Anda di halaman 1dari 11

PERNIKAHAN ADAT JAWA DI MASYARAKAT KABUPATEN MADIUN

PROVINSI JAWA TIMUR


TUGAS MATA KULIAH PENGANTAR ANTROPOLOGI
DOSEN PENGAMPU: Ahmad Munif, S.Sos., M.Si.

Oleh
Risma Ayu Laksmita
150910301047

Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Jember
Semester Genap 2015/2016
Prakata

Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa, kiranya pantaslah penulis
memanjatkan puji syukur atas segala nikmat yang telah diberikan, baik kesempatan maupun
kesehatan, sehingga dapat menyelesaikan makalah Pengantar Antropologi ini dengan baik.
Salam dan salawat selalu tercurah kepada Rasulullah SAW, yang telah membawa manusia
dari alam jahiliyah menuju alam yang berilmu seperti sekarang ini.
Makalah Pengantar Antropologi ini buat berjudul “Pernikahan Adat Jawa Di
Masyarakat Kabupaten Madiun Provinsi Jawa Timur”. Makalah ini dapat hadir seperti
sekarang ini tak lepas dari bantuan banyak pihak. Untuk itu sudah sepantasnyalah penulis
mengucapkan rasa terima kasih kepada mereka yang telah berjasa membantu selama proses
pembuatan makalah ini dari awal hingga akhir.
Namun, penulis menyadari bahwa di dalam makalah ini masih terdapat hal-hal yang
belum sempurna dan luput dari perhatian. Baik itu dari bahasa yang digunakan maupun dari
teknik penyajiannya. Oleh karena itu, dengan segala kekurangan dan kerendahan hati,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca sekalian demi perbaikan
makalah-makalah selanjutnya.
Akhirnya, besar harapan agar kehadiran makalah ini dapat memberikan manfaat yang
berarti untuk para pembaca. Dan yang terpenting adalah semoga dapat turut serta memajukan
ilmu pengetahuan.

Penulis Jember, April 2016


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Arus globalisasi yang sedang melanda seluruh dunia tidak selalu membawa dampak
yang positif bagi manusia. Arus globalisasi membuat sesuatu yang tidak mendapat perhatian
masyarakat luas akan tersisih kemudian hilang, seperti layaknya proses seleksi alam.
Sehingga, banyak budaya-budaya asli dari nenek moyang yang perlahan punah. Pada zaman
yang serba modern sekarang ini, eksistensi kebudayaan tradisional tertindih oleh budaya-
budaya modern. Adat dan tradisi sebagai warisan dari para leluhur bangsa semakin teralihkan
oleh budaya populer.
Semakin menyebarnya arus globalisasi malah membuat rasa nasionalisme semakin
memudar. Budaya-budaya asing yang masuk telah menggeser kepribadian bangsa. Sifat-sifat
luhur yang menjadi ciri khas bangsa telah luntur oleh budaya-budaya asing. Kemajuan
teknologi yang pesat seakan mendoktrin pikiran masyarakat sehingga menganggap budaya-
budaya tradisional seakan kuno dan ketinggalan zaman. Indonesia dengan peninggalan
kebudayaan dari nenek moyang yang sangat banyak seharusnya diimbangi dengan generasi
penerus yang mau menerima dan melanjutkan dalam usaha mengembangkan budaya asli
Indonesia. Karena, tanpa adanya generasi penerus yang mempertahankan budaya asli, pasti
masyarakat Indonesia di masa depan tidak akan mengenal apapun mengenai budaya asli
Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Bagaimana bentuk dan proses pernikahan adat jawa di Madiun?
1.2.2. Bagaimana eksistensi pernikahan adat dalam menghadapi era modern?
1.2.3. Bagaimana solusi yang dapat ditawarkan dalam mempertahankan pernikahan adat
dalam era modern?

1.3. Tujuan Pembahasan


1.3.1. Untuk mengetahui dan memahami konsep kebudayaan yang ada di lingkungan sekitar
1.3.2. Untuk memberikan gambaran tantangan yang dihadapi oleh kebudayaan daerah
dalam era globalisasi dan modernisasi
1.3.3. Untuk memberikan gambaran solusi yang dapat diterapkan untuk menjaga eksistensi
kebudayaan daerah dalam era globalisasi dan modernisasi
1.3.4. Untuk menambah wawasan pembaca maupun penulis
1.3.5. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Antropologi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pernikahan Adat Jawa
Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting dalam hidup seseorang. Sebagai babak
baru dalam perjalanan hidup, pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Kesakralan sebuah
pernikahan salah satunya terlihat dari prosesi adat yang dilaksanakan sebelum, ketika, dan
sesudah pernikahan digelar. Meski masyarakat modern sering menganggap prosesi adat itu
rumit, namun tidak sedikit orang yang tetap memandang penting prosesi adat tersebut
sebagai bagian dari kelangsungan acara pernikahan.
Prosesi pernikahan adat di daerah Madiun banyak mendapat pengaruh dari adat Jawa
Tengah, lebih tepatnya Jogjakarta dan Solo. Hal tersebut tidak terlepas dari fakta bahwa
wilayah Madiun dulunya adalah wilayah kerajaan Mataram Kuno pada sekitar abad 8 dan
wilayah dari Kerajaan Yogyakarta. Sehingga sebagian besar kebudayaan yang ada di wilayah
sekitar Madiun adalah kebudayaan yang kental unsur kejawatengahannya.
Proses adat dalam pernikahan berlangsung sebelum, selama, dan setelah pernikahan.
Pada saat sebelum pernikahan, pengantin dan keluarga pengantin melakukan beberapa
kegiatan untuk mempersiapkan, baik kelancaran acara maupun kesiapan lahir batin dari calon
pengantin. Persiapan tersebut dilaksanakan dalam bentuk slametan dan beberapa prosesi
adat, yaitu siraman dan midodareni.
Sebelum prosesi adat pernikahan berlangsung, mempelai pria akan datang bersama
keluarga ke kediaman mempelai wanita atau yang biasa disebut dengan melamar. Menurut
Herusatoto (2001:97), melamar merupakan acara penuh basa-basi untuk menyampaikan
maksud dari pihak keluarga calon pengantin laki-lakinya. Setelah mendapat restu dari
keluarga mempelai wanita, acara lamaran dilanjutkan dengan menyerahkan serah-serahan
yang biasanya dalam bentuk jajan-jajanan pasar yang ditata dalam tampah (wadah datar yang
terbuat dari anyaman bambu). Dalam acara ini pula, dilakukan perhitungan tanggal resepsi
pernikahan berdasarkan perhitungan Jawa yang dilakukan oleh orang yang dianggap
sesepuh. Menurut Herusatoto, perhitungan ini disebut petungan neptu, yaitu perhitungan
hari, pasaran, dan jam untuk pasang tarub, akad nikah, dan temu pengantin.
Satu atau dua minggu sebelum hari pernikahan, keluarga dari mempelai wanita
biasanya akan mengirim lauk-pauk ke kerabat, saudara, dan juga tetangga sekitar. Kegiatan
ini disebut punjungan atau munjung. Inilah yang membedakan penikahan adat Madiun
dengan adat Jogja atau Solo. Punjungan ini berfungsi sebagai undangan atau pemebritahuan
kepada segenap kerabat bahwa yang munjungi akan mengadakan hajat. Punjungan ini
biasanya berbentuk lauk pauk yang terdiri dari ayam, sambal goreng kentang, mi, dan juga
nasi yang diwadahi sebuah rantang.
Dalam budaya masyarakat Madiun, sebelum prosesi pernikahan dilaksanakan slametan
atau selamatan, sebagai bentuk permohonan kepada Tuhan agar prosesi pernikahan nantinya
akan lancar dan tidak mengalami gangguan dalam bentuk apapun. Setelah slametan, dilaukan
pemasangan tarub atau masyarakat Madiun biasa menyebut dengan terop. Menurut
Herusatoto, apabila upacara perkawinan dilaksanakan di rumah sendiri maka diperlukan
tarub, yaitu bangunan tambahan nonpermanen yang didirikan di halaman depan rumah,
terbuat dari bambu, gedeg, dan atap rumbia, yang dapat melindungi tamu undangan dari
hujan dan panas matahari. Tetapi pada zaman sekarang ini, tarub banyak diganti
menggunakan rangka besi dan hanya dibuat secara simbolis berupa anyaman daun kelapa
yang disisipkan di bawah genting. (Hardjowirogo, 1980:38)
Selain pemasangan tarub, hias-hiasan janur kuning juga mulai dipasang. Pada pintu
masuk, dipasang sepasang buah kelapa muda yang berwarna kuning dan pohon pisang raja
yang sedang berbuah. Janur dan kelapa muda yang berwarna kuning melambangkan
kegembiraan dan kebahagiaan yang dirasakan oleh kedua belah pihak keluarga. Sedangkan
pisang raja melambangkan bahwa acara pernikahan itu dipimpin oleh seorang raja sehari,
yaitu mempelai pria. Selain itu, janur melambangkan ajaran orang tua kepada kedua
mempelai, bahwa apabila terjadi suasana yang kurang baik di dalam rumah tangga mereka,
hendaknya hal ini jangan sampai orang di luar keluarganya mengetahuinya. (Purwadi,
2005:172)
Siraman dilakukan sehari sebelum hari pernikahan. Siraman dilakukan dengan
menyiram seluruh badan pengantin dengan air bunga. Air yang digunakan dalam prosesi
siraman ini tidaklah air yang sembarangan. Air diperoleh dari sumber air di daerah dimana
keluarga mempelai berasal. Proses menyiram juga tidak dilakukan oleh sembarang orang,
yang berhak melakukannya adalah orang-orang tua dari keluarga terdekat calon pengantin
yang mempunyai anak banyak dengan maksud agar merestui pada calon pengantin dengan
harapan mudah-mudahan lekas mempunyai anak. Makna lain dari proses siraman ini adalah,
bertujuan untuk mensucikan kedua calon mempelai sebelum memasuki malam midodareni,
malam yang dianggap sakral. (Purwadi, 2005: 172)
Terdapat suatu adat unik setelah prosesi siraman usai, yaitu pengantin wanita dibantu
oleh ibunya akan berjualan dawet atau rujak. Pengantin wanita akan duduk dibelakang
sebuah bakul dan menerima permintaan warga, tamu yang hadir, dan juga keluarga yang
ingin membeli dan menikmati dawet. Hal ini dilaksanakan dengan harapan rejeki dari rumah
tangga pengantin akan lancar dan banyak.
Dalam budaya masyarakat Madiun, midodareni lebih sering disebut dengan istilah
ater-ater. Hal ini merujuk pada diserahkannya berbagai macam keperluan pengantin wanita
oleh pengantin pria yang dibantu oleh segenap keluarga pengantin pria. Pada malam
midodareni ini, mempelai perempuan berdiam di dalam rumah ditemani kerabat dan
sahabatnya, sementara orang tua dan keluarga dari pengantin wanita menerima ater-ater
yang dibawa oleh keluarga dari pengantin pria. Sepanjang malam itu, pengantin pria dilarang
masuk dan menemui pengantin wanita. Pengantin pria juga dilarang makan dan hanya
diperbolehkan minum air putih saja. Hal tersebut bermakna bahwa pengantin pria harus
mampu menahan lapar dan godaan.
Akad nikah merupakan acara yang paling utama dalam rangkaian prosesi pernikahan.
Tata cara akad nikah dilaksanakan sesuai dengan agama dari kedua pengantin. Menurut
Herusatoto (2001: 99), dalam agama Islam, akad nikah dilaksanakan oleh wali atau orang tua
pengantin perempuan atau diserahkan kepada penghulu yang berkewajiban menikahkan
pengantin atas nama agama dan wakil yang ditunjuk oleh pemerintah. Setelah akad
dinyatakan sah oleh para saksi, maka pengantin sudah dapat dinyatakan sebagai suami istri.
Setelah akad nikah berlangsung, proses selanjutnya adalah temu temanten. Yaitu, suatu
upacara dimana pengantin pria dipertemukan dan dipersatukan dengan pengantin wanita. Di
dalam temu temanten ini, menurut Purwadi (2005: 176-179), terdapat beberapa tahapan.
Pada awalnya, pengantin perempuan yang sudah dirias lengkap akan menunggu kedatangan
pengantin pria. Setelah pengantin pria datang, akan terjadi pertukaran kembang mayang oleh
para pengiring pengantin. Kedua mempelai akan berdiri saling berhadapan lalu saling
melempar gantalan, yaitu daun sirih yang digulung dan diikat dengan benang. Menurut
anggapan, siapa yang lebih dulu melempar, maka dialah yang akan berkuasa dalam rumah
tangga. Akan tetapi ada anggapan lain, bahwa saling melempar gantalan ini melambangkan
hidup kedua suami istri yang selanjutnya akan saling memberi dengan setulus hati.
Kemudian rangkaian acara dilanjutkan dengan tradisi injak telur oleh pengantin pria.
Setelah pengantin pria menginjak telur, pengantin wanita akan membasuh dan
memebersihkan kaki suaminya dari sisa-sisa telur yang telah diinjak menggunakan air bunga.
Hal ini melambangkan pengabdian yang tulus dari seorang istri kepada suaminya. Selain itu,
menginjak telur melambangkan sikap yang tegas mempelai laki-laki untuk menurunkan
keturunannya melalui seorang perempuan yang menjadi istrinya dan menerimanya dengan
segala kesucian hatinya.
Sebelum duduk di pelaminan, kedua pengantin akan berdiri berdampingan lalu di
punggung mereka akan diselimutkan slindur, yaitu sejenis selendang berwarna hitam.
Kemudian, ujung dari slindur tersebut akan ditarik dari depan oleh ayah dari pengantin
perempuan dan kedua pengantin diantar menuju pelaminan. Setelah itu, ibu akan bertanya
kepada sang ayah, berat mana antara anak menantu dengan anaknya sendiri dan ayah akan
menjawab bahwa keduanya mempunyai berat yang sama. Bagian prosesi ini melambangkan
adanya sikap perlakuan orang tua yang tidak akan membedakan antara anak menantu dan
anak sendiri.
Kemudian, setelah kedua mempelai duduk di pelaminan, prosesi selanjutnya
melambangkan pemberian nafkah suami kepada istri dan keluarganya. Upacara ini disebut
kacar-kucur. Pengantin wanita akan memegang selembar sapu tangan atau kain kecil yang
diselimutkan pada telapak tangan lalu suaminya akan mengucurkan sekantung beras kuning
(beras kunyit) ke atas sapu tangan yang dipegang pengantin wanita. Setelah kacar-kucur,
kedua mempelai akan saling menyuapkan nasi ketan. Ini melambangkan kehidupan suami
istri yang saling membantu dalam menghadapi segala macam tantangan hidup. Segala hasil
yang mereka peroleh, mereka rasakan sebagai milik mereka berdua.
Prosesi terakhir dari temu temanten adalah sungkeman, dimana kedua mempelai
menghaturkan sembah kepada orang tua dan mertua masing-masing. Menurut Herusatoto
(2001) dalam prosesi sungkeman, mereka menyatakan terima kasih atas segala asuhan serta
bimbingan dan juga memohon restu untuk membangun rumah tangganya sendiri. Orang tua
dan mertua juga akan mendoakan kelancaran urusan rumah tangga anak-anak mereka.
Setelah seluruh prosesi selesai, maka pada jarak beberapa hari atau beberapa minggu setelah
hari pernikahan akan diadakan selamatan kembali berupa syukuran atas terlaksananya
rangkaian acara pernikahan dan juga mendoakan pengantin agar mempunyai kehidupan
rumah tangga yang lancar dan sejahtera.

2.2. Eksistensi Pernikahan Adat dalam Masa Modern


Modernisasi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, merupakan proses pergeseran
sikap dan mentalitas sebagian warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai tuntutan masa
kini. Modernisasi telah menyebar ke hampir seluruh kebudayaan masyarakat. Masyarakat
kini menganggap sesuatu yang modern adalah yang membuat seseorang bertahan dan
dipandang keeksisannya. Kini, suatu prestise diberikan kepada orang-orang yang dianggap
kekinian, bukan kepada orang yang berprestasi atau mencapai suatu kesuksesan. Akhirnya,
timbullah istilah masyarakat modern.
Dalam masyarakat modern, adat istiadat tradisional dianggap hanyalah sebuah takhayul
belaka. Masyarakat modern sudah tidak percaya dan menganggap bahwa hal-hal mistik yang
banyak menyelimuti adat istiadat tradisional sebagai sesuatu yang bodoh dan kuno. Padahal,
di dalam adat istiadat dan kebudayaan, terutama Jawa, terdapat simbolisme-simbolisme yang
mengandung suatu makna apabila ditelusuri lebih dalam dan makna-makna tersebut sangat
relevan dengan pedoman hidup masyarakat sampai kapanpun.
Perkembangan ilmu pengetahuan telah merubah pandangan masyarakat modern
terhadap adat istiadat. Budiono Herusatoto (2001: 113) menyebutkan,
“Ilmu pengetahuan menyebabkan orang bersikap rasional. Orang tidak percaya
lagi pada keluhuran yang tersembunyi di balik simbolisme. Ungkapan-
ungkapan metafisis yang menjiwai simbol-simbol itu tidak dapat diraba
dengan ilmu pengetahuan. Orang cenderung suka hal-hal kongkrit, berkait
dengan segala sesuatu yang sedang terjadi, bukan dengan pengertian-
pengertian yang mengambang.”
Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa masyarakat modern mulai merasionalkan
segala sesuatu. Hal-hal yang tidak bisa dirasionalisasi akan dianggap tidak nyata dan
mengada-ada. Tradisi-tradisi yang kebanyakan hanya berdasar pada kepercayaan nenek
moyang terhadap hal-hal magis dan mistis akan mudah sekali dimuntahkan oleh masyarakat
modern.
Berkenaan dengan penjabaran tersebut, pernikahan adat Jawa yang pelaksanaannya
berdasar pada adat istiadat turun temurun mulai dianggap tidak penting dan dianggap tidak
penting oleh masyarakat modern. Masyarakat modern sangat menyukai perihal kepraktisan,
sedangkan prosesi pernikahan adat mempunyai banyak tahapan dan persyaratan. Sehingga,
masyarakat modern, mayoritas di perkotaan, banyak yang meninggalkan dan tidak
menggunakan proses adat dalam upacara pernikahan yang mereka laksanakan.
Hanya sedikit masyarakat modern yang melaksanakan ritual pernikahan dengan
mempertahankan unsur adat. Dalam pelaksanaannya pun, beberapa prosesi yang dinilai
merepotkan dan tidak rasional akan dilewati. Namun, pada masyarakat yang di dalam
keluarganya masih memegang teguh adat dan percaya dengan resiko-resiko yang akan
datang apabila tidak melaksanakan salah satu prosesi adat, akan melaksanakan adat istiadat
dengan memasukkan unsur-unsur modern di dalamnya.
Selain dari modernisasi dan rasionalisasi budaya, globalisasi tidak luput memberikan
pengaruh pada kebudayaan tradisional. Globalisasi menyebabkan budaya-budaya asli
mendapat pengaruh yang kuat dari pihak luar. Banyak masyarakat terpengaruh oleh gaya
pernikahan masyarakat luar negeri yang dianggap modern dan praktis. Proses dan
persyaratan dari pernikahan yang tidak banyak menguras pikiran dan tenaga lebih dipilih
ketimbang penikahan dengan adat yang menggunakan proses yang panjang.

2.3. Solusi untuk Mempertahankan Pernikahan Adat di Tengah Tantangan-Tantangan


Era Modern
Indonesia merupakan bangsa yang kaya budaya. Hal tersebut terbukti dengan adanya
adat yang beragam dari setiap suku yang ada di Indonesia. Adat istiadat merupakan suatu
bentuk kebudayaan yang haruslah dijaga agar tidak punah begitu saja karena
keeksistensiannya kalah dengan budaya modern. Sehingga, generasi masa depan dapat pula
melihat dan memahami bahwa Indonesia mempunyai budaya asli yang juga berfungsi
sebagai identitas bangsa.
Salah satu sosok penting yang dapat menjaga agar kebudayaan asli suatu bangsa tidak
punah adalah generasi muda dari bangsa itu sendiri. Apabila generasinya bersikap acuh dan
apatis terhadap kebudayaannya sendiri, maka kepunahan kebudayaan akan tidak bisa
dihindari. Pembentukan karakter kebangsaan menjadi sangatlah penting bagi generasi muda
Indonesia saat ini. Sekolah saja tidak cukup untuk melaksanakan tugas itu.
Bahkan, menurut Pajar Hatma Indra Jaya dalam jurnal Pola Pikir Orang Jawa di
Tengah Arus Modernisasi, menyatakan sekolah mengajarkan rasionalitas baru yang
menyingkirkan pengetahuan-pengetahuan lama. Sekolah juga “memaksa” siswa untuk
mendengarkan dan menerima pengetahuan modern. Sehingga, siswa akan mengukur segala
hal dengan rasionalitas. Sesuatu yang tidak rasional dianggap salah.
Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa sekolah tidak lagi memegang peran utama
dalam membentuk karakter kebangsaan dalam diri seorang siswa sebagai agen penerus
kebudayaan. Diperlukan kesadaran dari seluruh masyarakat dan juga anggota keluarga
sebagai lembaga paling dasar untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan kebudayaan kepada
generasi-generasi muda. Anggota-anggota keluarga dapat menjelaskan bahwa kebudayaan
asli Indonesia, misalnya simbolisme Jawa, merupakan suatu hala yang unik. Makna-makna
tersembunyi dari setiap kebudayaan merupakan hal yang menarik untuk diketahui.
Selain pembentukan karakter kebangsaan, suatu budaya dapat bertahan apabila dapat
berkembang sesuai perkembangan zaman. Kebudayaan tradisional dapat melakukan
akulturasi agar tetap sesuai dengan masyarakat yang dinamis. Akulturasi, menurut
Koentjaraningrat (2009:202), adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia
dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan
asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun
diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian
kebudayaan itu sendiri.
Dari pengertian tersebut, kebudayaan asli tidak akan hilang, melainkan melebur
menjadi satu dengan budaya asing tanpa menghilangkan substansi dari budaya asli. Hal ini
sudah banyak diterapkan dalam pernikahan-pernikahan adat di masyarakat kota yang tidak
menghilangkan unsur adat tetapi tetap ingin terlihat modern. Seperti misalnya, penataan
dekorasi yang modern, menyewa suatu gedung untuk resepsi/temu, dan juga makanan yang
disuguhkan untuk tamu adalah berbentuk prasmanan.
BAB III
KESIMPULAN
Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting dalam hidup seseorang. Sebagai babak
baru dalam perjalanan hidup. Meski masyarakat modern sering menganggap prosesi adat itu
rumit, namun tidak sedikit orang yang tetap memandang penting prosesi adat tersebut
sebagai bagian dari kelangsungan acara pernikahan . Masyarakat modern mulai
merasionalkan segala sesuatu. Hal-hal yang tidak bisa dirasionalisasi akan dianggap tidak
nyata dan mengada-ada. Tradisi-tradisi yang kebanyakan hanya berdasar pada kepercayaan
nenek moyang terhadap hal-hal magis dan mistis akan mudah sekali dimuntahkan oleh
masyarakat modern.

Salah satu sosok penting yang dapat menjaga agar kebudayaan asli suatu bangsa tidak
punah adalah generasi muda dari bangsa itu sendiri. Apabila generasinya bersikap acuh dan
apatis terhadap kebudayaannya sendiri, maka kepunahan kebudayaan akan tidak bisa
dihindari. Pembentukan karakter kebangsaan menjadi sangatlah penting bagi generasi muda
Indonesia saat ini.
Selain pembentukan karakter kebangsaan, suatu budaya dapat bertahan apabila dapat
berkembang sesuai perkembangan zaman. Kebudayaan tradisional dapat melakukan
akulturasi agar tetap sesuai dengan masyarakat yang dinamis. Dari pengertian tersebut,
kebudayaan asli tidak akan hilang, melainkan melebur menjadi satu dengan budaya asing
tanpa menghilangkan substansi dari budaya asli. Hal ini sudah banyak diterapkan dalam
pernikahan-pernikahan adat di masyarakat kota yang tidak menghilangkan unsur adat tetapi
tetap ingin terlihat modern.
DAFTAR PUSTAKA

Purwadi. 2005. Upacara Tradisional Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Herusatoto, Budiono. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT Hanindita
Graha Widia
Hardjowirogo, Marbangun. 1980. Adat Istiadat Jawa. Bandung: Patma
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta
Jaya, Pajar H. 2012. “Dinamika Pola PikirOrang Jawa di Tengah Arus Modernisasi”. UIN
Sunan Kalijaga. Volume 24, No. 2. jurnal.ugm.ac.id/jurnal-
humaniora/article/download/1056/885. 9 April 2016

Anda mungkin juga menyukai