Anda di halaman 1dari 9

1

LATAR BELAKANG

Perhelatan akbar pemilihan umum sudah di depan mata, tentunya pemilu 2019
yang akan menentukan nasib Bangsa Indonesia lima tahun ke depan, bukan hanya
pemilihan presiden tetapi juga pemilihan anggota legislatif, Komisi Pemilihan
Umum, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum sebagai penyelenggara yang kini
menjadi sorotan, lantaran pertarungan ‘Niat Baik’ KPU mengenai mantan terpidana
korupsi kembali mengabdi melalui lembaga legislasi. Berdasarkan PKPU No.20
Tahun 2018, KPU menunjukkan niat baiknya dalam mencegah kejahatan korupsi,
pada pasal 4 ayat (3) menyatakan bahwa partai politik dalam mengusung kader, tidak
boleh mengusung mantan terpidana narkoba, terpidana kejahatan seksual terhadap
anak, dan terpidana korupsi. Begitupun niat baik dari calon legislatf dari mantan
koruptor yang mengaku bahwa hak politiknya dicabut seakan tidak ada kesempatan
bagi para mantan koruptor untuk mengabdi kembali kepada negara.

Kebebasan untuk di pilih dan memilih tercantum dalam UUD 1945 pasal 28J
bahwa setiap warga negara berhak dipilih dan memilih, dan kemudian diatur secara
teknis dalam UU Pemilu. PKPU hadir dianggap sebagai pembatasan hak politik dan
bertentangan secara hirarkis dengan aturan di atasnya. Pada dasarnya niatan KPU
dalam memberantas perilaku korupsi dengan mengeluarkan aturan PKPU tentu
menuai banyak pro dan kontra terhadap ‘cara KPU’ dalam mencegah perilaku
korupsi, tetapi apakah menjadi wewenang dari KPU dalam membatasi hak, padahal
dalam UUD 1945 pasal 28J juga menyebutkan bahwa pembatasan hak hanya dapat
melalui UU tidak bisa dengan aturan biasa. Pembatasan hak yang diatur dalam UU
Pemilu hanya membatasi hak bagi para mantan terpidana kasus narkoba dan kasus
kejahatan seksual pada anak untuk menjadi calon legislatif.
2

PEMBAHASAN

Perumusan PKPU : KPU vs Bawaslu ?

Upaya untuk memasukkan kasus mantan narapidana korupsi dalam aturan yang
setara dengan UU telah dilalui KPU termasuk diantaranya yakni upaya mengadakan
peraturan perundang-undangan sebab KPU beranggapan bahwa untuk memasukkan
norma dalam UU pemilu tentu melalui tahapan yang sangat panjang, sehingga KPU
menggunakan cara perumusan melalui PKPU yang akan berlaku setelah para
komisioner KPU menandatangani, namun dalam prosesnya PKPU di rumuskan
sebanyak dua kali dengan nomor yang sama tetapi isi berbeda yakni pada tanggal 30
Juni dan pada tanggal 2 Juli yang kemudian diundangkan oleh Kementrian Hukum
dan HAM. Meskipun, telah diundangkan oleh Menkumham, gugatan pada
Mahkamah Agung terus bertambah, hingga belasan gugatan telah masuk, sehingga
Mahkamah Agung menunggu uji materil PKPU dari Mahkamah Konstitusi sebelum
keluarnya keputusan MA.

Polemik mantan koruptor di larang mencalonkan diri dimulai dari perdebatan


antara KPU dengan Bawaslu, KPU dalam hal ini ketua KPU RI Arief Budiman
berpendapat bahwa kejahatan korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary
crime), dalam UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 hanya terdapat dua kejahatan yang
dimaksudkan luar biasa adalah kejahatan pedofil dan narkoba. Lantaran komisioner
KPU, Wahyu Setiawan menegaskan bahwa perlu adanya norma baru dalam
memasukkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, maka dengan adanya
PKPU, kejahatan korupsi menjadi norma baru sebagai penyamarataan dengan
kejahatan pedofil dan narkoba. Namun, Bawaslu secara sepihak menganulir PKPU
dengan landasan menurut Rahmat Bagja mengemukakan bahwa PKPU bertentangan
dengan UU, yakni UU Pemilu No. 7 tahun 2017 pada Pasal 240 ayat 1 huruf (g)
yakni seorang mantan napi yang telah menjalani hukuman selama 5 tahun atau lebih,
boleh mencalonkan diri, asalkan mantan napi tersebut mendeklarasikan diri pernah
sebagai terpidana ke media massa. Belum lagi UUD Tahun 1945 Pasal 28J tentang
3

HAK warga negara untuk dipilih dan memilih, sehingga bawaslu kemudian
berpendapat bahwa PKPU sejak awal sudah bermasalah.

Pernyataan Bawaslu kemudian diperkuat dengan sikap Bawaslu meloloskan 12


mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan yang sebelumnya ditetapkan statusnya
oleh KPU sebagai calon legislatif yang tidak memenuhi syarat (TMS), 12 caleg
tersebut merupakan calon legislatif di DPRD yang masing-masing berasal dari
Bulukumba, Palopo, DKI Jakarta, Belitung Timur, Mamuju, Tojo Una-Una, Aceh,
Toraja Utara, Sulawesi Utara, Rembang, dan Pare-Pare. Pelolosan tersebut kemudian
di tentang oleh Arief Budiman dengan penangguhan terhadap keputusan Bawaslu
dengan mengirim surat edaran KPU ke daerah sebelum adanya putusan dari
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi RI. Menurut Fadli Ramdanil selaku
perwakilan peneliti dari perkumpulan untuk pemilu dan demokrasi mengemukakan
bahwa Bawaslu seharusnya mengikuti PKPU dengan landasan dalam UU pemilu
Bawaslu memiliki mandat untuk menaati seluruh peraturan perundang-undangan,
termasuk yang bukan merupakan undang-undang, hal ini dijelaskan dalam PKPU
pasal 95 huruf H yang berisi bahwa PKPU merupakan bagian dari perundang-
undangan. Fadli menambahkan bahwa ketika Bawaslu kemudian bertentangan
dengan PKPU maka akan menimbulkan efek ketidakpercayaan masyarakat kepada
penyelenggara pemilu.

Putusan Mahkamah Agung : Asas Hirarkis Hukum atau Asas Kemanfaatan

Putusan MA tertanggal 13 september 2018 yang menyatakan bahwa PKPU No. 20


Tahun 2018 pasal 4 ayat (3) bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g dan Pasal
182 huruf g UU No.7 Tahun 2017, berarti bahwa mantan napi korupsi tetap dapat
mencalonkan dengan syarat-syarat sesuai UU Pemilu. Pada asas hirarkis bertentangan
dengan di atasnya, dalam hal ini perumusannya dengan memasukkan norma baru
melalui PKPU agar dapat dikatakan setara dengan norma lain yang kemudian menjadi
masalah. Secara asas kemanfaatan dari PKPU memang pada dasarnya keinginan KPU
untuk menciptakan pemilu yang berintegritas, salah satu caranya adalah peralangan
bagi mantan napi korupsi dan menaikkan status kejahatan korupsi. Masyarakat
4

secaara umum mendukung niatan baik dari KPU dalam menciptakan pemilu yang
berintegritas, namun secara hukum, penempatan dari norma baru yang diusung oleh
PKPU menjadi masalah, sehingga timbullah perdebatan pada ranah hukum, dan
tentunya tidak pada ranah kemanfaatan dari PKPU. Setelah perdebatan panjang
mengenai PKPU hingga pada
putusan MA bahwa mantan napi
korupsi dapat kembali
mencalonkan, bawaslu kemudian
meloloskan caleg mantan napi
koruptor sebagai berikut (tirto.id,
2018)

DCT (daftar caleg tetap) yang di


keluarkan KPU pada tingkatan
DPR-RI tidak ada satupun celeg
yang merupakan mantan napi
korupsi, sedangkan pada tingkat
Provinsi terdapat 12 caleg mantan
koruptor, dan 26 caleg tingkat
kabupaten yang merupakan mantan
koruptor. Secara tidak langsung
putusan MA seakan memberikan
kepastian mantan koruptor untuk
mendapatkan hak politiknya
dengan syarat dan juga
memberikan tanggung jawab
sepenuhnya kepada masyarakat
untuk menentukan pilihan. Akan tetapi, kepercayaan masyarakat terhadap
penyelenggara hingga ke kontestan pemilu tentu akan semakin mengalami degradasi
yang disebabkan oleh mantan koruptor ini boleh untuk mencalonkan.
5

Degradasi kepercayaan masyarakat ini dapat dilihat dari hasil petisi yang dibuat
oleh koalisi masyarakat sipil untuk pemilu bersih yang hingga saat ini telah
ditandatangani 250 ribuan orang dan terus meningkat. Petisi ini kemudian diberi judul
‘Tolak Bawaslu RI Loloskan Koruptor Nyaleg’ yang tentunya mengarah pada
Bawaslu dalam menjalankan fungsinya (change.org, 2018). Pernyataan tersebut juga
di dukung dari hasil survey yang dilaksanakan oleh Saut (Haryanto dkk, 2015)
mengemukakan hasil survey tahun 2005 mencatatkan ketidakpercayaan publik
terhadap moral elit politik sebesar 34,6%. Pada tahun 2009 mengalami peningkatan
menjadi 39,6% dan kemudian berlanjut pada tahun 2013 menjadi 51,5%. Hafil (2015)
memaparkan hasil survei lainnya yang dilakukan lembaga Founding Fathers House
(FFH) yang menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap partai politik hanya berkisar
23%-29% dan sekitar 60% publik tidak percaya dengan partai politik.

Berdasarkan data di atas ditemukan bahwa 5 dari 10 masyarakat tidak


mempercayai moral elit politisi Indonesia, serta 6 dari 10 masyarakat tidak percaya
terhadap partai politik. Atas dasar inilah penyelenggara hingga kontestan politik
mempertimbangkan untuk mengajukan dan meloloskan caleg mantan koruptor agar
kepercayaan masyarakat terhadap Pemilu meningkat, dengan meningkatnya
kepercayaan masyarakat terhadap pemilu tentu akan meningkatkan partisipasi dalam
demokrasi. Juga akan terbangun sinergitas antara pemerintah dan masyarakat, hal
tersebut di dukung dengan hasil wawancara dari pengamat psikologi politik yakni
Muh. Rhesa,. S.Psi., M. A. yang mengemukakan bahwa kepercayaan masyarakat
tentunya akan sangat berpengaruh terhadap partisipasi dalam pesta demokrasi. Dalam
menjalankan pemerintahan, kepercayaan masyarakat tentunya menjadi pendorong
untuk menjalankan segala kinerja-kinerja pemerintah dengan baik (Rhesa, 2018).

Dalam demokrasi, Masyarakat sebagai pemilih tentunya memiliki beberapa


kategori, sebagaimana masyarakat pada umumnya berbeda dalam hal pemahaman
politik, serta tingkat Pendidikan yang berbeda-beda. Dalam demokrasi suara
terpelajar tentunya setara dengan suara masyarakat yang tidak mengenyam
Pendidikan. Kategorisasi ini merupakan kategori pemilih rasional dan pemilih
6

irrasional, pemilih rasional mungkin saja memahami dampak dari perilaku korupsi,
sedangkan dibandingkan pemilih irrasional yang memilih bukan lagi berdasarkan
pemahaman mendalam track record caleg dan juga tidak merasakan langsung
dampak dari perilaku korupsi. Masyarakat yang mengenyam Pendidikan tinggi
dengan masyarakat yang tidak mengenyam Pendidikan tentu sangat berbeda jauh
jumlahnya menurut Menko Bidang Pembangunan manusia dan Kebudayaan, Puan
Maharani (liputan6.com, 2016) mengungkapkan bahwa 9 dari 10 generasi muda tidak
dapat melanjutkan ke perguruan tinggi. berdasarkan dari data tersebut 90% dapat
dikatakan sebagai pemilih yang kurang memiliki pertimbangan, termasuk apakah
caleg yang mereka pilih merupakan mantan koruptor ataukah tidak. Hal tersebut
dapat dibuktikan dengan elektabilitas caleg mantan koruptor masih tergolong tinggi,
sehingga parpol tetap mempertahankan caleg dengan kesempatan terpilih kembali
tinggi (ILC, 2018).

Partai Politik dan kekuasaan legislasi

Partai politik atau yang biasa disebut sebagai parpol menjadi pengusung para calon
legislatif tentu merasakan juga dampak dari PKPU No. 20 Tahun 2018. Salah satu
dampak terbesarnya adalah para elit politik partai yang memiliki elektabilitas tinggi
untuk meraup suara masayarakat dalam pemilu namun pernah terlibat dalam kasus
korupsi tidak akan memenuhi syarat untuk diajukan. Pengusung mantan napi korupsi,
tentu akan menimbulkan citra yang kurang baik terhadap masyarakat. Meskipun
akan menciptakan citra buruk beberapa parpol tetap mencalonkan mantan napi
koruptor, seperti berikut (tirto.id, 2018) :

Citra buruk parpol dan calegnya tentu akan


sangat berpengaruh untuk perolehan suara
di pemilu 2019, namun sebaliknya jika
masyarakat belum mengetahui, atau belum
merasakan dampak dari perilaku korupsi
dari caleg mantan koruptor dapat dipastikan
bahwa caleg mantan koruptor akan
7

memiliki suara yang tinggi pada dapilnya. Dalam UU Pemilu Pasal 240 Ayat 1 huruf
(g), dengan jelas bahwa mantan napi harus mendeklarasikan dirinya sebagai mantan
napi, agar masyarakat dapat memilih berdasarkan pertimbangan tersebut. Darmawaty
Dareho (ILC, 2018) menyatakan bahwa berikanlah kesempatan agar bisa mengabdi
kembali di daerahnya. Niat baik mantan koruptor untuk mengabdi tentunya dapat
diterima, namun dalam pengabdian terhadap masyarakat tentu buka hanya melalui
Lembaga legislatif, namun dengan kemelekatannya sebagai kader partai tentu akan
menarik kembali untuk mencalonkan.

Bermain pada untung rugi, partai politik seakan menjadi sebuah perusahaan, yang
berupaya untuk semua calegnya mampu untuk meraup suara yang banyak sebagai
sebuah keuntungan. Keuntungan ini tercantum pada UU No. 7 Tahun 2017 pada pasal
222 yakni partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki suara nasional
sebesar 25% atau perolehan kursi DPR sebesar 20% pada pemilu sebelumnya dapat
mengusung calon presiden dan wakil presiden (Presidential Treshold). Belum lagi
penguasaan suara terbanyak dalam parlemen (Parlementery Treshold) yang
berpengaruh besar dalam merumuskan dan menentukan kebijakan serta kepentingan-
kepentingan tertentu, semisal ideologi partai yang di masukkan dalam merumuskan
kebijakan. Sistem parlemen dalam legislasi adalah sistem dengan permusyawaratan,
namun dalam bermusyawarah tentunya tidak selalu mencapai mufakat, maka dalam
sistem parlemen voting dapat dilaksanakan, dan suara terbanyaklah menjadi
pemenang. Sistem tersebut memungkinkan parpol untuk memasang caleg dengan
elektabilitas tinggi agar meraih kursi sebanyak mungkin, sehingga parpol seakan
menomor sekiankan aspek moralitas.

PENUTUP

Perbedaan KPU dengan Bawaslu mencerminkan Bhinneka Tunggal Ika dalam


Indonesia, berbeda dalam gagasan tetapi Tetap satu tujuan yang ingin di capai KPU
dan Bawaslu yakni terciptanya Pemilu yang Berintegritas dengan Ruh Persatuan. Niat
baik KPU dalam PKPU No. 20 Tahun 2018 dalam mencegah dan memberantas
korupsi hingga ke akarnya, sejak pemilu pada tahun 2004 pertama kali dilaksanakan,
8

baru pada hari ini keberanian KPU dalam memasukkan larangan mantan koruptor
untuk mencalonkan namun dalam Lembaga terkecil hingga skala sebesar Negara
tentu ada aturan main, PKPU dalam putusan MA secara Yuridis berada bukan pada
tempatnya, namun secara filosofis subtansi dari ‘pelarangan mantan koruptor sudah
Tepat!’ dan tentunya didukung oleh hampir seluruh elemen masyarakat!.

Lolosnya mantan koruptor sebagai caleg, bukan hanya mempengaruhi persepsi


masyarakat terhadap penyelenggara, tetapi juga sebagai sebuah Pendidikan politik
bagi masyarakat berupa stimulus agar tetap berhati-hati dan mengkaji serta
menganalisis para caleg sebelum memilih para wakil rakyat. Masyarakat pada
dasarnya masih banyak yang belum paham mengenai dunia politik, atau bisa
dikatakan buta politik, dan itulah yang sebetulnya sangat berbahaya sebab menurut
Berthold Brecht (1898-1956) dalam (kompasiana.com, 2014) :

“Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak
berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu
bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa,
harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang
yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan
dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu
bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri
terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional
dan multinasional yang menguras kekayaan negeri"
Partai politiklah yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas
buta politik masyarakat, tapi dalam penerapannya partai politik sendiri yang
kemudian melahirkan perbedaan baru dengan menarik dan mencetak kader-kader
partai sesuai dengan kepentingan masing-masing parpol. Parpol kemudian
mendapatkan ketidakpercayaan masyarakat, bahkan menjadi skeptis terhadap parpol,
pandangan skeptis ini kemudian semakin membesar dengan mengusung para caleg
mantan koruptor! Bukan pada pembatasan HAK tapi pada efek domino dari subtansi
larangan mantan koruptor. Efek yang akan membuat pemilu berintegritas dengan efek
jera maksimal, sebab masyarakat tentu berpikir, mengapa para caleg boleh dari
mantan koruptor, sedangkan untuk menjadi PNS saja harus ada SKCK!.
9

“SESUNGGUHNYA ALLAH TIDAK AKAN MENGUBAH NASIB


SUATU KAUM KECUALI KAUM ITU SENDIRI YANG MENGUBAH
APA APA YANG PADA DIRI MEREKA ” (QS 13:11)

Anda mungkin juga menyukai