Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MAKALAH OBYEK WISATA

PANTAI RANDUSANGA

MAKALAH

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS

DISUSUN OLEH :

DIDAH MARDIATIN SOLIHAH (11)

XI IPS 1

SMA N 2 BREBES
Tahun Pelajaran 2017/2018
Jalan Ahmad Yani No.77 Brebes
KATA PENGANTAR

Assalamualikum Wr.Wb

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat dan
inayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua. Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua
pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah selalu meridhai segala
usaha kita.
Amin.

Wassalamualaikum Wr.Wb

Brebes, 19 Maret 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR…………………………………………………...............i
DAFTAR ISI……………………………………………………………...........ii
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar belakang………………………………………………......1-2
2. Rumusan masalah……………………………………………........3
3. Tujuan penilitian……………………………………………..........3
4. Manfaat penulisan……………………………………………........3
BAB II LANDASAN TEORI...........................................................................4-9
BAB III PEMBAHASAN ............................................................................10-11
BAB IV PENUTUP
1. Kesimpulan…………………………………………………........12
2. Saran………………………………………………………..........12
3. Daftar Pustaka...............................................................................13

LAMPIRAN......................................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Obyek wisata yang ada di Indonesia merupakan salah satu dari kekayaan alam
yang patut untuk dibanggakan. Setiap daerah di Indonesia memiliki keunikan baik
dari segi keindahannya maupun adat istiadat yang ada di daerah tersebut sehingga
menarik minat wisatawan untuk mengunjunginya.
Sektor pariwisata sebagai kegiatan perekonomian telah menjadi andalan dan
prioritas pengembangan bagi sejumlah Negara, terlebih bagi Negara berkembang
seperti Indonesia yang memiliki potensi wilayah yang luas dengan adanya daya tarik
wisata cukup besar, banyaknya keindahan alam, aneka warisan sejarah budaya dan
kehidupan masyarakat.
Kabupaten Brebes memiliki potensi pariwisata yang besar untuk
dikembangkan. Hal tersebut mengingat beragamnya potensi pariwisata baik jenis dan
bentuknya yang dapat ditawarkan kepada wisatawan. Jenis wisata 6 tersebut berupa
wisata alam, budaya, ziarah sampai dengan wisata kuliner. Beragam jenis wisata
tersebut telah dikelola dengan baik namun sebagian masih berupa potensi yang dapat
dikembangkan lebih lanjut.
Selain potensi dan jenis pariwisata yang beragam, secara geografis letak
Kabupaten Brebes berada pada jalur pantura yang menghubungkan dua kota besar
yaitu Semarang dan Jakarta serta di wilayah Kabupaten Brebes bagian selatan
terdapat akses menuju jalur selatan yang menghubungkan kota-kota di selatan Pulau
Jawa. Dengan demikian mobilitas masyarakat akan selalu melalui Kabupaten Brebes
termasuk mobilitas masyarakat yang hendak berwisata.
Pembangunan destinasi pariwisata berdasarkan prioritas terdiri dari kawasan
unggulan, kawasan andalan, kawasan pembangunan dan kawasan potensial. Kawasan
pembangunan yang masuk dalam pembangunan pariwisata di Kabupaten Brebes
berdasarkan Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Kabupaten Brebes adalah
pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dengan pengembangan potensi wisata
dan sekaligus konservasi perlindungan alam pesisir.

1
Salah satu pembangungan pariwisata yang berkelanjutan di kab.Brebes adalah
pembangunan Obyek wisata Pantai Randusanga Indah. Obyek wisata Obyek wisata
Pantai Randusanga Indah adalah salah satu dari beberapa obyek wisata alam yang ada
di Kabupaten Brebes. Lokasi obyek wisata ini berada di Desa Randusanga Kecamatan
Brebes. Meskipun dalam pembangunannya menggunakan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD), namun 7 pengelolaannya masih dilakukan secara tradisional.
Tidak mengherankan apabila sarana prasarana penunjang di lokasi wisata masih
memprihatinkan.
Kenyataan menunjukan bahwa kondisi pembangunan kepariwisataan yang
berkelanjutan di Kabupaten Brebes itu sendiri dalam perkembangannya masih belum
optimal. Hal ini berkaitan dengan pengelolaan di sektor ini belum dilakukan secara
profesional. Berbagai permasalahan seperti pembangunan industri pariwisata,
kelembagaan dan pemasaran pariwisata menjadi kendala tersendiri dalam
pembangunan pariwisata yang berkelanjutan di Kabupaten Brebes.
Berkaitan dengan hal tersebut maka Perda Nomor 6 Tahun 2013 tentang
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan di Kabupaten Brebes diharapkan dapat
memberikan arah pembangunan kepariwisataan sesuai dengan kebijakaan
pembangunan destinasi pariwisata dengan memperhatikan berbagai faktor
keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia
untuk berwisata. Selain itu, Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan di
Kabupaten Brebes diharapkan dapat menjadi bagian integral dari rencana induk
pembangunan kepariwisataan nasional, rencana induk pembangunan kepariwisataan
provinsi sehingga terjadi pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

2
b. Rumusan Masalah
1. Apakah pembangunan Pariwisata di Kabupaten Brebes telah dilaksanakan
berdasarkan prinsip Berkelanjutan?
2. Langkah-langkah apa yang dilakukan agar pembangunan Pariwisata di Kabupaten
Brebes dilaksanakan berdasarkan Prinsip Berkelanjutan?

c. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui kebijakan pembangunan pariwisata yanga telah dilaksanakan berdasarkan
prinsip berkelanjutan.
2. Mengetahui langkah-langkah pembangunan pariwisata di Kabupaten Brebes berdasarkan
prinsip berkelanjutan.
d. Manfaat Penelitian

1. Dapat memberikan pemahaman dan masukan kepada para pihak pengambil kebijakan
terhadap pembangunan pariwisata yang berkelanjutan di Kabupaten Brebes.

3
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Pariwisata
Menurut Richard Sihite dalam Marpaung dan Bahar (2000:46-47) menjelaskan
definisi pariwisata sebagai berikut : Pariwisata adalah suatu perjalanan yang
dilakukan orang untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke
tempat lain meninggalkan tempatnya semula, dengan suatu perencanaan dan dengan
maksud bukan untuk berusaha atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi
semata-mata untuk menikmati kegiatan pertamsyaan dan rekreasi atau untuk
memenuhi keinginan yang beraneka ragam.
Menurut H.Kodhyat (1983:4) adalah sebagai berikut : Pariwisata adalah
perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain, bersifat sementara, dilakukan
perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian
dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan
ilmu.
Menurut pendapat Anonymous (1986) Pariwisata adalah kegiatan seseorang
dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan perbedaan pada waktu
kunjungan dan motivasi kunjungan.
B. Prinsip Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan
Pariwisata apapun jenis dan namanya, hendaknya dapat dibangun dan
dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Menurut
United Nation (2002) prinsip-prinsip tersebut adalah:
Prinsip pertama adalah pembangunan pariwisata harus dapat dibangun dengan
melibatkan masyarakat lokal , visi pembangunan pariwisata mestinya dirancang
berdasarkan ide masyarakat lokal  dan untuk kesejahteraan masyarakat lokal .
Pengelolaan kepariwisataan yang telah dibangun mestinya juga melibatkan
masyarakat lokal  sehingga masyarakat lokal  akan merasa memiliki rasa memiliki
untuk perduli terhadap keberlanjutan pariwisata. Masyarakat lokal  harusnya menjadi
pelaku bukan menjadi penonton.

4
Prinsip kedua adalah menciptakan keseimbangan antara kebutuhan wisatawan
dan masyarakat.  Kepentingan pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah tujuan yang
didasarkan atas kerelaan untuk membentuk kualitas destinasi yang diharapkan oleh
wisatawan. Keseimbangan tersebut akan dapat terwujud jika semua pihak dapat
bekerjasama dalam satu tujuan sebagai sebuah komunitas yang solid. Komunitas yang
dimaksud adalah masyarakat lokal , pemerintah lokal , industri pariwisata, dan
organisasi kemasyarakat yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat di mana
destinasi pariwisata dikembangkan.
Lebih lanjut dapat dijabarkan, dari perspektif filsafat manajemen
pertumbuhan, pembagunan adalah sebagian besar merupakan pertanyaan tentang apa
diinginkan oleh masyarakat yang terlihat pada visi  masyarakat, tujuan, dan
kemampuan untuk mengelola dampak pertumbuhan itu.  Sesuai dengan pandangan
ini, Whistler berpendapat, pemimpin harus berhati-hati dalam mengadopsi filosofi
manajemen pertumbuhan. Kebijakan yang dirancang untuk mendorong program-
program lingkungan yang berfokus pada:  Suatu pendekatan berbasis ekosistem
terhadap penggunaan lahan, termasuk  area yang dilindungi, perkotaan yang desain 
secara efisien; Lingkungan transportasi yang berkelanjutan, termasuk strategi yang
komprehensif untuk mendorong efesiensi penggunaan kendaraan bermotor; Pasokan
air bawah tanah dan program pengelolaan air limbah;  Pengurangan limbah padat dan
inisiatif penggunaan kembali, dan Praktek Konservasi energi (Waldron, Godfrey, dan
Williams, 1999).

Prinsip ketiga adalah pembangunan harus melibatkan para pemangku


kepentingan, dan melibatkan lebih banyak pihak akan mendapatkan input yang lebih
baik. Pelibatan para pemangku kepentingan harus dapat menampung pendapat
organisasi kemasyarakatan lokal , melibatkan kelompok masyarakat miskin,
melibatkan kaum perempuan, melibatkan asosiasi pariwisata, dan kelompok lainnya
dalam masyarakat yang berpotensi mempengaruhi jalannya pembangunan.

Dalam sosiologi atau ilmu kemasyarakatan, terdapat beberapa kelompok


berpengaruh dalam masyarakat, dan jika menghendaki pembangunan pariwisata  di
suatu daerah bekelanjutan, mestinta semua kelompok dalam masyarakat dapat
dilibatkan untuk menampung segala masukan dan saran-sarannya untuk
pembangunan. Harus disadari, setiap saat kelompok berpengaruh dalam masyarakat
dapat bertambah atau berkurang jumlahnya seiring dengan berkembangnya kebebasan
berdemokrasi.

5
Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan adalah  kondisi yang diinginkan
dan mungkin menjadi elemen yang paling penting dari manajemen pertumbuhan.
Mengembangkan mekanisme yang tepat untuk menggabungkan pandangan berbeda
adalah penting untuk keberhasilan pembangunan yang menyesuaikan kepentingan
masyarakat dan wisatawan secara bersama-sama (Cleveland dan Hansen, 1994).

Masing-masing kelompok msyarakat memiliki kebutuhan yang sangat berbeda


dalam hal fasilitas perumahan dan pelayanan. Alternatif mekanisme, seperti
pertemuan kelompok kecil yang lebih informal, telah digunakan dalam beberapa
kasus. Dalam hubungannya dengan proses ini, informasi komunitas yang aktif dan
program publisitas (misalnya, melalui talk show radio, newsletter, dll) sering
diperlukan untuk memastikan bahwa masyarakat dapat memberikan masukan dalam
proses manajemen pertumbuhan (Gill, 1992).

Prinsip keempat adalah, memberikan kemudahan kepada para pengusaha


lokal  dalam sekala kecil, dan menengah. Program pendidikan yang berhubungan
dengan kepariwisataan harus mengutamakan penduduk lokal  dan industri yang
berkembang pada wilayah tersebut harus mampu menampung para pekerja lokal 
sebanyak mungkin.

Prinsip kelima adalah, pariwisata harus dikondisi untuk tujuan


membangkitkan bisnis lainnya dalam masyarakat artinya pariwisata harus
memberikan dampak pengganda pada sector lainnya, baik usaha baru maupun usaha
yang telah berkembang saat ini.
Prinsip keenam adalah adanya kerjasama antara masyarakat lokal  sebagai
creator atraksi  wisata dengan para operator penjual paket wisata, sehingga perlu
dibangun hubungan kerjasama yang saling menguntungkan. Misalnya,
berkembangnya sanggar tari, kelompok tani, dan lainnya karena mendapatkan
keuntungan dari berkembangnya sector pariwisata. Sementara para operator sangat
berkepentingan terhadap eksistensi dan keberlanjutan atraksi wisata pada wilayah
pariwisata. Idealnya harus ada keseimbangan permintaan dan penawaran yang
berujung pada kepuasan wisatawan, namun demekian dalam praktiknya akan ada
perbedaan mendasar antara masyarakat lokal dan wisatawan sehubungan dengan
perbedaan perbedaan sikap terhadap pembangunan itu sendiri (Lawrence, et al.,
1993).  Penelitian terhadap wisatawan  akan dapat menjadi jalan keluar untuk
mengatasi perbedaan tersebut dengan melakukan wawancara dengan para wisatawan
untuk memahami mengapa mereka memutuskan untuk mengunjungi sebuah destinasi,
seberapa baik harapan mereka terpenuhi dan apa yang dapat dilakukan untuk
membuat mereka tetap lebih terpuaskan.
6
Prinsip ketujuh adalah, pembangunan pariwisata harus mampu menjamin
keberlanjutan, memberikan keuntungan bagi masyarakat saat ini dan tidak merugikan
generasi yang akan datang.  Adanya anggapan bahwa pembangunan pariwisata
berpotensi merusak lingkungan jika dihubungkan dengan  peningkatan jumlah
wisatawan dan degradasi daerah tujuan pariwisata adalah sesuatu yang logis (Hunter
dan Green, 1995). Wujud hubungan ini adalah konsep tentang daya dukung yang
menunjukkan suatu pendekatan manajemen yang memungkinkan pertumbuhan dalam
batas yang dapat diterima (Johnson dan Thomas, 1996).

Prinsip kedelapan adalah pariwisata harus bertumbuh dalam prinsip


optimalisasi bukan pada exploitasi. Strategi manajemen kapasitas akan menjadi
pilihan yang terbaik, walaupun saat ini masih  mengalami kontroversi yang cukup
tajam. Konsep ini merupakan kebutuhan yang semestinya diakui untuk membatasi
dan menjadi kendali atas dimensi-dimensi pembangunan pariwisata yang dapat
mengancam berkelanjutan penggunaan sumber daya yang terbatas,  pada saat yang
bersamaan, konsep tersebut berhadapan dengan keinginan untuk memaksimalkan
peluang sebagai tujuan pertumbuhan dan mewujudkan manfaat potensial yang terkait
dengan pengunjung yang semakin meningkat.

Prinsip kesembilan adalah harus ada monitoring dan evaluasi secara periodic
untuk memastikan pembangunan pariwisata tetap berjalan dalam konsep pembagunan
berkelanjutan. Mestinya pembagunan pariwisata dapat diletakkan pada prinsip
pengelolaan dengan manajemen kapasitas, baik kapasitas wilayah, kapasitas obyek
wisata tertentu, kapasitas ekonomi, kapasitas social, dan kapasitas sumberdaya yang
lainnya sehingga dengan penerapan manajemen kapasitas dapat memperpanjang daur
hidup pariwisata itu sendiri sehingga konsepsi konservasi dan preservasi serta
komodifikasi untuk kepentingan ekonomi dapat berjalan bersama-sama dan
pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat diwujudkan.

Prinsip kesepuluh adalah harus adalah keterbukaan terhadap penggunaan


sumber daya seperti penggunaan air bawah tanah, penggunaan lahan, dan penggunaan
sumberdaya lainnya harus dapat dipastikan tidak disalah gunakan. Untuk hal tersebut 
kode etik pembangunan pariwisata berkelanjutan harus dirumuskan dan menjadi
agenda yang terus menerus  di revisi dan bahkan revisi yang terakhir diselenggarakan
di Bali (UNWTO Etic Code, 2011). Standar yang tetapkan memang masih terlalu
umum untuk diterapkan oleh unit bisnis, sehingga masih perlu dilakukan penjabaran
menjadi standar yang lebih rinci  dalam bentuk buku manual (Font dan Bendell,
2002).  Sebagai contohnya, di Eropa secara sukarela mengambil inisiatif untuk
program pariwisata berkelanjutan dan menciptakan sebuah sistem federal untuk
meningkatkan standar di antara program-program saat ini,  telah digunakan pada 
1000 akomodasi sebagai sebuah disertifikasi untuk konsumen  dalam promosi, dan
penawaran paket wisata mereka (Visitor, 2003).

7
Prinsip kesebelas adalah melakukan program peningkatan sumberdaya
manusia dalam bentuk pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi untuk bidang keahlian
pariwisata sehingga dapat dipastikan bahwa para pekerja siap untuk bekerja sesuai
dengan uraian tugas yang telah ditetapkan sesuai dengan bidangnya masing-masing
sehingga program sertifikasi akan menjadi pilihan yang tepat.  Sertifikasi sebagai
proses untuk meningkatkan standar industri memiliki pendukung dan dan nilai kritik.
Bagian ini sebenarnya meninjau kelayakan sertifikasi sebagai alat kebijakan untuk
melakukan perbaikan secara sukarela, di bawah lima aspek: keadilan, efektivitas,
efisiensi, kredibilitas, dan integrasi (Toth, 2002).

Instrumen keadilan dianggap sebagai kesempatan semua perusahaan


pariwisata untuk mengakses sertifikasi.  Tiga wilayah dianggap berpotensi
menimbulkan ketidakadilan dapat berupa biaya biaya (1) aplikasi, (2) pelaksanaan
oleh perusahaan pariwisata, dan (3)program pelaksanaannya.  Tingginya biaya relatif
yang dirasakan dari sertifikasi dianggap sebuah ketidakadilan karena tidak semua
perusahaan akan memiliki potensi yang sama untuk mengakses program sertifikasi
tersebut.  Sebuah studi kasus di Kostarika, pemerintahnya telah berhasil memberikan
subsidi bagi yang pertama kali menjalankan program sertifikasi ini khususnya yang
berkaitan dengan sertifikat Pariwisata Berkelanjutan.  Contoh lainnya, di Australia,
Program Akreditasi yang berkaitan dengan ekowisata telah dituangkan dalam bentuk
audit tertulis pada tahun 2001. Meskipun beberapa program sertifikasi dapat
memberikan manfaat yang cukup namun factor biaya masih menjadi mitos
penghalang terwujudnya program sertifikasi tersebut (Toth, 2002).

Prinsip keduabelas adalah terwujudnya tiga kualitas yakni pariwisata harus


mampu mewujudkan kualitas hidup ”quality of life” masyarakat lokal, pada sisi yang
lainnya pariwisata harus mampu memberikan kualitas berusaha ”quality of
opportunity” kepada para penyedia jasa dalam industri pariwisata dan sisi berikutnya
dan menjadi yang terpenting adalah terciptanya kualitas pengalaman wisatawan
”quality of experience”.

Menurut Ardika (Kompas, Senin, 13 Maret 2006) Kepariwisataan ada dan


tumbuh karena perbedaan, keunikan, kelokalan baik itu yang berupa bentang alam,
flora, fauna maupun yang berupa kebudayaan sebagai hasil cipta, karsa, rasa dan
budhi manusia. Tanpa perbedaan itu, tak akan ada kepariwisataan, tidak ada orang
yang melakukan perjalanan atau berwisata. Oleh karena itu, melestarikan alam dan
budaya serta menjunjung kebhinekaan adalah fungsi utama kepariwisataan. Alam dan
budaya dengan segala keunikan dan perbedaannya adalah aset kepariwisataan yang
harus dijaga kelestariannya. Hilangnya keunikan alam dan budaya, berarti hilang
pulalah kepariwisataan itu.

8
Dengan berlandaskan prinsip keunikan dan kelokalan, kepariwisataan
Indonesia didasari oleh falsafah hidup bangsa Indonesia sendiri, yaitu konsep
prikehidupan yang berkeseimbangan. Seimbangnya hubungan manusia dengan
Tuhan, seimbangnya hubungan manusia dengan sesamanya, seimbangnya hubungan
manusia dengan lingkungan alam. Konsep ini mengajarkan kepada kita untuk
menjunjung nilai-nilai luhur agama serta mampu mengaktualisasikannya, menghargai
nilai-nilai kemanusiaan, toleran, kesetaraan, kebersamaan, persaudaraan, memelihara
lingkungan alam. Kesadaran untuk menyeimbangkan kebutuhan materi dan rokhani,
seimbangnya pemanfaatan sumber daya dan pelestarian. Kita diajarkan untuk tidak
menjadi rakus.

Konsep ini juga menempatkan manusia sebagai subyek. Manusia dengan


segala hasil cipta, rasa, karsa, dan budhinya adalah budaya. Dengan demikian
kepariwisataan Indonesia adalah kepariwisataan yang berbasis masyarakat
(community based tourism) dan berbasis budaya (cultural tourism). Kepariwisataan
yang dibangun dengan prinsip dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk
masyarakat.

9
BAB III
PEMBAHASAN

Dalam upaya melakukan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan,


pemerintah daerah memiliki peranan sentral yang antara lain diwujudkan dalam
bentuk meningkatkan bergeraknya sektor dan kegiatan yang dapat mendukung serta
menciptakan suasana yang kondusif bagi berjalannya industri kepariwisataan di suatu
daerah atau kawasan pariwisata.

Langkah awal dalam menuju kondisi tersebut dapat dilakukan dengan


meletakan dasar bagi rencana pengembangan seperti apa yang akan dilakukan yang
biasanya tertuang dalam cetak biru atau master plan rencana kepariwisataan yang
ditetapkan dalam peraturan daerah nomor 6 tahun 2013 tentang Renana induk
kepariwisataan kabupaten Brebes.

Pilihan untuk mendorong berkembangnya kepariwisataan dapat timbul karena


diyakini akan adanya kemanfaatan dari berkembangnya 11 pariwisata. Secara teoritis
maka dapat dilihat bahwa manfaat dan dampak pembangunan pariwisata yang
berkelanjutan ditinjau setidaknya dari empat sudut pandang yang meliputi manfaat
ekonomi, manfaat sosial budaya, manfaat dalam berbangsa dan bernegara, serta
manfaat bagi lingkungan. Dari segi ekonomi (kesejahteraan) antara lain dapat dilihat
dalam penerimaan pendapatan daerah, kesempatan berusaha, terbukanya lapangan
kerja, meningkatnya pendapatan masyarakat dan pemerintah, serta mendorong
pembangunan daerah. Dari segi sosial budaya manfaat yang didapat adalah
pelestarian adat istiadat, meningkatkan kecerdasan masyarakat, meningkatkan
kesehatan dan kesegaran jasmani ataupun rohani, dan mengurangi konflik sosial.
Manfaat dalam berbangsa dan bernegara antara lain mempererat persatuan dan
kesatuan, menumbuhkan rasa memiliki, keinginan untuk memelihara dan
mempertahankan negara yang berujung pada rasa cinta pada tanah air, serta
memelihara hubungan baik internasional dalam hal pengembangan pariwisata.
Sedangkan manfaat bagi lingkungan dimana wisatawan biasanya mencari kondisi dan
tempat yang tenang, bersih dan nyaman maka pengembangan pariwisata juga dapat
menjadi salah satu cara dalam melestarikan lingkungan.

Kebijakan pembangunan pariwisata dilakukan oleh pemerintah daerah antara


lain; pertama, karena adanya keyakinan bahwa pembangunan pariwisata mampu
meningkatkan pendapatan, kesempatan kerja; kedua, meredistribusi pendapatan,
menyeimbangkan pembangunan inter-regional; ketiga, menciptakan diversifikasi
aktivitas ekonomi dan kelembagaan baru.

10
Berdasarkan berbagai kajian dapat disimpulkan bahwa sumbangan pariwisata
yang secara signifikan pada perkembangan ekonomi suatu daerah tampak dalam tiga
bentuk utama yaitu: perluasan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan, dan
pemerataan pembangunan antar wilayah. Besaran dampak tersebut bergantung kepada
tingkat perkembangan pariwisata. Sektor pariwisata juga terbukti telah memberikan
sumbangannya sebagai katup pengaman di saat krisis terjadi sekaligus memberikan
dampak ganda (multiplier effect) yang cukup besar pada pertumbuhan sektor-sektor
lain.

Perkembangan inipun dapat menghidupkan banyak usaha kecil sektor


informal yang terkait dengan kegiatan wisata, antara lain asongan, warung, jasa
pemandu wisata dan sebagainya. Pengaturan yang menyangkut arahan dan kebijakan
mengenai bagaimana melakukan pembangunan pariwisata di Kabupaten Brebes
termasuk di dalamnya termuat dalam Perda Nomor 6 Tahun 2013 tentang Rencana
Induk Pariwisata Kabupaten (RIPK).

Untuk menjalankan dan melaksanakan berbagai kebijakan di bidang


kepariwisataan tersebut khususnya menyangkut pariwisata di tingkat daerah dilakukan
dengan pemahaman bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007,
pemerintah daerah juga mempunyai bagian urusan yang harus dilaksanakan. Dengan
dasar ini maka di Kabupaten Brebes telah diambil langkah-langkah penting dalam
mendorong percepatan pembangunan di bidang pariwisata.

11
BAB IV

PENUTUP

a. Kesimpulan

Berdasarkan berbagai kajian dapat disimpulkan bahwa sumbangan


pariwisata yang secara signifikan pada perkembangan ekonomi suatu
daerah tampak dalam tiga bentuk utama yaitu: perluasan kesempatan kerja,
peningkatan pendapatan, dan pemerataan pembangunan antar wilayah.
Besaran dampak tersebut bergantung kepada tingkat perkembangan
pariwisata. Sektor pariwisata juga terbukti telah memberikan
sumbangannya sebagai katup pengaman di saat krisis terjadi sekaligus
memberikan dampak ganda (multiplier effect) yang cukup besar pada
pertumbuhan sektor-sektor lain.

b. Saran

Sebaiknya pembangunan di Obyek Wisata Randu Sanga lebih di


tingkatkan lagi, lahan kosong lebih dimanfaatkan untuk menambah daya
tarik obyek wisata Randu Sanga.

12
DAFTAR PUSTAKA

http://www.teluklove.com/2016/12/pesona-keindahan-destinasi-wisata_50.html

https://tourismbali.wordpress.com/2013/03/10/prinsip-prinsip-pembangunan-pariwisata-
berkelanjutan-2/

13
LAMPIRAN

14

Anda mungkin juga menyukai