Tulisan ini merupakan ringkasan skripsi penulis dengan judul Makna Slametan Kematian
Bagi Masyarakat Miskin Kota (Studi Kualitatif Pada Lima Keluarga Miskin di Kelurahan Rangkah
Kecamatan Tambaksari, Surabaya) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Tahun
2004 dengan beberapa penajaman di dalam analisisnya.
sosial. Mereka yang memiliki makna magis terhadap slametan kematian, melaksanakan
slametan kematian untuk ditujukan kepada orang yang meninggal. Sedangkan mereka
yang memiliki makna sosial terhadap slametan kematian, melaksanakannya karena
tekanan sosial.
Kata kunci : makna, slametan kematian, masyarakat miskin kota.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Slametan merupakan salah satu budaya religius yang masih banyak dianut oleh
masyarakat, baik di desa maupun di kota dan tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan
masyarakat Jawa. Kondisi ekonomi yang semakin sulit pun ternyata tidak menghalangi
sebagian besar masyarakat tadi untuk tetap melaksanakan slametan. Sudah banyak studi
yang menjadikan slametan sebagai objek kajian, baik yang dilakukan oleh peneliti lokal
maupun luar negeri. Sebut saja Clifford Geertz, Franz Magnis Suseno, Andew Beaty,
dan Neils Mulder yang tertarik dengan kebudayaan Jawa, di mana slametan juga
menjadi bagian dari kajian mereka. Sedangkan dari negeri sendiri nama yang cukup
populer adalah Koentjaraningrat. Mereka pada umumnya melihat slametan secara
makro, sebagai bagian dari kebudayaan Jawa yang menjadi kajian pokok mereka.
Penelitian lebih spesifik dilakukan oleh Suyanto (1989) dan Sekarpawening
(1994) tentang makna slametan sekitar kelahiran. Penelitian tersebut mendapatkan hasil
yang berbeda, jika Suyanto menemukan pergeseran makna slametan kelahiran dari
melaksanakannya karena untuk menetralisir kekuatan gaib menjadi alasan-alasan yang
bersifat sosial. Sekarpaweing dalam penelitiannya pada suatu perkumpulan di
Surabaya ternyata masih menemukan alasan magis kultural pada pelaksanaan slametan
sekitar kelahiran (wetonan).
Penelitian mengenai slametan kematian yang dilaksanakan masyarakat kota
masih jarang dilakukan, jika pun ada yang menjadi perhatian adalah masyarakat kota
secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta pada tahun 1984, di mana
ditemukan jika pelaksanaan slametan masih bernuansa magis kultural. Menurut
kepercayaan, roh orang yang meninggal akan marah jika sanak keluarga yang ditinggal
tidak melaksanakan upacara peninggalan nenek moyang tersebut. Menjadi cukup
menarik untuk diungkap makna slametan kematian bagi masyarakat miskin kota. Hal
ini disebabkan di tengah kehidupan ekonomi di kota besar yang tidaklah mudah,
masyarakat miskin kota masih juga melaksanakan slametan kematian. Di satu sisi
kegiatan tersebut membutuhkan dana yang tidak sedikit, mereka juga sedang dalam
kondisi yang sedang kesusahan dengan meninggalnya salah satu anggota keluarga
mereka. Masyarakat kota yang dikenal lebih mengedepankan rasionalitas dalam
berperilaku, tentunya akan lebih mendahulukan pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang
semakin berat.
Rumusan Masalah
Sebagai studi fenomenologi yang berusaha mengungkap realitas di balik
realitas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Mengapa realitas slametan kematian masih menjadi realitas di kalangan masyarakat
miskin kota ?
2. Bagaimana masyarakat miskin kota memaknai slametan kematian tersebut ?
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa makna slametan kematian bagi
masyarakat miskin di perkotaan.
Tinjauan Teoritik
Slametan sebagaimana dikemukakan oleh Sunyoto merupakan salah satu
wujud dari budaya religius yang masih banyak dianut oleh masyarakat Jawa di samping
sistem petungan dan kepercayaan terhadap makhluk halus. Slametan berasal dari kata
slamet (Arab: salamah) yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai
sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Sementara itu
menurut Clifford Geertz, slamet berarti gak ana apa-apa (tidak ada apa-apa) atau lebih
tepat tidak akan terjadi apa-apa.4
Suseno5 menjelaskan bahwa dalam slametan terungkap nilai-nilai yang dirasa
paling mendalam oleh orang Jawa, yaitu nilai kebersamaan, ketetanggaan, dan
kerukunan. Slametan diadakan pada semua peristiwa penting dalam hidup seperti
kehamilan, kelahiran, sunat, perkawinan, pemakaman, sebelum panen padi, juga
sebelum suatu perjalanan besar, sesudah naik pangkat, pendek kata pada setiap
kesempatan di mana keselamatan kosmis perlu dijamin kembali. Slametan merupakan
ritus yang mengembalikan kerukunan dalam masyarakat dengan alam rohani, guna
mencegah gangguan-gangguan terhadap keselarasan kosmis.
Terdapat salah satu wujud solidaritas dari kegiatan ini adalah tradisi nyumbang,
sebuah tradisi yang sarat akan nilai gotong royong dan solidaritas sosial. 6 Sebagian
masyarakat di Jawa Timur ada yang menyebutnya mbecek atau buwuh. Namun
sayangnya, tradisi nyumbang mulai mengalami pergeseran nilai saat ini. Pertama,
makna tradisi nyumbang telah berubah wajah menjadi semakin kapitalis. Hajatan
beserta tradisi nyumbang-nya, menjadi ladang untuk mengakumulasi modal bagi
pemilik hajat. Sementara itu, bagi anggota masyarakat yang lain, nyumbang justru
menambah beban ekonomi di tengah masa sulit seperti saat ini. Kedua, tradisi
nyumbang ternyata menjadi beban ekonomi yang semakin nyata pada bulan-bulan
tertentu. Dalam tradisi Jawa, terdapat mangsa tertentu yang memiliki aspek mitos yang
kuat dan diyakini pengaruhnya oleh sebagian besar masyarakat. Terdapat suatu analisa
dalam kajian sosilogi mengenai penyebab seseorang berperilaku, bertindak dan
beraktivitas dalam kegiatan perekonomian yang biasa dikenal dengan moral ekonomi.
James C. Scott (1994)7 menyatakan bahwa moral ekonomi petani didasarkan atas norma
subsistensi dan norma resiprositas. Norma subsistensi timbul ketika seorang petani
mengalami suatu keadaan yang menurut mereka dapat merugikan kelangsungan
hidupnya, maka mereka akan menjual dan menggadai harta benda mereka. Sedangkan
norma resiprositas akan timbul apabila ada sebagian dari anggota masyarakat
menghendaki adanya bantuan dari anggota masyarakat yang lain. Masyarakat petani
dengan kondisi yang sangat resisten terhadap perubahan yang terjadi dalam kegiatan
perekonomian, menjadikan mereka masyarakat yang meminimalkan resiko berdasarkan
prinsip safety first.
Woodward8 menganggap bahwa slametan merupakan produk interpretasi teksteks Islam dan mode tindakan ritual yang diketahui dan disepakati bersama oleh
masyarakat Muslim (bukan Jawa) yang lebih luas. Slametan pada dasarnya bukan ritus
pedesaan, melainkan menggunakan model pemujaan keraton Yogyakarta yang
dilihatnya sebagai inspirasi sufi. Dengan kata lain, bentuk dan makna slametan berakar
dari Islam tekstual sebagaimana diinterpretasikan dalam pemujaan negara. Proses
penafsiran ini menghasilkan dua bentuk dasar religiusitas yaitu Islam Normatif yang
mengharuskan mistisisme dipraktekkan dalam wadah kesalehan normatif, dan Islam
Jawa yang mengharuskan agar ritus-ritus peralihan kehidupan harus dilaksanakan sesuai
dengan hukum Islam. Dalam perjalanannya slametan yang diadakan oleh sebagian besar
masyarakat Jawa menjadi satu dengan kepercayaan dan agama yang mereka yakini
masing-masing. Keadaan ini tidak lepas dari kenyataan bahwa slametan merupakan
pola kompromi kebudayaan sikap dan gaya retorik yang diwujudkan dalam berbagai
variasi dan dibawa dalam nuansa kehidupan beragama yang berbeda-beda pula.
Slametan kematian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu acara
ritual yang pada umumnya disertai dengan acara makan bersama para undangan dengan
tujuan mencari keselamatan bagi yang meninggal dan yang masih hidup. Menurut
Bratawijaya9, di dalam masyarakat Jawa slametan kematian terbagi dalam beberapa
macam antara lain : (1) Slametan pada hari geblak yang biasanya dilakukan setelah
pemakaman jenazah; (2) Slametan telung dinane yaitu pada hari ketiga meninggalnya;
(3) Slametan pitung dinane yaitu pada hari ketujuh meninggalnya; (4) Slametan
patangpuluh dinane yaitu pada hari ke 40 meninggalnya; (5) Slametan satus dinane
yaitu pada hari keseratus meninggalnya; (6) Slametan mendhak yaitu satu tahun setelah
meninggalnya; (7) Slametan mendhak pindho yaitu dua tahun setelah meninggalnya;
dan (8) Slametan mendhak telu atau nyewu yaitu tiga tahun setelah meninggalnya atau
hari keseribu. Periodesasi dalam slametan kematian juga memiliki makna antara lain 8
(1) Ngesur tanah yaitu jenazah yang sudah dikebumikan, yang berarti memindahkan
dari alam fana ke alam baka, asal tanah kembali ke asal semula menjadi tanah; (2)
Slametan telung dinane yaitu untuk menyempurnakan empat perkara yang disebut
anasir yaitu bumi, api, angin, dan air; (3) Slametan pitung dinane yaitu untuk
menyempurnakan kulit dan kukunya; (4) Slametan patang puluh dinane yaitu untuk
menyempurnakan semua yang bersifat wadag atau jasad; (5) Slametan satus dinane
yaitu untuk menyempurnakan pembawaan dari ayah dan ibu berupa darah, daging,
sumsum, jeroan, kuku, rambut, tulang, dan otot; (6) Slametan mendhak pisan yaitu
untuk menyempurnakan semua kulit, daging, dan jeroan; (7) Slametan mendhak pindho
yaitu untuk menyempurnakan semua kulit, darah, dan semacamnya yang tinggal hanya
tulang saja; (8) Slametan mendhak telu yaitu untuk menyempurnakan semua rasa dan
bau hingga semua rasa dan bau lenyap.
Sebagai penelitian yang menggunakan perspektif fenomenologi, maka tidak
dapat dilepaskan dari Max Weber yang mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang
mengusahakan pemahaman interpretatif mengenai tindakan sosial agar dengan cara itu
dapat menghasilkan penjelasan kausal mengenai pelaksanaan dan akibatnya. 10 Weber
memisahkan empat tindakan sosial yaitu (1) Tindakan Zweck Rationalitat yang
merupakan tindakan sosial yang menyandarkan diri pada pertimbangan manusia yang
rasional ketika menanggapi lingkungan eksternalnya; (2) Tindakan Wert Rationalitat
yang merupakan tindakan rasional, namun masih menyandarkan diri kepada suatu nilainilai absolut tertentu yang dapat berupa nilai etis, estetis, keagamaan, dan nilai-nilai
yang lain; (3) Tindakan Affectual yang timbul karena dorongan atau motivasi yang
sifatnya emosional; dan (4) Tindakan Traditional yaitu tindakan sosial yang didorong
dan berorientasi kepada tradisi masa lalu.
Gagasan Weber tersebut berpengaruh terhadap salah satu ahli fenomenologi,
yaitu Alfred Schutz. Dalam karya klasiknya yang berjudul The Phenomenology of the
Social World, di tertarik dengan penggabungan pandangan fenomenologi dengan
sosiologi melalui kritik sosiologis terhadp karya Weber.11 Schutz menjelaskan tiga unsur
pengetahuan yang membentuk pengertian manusia tentang masyarakat, yakni dunia
sehari-hari, sosialitas, dan makna. Dunia sehari-hari adalah orde tingkat satu dari
kenyataan dan menjadi yang paling fundamental dan esensial bagi manusia. Sosialitas
berpijak pada teori tindakan sosial Weber. Tindakan sosial yang terjadi setiap hari selalu
memiliki makna, atau dengan kata lain berbagai makna senantiasa mengiringi tindakan
sosial.12
Pembahasan mengenai makna kemudian dikembangkan oleh Peter L. Berger
dan Thomas Luckmann. Mereka menyatakan bahwa pada dasarnya manusia mencari
pengetahuan atau kesatuan pengetahuan yang dinamakan Universe of Meaning
(semesta kemaknaan) yang tidak lain merupakan produk sosial dan sebaliknya
membantunya menciptakan masyarakat. Universe of Meaning tidak hanya meliputi ideide falsafati yang tinggi, melainkan juga pengetahuan sehari-hari yang diterima sebagai
benar dan sebagaimana adanya. Suatu semesta kemaknaan memerlukan legitimasi terus
menerus, membutuhkan penguatan dan pembenaran yang berulang-ulang. Anggota
masyarakat harus berulang diberitahu bahwa semesta kemaknaan mereka nyata, benar,
dan sah.13 Legitimasi adalah pengetahuan yang diobyektivasi secara sosial yang
bertindak untuk menjelaskan dan membenarkan tatanan sosial.14
Slametan kematian merupakan suatu realitas yang tidak muncul dengan
sendirinya. Dalam teori Konstruksi Sosial yang dikemukakan oleh Berger dan Luckman
terkandung pemahaman bahwa realitas/kenyataan dibangun secara sosial, serta
membuat rangkuman inti terhadap proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga
sehingga tetap berada di dalamnya. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang
menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan
mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan finalnya dapat
ditarik dan diverifikasi.
Penarikan kesimpulan hanya sebagian dari suatu kegiatan dari konfigurasi yang
utuh. Kesimpulan juga selalu diverifikasi selama penelitian berlangsung. Analisis data
kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang, dan terus-menerus. Dengan
demikian kesimpulan-kesimpulan sementara akan selalu dibuat oleh peneliti selama
melakukan penelitian di lapangan. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya ke dalam
satuan-satuan yang akan dikategorikan dalam langkah berikutnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Data-data yang diperoleh dari lapangan hasil wawancara mendalam terhadap
para informan adalah sebagai berikut :
Profil Informan I : Menghormati dan mengingat orang yang meninggal
Lahir dan besar dalam keluarga yang taat beragama dan akrab dengan budaya
Jawa, pak Darno merupakan salah satu di antara begitu banyak orang kota yang masih
melakukan slametan kematian. Bapak dua anak ini mengetahui tradisi Jawa termasuk
slametan kematian dari ibu yang asli Solo. Slametan kematian menurutnya tidak lebih
sebagai suatu kegiatan untuk menghormati dan mengingat kembali orang yang
meninggal.
Menurut aku ya...semacam menghormati mas, waktu meninggalnya dan
mengingat kembali waktu masa hidupnya dulu...
Kegiatan tersebut dilakukan dalam waktu sementara selama tujuh hari. Pendapat
tersebut diakuinya diperoleh dari cerita orang-orang tua.
Dari orang-orang tua, ya dari cerita. Jadi, untuk menghormati orang mati
harus dibancai. Jadi, waktu meninggal rohnya kan masih ada, belum
meninggalkan raganya, cuma sementara, nanti rohnya datang, tahu, cuma beda
jarak itu saja
Adapun pelaksanaannya itu sendiri hanya sekali, yaitu ketika hari pertama
meninggalnya. Sedangkan selama enam hari berikutnya merupakan hubungan antara
yang meninggal dengan keluarga yang ditinggalkan. Selama tujuh hari itulah orang
yang sudah meninggal tersebut masih diberlakukan layaknya masih hidup, di mana
keluarga tetap memberi makan, minum, bunga, dan sebagainya.
Misalkan saya dengan anak saya almarhum ya?Antara bapak dengan anak itu
hubungan sementara gitu, waktu selama hidupnya dikasih makan, ya ini juga,
sudah meninggal dikasih makan, dikasih minum, dan sebagainya. Ini cuman
sementara selama satu minggu, kalau upacaranya itu cuma satu hari
Slametan kematian menurut informan harus diadakan jika ada salah satu
anggota keluarganya yang meninggal. Menurut informan siapa lagi yang menghormati
dan mengingat orang yang meninggal kalau bukan yang masih hidup. Oleh karenanya
informan sangat menyayangkan jika ada orang atau keluarga yang tidak melakukan
slametan kematian ketika ada anggota keluarganya yang meninggal.
Kalau untuk yang tidak itu anu...jangan sampek lah, karena kan yang terakhir.
Kecuali kalau dia masih hidup, lain, diabaikan gak papa. Kalau dia sudah
meninggal gini, otomatis dia menggantungkan pada yang hidup. Kalau yang
hidup mengabaikan dia kan kasihan
Informan tidak memungkiri jika pelaksanaan slametan kematian membutuhkan biaya
yang tidak sedikit. Tetapi bagaimanapun juga menurut informan slametan harus tetap
dilaksanakan jika ada anggota keluarga yang meninggal.
Besar kecilnya biaya yang dibutuhkan menurut informan tergantung dari
jumlah orang yang diundang. Pelaksanaannya sendiri disesuaikan dengan kemampuan
keluarga yang ditinggal, yang penting menurut informan tidak berlebihan. Informan
juga menginformasikan adanya mekanisme tertentu guna membantu keluarga dalam
melaksanakan slametan kematian. Bagi keluarga yang tidak mampu biasanya ada
bantuan dari gereja, selain itu biasanya warga sekitar juga membantu dengan memberi
sumbangan. Dalam hal ini biasanya berupa barang kebutuhan untuk pelaksanaan
slametan kematian, masyarakat biasa mengenalnya dengan buwuh.
Profil Informan II : Penerus adat
Lahir di Cepu, 33 tahun yang lalu, ibu dua anak ini sejak kecil harus rela tidak
merasakan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Ketika berusia 4 tahun, orangtua mbak
Salamah bercerai, kondisi tersebut memaksanya tinggal bersama kakek dan neneknya di
Surabaya. Seperti orang tua pada umumnya, kakek dan nenek mbak Salamah sangat
memegang teguh adat tradisi Jawa, termasuk slametan kematian. Walaupun diasuh
dalam keluarga yang demikian, ternyata informan memiliki pandangan menarik
mengenai slametan kematian. Menurut informan, slametan kematian hanya adat orang
dulu saja, tetapi jika tidak dilaksanakan akan membuat orang lain terkejut.
nek menurutku bancaane wong mati iku yo adat Ri, adate wong biyen,
engkok saumpamane gak di anu, tonggo-tonggone kaget,lho wong mati kok
gak dibancai...
(kalau menurut saya, slametan orang mati itu ya adat Ri, adatnya orang dulu,
nanti seumpamanya tidak di anu (dilaksanakan), tetangga terkejut, lho orang
mati kok tidak dibancai(slametan kematian)...)
Sedangkan pada waktu kecil, informan tidak mengetahui tentang slametan kematian,
hanya dipandang sebagai slametan seperti umumnya.
Pandangan tersebut tidak terlepas dari pergaulan semasa remaja, di mana selain
bergaul dengan banyak orang informan juga bergaul dengan Remaja Masjid (Remas) di
daerah tersebut yang berbasis Muhammadiyah. Dari pergaulannya dengan Remas inilah
informan mengetahui bahwa slametan kematian tidak ada dalam ajaran agama Islam,
sehingga dianggap tidak ada gunanya. Apalagi jika dihubungkan dengan keadaan
ekonomi sekarang yang sulit, sedangkan biaya yang dibutuhkan untuk slametan juga
banyak. Menurut informan kegiatan ini dapat mengakibatkan orang yang tidak memiliki
uang terlibat hutang guna mengadakan slametan kematian.
Sakjane gak ono gunane, soale saiki kan sulit yo?dadi nek ono apa adanya.
Tapi kadang ono anu iku yo, yo ono gunane, maksude eh ono faedahe lah.
Maksude ngene, eh gak ono faedahe! Maksude yo ono benere Muhammadiyah
ngomong iku gak oleh dibancai. Soale kadang wong sing gak duwe kan
sampek ngutang-ngutang, lha iku. Ngutang-ngutang iku lha nek seumpamane
Muhammadiyah kan bener, gak usah dibancai, nek wong gak duwe kan utang,
lha iku soro e. Utang kadang kan gak sah, tapi keliru nek, nek gak duwe,
ngutang...
(Sebenarnya gak ada gunanya, karena sekarang kan sulit ya?jadi kalau ada, apa
adanya. Tapi terkadang ada anu itu ya, ada gunanya, maksudnya ada faedahnya
lah. Maksudnya begini, eh gak ada faedahnya! Maksudnya ya ada benarnya
Muhammadiyah mengatakan tidak boleh dibancai (slametan kematian).
Karena kadang terkadang orang yang tidak punya (miskin) sampai hutanghutang, lha itu. Hutang-hutang itu lha kalau seumpamanya Muhammadiyah
kan bener, tidak usah dibancai, kalau orang tidak punya kan hutang, lha itu
beratnya. Hutang kan terkadang tidak sah, tapi keliru kalau, kalau gak punya,
hutang)
Informan mengalami dilema ketika sang kakek sering menanyakan kepastian
informan akan mengadakan slametan kematian jika dirinya meninggal, hingga akhirnya
informan meyakinkan sang kakek bahwa akan diadakan slametan. Dilema tersebut
menjadi nyata ketika sang kakek meninggal, di satu sisi informan tidak mempercayai
kegiatan semacam ini ditambah lagi keadaan ekonomi informan yang pas-pasan. Di sisi
informan juga menyadari hidup berdampingan dengan orang banyak dengan berbagai
faham. Selain itu saudara-saudara informan juga memaksa untuk mengadakan slametan
kematian bagi sang kakek.
Yo iku lho, atek meneh amanat iku lho. Amanate wong mati kan lebih iku Ri.
Atek muni iyo!, iyo iku berat lho Ri, nek aku meneng ae ngono gak popo, aku
muni iyo!. Durung mati kan ngomong pancene Ri, mosok aku gak duwe
anak, aku nek mati gak dibancai, opo maneh koen melok iku Mah, Remas.
Trus aku muni ngene diancai, dibancai! muni ngono. Baringono yo
dibancai, atek anu opo, morotuwoku deso yo atek ono masalah ngene, kolot...
Jane yo berlawanan, wong mbah Mat-e mati lho ngene kok Mah aku mati opo
gak mok bancai? kan ngono yo. Trus aku muni ngene, wah bingung, gak tak
bancai sing dulurku ngamuk, koyok Lek Tik barang iku ngamuk koen iku
wong mati gak mok bancai!. Jane kan ga oleh asline, kan tahayul jarene
ngono, kok dibancai, laopo?baringono, maksude gak duwe kok diutangutangno...
(Yaitu lho, apalagi amanat itu lho. Amanatnya orang mati kan lebih itu Ri.
Ditambah bilang iya!, iya itu berat lho Ri, kalau saya diam begitu tidak apaapa, saya bilang iya!. Sebelum meninggal memang bilang Ri, masak saya
gak punya anak, kalau saya meninggal tidak dibancai, apalagi kamu ikut itu
Mah, Remas. Terus saya bilang begini dibancai, dibancai, bilang begitu.
Setelah itu ya dibancai, ditambah anu apa, mertuaku di desa kalau ada masalah
begini, kolot.....Sebetulnya ya berlawanan, mbah Mat-nya meninggal lho
bilang begini kok Mah saya meninggal apa tidak kamu bancai? kan begitu
ya. Terus saya bilang begini, wah bingung, tidak saya bancai saudaraku marah,
seperti Lek Tik itu juga marah kamu itu orang meninggal kok tidak
dibancai!. Sebenarnya kan tidak boleh aslinya, kan tahayul katanya begitu,
kok dibancai, kenapa? Setelah itu, maksudnya tidak punya uang kok hutanghutang)
Pengetahuan informan tentang seluk beluk slametan kematian didapatkannya
dari bertanya kepada orang-orang tua.
Teko wong tuwo-tuwo, kan aku takon. Iku adat Jowo, saumpamane nek
menurut agama kan gak oleh yo? Nek koyok e agama iku kan gak oleh. Trus
baringono iku ono sing ngomong, bukane gak oleh, jarene wong sing, koyoke
NU ngono kan, bukane gak oleh, tujuane wong mati, wong mbancai yo iku!
Iku kan adat, lha iku tibake kok nganune apik trus yo ditiru
(Dari orang tua-tua, kan saya tanya. Itu adat Jawa, seumpamanya kalau
menurut agama kan tidak boleh ya? Kalau seperti agama itu kan tidak boleh.
Terus kemudian ada yang bilang, bukannya tidak boleh, kata orang yang,
seperti NU itu kan, bukannya tidak boleh, tujuannya orang mati, orang
mbancai ya itu! Itu kan adat, lha itu ternyata kok begitunya bagus terus ya
ditiru)
kematian.
Informan
mengadakan
slametan
kematian
selain
untuk
memperingati orang yang sudah meninggal juga untuk memberinya makan. Informan
percaya jika arwah orang yang meninggal akan pulang saat diadakan slametan
kematian.
memang mendoakan orang mati supaya dosa-dosa itu diampuni lah sedikitsedikit. Seperti di alam kubur itu supaya siksaannya itu tidak terlalu anu)
Anu bancaan niku kintun doa nggih, kintun doa ten nggene sing tilar wau
mas. Lha slametan niku kan kados nopo? Nyukani daharan, niku kan awake
dewe wis dibantu doa. Kan rasa terima kasih ngeten, lak maringi maeman
nopo unjukan...
(Anu bancaan itu kirim doa ya, kirim doa kepada yang meninggal tadi mas.
Lha slametan itu seperperti apa? Memberi makan, itu kan kita sudah dibantu
doa. Sebagai rasa terima kasih begitu, kan memberi makan atau minum)
Terdapat berbagai standar pembenar yang digunakan masyarakat miskin kota
untuk melaksanaan slametan kematian. Tradisi atau budaya Jawa yang sudah ada sejak
dahulu menjadi standar pembenar sebagaimana dikemukakan informan I, IV, dan V.
Dari orang-orang tua, ya dari cerita. Jadi, untuk menghormati orang mati
harus dibancai...
Yo teko wong duwure, duwure, duwure, ngono. Teko wong tuwane, wong
tuwane, yo wong kono, kono, dadine wis umumlah. Gak menurut karepku
dewe, yo koyok keturunan-keturunan, orang lama-lama kan. Yo gak moro
ngerti, oh iki ngene, iki ngene, yo gak yo! Menurut tradisi orang tua jaman dulu
itu gini, jadi anak terus cucunya itu kan nurut
(Ya dari orang di atasnya, atasnya, atasnya, begitu. Dari orangtuanya,
orangtuanya, ya orang sana, sana, jadinya sudah umumlah. Tidak menurut
keinginan saya sendiri, ya seperti keturunan-keturunan, orang lama-lama kan.
Ya tidak tiba-tiba mengerti, oh ini begini, ini begini, ya gak ya!)
...Tapi kan, niki nopo tradisi, adate wong Jowo biyen...
(Ini apa tradisi, adatnya orang Jawa dulu)
Ada juga yang menjadikan agama sebagai standar pembenar sebagaimana dikemukakan
informan III. Walaupun informan menegaskan bahwa slametan kematian tidak terdapat
dalam kitab (Al-Quran), tetapi informan juga tidak setuju jika slametan kematian
dianggap sebagai tradisi Jawa.
Tradisi Jawa? Memang itu dari sahabat-sahabat, pedomannya dia, agama itu
mulai dari kanjeng Nabi punya sahabat, sahabat-sahabat turun dari ulama, yo
iku (ya itu) diikuti...
Cumane biyen Islam, kanjeng Nabi nuruno koyok sahabat. Koyok wadah lain
kan cuma ndelok kanjeng Nabi tok, tapi nek Ahlusunahwaljamaah ndelok
sahabat. Nek ono sahabat ngene, ulama besar, yo iku diikuti
(Hanya dulu Islam, kanjeng Nabi menurunkan seperti sahabat. Seperti tempat
lain kan hanya melihat kanjeng Nabi saja, tetapi jika Ahlusunahwaljamaah
melihat sahabat. Jika ada sahabat begini, ulama besar, ya itu diikuti)
Makna Sosial
sekitar, maupun oleh perkumpulan yang cukup membantu. Mekanisme buwuh menjadi
salah satu moral ekonomi yang berkembang di kalangan masyarakat miskin kota dalam
melaksanakan slametan kematian, tepatnya sebagai norma resiprositas.
Berbeda dengan perkembangan sumbangan pada kegiatan tradisional lainnya
(pernikahan, khitan, dan lain sebaginya) yang mengalami pergeseran nilai. Sampai
dengan saat ini sumbangan untuk pelaksanaan slametan kematian masih berupa beras
atau barang kebutuhan pokok (telur, mie, minyak goreng, dan sejenisnya). Walaupun
tidak ada batasan terkait dengan jumlah dan besaran nominal buwuh, tetapi dalam
praktiknya mereka akan mengembalikan buwuhan tersebut sebesar yang pernah
mereka terima.
KESIMPULAN
Slametan kematian sebagai salah satu warisan nenek moyang masih menjadi
sebuah realitas yang ada di kalangan masyarakat miskin kota sampai saat ini. Dalam
kondisi perekonomian yang tentunya tidak bisa dibilang mudah, masyarakat miskin kota
tetap melaksanakan slametan kematian. Makna yang mereka miliki terhadap slametan
kematian menjadi alasan mereka tetap melaksanakan kegiatan tersebut.
Masyarakat miskin kota memiliki makna magis dan sosial terhadap slametan
kematian. Mereka yang memiliki makna magis terhadap slametan kematian,
melaksanakan slametan kematian untuk ditujukan kepada orang yang meninggal dengan
disertai doa. Terdapat berbagai standar pembenar yang digunakan oleh mereka untuk
melaksanakan slametan kematian. Di antara mereka ada yang menggunakan tradisi dan
atau budaya yang sudah ada sejak dulu serta ajaran agama. Mereka yang memiliki
makna sosial, melaksanakan slametan kematian karena tekanan lingkungan sosial
tempat mereka berada, terutama dari pihak keluarga. Mereka melaksanakan slametan
kematian untuk menjaga hubungan baik dengan keluarga lain yang masih memiliki
makna magis terhadap slametan kematian.
Terdapat mekanisme buwuh (nyumbang) yang dilakukan oleh tetangga sekitar
kepada pihak keluarga yang melaksanakan slametan kematian. Mekanisme tersebut
sedikit banyak cukup membantu meringankan beban pelaksanaan slametan kematian.
Sumbangan yang diberikan berupa beras atau kebutuhan pokok (telur, mie, minyak
goreng, dan sejenisnya).
Implikasi praktis dari hasil penelitian ini bagi pembangunan adalah pentingnya
untuk mengetahui pemahaman masyarakat miskin kota terhadap suatu program
pembangunan. Melalui pemahaman yang mereka miliki, maka pemerintah dapat lebih
tepat dalam merumuskan kebijakan bagi masyarakat miskin kota. Dengan demikian
output dari kebijakan tersebut benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat miskin kota.
Pemahaman masyarakat miskin kota akan suatu program pembangunan tentunya juga
dapat dikonstruksikan sebagaimana slametan kematian. Orang-orang yang memiliki
pengaruh di dalam masyarakat dapat dijadikan agent of change yang akan
menginternalisasi program tersebut kepada masyarakat miskin kota.
DAFTAR PUSTAKA
1
Tradisi
Selamatan
Bancaan
Weton.2012.
(http://ml.scribd.com/doc/44591704/Selamatan, diakses 20 September 2012)
Prasetyo,
Yanu
Endar.2008.Dilema
Tradisi
Nyumbang.(http://
yanuprasetyo.wordpress.com/2008/12/03/dilema-tradisi-nyumbang/,
diakses
16 September 2012)
10
11
12
13
14
15
16
17