwisata”.
Solidarity: Journal of Education, Society and Culture. Vol 1 No 1.
Diperoleh tanggal 06 Desember 2019 dari
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/solidarity/article/view/215
Nana. 2018. “Dari Sodoran, Ujung, dan Probo Mutrim, Tari Suku
Tengger yang Lestari”. (Online). Diakses
(https://jatimtimes.com/amp/baca/168203/20180304/140750/dari-sodoran-
ujung-dan-probo-mutrim-tari-suku-tengger-yang-lestari) (08-Desember-
2019)

RomaDecade. “Suku Tengger”, (online), 2019,


(https://www.romadecade.org/suku-tengger/) (07-Desember-2019)

Wikipedia. “Suku Tengger”. (Online),


(https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Tengger) (07-Desember-2019)

Anda mungkin juga menyukai