Anda di halaman 1dari 17

PERAN MASYARAKAT DALAM PENGAWASAN PILKADA SERENTAK DI

INDONESIA : PELUANG DAN TANTANGAN


Oleh:
ENCEP RAMDAN SOPIAN
Abstrak

Untuk menjamin agar pilkada serentak di Indonesia dapat berjalan


sesuai dengan ketentuan dan asas pemilu, maka diperlukan adanya
pengawalan dan pengawasan terhadap proses jalannya pilkada secara
serentak di Indonesia. Dalam konteks pengawasan pilkada di Indonesia,
terdapat lemabaga yang bertanggung jawab mengawasi proses jalannya
pilkada di Indonesia, yaitu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Lantas
adakah hak bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pengawasan
terhadap proses pilkada serentak di Indonesia, dan apakah peran masyarakat
dalam pengawasan pilkada serentak di Indonesia, berikut peluang dan
tantangannya?. Penelitian ini merupakan library research yaitu penelitian yang
menggunakan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini sebagai
sumber datanya. Adapun pendekatan akan lebih diarahkan kepada normative
approach. Dan inti sari serta tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
dan menjelaskan tentang peran masyarakat dalam pengawasan pilkada
serentak di Indonesia, berikut peluang dan tantangannya.
BAB I
Pendahuluan

Untuk menjamin agar pilkada serentak di Indonesia dapat berjalan sesuai


dengan ketentuan dan asas pemilu, maka diperlukan adanya pengawalan dan
pengawasan terhadap proses jalannya pilkada secara serentak di Indonesia.
Dalam konteks pengawasan pilkada di Indonesia, terdapat lembaga yang
bertanggung jawab mengawasi proses jalannya pilkada di Indonesia, yaitu
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Disamping adanya pengawasan
terhadap proses pilkada serentak di Indonesia oleh Badan Pengawas Pemilu
(bawaslu), terdapat juga pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat yang
disebut dengan kegiatan pemantauan pemilu, dan sebagai bentuk partisipasi
masyarakat dalam melakukan pengawasan pemilu ini serta penggunaan hak
warga negara untuk mengawal hak pilihnya. Kegiatan ini merupakan
pemantauan yang dilakukan oleh publik sebagai bentuk upaya untuk menjaga
kedaulatan rakyat di dalam penyelenggaraan negara dan sebagai bentuk
kontrol yang dilakukan oleh masyarakat terhadap jalannya proses pilkada
serentak yang jujur dan adil.
Menurut Nur Hidayat Sardini, pengawasan tidak dapat diidentikkan
dengan pengawas pemilu yang resmi dibentuk oleh Negara, karena peran
yang sama juga bisa diisi oleh lembaga atau pihak partikelir lain yang ada di
masyarakat. Menurut Nur, apa yang dilakukan pengawas pemilu sebetulnya
tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan pemantau pemilu atau
pengamat pemilu. Mereka sama-sama mengkritik, mengimbau, dan
memprotes, apabila terdapat penyimpangan dari undang-undang.
Kewajiban Badan pengawas Pemilu (bawaslu) yakni sebagai fungsi
lembaga negara yang memiliki tanggung jawab dalam pengawasan pemilu,
sedangkan partisipasi masyarakat, dapat diartikan sebagai penggunaan hak
warga negara untuk mengawal hak pilihnya. Pelembagaan pengawasan
negara itu, tidak bisa serta merta mengambil dan mencederai hak warga
negara untuk melakukan kontrol terhadap proses pilkada dan menghalangi
masyarakat untuk menjaga suara dan kedaulatan rakyat dalam
penyelenggaraan negara.
Berdasarkan latar belakang diatas, fokus penilitian ini adalah untuk
mengetahui dan menjelaskan tentang bagaimana pengawasan terhadap
pilkada serentak di Indonesia yang dilakukan oleh masyarakat, sebagai bentuk
upaya untuk menyelenggarakan pilkada yang jujur dan adil. Oleh karena itu,
pertanyaannya adalah bagaimana peran masyarakat dalam pengawasan
pilkada serentak di Indonesia, berikut peluang dan tantangannya. Untuk
rencana strategis, kajian ini sangat baik untuk dijadikan sebagai salah satu
referensi untuk membangun pengawasan pemilu berbasis masyarakat yang
memang pemilik otoritas utama untuk kerja-kerja pengawasan pemilu.
Terakhir, kami berharap kajian ini dapat bermanfaat untuk masyarakat banyak,
pengambil kebijakan, dan bisa menjadi sumbangsih dan pengabdian pada
ilmu pengetahuan.
BAB II
Pembahasan

a. Pengawasan dan Masyarakat


Pengawasan dapat ditinjau dari berbagai segi, antara lain ditinjau
dari segi ekonomi atau manajemen dan segi hukum. Jika ditinjau dari segi
manajemen, penting adanya pengawasan ialah untuk menjamin dan
menjaga agar suatu organisasi dapat berjalan sesuai dengan rencana
(planning) yang telah dibuat, dan agar suatu organisasi tersebut dapat
mencapai tujuan yang ingin dicapai. Hal demikian pun sama maksudnya,
yaitu adanya pengawasan terhadap pemerintah, supaya jalannya
pemerintah dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan asas
pemerintahan yang baik (good governance). Oleh demikian, salah satu
manfaat adanya pengawasan adalah untuk mempersempit terjadinya
hambatan dan meminimalisir kesalahan atau pelanggaran yang terjadi,
dengan segera melakukan perbaikan.
Berdasarkan ilmu sosiologi, tidak semua kelompok dapat disebut
sebagai masyarakat, akan tetapi suatu kelompok dapat dikategorikan dan
disebut sebagai masyarakat jika memenuhi kriteria-kriteria berikut ini,
antara lain: a) kemampuan untuk bertahan melebihi masa hidup seorang
individu, sehingga dapat disebut sebagai masyarakat, b) rekrutmen
anggota baik seluruh atau sebagian berdasarkan hasil reproduksi, c)
kesetiaan pada suatu sistem merupakan tindakan utama bersama, d)
tindakan utama yang bersifat “swasembada”, atau apabila kelompok
tersebut untuk beberapa generasi dapat bertahan stabil. Namun
penjelasan tentang definisi masyarakat berdasarkan ilmu sosial berbeda
pengertiannya jika dilihat dan ditinjau dari segi ilmu politik. Menurut Mirian
Budiarjo, masyarakat ialah mencakup semua relasi/hubungan dan
kelompok dalam suatu wilayah. Masyarakat merupakan keseluruhan dari
seluruh hubungan-hubungan antar manusia. Masyarakat menghuni
wilayah geografis tertentu sebagai tempat kediamannya, memiliki budaya
dan lembaga, dapat saling berinteraksi dan berkomunikasi karena adanya
wujud keragaman budaya, agama, etnis/suku.
Menurut Robert M. MacIver, masyarakat adalah suatu sistem
hubungan-hubungan yang ditata. Sedangkan pengertian masyarakat
menurut Harold J. Laski ialah sekelompok manusia yang hidup bersama
dan juga saling bekerjasama satu sama lainnya, demi tujuan untuk
terkabulnya atau tercapainnya keinginan mereka bersama.

b. Pengawasan partisipatif
Dilihat dari segi kedudukannya, pengawasan partisipatif ialah
pengawasan yang bersifat eksternal. Pengawasan bersifat eksternal
adalah pengawasan yang dilakukan terhadap pemerintah oleh organisasi
atau lembaga-lembaga yang dibuat oleh masyarkat yang secara struktural
berada diluar lingkungan pemerintah. Pengawasan partisipatif ialah juga
suatu pengawasan yang melibatkan peran masyarakat untuk ikut andil
dalam pengawasan suatu kegiatan pemerintah secara kritis dan aktif,
seperti pilkada. Pengawasan oleh bawaslu dan pengawasan partisipatif
oleh masyarkat akan mewujudkan pengawasan yang optimal, Sehingga
dapat terselenggara pilkada serentak yang jujur dan adil, berjalan sesuai
dengan regulasi yang ada.

c. Pilkada Serentak dan pengawasannya


Pada pembahasan kali ini tentang pilkada serentak, akan lebih
difokuskan kepada pembahasan tentang alasan mengapa pilkada
serentak diadakan dan diselenggarakan di Indonesia. Selama ini,
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara tidak serentak yang
begitu banyak jumlahnya di Indonesia, dinilai sebagai bentuk pemborosan
karena banyak menguras anggaran daerah. Bahkan menimbulkan
kerugian bagi daerah yang kemampuan fiskalnya rendah, karena adanya
kewajiban untuk membiayai pilkada ternyata mengurangi belanja
pelayanan publik seperti pemenuhan layanan pendidikan dan kesehatan ,
yang ujungnya tetap rakyat yang harus menderita, khusunya rakyat
miskin. Karena itu, penyelenggaraan pilkada serentak dipandang lebih
tepat karena lebih hemat dan efisien.
Menurut Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia
untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Yuna Farhan, ”Biaya pilkada
untuk kabupaten/kota Rp 25 miliar, untuk pilkada provinsi Rp 100 miliar.
Jadi untuk keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan Rp 17 triliun. Kalau
dilaksanakan secara serentak diperlukan Rp 10 triliun. Lebih hemat dan
hanya sekian persen dari APBN. Sehingga pilkada bisa dibiayai oleh
APBN, bukan oleh APBD.”
Berdasarkan Studi yang dilakukan Seknas Fitra di 14 daerah, telah
ditemukan pembiayaan pilkada melalui APBD yang memberi peluang
besar dan terbuka bagi pelaku di daerah untuk melakukan politik dan
politisasi anggaran. Calon yang sedang memegang kekuasaan eksekutif
pemerintahan daerah juga dapat menggunakan instrumen anggaran
pilkada sebagai senjata untuk memperkuat posisi tawar politiknya.
Terkait dengan politisasi anggaran, ketika tahap pilkada mulai
dijalankan, ternyata banyak daerah yang belum mengalokasikan dana
untuk penyelenggaraan pilkada, disebabkan karena daerah tidak memiliki
dana tambahan untuk penyelenggaraan pilkada. ketidak sinkronan
tahapan dalam pilkada dengan mekanisme penganggaran daerah
memberikan dampak dan imbas yang serius yakni lemahnya proses
pengawasan pilkada. Faktor lainnya juga disebabkan oleh permasalahan
yang justru muncul dari regulasi pelaksanaan pilkada. Menurut Seknas
Fitra pembiayaan pilkada harus diambil dari APBN untuk menghindari
tumpang-tindih pembiayaan.
Berdasarkan amanat Undang-Undang No 15 tahun 2011 tentang
penyelenggaraan pemilu, bawaslu telah diberikan mandat untuk
menjalankan fungsi fungsi pengawasan. Namun dalam konteks
pengawasan, bawaslu sebagai struktur yang terlembaga memiliki
keterbatasan, yakni kurangnya jumlah personal dalam bawaslu untuk
mengawasi jalannya proses pilkada, sehingga membutuhkan partisipasi
masyarakat yang aktif dan kritis serta ikut terlibat dalam pengawasan
proses pilkada. Partisipasi masyarakat dalam pengawasan pilkada,
diharapkan dapat mencegah terjadinya segala bentuk pelanggaran
terhadap proses jalannya pilkada di Indonesia.
Alasan penting tentang pelibatan masyarakat dalam pengawasan,
ialah karena maraknya terjadi pelanggaran terstruktur dan massif yang
mencederai dan mengkhianati kedaulatan rakyat serta mengkhianati
suara pemilih yakni menjadikan suara pemilih menjadi tidak berarti atau
menjadi tidak berguna. Semua itu tentunya disebabkan oleh kurang
optimalnya pengawasan terhadap proses pilkada, maka hendaknya hal
demikian menjadi suatu pembelajaran kedepan, yakni untuk lembih
mengoptimalkan dan meningkatkan pengawasan terhadap proses pilkada
baik yang dilakukan oleh pemerintah (bawaslu) ataupun masyarakat.

d. Peran Masyarakat dalam pengawasan pilkada serentak di Indonesia


Seiring dengan dinamika dan problematika pilkada yang semakin
kompleks, perlu kita sadari bahwa dalam pengawasan terhadap proses
pilkada, tidak bisa hanya bertumpu pada pengawasan yang dilakukan oleh
pengawas pemilu (bawaslu), melainkan juga memerlukan partisipasi dan
peranan dari masyarakat. Pertanyaannya, mengapa partisipasi
masyarakat dalam pilkada menjadi penting? Jawaban yang paling mudah
dan juga sulit untuk diperdebatkan adalah karena adanya amanat dari
peraturan perundang-undangan. Yaitu: UU No 8 tahun 2012 tentang
pemilu DPR, DPD, DPRD pasal 246 menyatakan: pemilu diselenggarakan
dengan partisipasi masyarakat.
Selain pertimbangan yuridis, terdapat juga beberapa pertimbangan
empiris antara lain: pertama, adanya kecenderungan partisipasi
masyarakat menurun, sedangkan kecenderungan untuk tidak
menggunakan hak pilihnya (Golput) meningkat. Kedua, kecenderungan
masyarakat tidak memiliki sense belonging dan sense participation, hal ini
bisa disebabkan karena masyarakat seringkali dijadikan objek oleh parpol
peserta pilkada, yang dibutuhkan hanya menjelang pemilihan.
Marginalisasi politik masyarakat ini sudah sampai pada tahap yang
mengkhawatirkan, sehingga menyebabkan perilaku politik mereka
terkesan menjadi pragmatis dan apatis. Untuk mengubah situasi ini, paling
tidak masyarakat harus diposisikan dan dilibatkan sebagai subyek pilkada,
tidak lagi sebagai obyek pilkada. Pada tingkat minimal pelibatan
masyarakat adalah menggiring dan merubah partisipasi masyarakat yang
pasif menjadi partisipasi aktif dalam pengawasan pilkada di Indonesia.
Ketiga, jumlah personal dalam badan pengawas pemilu (bawaslu) relatif
sedikit, sehingga menyebabkan pengawasan terhadap proses pilkada
kurang maksimal.
Maka untuk menutupi kekurangan dan kelemahan tersebut,
membuka peluang partisipasi dan pelibatan masyarakat dalam
pengawasan pilkada serentak di Indonesia adalah suatu keniscayaan dan
keharusan yang harus direalisasikan. Faktor lain yang mendukung
terbentuk pengawasan partisipatif dari masyarakat adalah karena badan
pengawasan pemilu (bawaslu) mempunyai keterbatasan struktural
‘pasukan’ di tingkat bawah.
Kondisi dan realitas ini mendorong dan memaksa badan pengawas
pemilu (bawaslu) RI, bawaslu provinsi, panwaslu kabupaten/kota untuk
membuka dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam strategi
pengawasan pemilu. Jika bawaslu RI, bawaslu provinsi, panwaslu
kabupaten/kota tidak merealisikan tujuan baik ini, atau tidak membuka
peluang bagi partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu, maka
akan sulit bagi lembaga-lembaga itu untuk melakukan pengawasan
sampai ke tingkat bawah. Partisipasi masyarakat tersebut dapat diadakan
dan dilakukan dalam beberapa bentuk, antara lain melalui sosialisasi
pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau jajak pendapat tentang
pilkada, dan perhitungan cepat pilkada dengan ketentuan sebagai berikut:
a) tidak melakukan keberpihakan yang dapat menguntungkan dan
merugikan peserta pilkada, b) tidak menganggu tahap proses
penyelenggaraan proses pilkada, c) bertujuan untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat secara luas, d) mendorong terwujudnya suasana
yang kondusif bagi penyelenggaraan pemilu yang aman, damai, tertib, dan
lancar.
Menurut pandangan mantan ketua bawaslu yakni Nur Hidayat
Sardini (NHS), menyatakan bahwa peran dan partisipasi masyarakat
secara aktif dan kritis sangat diperlukan dalam proses pilkada, karena
tanpa adanya peran dan partisipasi masyarakat yang independen dan
kritis akan menimbulkan banyak peluang penyimpangan pilkada oleh
pihak-pihak yang mengikuti atau ikut serta dalam proses pilkada yang
sangat terbuka. Ungkapan lainnya datang dari Dr Muhammad, beliau
menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengawasan masih
minim. Masih banyak masyarakat yang kurang peduli, padahal sejatinya
pengawasan itu tidak bisa terwujud dengan baik jika hanya dibebankan
kepada pengawas pemilu, yang jumlahnya personalnya sedikit. Lanjut
Muhammad mengatakan bahwa, hendaknya pengawasan ini dilakukan
bersama-sama, semua aspek harus terlibat dan berpartisipasi, sehingga
dapat terwujudnya pengawasan yang lebih optimal dan proses demokrasi
dapat berjalan dengan baik, jujur dan adil serta damai.
Konsultan pemilu Ahasanul Minan mengatakan bahwa masyarakat
harus terlibat dan dilibatkan dalam pengawasan terhadapap pemilu, sebab
masyarakat memiliki peran dan tujuan dalam pengawasan terhadap
pemilu/pilkada, antara lain: a) memastikan terlindungnya hak-hak politik
masyarakat sebagai warga negara, b) memastikan terwujudnya
pemilu/pilkada yang bersih, transparan dan berintegrasi dari sisi
penyelenggara dan penyelenggaraan, c) dapat mendorong dan
mewujudkan pemilu sebagai instrument untuk menentukan kepemimpinan
politik, dan juga evaluasi kepemimpinan politik, d) dan untuk mendorong
terwujudnya atau terpilihnya kepemimpinan politik yang sesuai dengan
aspirasi terbesar rakyat Indonesia.
Adapun bentuk-bentuk kegiatan yang dapat melibatkan masyarakat
untuk ikut berpartisipasi, menurut Minan kegiatan-kegiatan tersebut dapat
berupa antara lain:
a) Ikut memantau pelaksanaan pemilu, agar terwujudnya pelaksanaan
pemilu yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
b) Ikut serta, aktif dan kritis dalam kajian-kajian terhadap persoalan
kepemiluan atau dalam pilkada.
c) Ikut mencegah segala bentuk pelanggaran pemilu sesuai dengan peran
sosial masing-masing
d) Harus melaporkan segala bentuk pelanggaran pemilu/pilkada
e) Menyampaikan dugaan adanya informasi tentang pelanggaran
pemilu/pilkada.
f) Mendukung tercipanya ketaatan peserta pemilu dan penyelengggara
pemilu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan untuk strategi, metode serta langkah selanjutnya dapat
dilakukan hal –hal sebagai berikut:
a) Bawaslu membuat desain pengawasan partisipatif sebagai bentuk
pedoman atau bekal yang mudah dipahami bagi pengawas pemilu dan
bagi penggiat-penggiat demokrasi laninnya, untuk melakukan tugas
yang mulia ini.
b) Mengadakan kajian-kajian terhadap persoalan dalam pemilu atau
pilkada.
c) Bawaslu harus memberikan petunjuk atau pedoman atas perlindungan
yang diberikan kepada masyarakat yang melaporkan pelanggaran atau
dugaan informasi pelanggaran yang terjadi dalam proses pelaksanaan
pemilu/pilkada.
d) Bawaslu provinsi/kabupaten/kota harus melakukan kemitraan dengan
kelompok strategis dan juga kritis seperti LSM/NGO, kalangan kampus,
penggiat atau pemantau demokrasi lainnya untuk melaukan advokasi
tentang pentingnya ikut terlibat dalam pengawasan pemilu.
e) Bawaslu provisni/kabupaten/kota juga harus menggandeng
stakeholder pemilu lainnya, khususnya pemerintah daerah untuk
memfasilitasi pengawasan pemilu. Setidaknya menjadikan dan
menetapkan bawaslu provonsi/kabupaten/kota sebagai narasumber
dalam proses pelaksanaan kegiatan tersebut.
f) Bawaslu pun harus mengajak dan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat
maupun tokoh agama dalam masyarakat, baik itu formal atau informal,
untuk ikut berpartisipasi dalam pengawasan pemilu
g) Terinspirasi dari pendapat pimpinan bawaslu nasional Daniel Zuchron,
menyatakan bahwa cara kerja pengawasan partisipatif yang dilakukan
oleh masyarakat bisa dilakukan dengan gaya atau cara intelijen dengan
tidak menggunak uniform (seragam) tertentu. Sehingga mereka dapat
melakukan pengawasan dengan lebih leluasa dan bebas.
h) Melakukan ekspose ke media massa tentang terbentuknya relawan dan
posko partisipatif pengawasan masyarakat, dan untuk mengekspose
juga kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan oleh relawan
partisipatif pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat di media
massa, sebagai tujuan dan bentuk apresiasi terhadap kinerja dan peran
masyarakat, dan untuk membentuk opini publik tentang penting
keterlibatan masyarakat dalam pengawasan partisipatif.
Dalam melaksanakan pengawasan partisipatif, sangat penting
untuk mengajak dan melibatkan kelompok strategis yang ada dalam
masyarakat, khusunya dari kalangan penggiat demokrasi dan masyarakat.
Hal ini harus dilakukan karena penggiat demokrasi dalam masyarakat
memliki pengetahuan dan pemahaman dan metode (keterampilan)
mengenai kerja-kerja yang berhubungan dengan pengembangan
partisipasi politik masyarakat, terutama ditingkat grass root (akar rumput).
Adapun resiko ketidakterlibatan masyarakat dalam pengawasan
pemilu, antara lain ialah: a) terhadap pemilu, akan menghasilkan konflik
kekerasan dan akan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap
pemilu/pilkada, b) terhadap demokrasi, akan terjadi arus balik dari wujud
demokrasi menjadi tirani baru, dan akan memuncul apatisme terhadap
demokrasi, c) terhadap masa depan bangsa, dikarenakan tidak
optimalnya hasil dari pemilu/pilkada, akan melahirkan pemimpin dengan
kapasitas yang lemah, legitimasi politiknya dipertanyakan, dan
melemahnya orientasi pemimpin dalam hal pembentukan negara yang
demokratis.

e. Peluang dan Tantangan Pengawasan Partisipatif


Peluang pengawasan partisipatif sebagai berikut:
a) Terbatasnya pengawasan pemilu
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
secara langsung merupakan perwujudan demokrasi dan kedaulatan
rakyat. Disinilah rakyat diberi kesempatan untuk ikut serta membuat
keputusan politik dalam penentuan pemimpin di daerah masing-
masing. Keputusan politik bukan hanya memberikan hak suara, tetapi
juga ikut serta dalam pengawasannya. Hal ini didasarkan pada
beberapa kendala diantaranya keterbatasan struktur dan jumlah
pengawas.
Apabila kita belajar dari pemilihan umum sebelumnya yang
diatur di UU No 8 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu dalam
Dalam pasal 72 tersebut ditetapkan, jumlah anggota Bawaslu RI
sebanyak 5 orang, Bawaslu Provinsi sebanyak 3 orang, Panwaslu
Kabupaten/kota dan Panwascam sebanyak 3 orang dan Pengawas
Pemilu Lapangan (PPL) hanya berjumlah 1-5 orang per
desa/kelurahan. Sedangkan di dalam UU No. 8 Tahun 2015 diatur
bahwa setiap TPS dapat diawasi oleh pengawas pemilihan lapangan
dan satu pengawas TPS. Disisi lain, pengawasan terhadap
pelaksanaan pemilihan umum tidak hanya pada saat pemilihan saja,
tapi dari masa kampanye pengawasan harus tetap dijalankan.
Sehingga disini peran masyarakat di rasa perlu untuk menjamin
pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah yang sesuai dengan
asas-asas yang ada.
b) Tinggi partisipasi Masyarakat: Pengalaman Pemilu 2014
Pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Pesiden 2014 telah
menunjukkan keberhasilan pengawasan partisipatif masyarakat,
pengawasan partisipatif yang dikembangkan oleh Bawaslu tersebut
dirasa cukup efektif untuk dapat melakukan pengawasan maksimal
termasuk menangani berbagai macam pelanggaran. Antusias
masyarakat yang terlibat dalam pengawasan partisipatif terlihat dari
banyaknya laporan dugaan pelanggaran yang masuk ke Pengawas
Pemilu.
Bentuk pengawasan partisipatif yang dikembangkan oleh
Bawaslu pada Pileg dan Pilpres lalu, salah satunya adalah Gerakan
Sejuta Relawan Pengawas Pemilu. Gerakan ini mampu merekrut
hampir 650 ribu orang relawan di seluruh Indonesia, dan disebar
banyak tempat pemungutan suara (TPS) di Indonesia. Kebanyakan
relawan pengawas pemilu berasal dari pelajar dan mahasiswa yang
terlibat dalam pengawasan pemilu yang tidak meminta atau menerima
imbalan sepeser pun. Namun, perannya tidak bisa dikesampingkan
jika dibandingkan dengan pengawas pemilu lapangan yang berada di
tingkat desa/kelurahan dan berada di dalam struktur pengawas
pemilu.
Dalam Undang-Undang, tidak diakomodasi satu pengawas
pemilu untuk satu TPS. Akibatnya, adanya potensi pelanggaran
sangat besar terjadi di TPS-TPS yang tidak terawasi. Dengan adanya
peran relawan, maka menjadi mata dan telinga bagi Pengawas Pemilu
untuk melihat dan merekam bagaimana proses yang terjadi dalam
pemungutan dan penghitungan suara.

c) Pengoptimalan Pengawasan partisipatif oleh Bawaslu


Gagasan Bawaslu untuk melibatkan masyarakat sebanyak-
banyaknya dalam mengawasi proses Pemilu diwujudkan melalui
program Gerakan Satu Juta Relawan Pengawas Pemilu pada
Pemeilihan Presiden dan Wakil Presiden. Strategi pelibatan
masyarakat dalam mengawasi pilkada serentak tetap dipertahankan
dengan melibatkan bawaslu provinsi dan kabupaten/kota untuk
merekrut relawan pengawas pilkada serentak di Indonesia. Tidak
hanya masyarakat, banyak juga LSM yang juga ikut serta dalam
pengawasan pilkada serentak seperti Jaringan Pendidikan Pemilih
untuk Rakyat akan ikut memantau penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah serentak di 138 kabupaten/kota di 31 provinsi. Mereka ingin
memastikan setiap tahapan berjalan demokratis dan berkualitas.
Melihat geliat masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat untuk
melakukan pengawasan, bawaslu selayaknya harus memanfaatkan
momentum ini dengan baik. Sebagai upaya pelaksanaan pilkada yang
bermartabat.
Tantangan pengawasan partisipatif oleh masyarakat adalah
sebagai berikut:
a) Kekhawatiran terjadinya konflik dan benturan antara Pengawas
Persoalan yang mesti dikhawatirkan dan menjadi salah satu dari
tantangan terhadap pengawasan pilkada serentak ialah, konflik
atau benturan yang bisa saja terjadi antar pengawas. Hal ini ini pun
memungkinkan bisa terjadi, karena mengingat dan melihat
keduanya memiliki ruang lingkup kerja yang nyaris hampir sama,
yaitu mengawasi tahapan proses pilkada serentak di Indonesia.
Hanya saja, perbedaannya terletak pada kewenangan dalam tindak
lanjutnya saja, seperti kenyataanya bahwa masih banyak
pengawas di daerah yang masih membuat jarak antara pengawas
pemilu dengan pemantau. Pengawas pemilu masih cenderung
mengartkian partisipasi ialah suatu keharusan bagi pengawas
pemilu mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pengawasan, mereka pun mengalami ketakutan jika kekuatan dan
pengaruhnya akan diambil alih oleh pemantau. Selain adanya
faktor persaingan, benturan itu juga muncul, mengingat bahwa
Bawaslu dan jajarannya merupakan bagian dari objek pantauan
pemantau. Dimana pemantau memiliki kepentingan juga untuk
memastikan tahapan proses pilkada berjalan dengan jujur dan adil
serta berjalan sesuai dengan regulasi yang ada.

b) Belum terwujudnya prinsip pelayanan


Beberapa keluhan yang dirasakan oleh masyarakat salah satunya
yang umum terjadi ialah, ketika masyarakat membuat laporan atas
dugaan terjadinya pelanggaran terhadap proses pilkada kepada
bawaslu, masyarakat dibebankan dengan kewajiban melengkapi
syarat-syarat laporan seperti bukti dan saksi.Hal demikian justru
sebetulnya menjadi beban yang justru diserahkan kepada pelapor.
Belum lagi adanya beban ancaman dan intimidasi dari pihak lain,
jika melaporkan dugaan pelanggaran tertentu.

c) Tidak adanya perlindungan hukum bagi pelapor


Dalam hal memantau, memerlukan keseriusan dan komitmen yang
tinggi. Resiko yang dihadapi oleh pengawas partisipatif tentunya
tidak hanya saat proses pilkada berjalan, tapi juga bisa terjadi
bahkan setelah selesainya tahapan pilkada. Pengawas partisipatif
atau pemilih tentunya suatu saat akan berhadapan dengan
komunitas atau warga sekitar tempat tinggalnya, jika harus
melaporkan kerabat atau bahkan tetangganya kepada bawaslu,
karna dugaan adanya pelanggaran terhadap proses jalannya
pilkada. Tentu hal ini akan menjadi pilihan yang sulit bagi pengawas
partisipatif antara harus aktif atau tidak, disebabkan belum
terwujudnya perlindunga yang pasti bagi pelapor.

d) Informasi yang diberikan bawaslu terkait pengawasan partisipatif


belum jelas
Persoalan selanjutnya ialah, Bawaslu belum menyediakan
informasi yang cukup terkait dengan mekanisme dan prosedur
pengawasan. Sehingga mempersulit pengawas partisipatif untuk
terlibat lebih aktif dan kritis dalam pengawasan terhadap pilkada
serentak. Sosialisasi tentang mekanisme pengawasan , pelaporan
dan seluk beluknya akan menjadikan proses tahapan pilkada
berjalan dengan baik.

f. Kesimpulan dan Saran


a) Kesimpulan
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara
langsung merupakan perwujudan demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Disinilah rakyat diberi kesempatan untuk ikut serta membuat
keputusan politik dalam penentuan pemimpin di daerah masing-
masing. Keputusan politik bukan hanya memberikan hak suara, tetapi
juga ikut serta dalam pengawasannya. Peran pengawasan masyarakat
dalam pilkada serentak sangat dibutuhkan, hal tersebut didasarkan
beberapa kendala yang dihadapi bawaslu selaku pengemban amanah
untuk melakukan pengawasan pilkada serentak. Diantaranya adalah
terbatasnya pengawas pemilu yang terafiliasi dengan bawaslu.
Namun, belajar dari pemilihan umum presiden dan wakil presiden,
telah terbukti bahwa, masyarakat mampu berperan aktif dalam
mengawasi jalannya pilkada serentak. Hal tersebut dibuktikan dengan
banyaknya gerakan relawan seperti JPPR (Jaringan Pendidikan
Pemilih untuk Rakyat), Gerakan Sejuta Pengawas Pemilu yang
dibentuk oleh Bawaslu dan maupun gerakan sukarela pengawasan
lainnya yang dibentuk oleh masyarakat.

b) Saran
Berdasarkan penjelasan diatas, telah menyinggung beberapa hal,
terkait dengan tantangan yang dihadapai oleh masyarakat dalam
pengawasan pilkada serentak di Indonesia. Hendaknya persoalan-
persoalan diatas dikaji dan dibahas bersama, oleh semua aspek,
khusunya masyarakat dan pengawas pemilu, sehingga dapat
menemukan solusi atau jalan keluar dari persoalan-persoalan tersebut
yang dapat menghambat terciptanya pengawasan pilkada yang tidak
optimal, sehingga membuka peluang besar terjadinya pelanggaran
dalam tahapan proses pilkada.
Daftar Pustaka

Book :
Nur Hidayat Sardini, 2011. Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.
Yogyakarta: Fajar Media Press.

Sardini, Ibid hlm 223. Mengutip Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto, Topo
Santoso, 2008. Perekayasaan Sistem Pemilihan Umum: Untuk
Pembangunan Tata Politik Demokratis. Jakarta: Kemitraan bagi
Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.

Sunarto, K.,Pengantar Sosiologi, 2004. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas


Ekonomi Universitas Indonesia.

M. Budiardjo, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama.

Paulus Effendi Lotulung, 1986. Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi


Hukum terhadap Pemerintah. PT Bhuana Ilmu Populer.

Robert M. MacIver, 1961. The Web of Government. New York: The MacMillan
Company.

Harold J. Laski, 1947. The State in Theory and Practice. New York: The Viking
Press.

BULETIN BAWASLU (badan pengawasan pemilihan umum), EDISI 11,


NOVEMBER 2014.

Septi nur wijayanati, 2013. Keterlibatan Partai Politik dalam Pemilihan


Kepala Daerah. Jurnal Konstitusi, Vol. II No.1

Veri Junaidi, 2013. Pelibatan dan Partisipasi Masyarakat dalam


Pengawasan Pemilu, Purledum dan The Asia Foundation.

Bawaslu Bentuk Pokjanas untuk Kelola Gerakan Satu Juta Relawan


Pengawas Pemilu, Buletin Bawaslu, EDISI 12, Desember 2013, Hal.11

Anda mungkin juga menyukai