Anda di halaman 1dari 22

MAKNA SLAMETAN KEMATIAN BAGI MASYARAKAT MISKIN KOTA

THE MEANING OF DEATH CEREMONIAL AT POOR PEOPLE IN THE CITY


Munari Kustanto
Bappeda Kabupaten Sidoarjo, Jl. Sultan Agung No. 13 Sidoarjo
mkustanto@yahoo.co.id
ABSTRACT
The death ceremonial become one of a religious culture which many people goes along.
This phenomena is attractive to discover because a poor people in the city still do that
even in a economic crisis. The purpose of this research is analyze the meaning of death
ceremonial for poor people in the city. This qualitative research use phenomenology
approach which is try to understand the informant comprehension to the appear
phenomena from their awarenes. This research take Kelurahan Rangkah in Surabaya as
location. The informants are those who included as a poor people in the city but still
doing the death ceremonial.The data is getting from deep interview with informant who
select as a purposive method. Social Construction Theory of Peter L. Berger is use as
main theory for researcher, so the digging information will on purpose. The outcome
of this research is that the death ceremonial for poor people in the city have two
meaning. Which is a meaning of magic and a meaning of social. Those who understand
the death ceremonial as a meaning of magic, do that for the death people. While, those
who understand the death ceremonial as a meaning of social, do that because of social
pressures.
Keywords : meaning, death ceremonial, poor people in the city
ABSTRAK
Slametan kematian menjadi salah satu budaya religius yang masih banyak dianut oleh
masyarakat. Fenomena slametan kematian yang masih dilaksanakan oleh masyarakat
miskin kota menarik untuk diungkap, apalagi dalam kehidupan ekonomi yang cukup
sulit. Penelitian ini memfokuskan pada slametan kematian karena tidak lepas dari arti
penting ritus kematian itu sendiri dalam banyak religi di dunia. Tujuan dari penelitian
ini adalah menganalisis makna slametan kematian bagi masyarakat miskin kota.
Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan fenomenologi yang berusaha
memahami pemahaman informan terhadap fenomena yang muncul dalam
kesadarannya. Penelitian ini mengambil Kelurahan Rangkah di Kota Surabaya sebagai
lokasi dengan informan adalah mereka yang termasuk masyarakat miskin kota tetapi
tetap melakukan slametan kematian. Data diperoleh dengan melakukan wawancara
mendalam dengan informan yang dipilih secara purposive. Teori Konstruksi Sosial dari
Peter L. Berger digunakan sebagai teori pokok yang menjadi bekal peneliti sehingga
penggalian informasi akan lebih terarah. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa
slametan kematian bagi masyarakat miskin kota memiliki makna magis dan makna

Tulisan ini merupakan ringkasan skripsi penulis dengan judul Makna Slametan Kematian
Bagi Masyarakat Miskin Kota (Studi Kualitatif Pada Lima Keluarga Miskin di Kelurahan Rangkah
Kecamatan Tambaksari, Surabaya) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Tahun
2004 dengan beberapa penajaman di dalam analisisnya.

sosial. Mereka yang memiliki makna magis terhadap slametan kematian, melaksanakan
slametan kematian untuk ditujukan kepada orang yang meninggal. Sedangkan mereka
yang memiliki makna sosial terhadap slametan kematian, melaksanakannya karena
tekanan sosial.
Kata kunci : makna, slametan kematian, masyarakat miskin kota.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Slametan merupakan salah satu budaya religius yang masih banyak dianut oleh
masyarakat, baik di desa maupun di kota dan tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan
masyarakat Jawa. Kondisi ekonomi yang semakin sulit pun ternyata tidak menghalangi
sebagian besar masyarakat tadi untuk tetap melaksanakan slametan. Sudah banyak studi
yang menjadikan slametan sebagai objek kajian, baik yang dilakukan oleh peneliti lokal
maupun luar negeri. Sebut saja Clifford Geertz, Franz Magnis Suseno, Andew Beaty,
dan Neils Mulder yang tertarik dengan kebudayaan Jawa, di mana slametan juga
menjadi bagian dari kajian mereka. Sedangkan dari negeri sendiri nama yang cukup
populer adalah Koentjaraningrat. Mereka pada umumnya melihat slametan secara
makro, sebagai bagian dari kebudayaan Jawa yang menjadi kajian pokok mereka.
Penelitian lebih spesifik dilakukan oleh Suyanto (1989) dan Sekarpawening
(1994) tentang makna slametan sekitar kelahiran. Penelitian tersebut mendapatkan hasil
yang berbeda, jika Suyanto menemukan pergeseran makna slametan kelahiran dari
melaksanakannya karena untuk menetralisir kekuatan gaib menjadi alasan-alasan yang
bersifat sosial. Sekarpaweing dalam penelitiannya pada suatu perkumpulan di
Surabaya ternyata masih menemukan alasan magis kultural pada pelaksanaan slametan
sekitar kelahiran (wetonan).
Penelitian mengenai slametan kematian yang dilaksanakan masyarakat kota
masih jarang dilakukan, jika pun ada yang menjadi perhatian adalah masyarakat kota
secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta pada tahun 1984, di mana
ditemukan jika pelaksanaan slametan masih bernuansa magis kultural. Menurut
kepercayaan, roh orang yang meninggal akan marah jika sanak keluarga yang ditinggal
tidak melaksanakan upacara peninggalan nenek moyang tersebut. Menjadi cukup
menarik untuk diungkap makna slametan kematian bagi masyarakat miskin kota. Hal
ini disebabkan di tengah kehidupan ekonomi di kota besar yang tidaklah mudah,

masyarakat miskin kota masih juga melaksanakan slametan kematian. Di satu sisi
kegiatan tersebut membutuhkan dana yang tidak sedikit, mereka juga sedang dalam
kondisi yang sedang kesusahan dengan meninggalnya salah satu anggota keluarga
mereka. Masyarakat kota yang dikenal lebih mengedepankan rasionalitas dalam
berperilaku, tentunya akan lebih mendahulukan pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang
semakin berat.
Rumusan Masalah
Sebagai studi fenomenologi yang berusaha mengungkap realitas di balik
realitas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Mengapa realitas slametan kematian masih menjadi realitas di kalangan masyarakat
miskin kota ?
2. Bagaimana masyarakat miskin kota memaknai slametan kematian tersebut ?
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa makna slametan kematian bagi
masyarakat miskin di perkotaan.
Tinjauan Teoritik
Slametan sebagaimana dikemukakan oleh Sunyoto merupakan salah satu
wujud dari budaya religius yang masih banyak dianut oleh masyarakat Jawa di samping
sistem petungan dan kepercayaan terhadap makhluk halus. Slametan berasal dari kata
slamet (Arab: salamah) yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai
sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Sementara itu
menurut Clifford Geertz, slamet berarti gak ana apa-apa (tidak ada apa-apa) atau lebih
tepat tidak akan terjadi apa-apa.4
Suseno5 menjelaskan bahwa dalam slametan terungkap nilai-nilai yang dirasa
paling mendalam oleh orang Jawa, yaitu nilai kebersamaan, ketetanggaan, dan
kerukunan. Slametan diadakan pada semua peristiwa penting dalam hidup seperti
kehamilan, kelahiran, sunat, perkawinan, pemakaman, sebelum panen padi, juga
sebelum suatu perjalanan besar, sesudah naik pangkat, pendek kata pada setiap
kesempatan di mana keselamatan kosmis perlu dijamin kembali. Slametan merupakan
ritus yang mengembalikan kerukunan dalam masyarakat dengan alam rohani, guna
mencegah gangguan-gangguan terhadap keselarasan kosmis.

Terdapat salah satu wujud solidaritas dari kegiatan ini adalah tradisi nyumbang,
sebuah tradisi yang sarat akan nilai gotong royong dan solidaritas sosial. 6 Sebagian
masyarakat di Jawa Timur ada yang menyebutnya mbecek atau buwuh. Namun
sayangnya, tradisi nyumbang mulai mengalami pergeseran nilai saat ini. Pertama,
makna tradisi nyumbang telah berubah wajah menjadi semakin kapitalis. Hajatan
beserta tradisi nyumbang-nya, menjadi ladang untuk mengakumulasi modal bagi
pemilik hajat. Sementara itu, bagi anggota masyarakat yang lain, nyumbang justru
menambah beban ekonomi di tengah masa sulit seperti saat ini. Kedua, tradisi
nyumbang ternyata menjadi beban ekonomi yang semakin nyata pada bulan-bulan
tertentu. Dalam tradisi Jawa, terdapat mangsa tertentu yang memiliki aspek mitos yang
kuat dan diyakini pengaruhnya oleh sebagian besar masyarakat. Terdapat suatu analisa
dalam kajian sosilogi mengenai penyebab seseorang berperilaku, bertindak dan
beraktivitas dalam kegiatan perekonomian yang biasa dikenal dengan moral ekonomi.
James C. Scott (1994)7 menyatakan bahwa moral ekonomi petani didasarkan atas norma
subsistensi dan norma resiprositas. Norma subsistensi timbul ketika seorang petani
mengalami suatu keadaan yang menurut mereka dapat merugikan kelangsungan
hidupnya, maka mereka akan menjual dan menggadai harta benda mereka. Sedangkan
norma resiprositas akan timbul apabila ada sebagian dari anggota masyarakat
menghendaki adanya bantuan dari anggota masyarakat yang lain. Masyarakat petani
dengan kondisi yang sangat resisten terhadap perubahan yang terjadi dalam kegiatan
perekonomian, menjadikan mereka masyarakat yang meminimalkan resiko berdasarkan
prinsip safety first.
Woodward8 menganggap bahwa slametan merupakan produk interpretasi teksteks Islam dan mode tindakan ritual yang diketahui dan disepakati bersama oleh
masyarakat Muslim (bukan Jawa) yang lebih luas. Slametan pada dasarnya bukan ritus
pedesaan, melainkan menggunakan model pemujaan keraton Yogyakarta yang
dilihatnya sebagai inspirasi sufi. Dengan kata lain, bentuk dan makna slametan berakar
dari Islam tekstual sebagaimana diinterpretasikan dalam pemujaan negara. Proses
penafsiran ini menghasilkan dua bentuk dasar religiusitas yaitu Islam Normatif yang
mengharuskan mistisisme dipraktekkan dalam wadah kesalehan normatif, dan Islam
Jawa yang mengharuskan agar ritus-ritus peralihan kehidupan harus dilaksanakan sesuai
dengan hukum Islam. Dalam perjalanannya slametan yang diadakan oleh sebagian besar

masyarakat Jawa menjadi satu dengan kepercayaan dan agama yang mereka yakini
masing-masing. Keadaan ini tidak lepas dari kenyataan bahwa slametan merupakan
pola kompromi kebudayaan sikap dan gaya retorik yang diwujudkan dalam berbagai
variasi dan dibawa dalam nuansa kehidupan beragama yang berbeda-beda pula.
Slametan kematian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu acara
ritual yang pada umumnya disertai dengan acara makan bersama para undangan dengan
tujuan mencari keselamatan bagi yang meninggal dan yang masih hidup. Menurut
Bratawijaya9, di dalam masyarakat Jawa slametan kematian terbagi dalam beberapa
macam antara lain : (1) Slametan pada hari geblak yang biasanya dilakukan setelah
pemakaman jenazah; (2) Slametan telung dinane yaitu pada hari ketiga meninggalnya;
(3) Slametan pitung dinane yaitu pada hari ketujuh meninggalnya; (4) Slametan
patangpuluh dinane yaitu pada hari ke 40 meninggalnya; (5) Slametan satus dinane
yaitu pada hari keseratus meninggalnya; (6) Slametan mendhak yaitu satu tahun setelah
meninggalnya; (7) Slametan mendhak pindho yaitu dua tahun setelah meninggalnya;
dan (8) Slametan mendhak telu atau nyewu yaitu tiga tahun setelah meninggalnya atau
hari keseribu. Periodesasi dalam slametan kematian juga memiliki makna antara lain 8
(1) Ngesur tanah yaitu jenazah yang sudah dikebumikan, yang berarti memindahkan
dari alam fana ke alam baka, asal tanah kembali ke asal semula menjadi tanah; (2)
Slametan telung dinane yaitu untuk menyempurnakan empat perkara yang disebut
anasir yaitu bumi, api, angin, dan air; (3) Slametan pitung dinane yaitu untuk
menyempurnakan kulit dan kukunya; (4) Slametan patang puluh dinane yaitu untuk
menyempurnakan semua yang bersifat wadag atau jasad; (5) Slametan satus dinane
yaitu untuk menyempurnakan pembawaan dari ayah dan ibu berupa darah, daging,
sumsum, jeroan, kuku, rambut, tulang, dan otot; (6) Slametan mendhak pisan yaitu
untuk menyempurnakan semua kulit, daging, dan jeroan; (7) Slametan mendhak pindho
yaitu untuk menyempurnakan semua kulit, darah, dan semacamnya yang tinggal hanya
tulang saja; (8) Slametan mendhak telu yaitu untuk menyempurnakan semua rasa dan
bau hingga semua rasa dan bau lenyap.
Sebagai penelitian yang menggunakan perspektif fenomenologi, maka tidak
dapat dilepaskan dari Max Weber yang mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang
mengusahakan pemahaman interpretatif mengenai tindakan sosial agar dengan cara itu
dapat menghasilkan penjelasan kausal mengenai pelaksanaan dan akibatnya. 10 Weber

memisahkan empat tindakan sosial yaitu (1) Tindakan Zweck Rationalitat yang
merupakan tindakan sosial yang menyandarkan diri pada pertimbangan manusia yang
rasional ketika menanggapi lingkungan eksternalnya; (2) Tindakan Wert Rationalitat
yang merupakan tindakan rasional, namun masih menyandarkan diri kepada suatu nilainilai absolut tertentu yang dapat berupa nilai etis, estetis, keagamaan, dan nilai-nilai
yang lain; (3) Tindakan Affectual yang timbul karena dorongan atau motivasi yang
sifatnya emosional; dan (4) Tindakan Traditional yaitu tindakan sosial yang didorong
dan berorientasi kepada tradisi masa lalu.
Gagasan Weber tersebut berpengaruh terhadap salah satu ahli fenomenologi,
yaitu Alfred Schutz. Dalam karya klasiknya yang berjudul The Phenomenology of the
Social World, di tertarik dengan penggabungan pandangan fenomenologi dengan
sosiologi melalui kritik sosiologis terhadp karya Weber.11 Schutz menjelaskan tiga unsur
pengetahuan yang membentuk pengertian manusia tentang masyarakat, yakni dunia
sehari-hari, sosialitas, dan makna. Dunia sehari-hari adalah orde tingkat satu dari
kenyataan dan menjadi yang paling fundamental dan esensial bagi manusia. Sosialitas
berpijak pada teori tindakan sosial Weber. Tindakan sosial yang terjadi setiap hari selalu
memiliki makna, atau dengan kata lain berbagai makna senantiasa mengiringi tindakan
sosial.12
Pembahasan mengenai makna kemudian dikembangkan oleh Peter L. Berger
dan Thomas Luckmann. Mereka menyatakan bahwa pada dasarnya manusia mencari
pengetahuan atau kesatuan pengetahuan yang dinamakan Universe of Meaning
(semesta kemaknaan) yang tidak lain merupakan produk sosial dan sebaliknya
membantunya menciptakan masyarakat. Universe of Meaning tidak hanya meliputi ideide falsafati yang tinggi, melainkan juga pengetahuan sehari-hari yang diterima sebagai
benar dan sebagaimana adanya. Suatu semesta kemaknaan memerlukan legitimasi terus
menerus, membutuhkan penguatan dan pembenaran yang berulang-ulang. Anggota
masyarakat harus berulang diberitahu bahwa semesta kemaknaan mereka nyata, benar,
dan sah.13 Legitimasi adalah pengetahuan yang diobyektivasi secara sosial yang
bertindak untuk menjelaskan dan membenarkan tatanan sosial.14
Slametan kematian merupakan suatu realitas yang tidak muncul dengan
sendirinya. Dalam teori Konstruksi Sosial yang dikemukakan oleh Berger dan Luckman
terkandung pemahaman bahwa realitas/kenyataan dibangun secara sosial, serta

kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya. 15


Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang diakui
memiliki keberadaan (being)nya sendiri sehingga tidak tergantung pada kehendak
manusia. Sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomena-fenomena itu
nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. 16 Suatu kenyataan digambarkan
dalam proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dalam hal ini individu
menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialaminya bersama
secara subyektif.
Menurut Berger, konstruksi sosial berlangsung melalui dialektika dalam satu
proses dengan tiga momen simultan yaitu : (1) Eksternalisasi adalah suatu pencurahan
kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik
maupun mental. Dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia (kebudayaan), dengan kata
lain manusia menemukan dirinya dalam suatu dunia; (2) Objektivasi adalah
disandangnya produk-produk aktivitas itu. Kebudayaan yang sudah berstatus sebagai
realitas objektif yang ada di luar kesadaran manusia; dan (3) Internalisasi adalah
peresapan kembali realitas tersebut oleh manusia dan mentransformasikan sekali lagi
dari struktur dunia objektif ke dalam struktur kesadaran subjektif. Melalui ekternalisasi,
masyarakat merupakan produk manusia. Selanjutnya, melalui objektivasi, maka
masyarakat menjadi suatu realitas sui generis (unik), pada saat ini masyarakat dianggap
sebagai realitas objektif. Akhirnya, dengan melalui internalisasi maka manusia
merupakan produk masyarakat.17 Setiap orang tentunya akan mempunyai konstruksi
sendiri atas suatu realitas/kenyataan. Hal ini dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan,
preferensi tertentu, serta lingkungan pergaulannya yang tidak pernah sama antara satu
dengan yang lainnya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini mengambil lokasi di Surabaya sebagai salah satu kota
metropolitan di Indonesia, di mana sebagian besar penduduknya merupakan masyarakat
Jawa yang masih melakukan slametan kematian. Penelitian kali ini hanya dilakukan
terhadap salah satu wilayah di Kota Surabaya yaitu Kelurahan Rangkah di Kecamatan
Tambaksari. Di samping jumlah penduduk miskin yang masih cukup banyak di wilayah

ini, kedekatan emosional peneliti dengan informan juga menjadi pertimbangan


tersendiri dalam memilih lokasi tersebut.
Penelitian ini tidak melakukan uji statistik terhadap persoalan yang
dirumuskan, akan tetapi lebih kepada memberikan diskripsi mendalam tentang makna
slametan kematian bagi masyarakat miskin kota. Sesuai dengan pendekatan kualitatif
yang digunakan dalam penelitian ini, maka guna memperoleh informasi yang
dibutuhkan digunakanlah informan atau subyek. Jumlah informan atau subyek dalam
penelitian ini lebih menekankan kepada kualitas daripada kuantitas. Usaha untuk
menemukan informan dilakukan melalui wawancara pendahuluan dengan orang yang
berwenang (dalam hal ini pegawai Kelurahan Rangkah) baik secara formal maupun
informal. Berdasarkan informasi yang diperoleh, peneliti kemudian menemui informan
yang direkomendasikan dengan tetap memperhatikan karakteristik yang sesuai dengan
penelitian, yaitu mereka yang termasuk masyarakat miskin dan masih melaksanakan
slametan kematian. Masyarakat miskin kota dalam hal ini adalah mereka yang termasuk
ke dalam tahapan Keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I.
Wawancara mendalam dengan informan menjadi salah satu metode yang
digunakan untuk menggali data dan informasi dalam penelitian ini. Walaupun demikian,
sebelumnya peneliti telah melakukan pengamatan pendahuluan dalam usaha
memperoleh informasi awal mengenai hal-hal yang terkait dengan penelitian ini.
Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah
dibuat terlebih dahulu oleh peneliti. Hasil wawancara direkam dengan tape recorder
yang kemudian dilakukan transkrip atas hasil wawancara tersebut guna mempermudah
peneliti dalam memahami data yang diperoleh dari lapangan. Selama melakukan
wawancara mendalam, peneliti juga tetap melakukan pengamatan guna mendukung data
dan informasi yang diperoleh. Dalam hal ini peneliti ikut berperan serta secara aktif
dalam kegiatan yang terkait dengan penelitian ini. Harapannya dapat memperoleh
informasi yang dibutuhkan, termasuk yang bersifat rahasia sekalipun. Hasil pengamatan
selanjutnya dicatat dalam bentuk catatan lapangan yang diharapkan dapat memberi data
yang terlewatkan dalam wawancara mendalam guna menambah kekayaan informasi.
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang didapat dari
berbagai sumber. Hasil wawancara yang telah ditranskrip, setelah dibaca dan dipelajari
selanjutnya dilakukan reduksi data dengan membuat abstraksi yang merupakan usaha

membuat rangkuman inti terhadap proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga
sehingga tetap berada di dalamnya. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang
menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan
mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan finalnya dapat
ditarik dan diverifikasi.
Penarikan kesimpulan hanya sebagian dari suatu kegiatan dari konfigurasi yang
utuh. Kesimpulan juga selalu diverifikasi selama penelitian berlangsung. Analisis data
kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang, dan terus-menerus. Dengan
demikian kesimpulan-kesimpulan sementara akan selalu dibuat oleh peneliti selama
melakukan penelitian di lapangan. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya ke dalam
satuan-satuan yang akan dikategorikan dalam langkah berikutnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Data-data yang diperoleh dari lapangan hasil wawancara mendalam terhadap
para informan adalah sebagai berikut :
Profil Informan I : Menghormati dan mengingat orang yang meninggal
Lahir dan besar dalam keluarga yang taat beragama dan akrab dengan budaya
Jawa, pak Darno merupakan salah satu di antara begitu banyak orang kota yang masih
melakukan slametan kematian. Bapak dua anak ini mengetahui tradisi Jawa termasuk
slametan kematian dari ibu yang asli Solo. Slametan kematian menurutnya tidak lebih
sebagai suatu kegiatan untuk menghormati dan mengingat kembali orang yang
meninggal.
Menurut aku ya...semacam menghormati mas, waktu meninggalnya dan
mengingat kembali waktu masa hidupnya dulu...
Kegiatan tersebut dilakukan dalam waktu sementara selama tujuh hari. Pendapat
tersebut diakuinya diperoleh dari cerita orang-orang tua.
Dari orang-orang tua, ya dari cerita. Jadi, untuk menghormati orang mati
harus dibancai. Jadi, waktu meninggal rohnya kan masih ada, belum
meninggalkan raganya, cuma sementara, nanti rohnya datang, tahu, cuma beda
jarak itu saja
Adapun pelaksanaannya itu sendiri hanya sekali, yaitu ketika hari pertama
meninggalnya. Sedangkan selama enam hari berikutnya merupakan hubungan antara
yang meninggal dengan keluarga yang ditinggalkan. Selama tujuh hari itulah orang

yang sudah meninggal tersebut masih diberlakukan layaknya masih hidup, di mana
keluarga tetap memberi makan, minum, bunga, dan sebagainya.
Misalkan saya dengan anak saya almarhum ya?Antara bapak dengan anak itu
hubungan sementara gitu, waktu selama hidupnya dikasih makan, ya ini juga,
sudah meninggal dikasih makan, dikasih minum, dan sebagainya. Ini cuman
sementara selama satu minggu, kalau upacaranya itu cuma satu hari
Slametan kematian menurut informan harus diadakan jika ada salah satu
anggota keluarganya yang meninggal. Menurut informan siapa lagi yang menghormati
dan mengingat orang yang meninggal kalau bukan yang masih hidup. Oleh karenanya
informan sangat menyayangkan jika ada orang atau keluarga yang tidak melakukan
slametan kematian ketika ada anggota keluarganya yang meninggal.
Kalau untuk yang tidak itu anu...jangan sampek lah, karena kan yang terakhir.
Kecuali kalau dia masih hidup, lain, diabaikan gak papa. Kalau dia sudah
meninggal gini, otomatis dia menggantungkan pada yang hidup. Kalau yang
hidup mengabaikan dia kan kasihan
Informan tidak memungkiri jika pelaksanaan slametan kematian membutuhkan biaya
yang tidak sedikit. Tetapi bagaimanapun juga menurut informan slametan harus tetap
dilaksanakan jika ada anggota keluarga yang meninggal.
Besar kecilnya biaya yang dibutuhkan menurut informan tergantung dari
jumlah orang yang diundang. Pelaksanaannya sendiri disesuaikan dengan kemampuan
keluarga yang ditinggal, yang penting menurut informan tidak berlebihan. Informan
juga menginformasikan adanya mekanisme tertentu guna membantu keluarga dalam
melaksanakan slametan kematian. Bagi keluarga yang tidak mampu biasanya ada
bantuan dari gereja, selain itu biasanya warga sekitar juga membantu dengan memberi
sumbangan. Dalam hal ini biasanya berupa barang kebutuhan untuk pelaksanaan
slametan kematian, masyarakat biasa mengenalnya dengan buwuh.
Profil Informan II : Penerus adat
Lahir di Cepu, 33 tahun yang lalu, ibu dua anak ini sejak kecil harus rela tidak
merasakan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Ketika berusia 4 tahun, orangtua mbak
Salamah bercerai, kondisi tersebut memaksanya tinggal bersama kakek dan neneknya di
Surabaya. Seperti orang tua pada umumnya, kakek dan nenek mbak Salamah sangat
memegang teguh adat tradisi Jawa, termasuk slametan kematian. Walaupun diasuh
dalam keluarga yang demikian, ternyata informan memiliki pandangan menarik

mengenai slametan kematian. Menurut informan, slametan kematian hanya adat orang
dulu saja, tetapi jika tidak dilaksanakan akan membuat orang lain terkejut.
nek menurutku bancaane wong mati iku yo adat Ri, adate wong biyen,
engkok saumpamane gak di anu, tonggo-tonggone kaget,lho wong mati kok
gak dibancai...
(kalau menurut saya, slametan orang mati itu ya adat Ri, adatnya orang dulu,
nanti seumpamanya tidak di anu (dilaksanakan), tetangga terkejut, lho orang
mati kok tidak dibancai(slametan kematian)...)
Sedangkan pada waktu kecil, informan tidak mengetahui tentang slametan kematian,
hanya dipandang sebagai slametan seperti umumnya.
Pandangan tersebut tidak terlepas dari pergaulan semasa remaja, di mana selain
bergaul dengan banyak orang informan juga bergaul dengan Remaja Masjid (Remas) di
daerah tersebut yang berbasis Muhammadiyah. Dari pergaulannya dengan Remas inilah
informan mengetahui bahwa slametan kematian tidak ada dalam ajaran agama Islam,
sehingga dianggap tidak ada gunanya. Apalagi jika dihubungkan dengan keadaan
ekonomi sekarang yang sulit, sedangkan biaya yang dibutuhkan untuk slametan juga
banyak. Menurut informan kegiatan ini dapat mengakibatkan orang yang tidak memiliki
uang terlibat hutang guna mengadakan slametan kematian.
Sakjane gak ono gunane, soale saiki kan sulit yo?dadi nek ono apa adanya.
Tapi kadang ono anu iku yo, yo ono gunane, maksude eh ono faedahe lah.
Maksude ngene, eh gak ono faedahe! Maksude yo ono benere Muhammadiyah
ngomong iku gak oleh dibancai. Soale kadang wong sing gak duwe kan
sampek ngutang-ngutang, lha iku. Ngutang-ngutang iku lha nek seumpamane
Muhammadiyah kan bener, gak usah dibancai, nek wong gak duwe kan utang,
lha iku soro e. Utang kadang kan gak sah, tapi keliru nek, nek gak duwe,
ngutang...
(Sebenarnya gak ada gunanya, karena sekarang kan sulit ya?jadi kalau ada, apa
adanya. Tapi terkadang ada anu itu ya, ada gunanya, maksudnya ada faedahnya
lah. Maksudnya begini, eh gak ada faedahnya! Maksudnya ya ada benarnya
Muhammadiyah mengatakan tidak boleh dibancai (slametan kematian).
Karena kadang terkadang orang yang tidak punya (miskin) sampai hutanghutang, lha itu. Hutang-hutang itu lha kalau seumpamanya Muhammadiyah
kan bener, tidak usah dibancai, kalau orang tidak punya kan hutang, lha itu
beratnya. Hutang kan terkadang tidak sah, tapi keliru kalau, kalau gak punya,
hutang)
Informan mengalami dilema ketika sang kakek sering menanyakan kepastian
informan akan mengadakan slametan kematian jika dirinya meninggal, hingga akhirnya
informan meyakinkan sang kakek bahwa akan diadakan slametan. Dilema tersebut
menjadi nyata ketika sang kakek meninggal, di satu sisi informan tidak mempercayai

kegiatan semacam ini ditambah lagi keadaan ekonomi informan yang pas-pasan. Di sisi
informan juga menyadari hidup berdampingan dengan orang banyak dengan berbagai
faham. Selain itu saudara-saudara informan juga memaksa untuk mengadakan slametan
kematian bagi sang kakek.
Yo iku lho, atek meneh amanat iku lho. Amanate wong mati kan lebih iku Ri.
Atek muni iyo!, iyo iku berat lho Ri, nek aku meneng ae ngono gak popo, aku
muni iyo!. Durung mati kan ngomong pancene Ri, mosok aku gak duwe
anak, aku nek mati gak dibancai, opo maneh koen melok iku Mah, Remas.
Trus aku muni ngene diancai, dibancai! muni ngono. Baringono yo
dibancai, atek anu opo, morotuwoku deso yo atek ono masalah ngene, kolot...
Jane yo berlawanan, wong mbah Mat-e mati lho ngene kok Mah aku mati opo
gak mok bancai? kan ngono yo. Trus aku muni ngene, wah bingung, gak tak
bancai sing dulurku ngamuk, koyok Lek Tik barang iku ngamuk koen iku
wong mati gak mok bancai!. Jane kan ga oleh asline, kan tahayul jarene
ngono, kok dibancai, laopo?baringono, maksude gak duwe kok diutangutangno...
(Yaitu lho, apalagi amanat itu lho. Amanatnya orang mati kan lebih itu Ri.
Ditambah bilang iya!, iya itu berat lho Ri, kalau saya diam begitu tidak apaapa, saya bilang iya!. Sebelum meninggal memang bilang Ri, masak saya
gak punya anak, kalau saya meninggal tidak dibancai, apalagi kamu ikut itu
Mah, Remas. Terus saya bilang begini dibancai, dibancai, bilang begitu.
Setelah itu ya dibancai, ditambah anu apa, mertuaku di desa kalau ada masalah
begini, kolot.....Sebetulnya ya berlawanan, mbah Mat-nya meninggal lho
bilang begini kok Mah saya meninggal apa tidak kamu bancai? kan begitu
ya. Terus saya bilang begini, wah bingung, tidak saya bancai saudaraku marah,
seperti Lek Tik itu juga marah kamu itu orang meninggal kok tidak
dibancai!. Sebenarnya kan tidak boleh aslinya, kan tahayul katanya begitu,
kok dibancai, kenapa? Setelah itu, maksudnya tidak punya uang kok hutanghutang)
Pengetahuan informan tentang seluk beluk slametan kematian didapatkannya
dari bertanya kepada orang-orang tua.
Teko wong tuwo-tuwo, kan aku takon. Iku adat Jowo, saumpamane nek
menurut agama kan gak oleh yo? Nek koyok e agama iku kan gak oleh. Trus
baringono iku ono sing ngomong, bukane gak oleh, jarene wong sing, koyoke
NU ngono kan, bukane gak oleh, tujuane wong mati, wong mbancai yo iku!
Iku kan adat, lha iku tibake kok nganune apik trus yo ditiru
(Dari orang tua-tua, kan saya tanya. Itu adat Jawa, seumpamanya kalau
menurut agama kan tidak boleh ya? Kalau seperti agama itu kan tidak boleh.
Terus kemudian ada yang bilang, bukannya tidak boleh, kata orang yang,
seperti NU itu kan, bukannya tidak boleh, tujuannya orang mati, orang
mbancai ya itu! Itu kan adat, lha itu ternyata kok begitunya bagus terus ya
ditiru)

Profil Informan III : Mendoakan orang yang meninggal


Bapak dua anak ini lahir dan besar dalam keluarga Nahdhiyin serta aktif di
dalam kegiatan keagamaan baik secara umum, terlebih yang berhubungan dengan NU.
Menginjak remaja, informan mulai aktif mengikuti pengajian-pengajian yang diadakan
NU dengan tempat yang berbeda-beda. Dari sinilah informan makin banyak mendapat
pengetahuan mengenai agama. Jika dulu slametan kematian oleh informan dianggap
sebagai slametan pada umumnya, setelah menimba ilmu dari kyai-kyai tempat informan
menimba ilmu agama maka pengetahuan mengenai slametan kematian berubah.
Slametan kematian iku yo, memang nang kitab gak ono, gawe umate warga
NU, gawe ndungano sing mati. Bukannya untuk nyari apa-apa, memang
ndungano wong mati supoyo duso-duso iku iso disepuro lah sitik-sitik. Koyok
nang alam kubur iku supoyo siksaane iku gak terlalu anu
(Slametan kematian itu ya, memang di kitab tidak ada, bagi umatnya warga
NU, untuk mendoakan yang meninggal. Bukannya untuk mencari apa-apa,
memang mendoakan orang mati supaya dosa-dosa itu diampuni lah sedikitsedikit. Seperti di alam kubur itu supaya siksaannya itu tidak terlalu anu)
Walaupun informan menegaskan bahwa slametan kematian tersebut tidak terdapat
dalam kitab (Al-Quran), tetapi informan juga tidak setuju jika slametan kematian
dianggap sebagai tradisi Jawa.
Tradisi Jawa? Memang itu dari sahabat-sahabat, pedomannya dia, agama itu
mulai dari kanjeng Nabi punya sahabat, sahabat-sahabat turun dari ulama, yo
iku (ya itu) diikuti...
Cumane biyen Islam, kanjeng Nabi nuruno koyok sahabat. Koyok wadah lain
kan cuma ndelok kanjeng Nabi tok, tapi nek Ahlusunahwaljamaah ndelok
sahabat. Nek ono sahabat ngene, ulama besar, yo iku diikuti
(Hanya dulu Islam, kanjeng Nabi menurunkan seperti sahabat. Seperti tempat
lain kan hanya melihat kanjeng Nabi saja, tetapi jika Ahlusunahwaljamaah
melihat sahabat. Jika ada sahabat begini, ulama besar, ya itu diikuti)
Informan sangat menyakini dan menegaskan bahwa slametan kematian merupakan
ajaran Nabi Muhammad SAW yang diturunkan kepada para sahabat.
Keadaan ekonomi yang sulit seperti sekarang ini, menurut informan tidak
boleh dijadikan halangan dalam melaksanakan slametan kematian karena sudah menjadi
kewajiban bagi keluarga yang ditinggal. Walaupun demikian dalam pelaksanaannya
jangan sampai harus hutang, pelaksanaannya bisa seadanya tidak harus makan-makan,
dengan minum saja cukup. Hal ini tidak lepas dari tujuan dari slametan kematian adalah
mendoakan orang yang meninggal, dan itu harus dilaksanakan.
Ya bagus aja, gak ada mandang ekonomi seret opo, pokok e kita ngerti
waktunya kita slametan gak boleh gak

Yo bebane beban, tapi jenenge wong kesusahan dikapak-kapakno yo sing


podo-podo anune, kemungkinan kita ndak nuntut untuk makan. Ndak nuntut,
terserah tuan rumah....
(Ya bebannya beban, tapi namanya orang kesusahan bagaimanapun ya yang
sama-sama anunya)
Mengenai intensitas pelaksanaan slametan kematian menurut informan mulai dari satu
hari sampai dengan seribu hari, setelah itu hanya mendoakan biasa untuk memperingati
hari dan bulan kematian. Walaupun demikian informan tidak mengetahui arti
periodesasi slametan kematian dan menganggapnya hanya periodesasi peringatan
kematian saja.
Profil Informan IV: Memperingati orang yang meninggal
Ibu Juwarti dilahirkan setahun sebelum kemerdekaan Indonesia dan hidup
dalam keluarga campuran yang sederhana. Sang ayah termasuk santri yang taat,
sedangkan sang ibu berasal dari priyayi abangan. Dari bimbingan kedua orangtua inilah
informan mengetahui slametan kematian yang dianggap sebagai tradisi yang harus
dilaksanakan.
Yo teko wong duwure, duwure, duwure, ngono. Teko wong tuwane, wong
tuwane, yo wong kono, kono, dadine wis umumlah. Gak menurut karepku
dewe, yo koyok keturunan-keturunan, orang lama-lama kan. Yo gak moro
ngerti, oh iki ngene, iki ngene, yo gak yo! Menurut tradisi orang tua jaman dulu
itu gini, jadi anak terus cucunya itu kan nurut
(Ya dari orang di atasnya, atasnya, atasnya, begitu. Dari orangtuanya,
orangtuanya, ya orang sana, sana, jadinya sudah umumlah. Tidak menurut
keinginan saya sendiri, ya seperti keturunan-keturunan, orang lama-lama kan.
Ya tidak tiba-tiba mengerti, oh ini begini, ini begini, ya gak ya!)
Slametan kematian menurut informan merupakan adat Jawa tetapi juga memiliki
hubungan dengan agama. Hal ini dapat dilihat dari digunakannya doa-doa secara Islam
dalam acara slametan kematian.
Pelaksanaan slametan kematian yang membutuhkan biaya tidak sedikit
menurut informan memang memberatkan, tetapi jika dibanding dengan kondisi
ekonomi orang tua jaman dulu yang tidak lebih baik. Mereka tetap bisa melaksanakan
slametan

kematian.

Informan

mengadakan

slametan

kematian

selain

untuk

memperingati orang yang sudah meninggal juga untuk memberinya makan. Informan
percaya jika arwah orang yang meninggal akan pulang saat diadakan slametan
kematian.

Alasanku, yo memperingati orang yang sudah meninggal itu, memberi makan


selagi dia pulang, katanya orang dulu. Habis diperingati hari keberapanya...
Dengan demikian periodesasi pelaksanaan slametan kematian tidak lebih sebagai
peringatan keberangkatan pulang ke akhirat dan memberi makan orang yang meninggal.
Informan hanya menjalankan adat istiadat nenek moyang yang sudah demikian adanya.
Profil Informan V : Mengirimkan doa kepada yang meninggal
Ibu Yanti dilahirkan di Surabaya 35 tahun silam, tetapi masa kecilnya
dihabiskan di Jombang. Meskipun hidup di daerah pesantren, tetapi tidak membuatnya
menjadi fanatik terhadap salah satu ajaran agama. Walaupun hidup dalam kondisi paspasan, orangtuanya tetap menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama. Nilai-nilai
tradisi peninggalan nenek moyang kendati demikian tetap dipegang teguh oleh keluarga
informan, termasuk slametan kematian. Mereka selalu mengadakan tradisi tersebut dan
merasa ada yang kurang jika tidak melaksanakannya.
Slametan kematian menurut informan adalah suatu kegiatan yang dilakukan
untuk mengirimkan doa kepada orang yang sudah meninggal.
Anu bancaan niku kintun doa nggih, kintun doa ten nggene sing tilar wau
mas. Lha slametan niku kan kados nopo? Nyukani daharan, niku kan awake
dewe wis dibantu doa. Kan rasa terima kasih ngeten, lak maringi maeman
nopo unjukan...
(Anu bancaan itu kirim doa ya, kirim doa kepada yang meninggal tadi mas.
Lha slametan itu seperperti apa? Memberi makan, itu kan kita sudah dibantu
doa. Sebagai rasa terima kasih begitu, kan memberi makan atau minum)
Pendapat informan yang demikian, diketahui dari orang tua-tua dahulu dan menurut
mereka merupakan cara orang Islam. Keluarga informan juga menganggap bahwa
slametan kematian sebenarnya jika tidak dilaksanakan juga tidak masalah. Akan tetapi
baik informan maupun keluarga merasa ada yang kurang jika tidak melaksanakan.
Kondisi ekonomi yang sulit ternyata tidak membuat informan merasa kesulitan
dalam melaksanakan slametan kematian. Mendoakan orang yang meninggal menjadi
alasan bagi informan untuk melaksanakannya. Meskipun dapat didoakan sendiri secara
individu, tetapi tidak bisa demikian karena sudah menjadi adat kebiasaan Jawa.
....tujuane kan untuk doa, kirim doa, walaupun setiap hari mesti kan inggih
didoaken (ya didoakan), sehabis shalat kan mesti ndoaken nggih
(mendoakan ya)? Tapi kan, niki nopo tradisi, adate wong Jowo biyen...
(Ini apa tradisi, adatnya orang Jawa dulu)

Periodesasi pelaksanaan slametan kematian menurut informan juga hanya mengikuti


tradisi yang demikian adanya. Informan tidak mengetahui arti periodesasi tersebut,
menurutnya hanya sebagai periodesasi untuk mengirim doa kepada yang meninggal
saja. Terkait dengan biaya slametan yang tidak sedikit menurut informan, selain percaya
akan datangnya rejeki yang tidak terduga juga ada bantuan dari saudara-saudara.
Informan tidak terlalu mempermasalahkan jika ada individu yang tidak melaksanakan
slametan kematian.
Pembahasan
Memperhatikan penjelasan beberapa informan di atas, maka dapat dijelaskan
bahwa makna slametan kematian bagi masyarakat miskin kota adalah sebagai berikut :
Makna Magis
Masyarakat miskin kota yang memiliki makna magis terhadap slametan
kematian adalah mereka yang mengkaitkan pelaksanaan slametan kematian dengan
orang yang sudah meninggal dengan disertai pengiriman doa. Sebagaimana pendapat
yang dikemukakan oleh informan I dan IV bahwa slametan kematian dilakukan untuk
menghormati dan mengingat orang yang meninggal tersebut.
Menurut aku ya...semacam menghormati mas, waktu meninggalnya dan
mengingat kembali waktu masa hidupnya dulu...
Alasanku, yo memperingati orang yang sudah meninggal itu, memberi makan
selagi dia pulang, katanya orang dulu. Habis diperingati hari keberapanya...
Slametan kematian juga menjadi sarana bagi keluarga yang masih hidup untuk memberi
makan kepada orang yang sudah meninggal. Mereka masih memegang kepercayaan
bahwa roh orang yang sudah meninggal akan pulang ke rumah pada saat tertentu,
sehingga slametan kematian perlu diadakan.
Slametan kematian bukan hanya sekedar mengingat dan menghormati orang
yang sudah meninggal saja. Lebih dari itu, slametan kematian dilakukan untuk meminta
pengampunan dosa orang yang sudah meninggal melalui pengiriman doa. Hal ini
sebagaimana penjelasan informan III dan V mengenai slametan kematian yang mereka
lakukan.
Slametan kematian iku yo, memang nang kitab gak ono, gawe umate warga
NU, gawe ndungano sing mati. Bukannya untuk nyari apa-apa, memang
ndungano wong mati supoyo duso-duso iku iso disepuro lah sitik-sitik. Koyok
nang alam kubur iku supoyo siksaane iku gak terlalu anu
(Slametan kematian itu ya, memang di kitab tidak ada, bagi umatnya warga
NU, untuk mendoakan yang meninggal. Bukannya untuk mencari apa-apa,

memang mendoakan orang mati supaya dosa-dosa itu diampuni lah sedikitsedikit. Seperti di alam kubur itu supaya siksaannya itu tidak terlalu anu)
Anu bancaan niku kintun doa nggih, kintun doa ten nggene sing tilar wau
mas. Lha slametan niku kan kados nopo? Nyukani daharan, niku kan awake
dewe wis dibantu doa. Kan rasa terima kasih ngeten, lak maringi maeman
nopo unjukan...
(Anu bancaan itu kirim doa ya, kirim doa kepada yang meninggal tadi mas.
Lha slametan itu seperperti apa? Memberi makan, itu kan kita sudah dibantu
doa. Sebagai rasa terima kasih begitu, kan memberi makan atau minum)
Terdapat berbagai standar pembenar yang digunakan masyarakat miskin kota
untuk melaksanaan slametan kematian. Tradisi atau budaya Jawa yang sudah ada sejak
dahulu menjadi standar pembenar sebagaimana dikemukakan informan I, IV, dan V.
Dari orang-orang tua, ya dari cerita. Jadi, untuk menghormati orang mati
harus dibancai...
Yo teko wong duwure, duwure, duwure, ngono. Teko wong tuwane, wong
tuwane, yo wong kono, kono, dadine wis umumlah. Gak menurut karepku
dewe, yo koyok keturunan-keturunan, orang lama-lama kan. Yo gak moro
ngerti, oh iki ngene, iki ngene, yo gak yo! Menurut tradisi orang tua jaman dulu
itu gini, jadi anak terus cucunya itu kan nurut
(Ya dari orang di atasnya, atasnya, atasnya, begitu. Dari orangtuanya,
orangtuanya, ya orang sana, sana, jadinya sudah umumlah. Tidak menurut
keinginan saya sendiri, ya seperti keturunan-keturunan, orang lama-lama kan.
Ya tidak tiba-tiba mengerti, oh ini begini, ini begini, ya gak ya!)
...Tapi kan, niki nopo tradisi, adate wong Jowo biyen...
(Ini apa tradisi, adatnya orang Jawa dulu)
Ada juga yang menjadikan agama sebagai standar pembenar sebagaimana dikemukakan
informan III. Walaupun informan menegaskan bahwa slametan kematian tidak terdapat
dalam kitab (Al-Quran), tetapi informan juga tidak setuju jika slametan kematian
dianggap sebagai tradisi Jawa.
Tradisi Jawa? Memang itu dari sahabat-sahabat, pedomannya dia, agama itu
mulai dari kanjeng Nabi punya sahabat, sahabat-sahabat turun dari ulama, yo
iku (ya itu) diikuti...
Cumane biyen Islam, kanjeng Nabi nuruno koyok sahabat. Koyok wadah lain
kan cuma ndelok kanjeng Nabi tok, tapi nek Ahlusunahwaljamaah ndelok
sahabat. Nek ono sahabat ngene, ulama besar, yo iku diikuti
(Hanya dulu Islam, kanjeng Nabi menurunkan seperti sahabat. Seperti tempat
lain kan hanya melihat kanjeng Nabi saja, tetapi jika Ahlusunahwaljamaah
melihat sahabat. Jika ada sahabat begini, ulama besar, ya itu diikuti)
Makna Sosial

Masyarakat miskin kota yang memiliki makna sosial, melaksanakan slametan


kematian lebih dikarenakan adanya tekanan dari lingkungan sosial, terutama dari pihak
keluarga. Hal ini sebagaimana pendapat yang dikemukakan informan II.
nek menurutku bancaane wong mati iku yo adat Ri, adate wong biyen,
engkok saumpamane gak di anu, tonggo-tonggone kaget,lho wong mati kok
gak dibancai...
(kalau menurut saya, slametan orang mati itu ya adat Ri, adatnya orang dulu,
nanti seumpamanya tidak di anu (dilaksanakan), tetangga terkejut, lho orang
mati kok tidak dibancai(slametan kematian)...)
Pelaksanaan slametan kematian tidak dikaitkan dengan keberadaan orang yang sudah
meninggal. Mereka melaksanakan slametan kematian lebih sebagai bentuk kompromi
dan menghindari konflik dengan keluarga.
...Baringono yo dibancai, atek anu opo, morotuwoku deso yo atek ono
masalah ngene, kolot...
Jane yo berlawanan, wong mbah Mat-e mati lho ngene kok Mah aku mati opo
gak mok bancai? kan ngono yo. Trus aku muni ngene, wah bingung, gak tak
bancai sing dulurku ngamuk, koyok Lek Tik barang iku ngamuk koen iku
wong mati gak mok bancai!. Jane kan ga oleh asline, kan tahayul jarene
ngono, kok dibancai, laopo?baringono, maksude gak duwe kok diutangutangno...
(...Setelah itu ya dibancai, ditambah anu apa, mertuaku di desa kalau ada
masalah begini, kolot.....Sebetulnya ya berlawanan, mbah Mat-nya meninggal
lho bilang begini kok Mah saya meninggal apa tidak kamu bancai? kan
begitu ya. Terus saya bilang begini, wah bingung, tidak saya bancai saudaraku
marah, seperti Lek Tik itu juga marah kamu itu orang meninggal kok tidak
dibancai!. Sebenarnya kan tidak boleh aslinya, kan tahayul katanya begitu,
kok dibancai, kenapa? Setelah itu, maksudnya tidak punya uang kok hutanghutang)
Perlu diketahui bahwa istilah bancaan sering digunakan masyarakat sekitar lokasi
penelitian sebagai pengganti dari kata slametan. Mereka yang memiliki makna sosial
terhadap slametan kematin
Standar pembenar inilah yang berperan sebagai legitimasi atas tindakan
masyarakat miskin kota dalam melaksanakan slametan kematian. Melalui standar
pembenar tersebut masyarakat miskin kota yang masih melaksanakan slametan
kematian diberitahu secara berulang bahwa slametan kematian itu nyata, benar, dan sah.
Apabila legitimasi tersebut tidak berhasil meyakinkan anggota masyarakat, akibatnya
adalah slametan kematian tidak lagi memiliki makna magis seperti sebelumnya. Hal
tersebut dapat dilihat dari pendapat yang dikemukakan oleh informan II.

Tindakan masyarakat miskin kota dalam melaksanakan slametan kematian


karena alasan magis termasuk dalam tindakan Wert Rationalitat. Dalam hal ini slametan
kematian merupakan tindakan sosial yang rasional, namun masih menyandarkan diri
kepada suatu nilai-nilai absolut tertentu yang dapat berupa nilai etis, estetis, keagamaan,
dan nilai-nilai yang lain. Sedangkan tindakan masyarakat miskin kota yang
melaksanakan slametan kematian karena alasan sosial termasuk dalam tindakan
Traditional. Mereka melakukan slametan kematian karena dorongan dan orientasi
kepada tradisi masa lalu. Tindakan ini merupakan reaksi sederhana yang mungkin
bersifat serta merta dan sebenarnya merupakan suatu reaksi terhadap dorongan biasa
yang mengarahkan perilaku secara rutin yang dilakukan manusia setiap hari.
Berdasarkan penjelasan para informan juga terlihat bahwa slametan kematian
sebagai realitas sosial yang ada di dalam masyarakat miskin kota dengan demikian
merupakan hasil kontruksi sosial. Dalam hal ini slametan kematian sebagai sebuah
realitas yang terbentuk melalui tiga momen simultan yaitu eksternalisasi, objektivasi,
dan internalisasi. Melalui eksternalisasi slametan kematian merupakan produk
masyarakat, melalui objektivasi slametan kematian menjadi suatu realitas yang objektif,
dan melalui internalisasi realitas tersebut diserap kembali oleh masyarakat. Pengetahuan
mereka terhadap slametan kematian dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan,
preferensi tertentu, serta lingkungan pergaulannya yang tidak pernah sama antara satu
dengan yang lainnya.
Informan tidak mengetahui arti penting dari periodesasi pelaksanaan slametan
kematian sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Wiyasa Bratawijaya. 7 Walaupun
mereka mengetahui slametan kematian dari generasi sebelumnya, tampak sekali bahwa
proses internalisasi slametan kematian berjalan tidak sempurna. Akibatnya mereka
hanya sekedar menjalankan tradisi tanpa mengetahui arti penting dari setiap tahapan
dalam slametan kematian. Generasi penerus tersebut tidak dapat membedakan antara
objektivitas fenomena alam dengan objektivitas bentukan manusia. Kenyataan yang
demikian diterima oleh generasi penerus sebagai tradisi bukan sebagai ingatan biografis.
Selain makna yang mereka miliki terhadap slametan kematian, ternyata juga
terdapat suatu mekanisme yang menjadikan pelaksanaan slametan kematian tidak
terlalu memberatkan. Di dalam kehidupan masyarakat miskin kota terdapat mekanisme
buwuh (menyumbang) guna menunjukkan solidaritas, baik oleh saudara, tetangga

sekitar, maupun oleh perkumpulan yang cukup membantu. Mekanisme buwuh menjadi
salah satu moral ekonomi yang berkembang di kalangan masyarakat miskin kota dalam
melaksanakan slametan kematian, tepatnya sebagai norma resiprositas.
Berbeda dengan perkembangan sumbangan pada kegiatan tradisional lainnya
(pernikahan, khitan, dan lain sebaginya) yang mengalami pergeseran nilai. Sampai
dengan saat ini sumbangan untuk pelaksanaan slametan kematian masih berupa beras
atau barang kebutuhan pokok (telur, mie, minyak goreng, dan sejenisnya). Walaupun
tidak ada batasan terkait dengan jumlah dan besaran nominal buwuh, tetapi dalam
praktiknya mereka akan mengembalikan buwuhan tersebut sebesar yang pernah
mereka terima.
KESIMPULAN
Slametan kematian sebagai salah satu warisan nenek moyang masih menjadi
sebuah realitas yang ada di kalangan masyarakat miskin kota sampai saat ini. Dalam
kondisi perekonomian yang tentunya tidak bisa dibilang mudah, masyarakat miskin kota
tetap melaksanakan slametan kematian. Makna yang mereka miliki terhadap slametan
kematian menjadi alasan mereka tetap melaksanakan kegiatan tersebut.
Masyarakat miskin kota memiliki makna magis dan sosial terhadap slametan
kematian. Mereka yang memiliki makna magis terhadap slametan kematian,
melaksanakan slametan kematian untuk ditujukan kepada orang yang meninggal dengan
disertai doa. Terdapat berbagai standar pembenar yang digunakan oleh mereka untuk
melaksanakan slametan kematian. Di antara mereka ada yang menggunakan tradisi dan
atau budaya yang sudah ada sejak dulu serta ajaran agama. Mereka yang memiliki
makna sosial, melaksanakan slametan kematian karena tekanan lingkungan sosial
tempat mereka berada, terutama dari pihak keluarga. Mereka melaksanakan slametan
kematian untuk menjaga hubungan baik dengan keluarga lain yang masih memiliki
makna magis terhadap slametan kematian.
Terdapat mekanisme buwuh (nyumbang) yang dilakukan oleh tetangga sekitar
kepada pihak keluarga yang melaksanakan slametan kematian. Mekanisme tersebut
sedikit banyak cukup membantu meringankan beban pelaksanaan slametan kematian.
Sumbangan yang diberikan berupa beras atau kebutuhan pokok (telur, mie, minyak
goreng, dan sejenisnya).

Implikasi praktis dari hasil penelitian ini bagi pembangunan adalah pentingnya
untuk mengetahui pemahaman masyarakat miskin kota terhadap suatu program
pembangunan. Melalui pemahaman yang mereka miliki, maka pemerintah dapat lebih
tepat dalam merumuskan kebijakan bagi masyarakat miskin kota. Dengan demikian
output dari kebijakan tersebut benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat miskin kota.
Pemahaman masyarakat miskin kota akan suatu program pembangunan tentunya juga
dapat dikonstruksikan sebagaimana slametan kematian. Orang-orang yang memiliki
pengaruh di dalam masyarakat dapat dijadikan agent of change yang akan
menginternalisasi program tersebut kepada masyarakat miskin kota.
DAFTAR PUSTAKA
1

Suyanto, Bagong.1989.Makna Slametan Bagi Masyarakat Perkotaan.Skripsi, Fakultas


Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Surabaya: Universitas Airlangga.

Sekarpawening, Sunu.1994.Wetonan:Studi Makna Wetonan Bagi Paguyuban


PAMEKAS.Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Surabaya:
Universitas Airlangga.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984. Upacara Tradisional Sebagai


Kegiatan Sosialisasi DIY. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan DIY.

Tradisi

Selamatan
Bancaan
Weton.2012.
(http://ml.scribd.com/doc/44591704/Selamatan, diakses 20 September 2012)

Suseno, Franz Magnis.1999.Etika Jawa.Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Prasetyo,
Yanu
Endar.2008.Dilema
Tradisi
Nyumbang.(http://
yanuprasetyo.wordpress.com/2008/12/03/dilema-tradisi-nyumbang/,
diakses
16 September 2012)

Scott, James C.1994.Moral Ekonomi Petani : Pergolakan dan Subsistensi di Asia


Tenggara.Jakarta: LP3ES

Beaty, Andrew.2001.Variasi Agama di Jawa.Jakarta: PT Raja Grafindo.

Bratawijaya, Thomas Wiyasa.1997.Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa.Jakarta:


PT Pradnya Paramita.

10

Campbell, Tom.1994.Tujuh Teori Sosial.Yogyakarta: Kanisius.

11

Craib, Ian.1992.Teori-teori Sosial Modern dari Parson sampai Habermas.Jakarta:


Rajawali Press.

12

Susan, Novri.2003.Konflik Dalam Perspektif Sosiologi Pengetahuan: Konflik Agama


Masyarakat Ambon Maluku Sebagai Konstruksi Sosial.Skripsi.Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik.Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

13

Ambarsari, Arum.1999.Konstruksi Pelecehan Seksual.Skripsi.Fakultas Ilmu Sosial dan


Ilmu Politik.Surabaya: Universitas Airlangga.

14

Berger, Peter L.1991.Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial.Jakarta: LP3ES.

15

Manuaba, I.B. Putera.2010.Memahami Teori Konstruksi Sosial.Jurnal Masyarakat


Kebudayaan dan Politik Universitas Airlangga.21(3): 221-230.

16

Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann.1990.Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah


Tentang Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari buku asli The Social
Construction of Reality oleh Hasan Basari).Jakarta: LP3ES.

17

Berger. Peter L. dan Thomas Luckmann.1994.Langit Suci: Agama sebagai Realitas


Sosial (diterjemahkan dari buku asli Sacred Canopy oleh Hartono).Jakarta : PT
Pustaka LP3ES.

Anda mungkin juga menyukai