Anda di halaman 1dari 31

SOSIO MULTIKULTUR KAWASAN PUJA MANDALA

Disusun oleh:

NI KADEK NINDI YULIASARI 1914041002

IKA PRAMITA RUSADI DAWOLO 1914041003

NI KOMANG PUTRI CINTYA DEWI 1914041004

LINA WAHYUNI 1914041006

NI MADE WIDYA SARI 1914041007

PENDIDKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

SINGARAJA

2022
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN INI TELAH DIBACA DAN DISETUJUI SEBAGAI KELENGKAPAN
TELAH MENYELESAIKAN PROGAM STUDI LAPANGAN PKN

Pada,
Hari :
Tanggal :

Mengetahui,

Pembimbing, Koordinator Program Studi PPKn

Ni Nyoman Asri Sidaryanti, M.Pd. Dr. Dewa Bagus Sanjaya., M.Si


NIP. 198709152022032003 NIP. 196112311987031013

Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan,

Dr. Dewa Gede Sudika Mangku, S.H., LL.M.


NIP 198412272009121007

ii
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Studi Lapangan PKN. Selain itu, laporan ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
“Sosio Multikultur Kawasan Puja Mandala” bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ibu dosen Prodi PPKn yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasam sesuai dengan
bidang studi yang kami tekuni.
Kami menyadari laporan ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Singaraja, 19 Juli 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................................ii

KATA PENGANTAR...........................................................................................................iii

DAFTAR ISI.........................................................................................................................iv

DAFTAR Gambar................................................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1

1.2 Rumusan masalah..........................................................................................................2

1.3 Tujuan penulisan............................................................................................................2

1.4 Manfat penulisan...........................................................................................................2

1.5 Kajian Pustaka................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Puja Mandala....................................................................................................8

2.2 Keunikan Masing- Masing Tempat Ibadah...................................................................10

2.3 Kendala Dalam Mengatasi Konflik...............................................................................16

2.4 Solusi Dalam Mengatasi Konflik...................................................................................18

2.5 Puja Mandala Ditinjau Dari Perspektif Pancasila..........................................................19

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan...................................................................................................................23
3.2 Saran...............................................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pura Di Kawasan Puja Mandala...........................................................................11

Gambar 2. Jaba Tengah...........................................................................................................12

Gambar 3. Jeroan....................................................................................................................13

Gambar 4. Masjid Agung Ibnu Batutah..................................................................................14

Gambar 5. Wihara Budha Guna..............................................................................................14

Gambar 6. Gereja Protestan GKPB Jemaat Bukit Doa 15......................................................15

Gambar 7. Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa........................................................16

Gambar 8. Wawancara Bersama Narasumber........................................................................20

v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Mata kuliah Studi Lapangan PKn merupakan salah satu mata kuliah wajib bagi
seluruh mahasiswa Prodi PPKn Universitas Pendidikan Ganesha. Pada mata kuliah ini
bertujuan agar para mahasiswa selain mendapat pengajaran di kampus, juga mendapatkan
ilmu di luar kampus yakni dengan melaksanakan Studi Lapangan PKn. Studi Lapangan PKn
dilaksanakan mulai tanggal 14 Juli 2022 sampai 15 Juli 2022. Adapun tempat observasi pada
kegiatan ini adalah Prodi PPKn Universitas Dwijendra. Sebagai salah satu Univerits yang
memiliki Prodi PPKn, Dwijendra menjadi salah satu tujuan dalam pelaksanaan Studi
Lapangan PKn dalam bidang pendidikan. Selain menyasar pada bidang pendidikan, Studi
Lapangan PKn juga menyasar pada bidang pemerintahan yang dalam hal ini DPRD Provinsi
Bali menjadi tujuannya. Selain berkunjung ke intitusi pendidikan dan pemerintahan, pada
Studi Lapangan PKn juga berkunjung ke salah satu destinasi yang memiliki nilai agama
yakni kawasan Puja Mandala.
Manusia adalah makhluk sosial dan juga makhluk individu, seperti yang
dikemukakan oleh Soekanto (1994: 124) sejak lahir manusia sudah mempunyai dua hasrat
atau keinginan pokok yaitu keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain yang berbeda
di sekelilingnya (yaitu masyarakat), dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam
sekelilingnya. Terlahir sebagai makhluk sosial, menjadikan manusia sebagai makhluk yang
bergantung satu sama lain. Membangun persahabatan merupakan sesuatu yang harus dihayati
sebagai wujud nyata bahwa manusia memang makhluk sosial. Toleransi adalah Sikap dan
tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang
lain yang berbeda dari dirinya (Hasan, 2010: 9). Dalam masyarakat berdasarkan pancasila
terutama sila pertama, bertaqwa kepada tuhan menurut agama dan kepercayaan masing-
masing adalah mutlak. Semua agama menghargai manusia maka dari itu semua umat
beragama juga wajib saling menghargai. Dengan demikian antar umat beragama yang
berlainan akan terbina kerukunan hidup. Sikap toleransi dalam kehidupan beragama akan
dapat terwujud manakala ada kebebasan dalam masyarakat untuk memeluk agama sesuai
dengan keyakinannya.

1
Puja Mandala merupakan salah satu tempat yang memiliki nilai toleransi yang sangat
tinggi. Melihat masyarakat Indonesia khususnya Bali yang kaya akan keberagaman seperti
keberagaman agama, membuat Puja Mandala seakan menjadi simbol keharmonisan umat
beragama.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah Puja Mandala?
2. Apa saja keunikan masing- masing tempat ibadah yang terdapat di kawasan Puja
Mandala?
3. Apa kendala dan solusi yang diambil dalam mengatasi konflik?
4. Bagaimana Puja Mandala ditinjau dari perspektif Pancasila?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah Puja Mandala.
2. Untuk mengetahui keunikan masing- masing tempat ibadah yang terdapat di kawasan
Puja Mandala.
3. Untuk mengetahui kendala dan solusi yang diambil dalam mengatasi konflik.
4. Untuk mengetahui Puja Mandala ditinjau dari perspektif Pancasila.
1.4 Manfaat Penulisan
1. Bagi Pembaca: Memberikan gambaran umum mengenai Sosio Multikultur Kawasan Puja
Mandala.
2. Bagi Penulis: Dapat melatih kemampuan diri dalam bidang menulis secara sistematis
1.5 Kajian Pustaka
1. Agama
Istilah agama menurut kajian sosioantropologi yang ditulis oleh Amri Marzali
dalam Jurnal yang berjudul Agama dan Kebudayaan, Agama merupakan kata yang
berasal dari bahasa inggris yakni Religion. Agama adalah keseluruhan yang disebut
religion dalam bahasa inggris bisa termasuk agama wahyu, agama natural dan agama
lokal. “Agama” dalam pengertian politik-administratif pemerintah Republik Indonesia
adalah agama resmi yang diakui oleh pemerintah, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik,
Hindu dan Budha, dan pada masa akhir-akhirnya ini juga dimasukan agama Konghucu
(Saifudin, 2000).

2
Selain itu, terdapat pula pengertian agama dari beberapa ahli diantaranya definisi
dari Milton Yinger (1957). Dikatakan oleh Yinger bahwa “Agama adalah pengetahuan
kultural tentang sang supernatural yang digunakan oleh manusia untuk menghadapi
masalah paling penting tentang keberadaan manusia di muka bumi ini” (Religion is the
cultural knowledge of the supernatural that people use to cope with the ultimate problem
of human existence). Berikutnya yakni Raymond Firth mengatakan “Agama adalah satu
seni kemanusiaan (a human art) yang mampu mencapai tingkat intelektual dan artistik
terbesar, tapi juga mampu mencapai kerja manipulasi yang kompleks untuk memenuhi
keperluan manusia yang percaya” (Firth, 1996).
Seterusnya adalah definisi dari Haviland yang mengatakan, “Agama adalah
kepercayaan dan pola tingkah laku, yang digunakan oleh manusia untuk menghadapi apa
yang mereka pandang sebagai masalah-masalah penting yang tidak dapat diselesaikan
dengan cara menggunakan teknologi atau teknik organisasi yang mereka punya. Untuk
mengatasi kekurangan-kekurangan ini, manusia beralih ke perbuatan memanipulasi
makhluk dan kekuatan supernatural” (Religion may be regarded as the beliefs and
patterns of behavior by which humans try to deal with what they view as important
problems that cannot be solved through the application of known technology or
techniques of organization. To overcome these limitations, people turn to the
manipulation of supernatural beings and powers) (Haviland, 1996).
Serta menurut KBBI Agama berarti ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
2. Pura
Dalam menunjang peningkatan Sradha dan Bhakti umat Hindu khususnya
mempunyai tempat suci yang disebut pura. Pura sebagai tempat yang suci dibangun
dengan tujuan untuk memohon kehadiran Tuhan Yang Maha Esa dengan segala
manifestasi-Nya dengan melalui pemujaan. Penggunaan media seperti Pura, gambar, dan
upakara dalam mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Hindu
dikenal dalam konsep Ketuhanan Saguna Brahma yaitu Tuhan yang boleh digambarkan
atau Tuhan yang termanifestasikan (Anggraini, 2019).

3
Sebelum digunakan istilah pura sebagai tempat pemujaan atau tempat suci,
disebut juga istilah kahyangan atau hyang.Istilah pura mulai dikenal sejak abad
kesepuluh yang ditandai dengan kedatangan Empu Kuturan di Bali yang membawa
perubahan besar dalam tata keagamaan di Bali.Seluruh umat Hindu khususnya di Bali
memiliki pura untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa (Heriyanti, 2019).
Pura adalah salah satu penerapan dari konsep Ketuhanan Saguna Brahma.Sebuah
pura memiliki bangunan pelinggih sebagai stana para Dewa yang merupakan manifestasi
Tuhan. Meskipun sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa tidak memerlukan suatu tempat
yang terbatas karena Beliau sesungguhnya tanpa batas, akan tetapi membangun sebuah
pura dapat memberikan masyarakat aura spritual yang lebih kuat dimana seseorang
merasakan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa dekat dengan dirinya (Heriyanti, 2019).
3. Vihara
Vihara menurut KBBI merupakan biara yang didiami oleh para biksu (umat
Buddha).Vihara atau arama pertama dalam sejarah Buddha terletak di atas tanah yang
dinamakan Isipatana Migadaya (taman rusa Isipatana), dekat kota Banarasi. Tempat yang
sangat indah ini mengandung makna sejarah yang sangat penting bagi umat Buddha yang
tidak mungkin dapat dilupakan (Masruroh, 2008).
Pada awalnya pengertian vihara sangat sederhana yaitu pondok atau tempat
tinggalatau tempat penginapan para bhikku dan bhikkuni, samanera, samaneri. Namun
kinipengertian vihara mulai berkembang, yaitu: vihara adalah tempat melakukan segala
macambentuk upacara keagamaan menurut keyakinan, kepercayaan, dan tradisi agama
Buddhaserta tempat umat awam melakukan ibadah atau sembahyang menurut
keyakinan,kepercayaan, dan tradisi masing-masing baik secara perorangan maupun
berkelompok. Didalam vihara terdapat satu atau lebih ruangan untuk penempatan altar
(Masruroh, 2008).
4. Masjid
Kata “Masjid” berasal dari kata sajada-sujud yang berarti patuh, taat, serta
tundukpenuh hormat, takzim. Sujud dalam syariat yaitu berlutut, meletakkan dahi
keduatangan ketanah adalahn bentuk nyata dari arti kata tersebut. Oleh karena itu
bangunan yang dibuat khususuntuk sholat disebut masjid yang artinya : tempat untuk
sujud (Shihab, 1997).

4
Adapun definisi secara istilah antara lain : “masjid adalah tempat yang dijadikan
danditentukan untuk tempat manusia mengerjakan shalat jamaah (tempat yang ditentukan
untukmengerjakan ibadah kepada Allah SWT)”. (A.S.H.Shiddieqy,1975).
Masjid sekurangkurangnya mempunyai tiga tinjauan makna yaitu : Pertama,
berkaitandengan aspek individu adalah terciptanya manusia yang beriman. Kedua,
berkaiatan denganaspek sosial adalah membentuk umat yang siap menjalankan
kehidupan dalam berbagai situasiatau kondisi yang dihadapi dan mampu hidup
bermasyarakat dalam arti yang luas, berbangsadan bernegara. Yang terpenting dalam
aspek ini adalah kepribadian (akhlak) sebagai basisdinamik bangunan sosial yang kokoh.
Ketiga, berkaitan dengan aspek fisik-bangunan adalahsebagai pembuktian ketauhidan,
kekokohan jalinan sosial yang memiliki sikap konstruktif danproduktif. (L.H.Hasibuan,
2002)
5. Gereja
Gereja adalah tempat yang bisa memberikan setiap orang dapat menerima didikan
rohani yang sesuai dengan apa yang tercantum dalam Alkitab. Menurut KBBI, gereja
adalah gedung (rumah) tempat berdoa dan melakukan upacara agama Kristen, dan atau
badan organisasi umat Kristen yang memiliki satu kepercayaan, ajaran dan tata cara
ibadah. Dari pengertian kedua, gereja adalah organisasi, maka orang-orang yang
mengatur gereja memiliki suatu wewenang dalam mengatur kehidupan bergereja karena
di dalam gereja tidak hanya pendeta, tetapi ada majelis dan jemaat.
Gereja adalah pedoman belajar rohani bagi setiap orang yang berada di dalamnya.
Untuk itu, struktur dalam gereja adalah struktur yang melayani anggotaanggota gereja
dalam rangka keterlibatan mereka, karena kepemimpinan gereja pada hakekatnya adalah
kepemimpinan pelayanan. Dalam bahasa inggris, kata gereja adalah Church yang berasal
dari bahasa Kuriakon yang berarti “Milik Tuhan”. Kata ini biasa digunakan untuk
menunjukkan hal-hal lainnya seperti tempat, orang-orang, atau denominasi yang menjadi
milik Tuhan.
6. Toleransi
Istilah “Tolerance” (toleransi) adalah istilah modern, baik dari segi nama maupun
kandungannya. Istilah ini pertama kali lahir di Barat, di bawah situasi dan kondisi politis,
sosial dan budayanya yang khas. Toleransi dalam bahasa Yunani, disebut dengan istilah

5
sophrosyne yang artinya adalah moderasi (moderation) atau mengambil jalan tengah.
Sedangkan istilah toleransi berasal dari bahasa latin “tolerantia” yang berarti
kelonggaran, kelembutan hati, keringanan, dan kesabaran.
Secara etimologis istilah “tolerantia” dikenal sangat baik di daratan eropa, terutama pada
Revolusi Perancis. Hal itu terkait dengan slogan kebebasan, persamaan, dan persaudaraan
yang menjadi inti dari Revolusi Perancis . Ketiga istilah tersebut mempunyai kedekatan
etimologis dengan istilah toleransi. Secara umum, istilah tersebut mengacu pada sikap
terbuka, lapang dada, sukarela dan kelembutan. Dari sini dapat dipahami bahwa toleransi
merupakan sikap untuk memberikan hak sepenuhnya kepada orang lain agar
menyampaikan pendapatnya, sekalipun pendapatnya salah dan berbeda.
Pengertian selanjutnya toleransi dalam bahasa Inggris berasal dari kata
“toleration”. Akar kata itu diambil dari bahasa Latin “toleratio” arti paling klasik dari
abad ke-16. Kata “toleration” adalah izin yang diberikan oleh otoritas atau lisensi.
Sementara di abad 17, kata itu memiliki nuansa hubungan antar agama karena ada
undang-undang atau kesepakatan toleransi (the Act of Tolerantion). Dalam kesepakatan
itu ditegaskan jaminan kebebasan beragama dan beribadah kepada kelompok Protestan di
Inggris.
7. Pancasila
Secara etimologi dalam bahasa Sansekerta (Bahasa Brahmana India), Pancasila
berasal dari kata ‘Panca’ dan ‘Sila’. Panca artinya lima, sila atau syila yang berarti batu
sendi atau dasar. Kata sila bisa juga berasal dari kata susila, yang berarti tingkah laku
yang baik. Jadi secara kebahasaan dapat disimpulkan bahwa Pancasila dapat berarti lima
batu sendi atau dasar. Atau dapat juga berarti lima tingka laku yang baik.
Secara terminologi, Pancasila digunakan oleh Bung Karno sejak sidang BPUPKI
pada 1 Juni 1945 untuk memberi nama pada lima prinsip dasar negara. Eksistensi
Pancasila tidak dapat dipisahkan dari situasi menjelang lahirnya negara Indonesia
merdeka pada 17 Agustus 1945. Setelah mengalami pergulatan pemikiran, para pendiri
bangsa ini akhirnya sepakat dengan lima pasal yang kemudian dijadikan sebagai landasan
hidup dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila dirumuskan berbeda-beda oleh para
perumusnya di masa lalu dan sempat mengalami beberapa perubahan dari waktu ke

6
waktu hingga mencapai rumusan yang sah secara konstitusional dan dipakai hingga
dewasa ini.

7
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Puja Mandala

Bali sejak lama dikenal sebagai masyarakat yang memiliki toleransi tinggi. Salah
satu bukti utama mengenai sikap toleran yang mendapat perhatian luas nasional dan
internasional itu ketika masyarakat Bali dari berbagai etnik dan agama kompak
melaksanakan Doa Perdamaian dari Bali sesudah serangan teroris 2002 (Howe, 2005:6;
Putra, 2008). Kegiatan doa itu terus berlanjut setiap tahun sampai sekarang dengan nama
Gema Perdamaian (Yamasitha, 2012). Kegiatan tahunan setiap bulan Oktober itu
dilaksanakan di Monumen Bhajra Sandi, Lapangan Renon, Denpasar. Meskipun sudah
lama mendapat pengakuan sebagai masyarakat dengan sikap toleransi yang baik, namun
Bali baru awal tahun 2000-an memiliki ikon toleransi yaitu Puja Mandala, berlokasi di
kawasan Nusa Dua, Bali Selatan. Terletak di area seluas 2,5 hektar, di ikon toleransi ini
berdiri lima tempat ibadah secara berdampingan dalam satu halaman nyaris tanpa tembok
penyekat. Kelima tempat ibadah yang berjejer dari timur ke barat itu adalah pura, gereja
Protestan, wihara, gereja Katolik, dan masjid. Kawasan yang diberi nama Puja Mandala ini
mulai dibangun tahun 1994 dan diresmikan tahun 1997. Ketika peresmian itu, hanya tiga
rumah ibadah yang sudah rampung yaitu dua gereja dan satu masjid, sedangkan pura dan
wihara masih dalam proses penyelesaian. Puja Mandala digagas dan dikenal sebagai ikon
kerukunan hidup masyarakat dengan latar belakang agama (dan etnik) berbeda- beda,
ekspresi kongkret spirit keindonesiaan Bhinneka Tunggal Ika.
Gagasan membangun kompleks rumah ibadah dalam satu tempat di Nusa Dua
muncul akhir tahun 1980-an dari Joop Ave, ketika beliau menjabat sebagai Dirjen
Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Parpostel). Waktu itu, kawasan wisata Nusa Dua yang
dimiliki oleh BTDC (Bali Tourism Development Coorporation, kini disebut ITDC,
Indonesia Tourism Development Corporation) berkembang pesat ditandai hadirnya hotel
mewah kelas bintang lima dan kedatangan wisatawan menginap di resort- resort tersebut.
Perumahan di daerah sekitar Nusa Dua juga berkembang menyusul banyaknya pekerja
bermigrasi ke kawasan itu. Heterogenitas demografi daerah ini semakin intens. Perubahan
demografi itu membuat kebutuhan akan tempat ibadah mulai terasa. Kebutuhan itu tidak
saja dianggap dirasakan oleh masyarakat pendatang ke daerah tersebut, tetapi juga oleh

8
wisatawan. Di hotel- hotel di Nusa Dua sering berlangsung konferensi atau pertemuan
nasional dan internasional, dan para peserta event tersebut juga memerlukan tempat ibadah,
sementara hotel tidak menyediakan tempat sembahyang dengan kapasitas yang memadai.
Selain untuk kepentingan ritual keagamaan, kompleks tempat ibadah itu juga dimaksudkan
sebagai ikon kerukunan hidup beragama di Bali.
Pembangunan tempat ibadah di Puja Mandala ini berdiri secara bertahap. Lahan yang
berasal dari bantuan pihak BTDC (Bali Tourism Development Corporation) ini dibanguni
tempat ibadah pada tahun 1994. Tahun 1997 akhirnya disahkan oleh Menteri Agama
dimana saat itu yang menjabat adalah Bapak Tarmidzi Taher. Pada tahun 1997, yang
disahkan baru Masjid Ibnu Batutah, Gereja Katolik Bunda Maria Segala Bangsa, dan
Gereja Kristen Protestan Bukit Doa. Kemudian diikuti pada tahun 2003, Vihara Buddha
Guna dan tahun 2005, Pura Jagat Natha. Puja Mandala pada saat hari-hari suci atau hari
raya akan ramai dikunjungi. Seperti jika pada hari jumat, maka akan ada banyak umat
muslim beribadah shalat jumat. Hari minggu banyak umat Kristen datang. Serta umat
Hindu maupun umat Budha dan Katolik akan memenuhi area Puja Mandiri untuk
melakukan peribadahannya masing-masing. Area Puja Mandala serta area parkirnya yang
luas dapat menampung banyak kendaraan dan warga yang berkunjung. Sikap saling
toleransi dan menjaga kerukunan ini menjadikan pemandangan indah tersendiri. Puja
Mandala memiliki pesona tersendiri. Meskipun didirikan dengan tujuan untuk tempat
beribadah, Puja Mandala juga sering dijadikan salah satu destinasi wisata.
Ketika awal- awal disosialisasikan, gagasan Puja Mandala mendapat sambutan
positif dari hampir semua perwakilan dan komunitas agama. Perwakilan empat kelompok
agama yaitu Islam, Kristen Katolik, Protestan, dan Budha menyambut positif, sedangkan
perwakilan Hindu dan juga pejabat pemerintah bersifat ragu- ragu, tetapi tidak melakukan
penolakan atas proyek yang diprakarsai pemerintah, sebuah inisiatif top down. Reaksi
ragu- ragu yang mungkin bisa dianggap sebagai respon spontan sindrom mayoritas ini
akhirnya menerima gagasan pendirian Puja Mandala untuk mendukung proyek
kebangsaan. Seorang perwakilan dari Katolik, Aloisius Winoto Doeria, dalam suatu
wawancara, mengatakan bahwa pemerintah memberikan mereka kesempatan untuk
membangun tempat ibadah, mereka menyambut dengan baik. Karena tidak mudah
membangun gereja. Bagi hampir semua pemeluk agama, mendirikan rumah ibadah

9
tidaklah mudah, selain tanah sulit dan mahal, proses mendapatkan izin dari pemerintah
juga rumit. Dalam konteks inilah, bisa dimengerti antusiasme penerimaan dari pemeluk
agama akan gagasan pemerintah, apalagi ada ide mulia di balik gagasan ini yaitu hendak
memupuk kerukunan hidup beragama.

2.2 Keunikan Tempat Ibadah


Indonesia memiliki keberagaman suku, ras hingga agama. Setiap daerah di
Indonesia tentunya memiliki mayoritas agama yang dianut masyarakatnya masing-masing.
Salah satunya Bali, dimana yang pada umumnya daerah di Indonesia dimayoritasi oleh
masyarakat beragama muslim, hal itu berbeda dengan Bali yang dimayoritasi oleh
masyarakat beragama Hindu. Namun meskipun begitu, Bali tidak menutup kenyataan
bahwa kita tentunya perlu menghargai keberadaan agama lain, serta menjaga toleransi dan
hubungan baik dengan agama lainnya. Hal tersebut telah diwujudkan melalui didirikannya
Puja Mandala. Puja Mandala merupakan areal bangunan suci yang menjadi tempat
peribadatan lima agama yang ada di Indonesia yang menjadi bukti kerukunan masyarakat
beragama di Bali.
Terdapat berbagai keunikan yang dimiliki oleh tempat ibadah yang ada di Puja
Mandala tidak hanya dari arsitekturnya tetapi juga setiap kesetaraan yang dijunjung tinggi
disini misalkan dari luas dan tinggi bangunan setiap tempat ibadah memiliki tinggi dan luas
yang sama, sehingga tidak ada kesenjangan. Selain itu menurut hasil wawancara yang
penulis lakukan terhadap Jero Mangku yang menjadi kuncen di areal Pura Jagatnatha
beliau mengatakan dikarenakan lokasi setiap tempat ibadah yang berdekatan, rentan
menimbulkan konflik sehingga untuk mencegah hal tersebut, setiap kepala atau pemimpin
di tempat ibadah tersebut akan selalu melakukan kordinasi atau musyawarah bersama
apabila akan diadakan kegiatan agama di tiap tempat ibadah, dan hal-hal lainnya sehingga
tidak ada kesalah pahaman dan kerukunan tetap terjaga. Salah satu hasil musyawarah yang
dilakukan para pemimpin agama di Puja Mandala yaitu tidak diijinkannya mempergunakan
pengeras suara di tiap-tiap tempat suci, hal ini bertujuan agar tiap-tiap umat beragama bisa
khusuk dalam melakukan ibadahnya masing-masing dan tidak terganggu dengan suara dari
tempat suci lain.
Adapun lima agama tersebut dapat dipaparkan sebagaimana berikut ini :

1
2.2.1 Pura Jagatnatha
Pura merupakan tempat suci atau tempat beribadah yang dimiliki oleh agama Hindu. Di
kawasan Puja Mandala ini tentunya terdapat tempat beribadah umat Hindu yang diberi nama
Pura Jagatnatha. Pura Jagatnatha memiliki kesamaan dengan Pura pada umumnya di Bali.
Dimana pura ini memiliki pembagian halaman yang disebut dengan Tri Mandala. Tri Mandala
ini berarti pembagian halaman pura menjadi 3 yakni :
1) Halaman luar (Jaba sisi)
Pada kompleks pura halaman luar atau Jaba sisi ini merupakan pintu masuk
utama yang berbentuk gapura yang menghubungkan halaman luar dengan halaman
dalam, dimana biasanya lokasi depan ini juga dijadikan sebagai tempat parkir, halaman
ini juga seligus menjadi batas terakhir bagi orang yang sedang berhalangan (cuntaka)
untuk masuk ke areal dalam pura.

Gambar 1. Pura di Kawasan Puja Mandala

2) Halaman tengah (Jaba tengah)


Berikutnya di halaman tengah atau disebut sebagai jaba tengah merupakan
halaman tengah yang berisikan sebuah balai yang disebut Wantilan. Di balai inilah biasa
dipergunakan sebagai tempat seni-seni pertunjukkan bisa berupa gong pengiring upacara,
tari-tarian ketika ada sebuah rangkaian kegiatan keagaamaan, aaupun bsa juga digunakan
sebagai tempat beristirahat (mesandekan) bagi para pengunjung atau umat yang sedang
beribadah. Selain itu menurut penuturan dari pemangku di Pura ini, wantilan juga sempat
digunakan sebagai lokasi beribadahnya umat Kong Hu Chu dikarenakan tempat

1
beribadah resminya belum ada di daerah Puja Mandala dikarena Kong Hu Chu baru
diakui sebagai agama di Indonesia. Berikutnya areal halaman tengah juga terdapat gapura
yang menghubungkannya dengan halaman terdalam (Jeroan).

Gambar 2. Jaba Tengah


3) Halaman dalam ( Jeroan).
Pada halaman dalam atau disebut jeroan merupakan halaman terdalam yang
menjadi tempat dilaksanakanannya persembahyangan. Dimana pada halaman ini terdapat
2 balai di sisi kanan dan kiri sebagai tempat persiapan, dan penyimpanan alat upacara,
dan juga tentunya terdapat Padmasana yang menjadi tempat pemujaan kepada Tuhan.
Padmasana ini memiliki ketinggian 20 meter serta dibawahnya terdapat panggung yang
dikelilingi oleh 66 buah patung gajah yang memilkki filosofinya tersendiri. Pada lokasi
ini, tidak hanya umat yang beragama hindu yang diijinkan untuk melalukan ibadah
melainkan juga para tourist yang ingin mengetahui budaya bali, ataupun ada yang juga
yang beragama lain seperti muslim kejawen dan lainnya tetap diberikan akses untuk
masuk kedalam pura asalkan tidak sedang dalam kondisi berhalangan atau kotor.
Lalu setelah melakukan persembahyangan maka setiap umat akan diberikan
gelang yang disebut dengan gelang Tri Datu yang bermakna 3 warna yaitu hitam,
putih,
merah yang memiliki filosofi. Benang Tri Datu, sebagai simbol ikatan akan tiga
perjalanan hidup di dunia ini yang disebut Tri Kona (Lahir, Hidup dan Mati). Benang

1
Tri Datu juga sebagai lambang Kesucian Tuhan dalam manifestasinya sebagai Brahma

1
(pencipta), Wisnu (pemelihara), dan Dewa Siwa (pelebur).Menurut hasil wawancara
dengan pemangku di Pura Jagatnatha, odalan di pura ini dilaksanakana setiap
Purnama Ketiga, serta dipersilahkan untuk umat hindu dari mana pun untung datang
beribadah.

Gambar 3. Jeroan

2.2.2 Masjid Agung Ibnu Batutah


Bangunan paling kiri di kompleks Puja Mandala Bali adalah Masjid Agung Ibnu
Batutah. Desain yang dimiliki hampir sama dengan masjid pada umumnya namun
didominasi oleh warna kuning. Tempat ibadah umat muslim ini memiliki tiga lantai dan
lantai pertama dikhususkan untuk para wanita. Pemberian nama Agung Ibnu Batutah
terinspirasi dari pengembara Maroko yang sudah mengelilingi bumi sejauh 120.000km
dan mengunjungi 44 negara.

1
Gambar 4. Masjid Agung Ibnu Batutah
2.2.3 Wihara Budha Guna
Wihara Buddha Guna memiliki bentuk wihara pada umumnya. Menawarkan
warna-warna berani dan banyak dihiasi patung-patung. Pada wihara ini juga bisa dilihat
patung gajah, patung naga putih, hingga patung Buddha. Walau didominasi warna putih
dan emas, kesan ceria dan colorful tetap terasa. Tidah hanya itu, konsep bangunannya
tentunya juga memiliki makna filosofis seperti hal nya patung Buddha yang memiliki
delapan lingkaran yang bermakna bila manusia ingin terbebas dari penderitaan maka
harus melalui Jalan Utama yaitu Delapan Sraddha.

Gambar 5. Wihara Budha Guna

1
2.2.4 Gereja Protestan GKPB Jemaat Bukit Doa
Gereja Protestan GKPB Jemaat Bukit Doa yang memiliki desain unik berukiran
Bali di beberapa sudut dinding. Termasuk menara lonceng tunggal berukiran Bali. Bagian
atap gereja menghadap empat penjuru arah. Bagunan gereja ini didesain tanpa adanya
dinding bangunan, hal inilah yang menjadikan sirkulasi udara menjadi sangat baik dan
tidak panas. Suasana di gereja ini begitu sejuk dan sangat kondusif sebagai tempat ibadah
umat kristiani. Bangunan gereja yang cukup luas mampu menampung begitu banyak
jemaat, hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah kursi jemaat yang terdapat di dalam
bagunan gereja ini. Meskipun bercorak budaya lokal Bali dan memiliki suasana adat yang
begitu kenatal namun tidak menjadikan esensi dari ibadah berkurang, justru melalui hal
ini dapat dipastikan bahwa ibadah dan budaya apabila dapat berjalan beriringan maka
akan memberikan nuansa yang sangat sejuk. Di dalam gereja ini juga terdapat beberapa
instrumen musik yang dimanfaatkan pada saat ibadah berlansung.

Gambar 6. Gereja Protestan GKPB Jemaat Bukit Doa

2.2.5 Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa


Tepat di samping mesjid adalah bangunan Gereja Katolik Maria Bunda Segala
Bangsa dengan desain menara lonceng tunggal dan dinding depan gevel mengikuti bagian
atap. Di bagian belakang gereja berdesain atap tumpang. Tidak jauh berbeda dengan
suasana atau nuasa yang ada di Gereja Protestan GKPB Jemaat Bukit Dua, bahwasanya

1
corak kebudayaan lokal menjadi desain yang menghiasi gereja ini. Salah satu benda yang
paling identik dengan gereja katolik ialah lonceng gereja. Lonceng gereja dibunyikan pada
saat ibadah atau hari raya keagamaan. Meskipun menghasilkan suara atau bunyi yang
sangat besar namun tidak menjadikan benturan antar rumah ibadah yang ada di Puja
Mandala, melainkan meningkatkan rasa saling memahami dan menghargai. Tak jarang aksi
saling tolong menolong dilaksanakan oleh masyarakat. Suasana di dalam gereja inipun
sangatlah kondusif selayaknya gereja pada umumnya dan memberikan suasana ibadah
yang tenang bagi umat yang beribadah di dalamnya.

Gambar 7. Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa

2.3 Kendala Dalam Mengatasi Konflik


Bali merupakan tempat wisata yang paling dikunjungi oleh masyarakat dalam negeri
maupun luar negeri. Maka untuk memaksimalkan kunjungan wisata ke bali, pemerintah saat itu
membangun tempat peribadatan lima agama yang ada di indonesia yang diberi nama dengan
“puja mandala”. Selain tempat untuk beribadah puja mandala juga merupakan tempat untuk
menjaga toleransi antar umat beragama yang ada di bali. Terciptanya tempat ibadah ini
dicetuskan karena puja mandala dikatakan sebagai wilayah urban maka ada kebutuhan untuk
dibagunnya tempat ibadah bagi para pendatang. Dibangunnya tempat ibadah puja mandala ini

1
tidak lepas dengan adanya penolakan ataupun kendala- kendala dalam membangun tempat
ibadah ini. Adapun yang menjadi kendala berdirinya tempat ibadah puja mandala ini yaitu :
1. Respon umat terhadap puja mandala,Pada awal disosialisasikannya, gagasan
pembangunan puja mandala mendapatkan sambutan yang positif hampir dari semua
perwakilan dan komunitas agama. Sambutan positif ini diwakilkan oleh empat kelompok
agama yakni islam, kristen katolik, protestan, dan budha, sedangkan dari pejabat
pemerintah dan dari perwakilan agama hindu masih ragu-ragu.Karena pada saat itu
sambutan dari perwakilan hindu di bali, yang merupakan penduduk mayoritas yang
memiliki pendapat agak berbeda. Pada saat itu pihak parisada bali diwakilkan oleh
sekretarisnya menyampaikan bahwa di hindu tidak ada pura didirikan oleh majelis, tidak
ada pura milik parisada, yang punya pura adalah umat. Dalam beberapa pertemuan yang
diadakan yang pada saat itu dihadiri oleh utusan Pemkab Badung, STP Nusa Dua, BTDC,
Kecamatan Kuta, dan dari unsur Desa Benoa, lokasi Puja Mandala, terungkap bahwa tidak
ada kelompok yang mau menjadi pendiri pura di Puja Mandala. Seperti Parisada, Pemkab
Badung juga menolak dengan alasan Jagatnatha yang hendak dibangun itu tidak cocok
karena lokasinya di selatan, sementara itu Pemkab Badung yang (akan) memiliki civic
centre di Sempidi ada di utara dan (akan) membangun Jagatnatha tersendiri. Desa
adat/pakraman Benoa juga tidak tertarik menjadi pengemong pura karena mereka sudah
memiliki khayangan tiga. Warga Hindu yang tinggal di perumahan di kawasan Nusa Dua
kebanyakan juga sudah memiliki pura di kompleks perumahan masing-masing sehingga
tawaran untuk kehadiran Pura Jagatnatha tidak disambut dengan prioritas-antusias.
2. Proses pembangunan, Pada saat pembangunan puja mandala yang dimulai oktober 1994
juga tidak terlepas dengan adanya kendala yang dihadapi seperti pada saat itu terjadi krisis
moneter dan perbedaan kemampuan finansial masing-masing kelompok komunitas agama.
Karena pada saat itu terjadi krisis moneter yang menyebabkan harga bahan bangunan juga
mengalami peningkatan tajam. Selain itu kendala yang terjadi pada saat itu juga yakni
pada saat kontruksi padmasana yang sempat jebol karena akibat struktur tanah yang tidak
kuat. Dengan adanya kendala tersebut menimbulkan kelambatan perampungan pura.
3. Menjalin kerukunan antar umat beragama di kawasan puja mandala, dalam menjalin
kerukunan antar umat beragama pernah terjadi konflik atau kesalah pahaman kecil yang
terjadi di kawasan ini yakni tempat parkir yang kurang memadai yang ada di kawasan

1
ibadah puja mandala. Seperti yang terlihat bangunan di kawasan puja mandala hanya
dibatasi tembok setinggi 1 meter saja. Sehingga karena hal itu adanya gesekan kecil yang
terjadi antar umat beragama yang ada di kawasan tersebut.
4. Pandemi covid-19 yang terjadi di indonesia, adanya pandemi di indonesia juga menjadi
salah satu kendala yang ada di puja mandala, sebagaimana aturan yang diterapkan oleh
pemerintah yakni tidak diperbolehkannya ada kegiatan apapun selama pandemi yang
berdampak juga terhadap tempat ibadah di kawasan puja mandala. Pada saat itu juga
kegiatan ibadah yang dilaksanakan di kawasan puja mandala ditutup sementara sehingga
tidak ada kegiatan ibadah mengikuti anjuran pemerintah dan pengoperasian tempat ibadah
di kawasan ini tidak ada dan dilaksanakan dirumah masing-masing yang menyebabkan
tidak adanya kegiatan serta interaksi di kawasan tersebut.
2.4 Solusi Yang Dilakukan Dalam Mengatasi Konfilik
Adapun solusi untuk mengatasi kendala atau konflik tersebut adalah sebagai berikut :
1. Dalam mengatasi keragu-raguan atas respon masyarakat dalam membangun tempat
ibadah puja mandala. Pada saat itu, Joop Ave memohon restu ke Presiden Suharto.
Dan tanggapan dari Presiden Suharto juga menyambut dengan baik ide tersebut.
Ketika gagasan membangun puja mandala dicetuskan oleh pemerintah, kriteria
dukungan umat pemuluk tidak menjadi halangan karena ini adalah gagasan
pemerintah dan rumah ibadah yang akan dibangun untuk masing-masing
agama.Selain itu, untuk mengatasi permasalahan ketidakantusiasan masyarakat hindu
bali pada saat itu yang dikarenakan kebanyakan masyarakat sudah memiliki pura
komplek di perumahan masing-masing. Sehingga untuk mengatasi permasalahan
pada saat itu, yakni karena pura harus dibangun sebagai bagian utuh dari puja
mandala, tidak ada pilihan lain, pura itu diserahkan kepada karyawan hindu BTDC.
Dan panitia pembangunan pun dibentuk yang sebagaian besar karyawan berasal dari
BTDC. Panitia inilah yang mengawal pembangunan Pura Jagatnatha dan selanjutnya
menjadi pengempon pura tersebut sampai sekarang, didukung oleh karyawan hotel
dan mahasiswa STP Nusa Dua.
2. Pada saat proses pembangunan juga tidak terlepas dengan adanya kendala, banyak
kendala juga terjadi seperti halnya krisis moneter dan kekurangan finansial yang
terjadi saat itu, maka dalam mengatasinya dan dalam rangka meringankan beban Joop

1
Ave berusaha secara aktif membantu umat dengan mencari dana, seperti pada saat itu
yang dilakukan MUI Bali dalam pengumpulan dana yang dikaitkan dengan acara
berbuka puasa bersama di jakarta. Hasil inipun digunakan untuk melanjutkan
pembangunan sebagai bentuk ekspresi positif dalam membangun sebuah
kebersamaan, dalam hidup berdampingan untuk kerukunan umat beragama.Dan
kendala yang terjadi saat itu juga yakni jebolnya padmasana karena struktur tanah
yang tidak kuat. Hal ini juga dapat diatasi dengan dibangun kembali dengan perlahan
sehingga pura jaganatha pada saat itu dapat dirampungkan pada 30 desember 2004.
3. Kendala dalam menjalin kerukunan antaragama di kawasan puja mandala seperti
halnya karena kurangnya memadai tempat parkir yang pada saat itu menyebabkan
kesalahpahaman dapat diatasi dengan dibentuknya peguyuban. Pengurus paguyuban
berasal dari masing-masing tokoh agama dan umat sebagaimana disampaikan oleh
Kristian salah seorang umat. Berdasarkan pernyataan di atas menegaskan bahwa salah
satu cara menghindari dan menyelesaikan konflik melalui paguyuban Puja Mandala
tersebut. Keberadaan paguyuban ini juga menjadi solusi untuk menyelesaikan konflik
yang terjadi di luar Bali dan berita hoaks yang beredar di masyarakat. Paguyuban ini
sangat bermanfaat bagi umat beragama dan masyarakat. Dengan adanya paguyuban
ini membuat umat beragama terkoordinir dengan baik serta menguatkan rasa toleransi
di kawasan tersebut.
4. Dengan adanya pandemi covid-19 yang menyebabkan seluruh tempat ditutup tak terkecuali
juga tempat ibadah di kawasan puja mandala. Sehingga solusi yang diterapkan yakni
dengan mengikuti aturan pemerintah untuk tidak melakukan ibadah di kawasan ini terlebih
dahulu. Karena untuk menghindari terjadinya penyebaran dan menimbulkan klaster baru
sehingga masyarakat mengikuti anjuran pemerintah untuk menutup sementara tempat
ibadah dan melakukan ibadah di rumah masing- masing.
2.5 Puja Mandala Ditinjau Dari Perspektif Pancasila
Puja Mandala dianggap sebagai simbol atau perwujudan dari toleransi antar umat
beragama yang bangunannya terdapat tempat peribadatan lima agama, tanpa adanya
pergesekan. Puja Mandala adalah pusat peribadatan yang menghadirkan lima rumah
ibadah di dalam satu kompleks yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha, dan
Hindu.

2
Puja Mandala dapat dikatakan sebagai salah satu wujud/bukti dari pengamalan
nilai-nilai Pancasila pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Bali.
Menurut Jumali (dalam Semadi, dkk., 2019) “manusia Indonesia” atau manusia yang
berkarakter Pancasila, adalah mahluk yang:
1. Mahluk yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Mahluk individu dengan hak dan kewajiban yang dimilikinya
3. Mahluk social dengan tanggungjawab hidup diantara masyarakat multikultural
yang terdiri dari beragam etnis, budaya, golongan, agama, bahasa dan lain
sebagainya.
Dari hal tersebut dapat kita liihat bahwa tempat peribadatan Puja Mandala ini
didirikan berdasarkan hakikat bahwa manusia Indonesia itu mempercayai adanya Tuhan,
memiki hak dan kewajiban dalam memeluk agama dan beribadat sesuai agamanya
masing-masing dan sebagai manusia yang mampu dan bertanggungjawab untuk hidup
berdampingan dalam perbedaan yang ada.
Adapun implementasi nilai-nilai Pancasila pada masyarakat dan pengunjung
berdasarkan wawancara bersama salah satu pengurus (jero mangku) pura Jagatnatha di
Kawasan Puja Mandala (14/07/2022), dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 8. Wawancara Bersama Narasumber


1. Sila Pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”
Dengan didirikannya Puja Mandala ini, dapat dilihat bahwa masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang percaya dengan adanya Tuhan Yang Maha
Esa, dan setiap warga negaranya berhak memeluk agama dan beribadat sesuai
dengan kepercayaannya masing-masing.

2
2. Sila Kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”
Sila ini memiliki makna bahwa setiap orang harus diperlakukan dengan
adil dan setara sesuai hak dan kewajibannya. Berdasarkan penuturan pengurus
pura (jero mangku) disana terdapat lima tempat ibadah yang berbeda dalam satu
lokasi, disana baik masyarakat maupun pengunjung mampu untuk hidup rukun
dan saling menghormati satu sama lainnya. Sebagai bukti “keadilan” disana dapat
kita lihat bahwa bangunan tepat ibadah kelimat agama dibuat dengan luas dan
tinggi yang sama. Jadi tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih luas (tidak
mendominasi), kelima agama diperlakukan dengan adil.
3. Sila Ketiga “Persatuan Indonesia”
Wujud integrasi (persatuan) Indonesia di wilayah Bali dapat kita lihat dari
didirikannya berdampingan kelima tepat peribadatan di Puja Mandala. Para
pengunjung dan masyarakat disana mampu hidup rukun dan menghormati satu
sama lain. Adapun fakta yang unik adalah saat ini Indonesia mengenal enam
agama, namun mengapa Puja Mandala hanya memiliki 5 tempat peribadahan
tanpa adanaya agama Konghucu? Berdasarkan penuturan pengurus pura (jero
mangku) (14/07/2022) bahwa pada saat dibanggunnya Puja Mandala tahun 1990,
Konghucu belum diakui sebagai agama resmi di Indonesia. Namun hal ini tidak
menutup kemungkinan bahwa saat diresmikan agama Konghucu di Indonesia,
penganut Konghucu diperbolehkan untuk mengadakan upacara keagamaan di
kawasan Puja Mandala dengan dipinjamkannya wantilan pura Jagatnatha untuk
digunakan sebagai tempat jalannya upacara. Hal ini adalah salah satu bukti
integrasai di kawasan Puja Mandala.
4. Sila Keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan”
Adapun implementasi yang menjunjung musyawarah dikawasan Puja
Mandala dapat kita lihat dari sejarah didirikannya Puja Mandala. Penerapan
musyawarah mufakat di Bali ini salah satunya ditunjukkan saat pembuatan
bangunan Puja Mandala, adanya perundingan terlebih dahulu sehingga
menghasilkan suatu keputusan yang disepakati bersama. Berbagai macam faktor
dan pertimbangan yang mendasari pembangunan tempat ini bermula dari ide dan

2
keinginan untuk membangun Masjid di kawasan Nusa Dua, kemudian disusul
dengan ide dan inisiatif dari pemerintah pusat untuk mendirikan sebuah kompleks
dengan lima tempat ibadah yang berdiri di satu tempat. Dimulailah perundingan
tentang pembangunan Puja Mandala yang akhirnya dapat disepakati bersama.
5. Sila Kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Sila kelima ini memiliki makna bahwa seluruh masyarakat Indonesia
memiliki derajat yang sama. Selama didirikannya kawasan Puja Mandala belum
pernah terjadi konflik yang berarti, baik itu masyarakat dan pengunjung mampu
hidup dalam toleransi dan menghargai satu sama lainnya.

2
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Keharmonisan, kerukunan serta toleransi dalam umat beragama sangat diinginkan oleh
seluruh masyarakat indonesia untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara. Begitupula
masyarakat yang ada di Bali. Dengan adanya keinginan tersebut maka dibangunlah Puja
Mandala sebagai tempat peribadatan lima agama yang ada di indonesia. Adapun fungsi puja
mandala sebagai tempat untuk membangun keharmonisan serta kerukunan tempat ini juga
diperuntukkan untuk para urban atau para pendatang yang berwisata ke Bali. Sejak
diresmikan pertama tahun 1997, puja mandala sudah berdiri selama 20 tahun. Yang berarti
sudah selama itu pula puja mandala berdiri sebagai simbol kerukunan hidup umat beragama
di bali.
Selain sebagai simbol untuk membangun keharmonisan dan menghormati perbedaan
tempat puja mandala ini merupakan tempat wisata yang ramai dikunjungi oleh wisatawan
domestik, baik yang berkunjung dengan tujuan berkunjung saja maupun dengan melakukan
aktivitas keagamaan. Walaupun dalam pembangunannya puja mandala banyak terjadi
kendala-kendala tetapi dibalik itu semua gagasan dalam membangun puja mandala sejauh ini
sudah tercapai. Dukungan dari masyarakat dibalik berdirinya puja mandala ini juga menjadi
bukti nyata dukungan untuk tercapainya cita-cita pendiri puja mandala.
Dilihat dari tempat puja mandala yang bangunannya hanya dibatasi dengan tembok
setinggi 1 meter saja yang mana hal tersebut rentan terjadinya konflik. Tetaoi sampai saat ini
masyarakat masih memegang teguh kerukunan, keharmonisan, toleransi seperti nilai-nilai
yang ada dalam sila pancasila. Yang mana semua nilai tersebut masuk kedalam pancasila
yang sudah diimplementasikan oleh masyarakat yang ada di kawasan puja mandala.
3.2 Saran
Dengan berdirinya tempat peribadatan di kawasan puja mandala diharapkan untuk
masyarakat bisa saling menghirmati atau meningkatkan toleransi agara konflik-konflik yang
bisa terjadi tidak terjadi dikawasan ini. Selain itu, menjaga kerukuanan serta keharmonisan
perlu juga dipertahankan sebagai umat yang memiliki berbagai kepercayaan sehingga
kehadiran puja mandala ini dapat memberikan contoh bagi wilayah lainnya yang ada di
indonesia untuk meneladani puja mandala yang ada di bali sebagai salah satu tempat untuk

2
menyatukan masyarakat dalam kerukunan hidup bersama dalam bingkai bhineka tunggal ika
sebagai bentuk dalam menjaga keutuhan negara kesatuan republik indonesia yang kerap kali
diterpa isu serta fenomena SARA yang kerap kali dijadikan permasalahan yang
berkepanjangan.

2
DAFTAR PUSTAKA
Wawancara
Jero Mangku Pura Jagat Natha Puja Mandala, 14 Juli 2022
Jurnal
A.S.H.Shiddieqy. 1975. Sebuah Konstruksi Teologi Salafi. Banten : Jurnal UIN Banten. hal 251
Anggraini, Putu Maria Ratih. "THE CONCEPT OF A GODHEAD IN THE ISA
UPANISHADS." Proceeding International Seminar (ICHECY). Vol. 1. No. 1. 2019.
Heriyanti, Komang. 2019. Pura Sebagai Bentuk Penerapan Konsep Ketuhanan Saguna Brahma.
Singaraja: Jñānasiddhânta Jurnal Prodi Teologi Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja.
Marzali, Amri. 2016. Agama dan Kebudayaan. Universitas Malaya : UMBARA International
Journal Of Anthropology
Semadi, Y.P. 2019. “Filsafat Pancasila dalam Pendidikan di Indonesia Menuju Bangsa
Berkarakter”. Jurnal Filsafat Indonesia: Singaraja. Vol (2): 82-89.
Waruwu D & Pramono J. 2019. Pemanfaatan Kawasan Puja Mandala Sebagai Model Toleransi
Di Provinsi Bali. Jurnal Civicus. Vol. 19 No. 2.
Buku
Anis Malik Thoha, A.M. (2005). Tren Pluralisme Agama. Jakarta : Perspektif
Misrawi, Zuhairi. (2007). Al-Quran Kitab Tolernasi : Inklusifisme, Pluralisme, dan
Multikulturalisme. Jakarta : Fitrah
Saifudin, Achmad Fedyani (2000). Agama Dalam Politik Keseragaman. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama RI
Shihab. M.Q. (1997). Wawasan Al Qur’an. Bandung: Mizan.

Anda mungkin juga menyukai