Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Selama tahun 1970-an, antropolog Mary Douglas mengembangkan kerangka


kerja dua dimensi untuk perbandingan budaya: (a) grid atau batasan oleh aturan, dan
(b) group atau penggabungan ke dalam unit sosial yang dibatasi. Menurut Douglas
dan rekan-rekannya, empat jenis grid / group merupakan konfigurasi sosial yang stabil
yang diasosiasikan dengan nilai atau ideologi yang berbeda: individualisme,
fatalisme, hirarki, dan egalitarianisme.1

Dalam Purity and Danger (1966) dan Natural Symbols (1970). Peneliti lintas
budaya mungkin mengetahui kerangka teoretisnya yang disebut teori grid/ grup atau
yang disebut Teori Budaya (Cultural Theory), yang telah dikembangkannya dan
rekan-rekannya dalam serangkaian publikasi sejak 1970-an. Dalam “Cultural Bias”
(1978), seperti misalnya, dia mengembangkan gagasan bahwa masing-masing dari
empat konfigurasi struktural sosial yang dasar dan relatif stabil dikaitkan dengan bias
budaya yang khas, cara mengkonseptualisasikan dunia alam, supranatural, dan sosial.
Empat konfigurasi, seperti yang akan kita lakukan lihat lebih detail, bisa di pahami
sebagai individualisme, hirarki, fatalisme, dan egalitarianisme.

Mary Douglas merupakan salah satu antropolog yang dipengaruhi langsung


oleh pemikiran Durkheim. Durkheim membagi kelompok masyarakat menjadi dua
yaitu, masyarakat primitif (solidaritas mekanis, ikatan kekeluargaan) dan masyarakat
modern (solidaritas teknis, pembagian kerja).

Durkheim mengatakan bahwa hanya pada masyarakat primitif terdapat


kesadaran kolektif atau hati nurani bersama, masyarakat modern tidak. Ini ditentang
oleh Douglas. Douglas mengerti apa yang Durkheim bayangkan, yaitu bahwa ada
basis sosial untuk pemikiran manusia dan basis ini ia gunakan justru untuk memahami
sistem kepercayaan masyarakat modern. Bagi Douglas, masyarakat modern pun tidak
terlepas dari sistem, kebiasaan dan pikiran yang seringkali tidak disadari. Ia
menyebutnya sebagai bias budaya.

1
D.Douglas, Caulkins. “Is Marry Douglas Grid/Group Analysis Useful for Cross-Cultural Research?”.
Cross-Curtural Research. 1999 h.108

1
Mary Douglas menyadari bahwa entah bagaimanapun perubahan yang terjadi
dalam masyarakat (dari primitif ke modern atau bentuk lainnya lagi), tetap ada satu
hal yang menyatukan mereka sebagai masyarakat. Ia menyebutnya sebagai kesadaran
kolektif. Kesadaran inilah yang menjadi identitas dari suatu kelompok masyarakat.

Konsep group and grid pertama-tama tidak membahas soal kesadaran kolektif
dalam kelompok masyarakat. Konsep ini pada dasarnya ingin menunjukkan secara
jelas set of rules dari masing-masing kelompok masyarakat sehingga tampak
perbedaan dan pembedaannya. Set of rules ini menjadi semacam batasan-batasan
tentang apa yang dapat diterima dan tidak dapat diterima dalam suatu kelompok. Jika
ada anggota masyarakat yang bertindak di luar batasan, ia bisa saja dikeluarkan dari
kelompok tersebut.

Konsep ini juga akan bermuara pada pembagian karakter dari masing-masing
kelompok masyarakat. Dengan pembagian (klasifikasi) ini, analisa terhadap suatu
masyarakat akan semakin dipermudah. Mary Douglas sendiri menggunakan
pembagian yang ia ciptakan sebagai upaya untuk melihat keunikan dan bias dalam
masyarakat.

Pandangan Mary Douglas tentang kebudayaan, merupakan buah dari


kajiannya tentang klasifikasi sosial dalam masyarakat dan kosmologi maupun nilai-
nilai sosial yang berkembang di dalamnya. Cara untuk mengamati fenomena ini
sebenarnya cukup mudah. Sebagai contoh, cara dan sistem hidup masyarakat
perkantoran dengan orang-orang di pedesaan yang hidupnya bertani tentu berbeda.
Menurut Douglas, perbedaan ini didasarkan pada ada atau tidaknya hierarki dan kuat
atau lemahnya ikatan sosial yang ada di dalam kelompok masyarakat tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Grid - Group Cultural Theory?
2. Apa itu budaya hirarki, egalitarianisme, individualisme dan fatalisme?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tentang Grid - Group Cultural Theory
2. Untuk mengetahui budaya hirarki, egalitarianiseme, individualisme dan fatalisme

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Grid and Group

Marry Douglas mengembangkan model dua dimensi budaya , yaitu: (1). Grid,
Grid secara sederhana bisa dipahami sebagai batasan-batasan atau aturan yang
menjadi fondasi kelompok tersebut. Dengan adanya grid, manusia yang terintegrasi di
dalam suatu group bisa bertindak sesuai aturan atau batasan yang diberikan
kepadanya.; dan (2) “group” yang menjelaskan gabungan antara unit-unit sosial yang
bersifat dinamis .2

Dua dimensi Grid and Group dari Marry Douglas merupakan model theory of
mesurement and instrumentation. Model Teoritis ini berdasarkan model Basis
Bernstein yang menjadi pengukur sosialitas, dimana: (1) grid diletakkan pada sumbu
vertikal dan (2) group atau incorporation sebagai unit sosial diletakkan pada sumbu
horizontal.

Pada sumbu horizontal ada dimensi group yang bergerak pada skala makin ke
kanan menggambarkan strong group dan makin kekiri weak group. Ketika dimana
dinamika group itu bergerak ke arah kiri maka yang tergambar adalah orientasi
individu terhadap kelompok berada pada tingkat lemah, artinya ikatan individu
dengan kelompok dia lemah, sebaliknya gerakan ke kanan menggambarkan orientasi
individu terhadap kelompok berada pada tingkat kuat. Artinya ikatan individu dengan
kelompok dia kuat. Pada sumbu vertikal ada dimensi grid yang menggambarkan
bagaimana dan sejauh mana kelompok menetapkan dan menerapkan rules kepada
individu berdasarkan roles.3

Menurut Douglas setiap budaya dapat diperankan dalam dua dimensi yang
menghasilkan koordinat mempertemukan group dan grid yang sekaligus menunjukkan
sejauh mana perilaku dan aturan didefinisikkan dan dibedakkan. Model sederahana ini
ternyata menjadi alat yang kuat untuk memahami bagaimana pandangan seseorang.

2
Alo Liliweri, Konfigurasi Dasar Teori-Teori Komunikasi Antarbudaya, (Bandung: Nusa Media,
2016). h. 202
3
Alo Liliweri, Konfigurasi Dasar Teori-Teori Komunikasi Antarbudaya, h. 203

3
Douglas berkata, kita harus yakin kalau kita dapat membentuk keyakinan kita sendiri
terhadap sesuatu, namun menurut Douglas, adalah jauh lebih mudah kita memahami
masyarakat dengan mengubah asumsi yang kita bangun di atas kepala kita daripada
berpikir sebaliknya.

B. Empat Arus Utama Budaya

Marry Douglass untuk pertama kali menemukan pola-pola ini dalam riset
antropologi terhadap penduduk asli yang dianggap primitif dan irasional. Setelah itu
dia memulai mengenali kesamaan paralel yang mencolok dalam berbagai budaya lalu
dia menemukan semacam bentrokan budaya atas pelbagai bidang dalam dunia
modern. Douglass dkk memberikan nama keempat budaya tersebut4:

1. Hirarki (tradisionalist) > strong group - strong grid


2. Egalitarian (enclavist) – strong group – weak grid
3. Indivudualist(enterprise culture) – weak group – weak grid
4. Isolate (exclude, or outcast) > fatalism – strong grid – weak group

Karakteristik yang dibuat Douglas ini tidaklah semena-mena tetapi dihasilkan dari
dua parameter kewajiban biologis maupun rasa afilasi kelompok yang dialami oleh
semua orang dalam berbagai derajat maupun pelbagai konteks yang berbeda, adapun
beberapa kareakteristik utama budaya sebagai berikut

1. Hirarki
Budaya hirarki berkaitan dengan budaya “tradisional”. Budaya ini selalu ada
dalam setiap masyarakat yang mempunyai semacam keyakinan untuk memelihara
atau melanggengkan kehormatan yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok
orang yang dipandang mempunyai kedudukan (posisi) dan peran (rules) yang Kuat.5
Budaya hirarkis menempatkan posisi tradisional orang-orang terhormat pada
kooordinat strong group – strong grid , artinya, setiap kelompok membuta regulasi
yang kuat berupa syarat-syarat yang bagi seseorang untuk ditempatkan pada posisi
dan peran tertentu, dan syarat-syarat tersebut juga mengikat kelompok untuk
memberikan penghormatan sepantasnya kepada orang tersebut. Contoh budaya
hirarki: Struktur jabatan PNS, Sistem pemerintahan Keraton Yogyakarta.

4
Alo Liliweri, Konfigurasi Dasar Teori-Teori Komunikasi Antarbudaya, h. 205
5
Alo Liliweri, Konfigurasi Dasar Teori-Teori Komunikasi Antarbudaya, h. 206

4
Dalam pandangan budaya hirarki, dunia dapat dikendalikan selama kita
menempatkan struktur yang tepat pada tempat. Mereka yang berada dalam hirarki
percaya pada kebutuhan sistem yang mengatur mereka, dan pengaturan tersebut telah
didefiniskan secara baik oleh aturan yang kuat sehingga membuat hirarki merasa
takut untuk melakukan segala bentuk penyimpangan sosial; karena jika hal ini terjadi
maka akan sangat mengganggu keteraturan dan keseimbangan masyarakat secara
keseluruhan.
Jika dikaitkan dalam budaya kolektif, budaya hirarki selalu dibarengi oleh
semakin kuatnya variasi aturan terhadap posisi dan peran yang mengatur individu,
sedemikian rupa sehinggamembuat individu dapat memelihara prinsip-pronsip
kebersamaan dan kolektivitas berdasarkan hirarki atau posisi mereka dalam struktur.
Beberapa karakteristik budaya hirarki yaitu, Dikenal sebagai; orang-orang
yang menjaga posisi dan peran dalam hirarki, Sifat dasar: kuat dalam ikatan,
mengarah pada suatu kepentingan, memandang resiko; terkelola dengan baik, kunci;
ketaatan, budaya perjuangan; birokrat, kepemimpinan; menjaga posisi, mengelola
kebutuhan; tidak ada, mengelola sumberdaya; ya
2. Egalitarianisme
Budaya egaliterisme memandang bahwa pada dasarnya semua orang sama dan
sederajat, budaya egaliter dapat dapat membantu terbentuknya kesetaraan kehidupan
individu dalam kelompok atau masyarakat. Prinsip kesamaan individu dapat
menyebabkan semua orang setuju , dan dengan lebih mudah mengadopsi nilai-nilai
bersama , meskipun jalan kearah sana merupakan utopia, namun semuanya ini
membuat para anggotanya dapat bertahan hidup apalagi berada dalam kelompok-
kelompok kecil.6
Douglass dan Wildavsky menyatakan budaya egalitarianisme berada pada
kelompok-kelompok kecil suku bangsa maupun sekte-sekte keagamaan. Pada level
nasional budaya egalittarisme jarang dijumpai, jika pun ada itu merupkana
pengecualian. Karena untuk bertahan dalam hidup budaya egaliter diisyaratkan bahwa
jika orang-orang melanggar nilai- nilai dan norma maka tidak ada pengaruhnya bagi
orang lain
Ciri dari budaya egaliter adalah kurangnya aturan sentralisasi, namun tetap ada
kebutuhan individu yang secara sukarela membantu orang lain. Peraturan atau

6
Alo Liliweri, Konfigurasi Dasar Teori-Teori Komunikasi Antarbudaya), h. 208

5
regulasi dalam budaya egaliter hanya dipandang sebagai sesuatu yang diperlukan
untuk melkasanakan fungsi koreksi atau menolak sejumlah orang yang mempunyai
kelainan karakter.
Budaya egaliter memandang alam itu rapuh , mereka memandang alam itu
rapuh, setiap gangguan kecil akan membuat alam ini runtuh. Dalam pandangan orang
egaliter, kesemrawutan sosial muncul karena terlalu banyak hirarki dan ketimpangan,
juga karena tidak cukup ikatan sosial dan solidaritas dalam masyarakat.
Karakteristik budaya egalitarianism yaitu, Orang egliter dikenal sebagai;
enklafe, komunitarian, sekterianisme, Gaya; kesetaraan dan komune, Sifat dasar;
“ephemeral” alias rapuh, Memandang resiko; keseimbangan, Kunci; integritas, Spirit
utama budaya; orang-orang pilihan, Kepemimpinan; karismatik, Mengelola
kebutuhan; Ya, Mengelola sumber daya; Tidak ada
3. Individualisme
Dalam budaya individualistik, semua orang dianggap sama namun individu
memiliki sedikit kewajiban untuk memperhatikan satu sama lain.semua orang
nampkanya lebih menikmati perbedaan diantara mereka dari pada merasakan
kebersamaan dan kesetaraan daiantara mereka. Orang- orang indivudualis selalu
menghindari otoritas yang terpusat. “self- Regulation” merupakan prinsip penting.7
Ciri budaya individualis adalah pilihan individu yang tidak dibatasi oleh
kelompok atau masyarakat karena mereka secara individual tidak berhubungan dekat
dengan orang lain. Para penganut individualis menggambarkan alam sebagai sumber
ketersediaan hidup yang tahan banting. Mereka selau menganggap alam telah
menyediakan segala kelimpahan, alam itu tangguh dan dapat di eksploitasi manusia
tanpa batas.
Orang-orang yang berbudaya Individualis mempunyai sikap yang khas
terhadap alam, mereka menganggap alam telah menyediakan segala kelimpahan, alam
itu tangguh, alam dapat di eksploitasi manusia tanpa batas. Dalam pandagan dunia
individualistis, jawaban untuk menyelesaikan suatu masalah lebih banyak diberikan
kepada atau membiarkan kebebasan bagi seseorang untuk menentukan pilihan
terhadap hal-hal yang merek anggap tepat. Dalam pandangan budaya Individualis
perbedaan pendapat harus diakui, orang yang berbudaya individualis memiliki

7
Alo Liliweri, Konfigurasi Dasar Teori-Teori Komunikasi Antarbudaya, h. 210

6
karakteristik spontan, transparan, sukarela dan mempunyai semangat kewirausahaan
yang kuat.
Karaktristik budaya individualis yaitu, Orang individualis dikenal sebagai;
pasar, Gaya; kompetisi, Lazzes Faire, Materialisme pragmatis, Sifat dasar; jinak, kuat,
Memandang resiko; peluang, Kunci; Self-regulation, Spirit budaya utama; perintis,
Kepemimpinan; meteorik, Mengelola kebutuhan; Ya, Mengelola sumber daya; Ya
4. Fatalisme
Budaya fatalis diwakili oleh individu yang terisolasi ketika berhadapan dengan
dunia luar. Mereka umumnya merupakan pemberani yang mau menantan semua
hambatan yang ditemui. Orang dengan budaya fatalis cenderung pasif sehingga
dikecualikan dalam analisis teori budaya.
Budaya fatalis berada pada posisi strong grid – weak group yang ditandai
dengan lemahnya batas- batas antara anggota dalam suatu kelompok sebagai akibat
dari tinggi dan kuatnya beragam perbedaan atau variasi peran dan aturan yang
mengatur interaksi antarpersonal di antara mereka. Orang –orang fatalis hanya
memiliki sedikit kewajiban terhadap orang lain, miskin relasi, karena itu mereka
menyerahkan semua nasib pada diri sendiri, mereka juga tidak peduli terhadap nasib
baik atau buruk. Gaya hidup apatis, dan juga tidak terlalu peduli membantu oranng
lain maupun diri sendiri.
Cara pandang budaya fatalis berlaku luas sebagai karakteristik dan dan
anggota masyarakat kelas bawah pada semua masyarakat tradisional maupun modern
(dengan sedikit kecualian), mereka juga tetap mengalami tekanan melalui aturan dan
hukum yang diberikan oleh kelompok – kelompok social lainnya.
Karakteristik orang-orang dengan budaya fatalism yaitu, Dikenal sebagai
orang yang suka mengisolasikan diri, Gaya mereka apatis dan suka menghindari diri,
Sifat mereka suka berubah-ubah dan serba tidak pasti, Mereka suka menghindari
resikokalau tidak keuntungan, Pribadi yang tidak seimbang, Tidak memiliki spirit
pejuang, Kepemimpinan bersifat despotic, Tidak mempunyai kemampuan untuk
mengelola kebutuhan dan mengoelola sumber daya.
C. Menemukan Arah Baru

Teori Grid- Group adalah model budaya yang dikembangkan oleh para
Antropolog seperti Marry Douglas, Michael Thompson dan Steve Rayner, dengan
memberikan konstribusi oleh para ilmuwan politik seperti Aaron Wildavsky dan

7
Richard Ellis. Salah satu teori ini dirancang adalah untuk menunjukkan bagaimana
ritual asli dan praktik yang relevan dengan masyarakat modern.

Thompson dkk memberikan proporsi untuk menunjukkan bagaimana ritual


asli dan praktik yang relevan dengan masyarakat modern:

1) Kondisi kompabilitas (the compability condition): hubungan social dan bias


budaya harus saling mendukung. Orang-orang dengan preferensi budaya yang
berbeda tidak mendapatkan perhatian secara baik.
2) Teorema ketidakmungkinan (the impossibility theorem): hanya ada lima cara
hidup yang berdasarkan kombinasi dari bias dan relasi.
3) Berbagai syarat terhadap kondisi (the requisite variety condition): ada
pandangan hidup tentang saling membutuhkan agar dapat bertahan hidup.
Yang disebut dengan budaya selalu memiliki titik-titik buta menuju kegagalan.
Setiap pandangan hidup selalu menunjukkan kalau kita perlu cara pandang
orang lain agar oarng itu dapat mendefinisikan dirinya. Jadi selalu ada lima
cara dalam masyarakat untuk hidup.
4) Teri kejutan (Thery Of Surprise): perubahan peritiwa selalu datang secara
mengejutkan lalu memaksa orang untuk melakukan tindakan.

Identifikasi pola-pola perilaku menurut Michael Thompson

1) Afirmasi diagonal: individualistis dan hirarkis


2) Afirmasi dari “withdrawal”: fatalis dan egalitarian
3) Demokrasi social: hirarkis vs egalitarian
4) Individualism orang amerika: individualistis dan egalitarianism
5) Kapitalisme Negara: individualistis dan hirarki
6) Totaliarianisme: fatalistis dan hirarkis

8
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Marry Douglas mengembangkan model dua dimensi budaya , yaitu: (1).
Grid dan (2) Group. Dua dimensi Grid and Group dari Marry Douglas merupakan
model theory of mesurement and instrumentation. Model Teoritis ini berdasarkan
model Basis Bernstein yang menjadi pengukur sosialitas, dimana: (1) grid
diletakkan pada sumbu vertikal dan (2) group sebagai unit sosial diletakkan pada
sumbu horizontal. Model sederahana ini ternyata menjadi alat yang kuat untuk
memahami bagaimana pandangan seseorang. Budaya hirarki berkaitan dengan
budaya “tradisional”. Budaya ini selalu ada dalam setiap masyarakat yang
mempunyai semacam keyakinan untuk memelihara atau melanggengkan
kehormatan yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang yang
dipandang mempunyai kedudukan (posisi) dan peran (rules) yang Kuat. Budaya
egaliterisme memandang bahwa pada dasarnya semua orang sama dan sederajat,
budaya egaliter dapat dapat membantu terbentuknya kesetaraan kehidupan
individu dalam kelompok atau masyarakat. Dalam budaya individualistik, semua
orang dianggap sama namun individu memiliki sedikit kewajiban untuk
memperhatikan satu sama lain.semua orang nampakanya lebih menikmati
perbedaan diantara mereka dari pada merasakan kebersamaan dan kesetaraan
diantara mereka. Budaya fatalis berada pada posisi strong grid – weak group yang
ditandai dengan lemahnya batas- batas antara anggota dalam suatu kelompok
sebagai akibat dari tinggi dan kuatnya beragam perbedaan atau variasi peran dan
aturan yang mengatur interaksi antarpersonal di antara mereka.
B. Saran

Demikian makalah yang penulis paparkan. Mudah-mudahan dapat


bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi pembaca. Dan tidak lupa kritik dan
sarannya sangat kami harapkan untuk memperbaiki pembuatan makalah
selanjutnya. Apabila terdapat kesalahandalam penulisan serta kurangnya
pengetahuan kami mohon maaf, dan sesungguhnya kebenaran hanyalah dari Allah
SWT. Semoga bermanfaat, Amin.

9
DAFTAR PUSTAKA

Liliweri, Alo. (2016). Konfigurasi Dasar Teori-Teori Komunikasi Antarbudaya. Bandung:

Nusa Media.

Caulkins, D.Douglas. 1999. “Is Marry Douglas Grid/Group Analysis Useful for Cross-
Cultural Research?”. Cross-Curtural Research. Published by SAGE Publications

10

Anda mungkin juga menyukai