Anda di halaman 1dari 3

Nama : Wahyu Dewi Nur S.

NIM : 3301416062

Mata Kuliah : Filsafat Moral

A. Moral
Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa latin, bentuk
jamaknya mores,yang artinya adalah tata cara atau adat istiadat. Dalam KBBI, moral
diartikan sebagai akhlak, budi pekerti atau susila. Secara terminologis, terdapat berbagai
rumusan pengertian moral, yang dari segi substansif materiilnya tidak ada perbedaan. Akan
tetapi, bentuk formalnya berbeda.
Kata moral juga sering disinonimkan dengan etika, yang berasal dari kata ethos dalam
bahasa Yunani Kuno, yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, atau cara
berfikir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 237) etika diartikan sebagai (1) ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), (2)
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan (3) nilai mengenai benar dan
salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Sementara itu menurut Magnis Suseno, etika harus dibedakan dengan ajaran moral.
Moral dipandang sebagai ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-
patokan, entah lisan atau tertulis, tentang bagaimana ia harus bertindak, tentang bagaimana
harus hidup dan bertindak, agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral
adalah orang-orang dalam berbagai kedudukan, seperti orang tua dan guru, para pemuka
masyarakat dan agama, dan tulisan-tulisan para bijak seperti kitab Wulangreh karangan Sri
Sunan Paku Buwana IV. Sumber dasar ajaran-ajaran adalah tradisi dan adat istiadat, ajaran
agama-agama atau ideologi-ideologi tertentu. Sedangkan etika bukan suatu sumber tambahan
bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah
ajaran. Jadi etika adalah ajaran-ajaran moral tidak berada pada tingkat yang sama. Yang
mengatakan, bagimana kita harus hidup bukan etika, melainkan ajaran moral. (Magnis
Suseno, 1987; 14).
B. Budi Warga Negara
Tiap tiap negara yang terbentuk oleh peradaban yang sempurna perlu untuk memiliki budi
pekerti atau moral. Budi pekerti negara ialah tali penghubung antara rakyat dengan negara
yang melindunginya. Aspek aspek yang terdapat dalam budi negara yaitu:
a. Setia Negara
Pada zaman dahulu, kerajaan Syailendera Sriwijaya sanggup menahan
gelombang massa, karena memiliki moral yang dipusatkan dan berwujud setia kepada
negara kesatuan. Tidak setia kepada negara, merupakan kesalahan yang besar. Sifat
orang Indonesia adalah meskipun negara pertama runtuh dan hilang, akan tetapi
mereka tetap setia terhadap desa dan daerah, serta bangsa dan tanah air.
Lalu apa wujud setia negara di era sekarang? Setia negara untuk saat ini,
ditunjukkan dengan cara yang berbeda. Tidak lagi angkat senjata secara langsung,
tetapi setia kepada negara dilakukan dengan cara yang lebih mengikuti zaman. Setia
negara dapat kita tunjukkan dalam semua aspek kehidupan.
Bidang Ideologi, setia kepada negara adalah kita tetap memegang teguh
Pancasila dan tidak goyah untuk mengikuti ideologi negara lain serta tidak terbawa
pengaruh ideologi lain yang membawa dampak negatif. Meskipun kehidupan era
sekarang lebih mengarah pada kebebasan (liberalisme) seharusnya warga negara
Indonesia tetap berlandaskan Pancasila dalam menjalankan kehidupannya. Jangan
sampai nilai-nilai luhur Pancasila hilang dan tergantikan oleh ideologi lain.
Kemudian, dalam bidang ekonomi warga negara dapat menunjukkan
kesetiannya dengan membantu menunjang sektor ekonomi lokal dan nasional
misalnya memajukkan sektor pariwisata lokal. Lebih mencintai dan memakai produk
dalam negeri serta meningkatkan ekspor.
Selanjutnya, bidang sosial warga negara dapat menunjukkan kesetiannya
dalam bentuk pengabdian profesi, pengabdian sebagai masyarakat dan pengabdian
sebagai anggota TNI/Polri. Segala bentuk pengabdian tersebut dilakukan oleh pihak-
pihak yang bersangkutan sebagai bentuk pembelaan negara.
Lalu, bidang pendidikan setia kepada negara dapat ditunjukkan dalam mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Mata pelajaran PPKn
merupakan salah satu cara untuk memupuk kesetiaan warga negara. Mata pelajaran
PPKn mengajarkan sejarah pendirian negara Indonesia, struktur negara Indonesia, dan
penanaman karakter cinta tanah air.
b. Tenaga Rakyat
Kemerdekaan negara Indonesia adalah hasil perjuangan rakyat. Rakyat
berjuang hingga titik darah penghabisan agar Indonesia bebas dari jajahan negara
asing. Rakyat begitu peduli dengan nasib bangsa dan setia kepada negara. Tenaga
rakyat menjadi kekuatan yang penting dalam perjuangan bangsa Indonesia sebelum
merdeka. Lantas bagaimana dengan tenaga rakyat saat ini? Tenaga rakyat saat ini
masih menjadi prioritas di Indonesia. Demokrasi yang dijalankan Indonesia
menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan kedaulatan berada di
tangan rakyat. Rakyat memberikan amanah kepada orang-orang terpilih dalam Pemilu
untuk menentukan bagaimana negara dikelola, diatur dan ditentukan keberlangsungan
hidupnya.

c. Ingin merdeka
Semua negara menginginkan kemerdekaan. Begitu pula dengan Indonesia.
Golongan tua dan golongan muda memperjuangkan kemerdekaan Indonesia hingga
titik darah penghabisan. Tujuan utama mereka adalah membebaskan Indonesia dari
penjajah. Kemerdekaan merupakan lambang keberanian bangsa Indonesia. Dahulu,
untuk mencapai kemerdekaan kita perlu untuk angkat senjata. Akan tetapi, saat ini
kata ingin merdeka sama dengan istilah bela negara yang dilakukan dengan cara yang
berbeda. Rakyat Indonesia ingin merdeka dengan memperjuangkan pemikiran dan
kemajuan teknologi serta ekonomi diranah Internasional. Rakyat Indonesia tidak ingin
tertinggal dari negara-negara lain. Sedangkan di ranah nasional, rakyat Indonesia
berupaya mempertahankan kemerdekaan indonesia dengan membangun solidaritas
agar Indonesia tidak terancam baik dari dalam atau luar.

DAFTAR PUSTAKA

Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1995. RISALAH SIDANG BPUPKI. Jakarta: PT. Citra
Lamtoro Gung Persada

Sukmono, Banin Diar. 2013. ETIKA DRIYARKARA DAN RELEVANSINYA DI ERA


POSTMODERN. Jurnal Filsafat Vol. 23, Nomor 1, Hal : 80-83

Anda mungkin juga menyukai